Niringar ch0 4

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Sudah hampir setahun aku menghindar dari Elvi. Dia juga sudah mulai jarang datang kepadaku lagi. Teman kelas yang lain kembali berbicara dengannya lagi. Sesekali aku bisa melihat Elvi tertawa ketika mengobrol dengan yang lain, membuatku cukup lega.

Memang ini yang terbaik, pikirku saat itu.

Saat memulai semester baru di kelas tiga SMA, secara kebetulan lagi aku dan Elvi sekelas. Namun tidak ada momen saling menyapa lagi. Kami berdua acuh tak acuh, bagaikan orang lain yang tak pernah bertemu, dan tak pernah ingin berjumpa.

Seperti tali yang menyambungkan dua tiang yang berada di dua bukit. Ketika diputus, keduanya takkan pernah terikat kembali. Kalaupun mengharapkan keajaiban, mungkin angin atau seseorang bisa membantunya bertemu kembali, menyatukan tali tersebut.

Walau aku tahu itu mustahil.

Ya, tak ada yang peduli juga denganku dan Elvi. Justru kalau hubungan kami terikat kembali, kejadian buruk akan menimpa Elvi. Aku tidak menginginkan hal itu, jadi aku tidak akan menerima bantuan dari siapapun.

Sesederhana itu saja.


Saat dimulainya tahun ajaran baru, sekolah mulai memperkenalkan internet kepada siswa-siswinya. Ini sudah menjadi aturan umum di mana setiap orang mulai boleh mengakses internet ketika mereka beranjak ke kelas tiga SMA atau berumur 17 tahun.

Dari koran yang pernah kubaca, aturan tersebut bisa mengurangi tingkat kemalasan belajar dan pengendalian diri yang kurang. Aku masih tidak mengerti apa maksudnya, tapi yang jelas aku juga mulai menggunakan internet di tahun ajaran baru.

Kala itulah aku mulai mengenal blog-blog yang berisi banyak informasi yang dituliskan oleh bermacam-macam orang dari seluruh penjuru dunia. Ditambah aku juga mengetahui kalau ada semacam tempat mengobrol daring dengan menggunakan tulisan. Aku cukup menyukainya karena hal tersebut memudahkanku untuk berbicara kepada banyak orang.

Ya, sudah bisa ditebak oleh siapapun. Dari situ aku mulai mempunyai teman dunia maya, di mana kami tak pernah saling bertemu atau mengenal satu sama lain. Aku tak merasa takut berbicara dengan orang lain. Bahkan aku punya banyak waktu untuk berpikir dan memilih kata-kata yang tepat dalam berbicara.

Obrolan yang acak rasanya cukup menyenangkan setiap harinya. Hingga beberapa bulan berlalu, aku mulai mengenal beberapa dari mereka yang ternyata tinggal di pulau yang sama denganku. Mungkin karena itulah, ditambah dengan nyamannya obrolan kami, aku mulai membicarakan tentangku dan Elvi.

Aku sama sekali tak menyebut nama Elvi. Aku juga tidak memberikan identitas asli dan lengkapku. Aku tidak merasa enggan membicarakan hal tersebut. Malahan, aku ingin tahu bagaimana pendapat mereka soal hal tersebut. Mungkin saja ada solusi lain yang lebih baik dari yang sudah kulakukan.

[Dearno: Ooo, jadi gitu ya? Udah coba tanya langsung ke teman lain masalah sebenarnya apa?]

[Jajang: Mana bisa dia tanya, dasar bego! Tapi kalau dipikir-pikir, rasanya kayak lagi nonton sinetron ya?]

[Dearno: Lo yang bego! Sinetron kok ditonton!]

[Yulin: Kok jadi pada ribut? Ini Lilin kan lagi minta pendapat. Kalau menurutku nih ya, keknya temenmu itu baik deh. Ditambah, dia masih pengen temenan sama kamu. Semangat Lin!]

[Jajang: Yee, semua juga tau kalik. Jelas itu kalau dia masih pengen temenan. Tapi susah juga ya kalau engga tau masalahnya kek apa?]

[Pangeran_Tjinta: Lo udah coba tanya ke orangnya langsung? Atau kayak kata Darno.]

[Dearno: Dearno oi, udah dibilang brapa kali juga masih ngeyel!]

[Pangeran_Tjinta: Gue dah tau nama Lo Darno. Ga perlu ditambahi e semua orang juga udah tau kali.]

