Niringar ch0 3

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Yang ternyata, keraguanku selama ini mulai muncul ke permukaan.

Aku tidak tahu permasalahan pastinya seperti apa. Aku tidak tahu situasi pastinya seperti apa. Bahkan aku tidak tahu sebenarnya apa yang salah dari semua ini. Yang kutahu pasti adalah kenyataan bahwa Elvi dimusuhi oleh seisi kelas.

Lagi-lagi karena salahku, ya?

Elvi yang tidak pernah mengatakan apa-apa soal itu semakin membingungkanku. Dia sama sekali tidak ingin membahas tentang masalahnya tersebut. Bahkan dia selalu mengalihkan pembicaraan ketika aku menyinggung soal itu. Namun melihat Elvi yang bahkan tidak pernah disapa oleh siapapun, sedikit demi sedikit mengikis perih perasaanku.

Aku yakin semua bermula saat hal itu terjadi.

Kala itu aku tidak mengerti apa yang tengah terjadi. Tiba-tiba saja semua orang bertepuk tangan berkali-kali seraya melihat ke arahku dan Elvi, mengatakan sesuatu yang sepertinya sama dalam harmoni. Aku cukup kaget dengan hal itu. Semua orang melakukan hal yang sama kecuali kami dan satu anak laki-laki yang tengah berdiri di depan kelas, wajahnya memerah tampak malu.

Lalu kemudian Elvi berdiri, tanpa mengatakan apa-apa padaku, berjalan ke arah anak laki-laki yang bernama Surya itu. Kalau tidak salah, dia anak kepala sekolah ini. Surya selalu bersama teman-temannya, seisi kelas selalu tersenyum ketika berbicara dengannya, kurasa dia cukup populer. Beda sekali denganku, ya? Haha.

Meski begitu, ya, meski Elvi mengatakan sesuatu dengan senyumannya, wajah Surya semakin memerah. Namun bahkan aku tahu kalau itu bukanlah ekspresi malu melainkan marah. Aku bisa melihat mereka saling bertukar kalimat yang semakin lama semakin tampak kacau saja karena cepatnya gerakan mulut mereka.

Hingga pada akhirnya aku hanya menangkap satu saja kalimat yang diucapkan Elvi. Ya, aku bisa mengerti dari gerakan mulutnya yang cukup pelan. Aku memang tak bisa mendengarnya, tapi untuk Elvi yang sudah beberapa tahun berteman denganku, setidaknya aku bisa membaca gerakan pelan mulutnya yang berkata.

“Aku-nggak-butuh-teman-selain-Arlina!”

Itulah awal dari diasingkannya Elvi di kelas ini.

Sekali lagi, walaupun Elvi tidak menyebutkannya, aku yakin ini semua salahku.

Situasi sangat canggung ketika teman lain diharuskan berbicara dengan kami, seperti kelompok tugas atau semacamnya. Meski aku tidak melihat atau merasa kebencian dari kebanyakan dari mereka, tapi kenyataan bahwa mereka berusaha menjauhi Elvi tidak bisa dipungkiri lagi.

Tak masalah bila mereka melakukannya padaku, toh, ini semua juga salahku. Tapi aku tidak tahan kalau itu terjadi pada Elvi, sahabatku.

‘Melihat teman baik disakiti itu juga terasa sakit’ bukanlah sekedar kata-kata indah persahabatan saja. Yang terjadi memang begitu. Kelompotan Surya sesekali mengganggu Elvi dengan menyembunyikan tasnya atau membuang alat tulisnya. Setelah beberapa saat, teman yang lain juga melakukan hal yang sama.

Aku tak bisa melakukan apapun. Aku bahkan tidak tahu harus melakukan apa. Aku tidak tahu permasalahannya. Aku juga tidak tahu bagaimana harus merangkai kata untuk bisa menyelesaikannya. Aku penuh dengan ketidaktahuan.

Saat itulah suatu ide muncul di kepalaku. Satu ide yang sangat simpel dan yang saat itu mampu kupikirkan. Mungkin saat ini bisa kusebut konyol, tapi untukku yang kala itu sangat bodoh dan tak tahu apa-apa, mungkin aku bisa sedikit menghormati keputusan diriku yang dulu.

[Aku benci kamu. Tolong jangan bicara denganku lagi.]

… adalah yang kutulis di papan tulis, aku tujukan pada Elvi.

Aku duduk di kursi paling belakang, melihat tubuh Elvi yang gemetar mengepalkan tangan dari kejauhan. Perlahan Elvi mengangkat kepalanya, lalu menoleh padaku. Bisa kulihat matanya memerah, air mata meluncur di pipinya. Bisa kulihat wajah cantiknya terluka, dicabik-cabik olehku dengan mudahnya.

Dan di sini, di sisi yang tengah Elvi lihat yaitu aku, tengah menahan diri untuk tidak meneteskan air mata. Membalas tatapannya tajam, yang juga menusuk diriku sendiri ke dalam. Robeknya perasaan ini dengan susah payah kuabaikan hingga aku menggigit bibir.

Ya, sama seperti saat Elvi mendekatiku dan mengatakan banyak hal yang tak bisa kudengar, aku tak mengacuhkan itu semua.

Aku hanya diam.

Membatu.

Karena diam adalah kelebihanku.

Meski begitu… meski begitu, sesampainya di rumah aku mengunci diri di dalam kamar, menangis sejadinya.

Aku tidak tahu kalau melukai teman sendiri itu rasanya sesakit ini. Aku tidak tahu kalau kehilangan teman itu rasanya semenyedihkan ini. Aku bahkan tidak tahu kalau pertemanan kami akan berakhir karena hal seperti ini.

Tapi semua memang harus kulakukan, demi Elvi yang pernah menjadi teman terbaikku. Tak masalah bagiku sendiri lagi, berada dalam dunia abu-abu sunyi yang tak bernyawa itu lagi. Aku juga sudah terbiasa dengan hal tersebut, tak perlu untukku menyeret Elvi ke dalam dunia yang sama seperti milikku.

Benar, semua demi Elvi.

“…”

Selamat tinggal, teman terbaikku.