[Lilin: Belum, sih.]

[Dearno: Asem Lo! Dasar tinja!]

[Pangeran_Tjinta: Kok belum sih? Lo pengen temenan lagi nggak ma dia?]

[Yulin: o ya bener, aku yakin kamu juga masih mau temenan ma dia kan?]

[Lilin: Masih mau.]

[Jajang: Masihlah! Tapi dia kan ga bisa ngomongin kek gitu juga kali.]

[Pangeran_Tjinta: Kok ga bisa? Mau apa engga? Kalau mau, gimanapun caranya harus bisa dong!]

[Pangeran_Tjinta: Oh ya, ini ada page parah, bait apa ya? Parah nih. Banyak yang panas caci maki loh worldofcoin.blog.com]

[Dearno: Beh! Apaan tuh? Ajaran sesat?]

[Yulin: Ih, orang2 internet suka banyak yang ngaco!]

[Jajang: etapi ada benernya lho.]

[Dearno: ea, yang mulai kena virusnya.]

[Jajang: apaan lo! Dipikir juga dong kalau baca!]

Karena penasaran, aku coba membuka blog yang mereka bicarakan tersebut. Di halaman depan, terpampang jelas tulisan besar [World of Coin] yang cukup memenuhi, diiringi oleh tulisan kecil yang ketika kubaca perlahan, bunyinya seperti ini.

[Manusia seperti koin dua sisi, menyembunyikan satu sisi ketika sisi lain ditampakkan.]

Seperti permainan kata saja atau hanya mengatakan sesuatu yang sudah jelas.

Namun meski begitu…

Meskipun begitu, aku merasa tertarik membaca lanjutan dari halaman depan tersebut dan kemudian menuju ke halaman kedua.

[Pernahkan kalian merasa takut melakukan sesuatu?]

“…”

Kalimat pertama yang cukup untuk membuatku membaca kalimat selanjutnya. Ya, bagaimana caraku menjelaskannya? Rasanya seperti seseorang sedang menyebutkan apa yang tengah kupendam, kusembunyikan. Seolah orang tersebut mampu membuka isi kepalaku, dan membacanya lantang.

Benar, aku memang takut melakukan sesuatu. Ada seribu alasan untukku tidak melakukannya. Aku takut, ya, aku takut menyusahkan orang lain. Aku takut melukai mereka. Aku takut mengacaukan semuanya.

[Pernahkan kalian merasa membohongi diri sendiri?]

Kalimat kedua cukup mengejutkanku. Kalau kupikir kembali, banyak hal yang telah kulakukan cukup berlawanan dengan yang kuinginkan. Aku selalu meyakinkan diriku kalau yang kulakukan ini adalah yang terbaik. Saat aku sebenarnya ingin setiap hari mengobrol dengan Elvi di kelas, tapi aku selalu menahan dan meyakinkan diri lebih baik tidak melakukannya.

Ya, dan yang paling berat adalah diriku yang memutuskan pertemanan dengan Elvi, padahal aku sangat menyukai hubungan tersebut.

Aku ingin berteman dengan Elvi.

Aku membohongi diri sendiri.

[Pernakah kalian merasa tidak ingin melukai orang lain?]

Aku merasa demikian. Tapi bukannya itu hal yang sudah jelas? Bukankah melukai orang itu bukanlah hal yang baik? Kenapa aku harus melukai orang? Aku lebih baik dilukai dari pada melukai orang lain. Atau itulah yang selama ini akan terus kupikirkan, jika saja—

[Pernahkan kalian merasa ingin terbebas dari itu semua?]

—aku tidak membaca kalimat terakhir tersebut.

“…”

Bebas… bebas dari itu semua? Bisakah aku melakukannya? Bolehkah aku melakukannya? Apakah itu salah satu tindakan yang baik?

Dalam kondisi di mana apa yang selama ini kupikirkan perlahan dijajah oleh pemikiran barutersebuti, jari telunjukku menuntun keraguan ini menuju halaman ketiga dari blog itu. Benar, sebagian dari diriku mengakui, menginginkan suatu perubahan.

Yang terpikir olehku saat itu adalah… mungkin ada kemungkinan, ada satu kesempatan untukku kembali berteman dengan Elvi.

Ya, aku sangat ingin berteman dengan Elvi lagi.