Niringar ch0 2

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Sudah hampir dua tahun aku berteman dengan Elvi.

Dunia mulai berwarna dengan suara-suara indah yang hanya ada di dalam imajinasiku.

Rasanya menenyenangkan tiap hari bisa membicarakan banyak hal dengannya. Kami akan saling bercanda, bertukar pendapat, mengerjakan PR bersama, hingga membicarakan hal sepele seperti siapa guru terganteng atau tergalak yang ada di sekolah ini.

Setiap hari, ya, sore hari.

Elvi hanya akan datang dan mengobrol denganku hanya di sore hari saja, setelah pulang sekolah. Dan aku tak pernah mempermasalahkan itu. Aku sama sekali tidak merasa kalau Elvi suka menjauhiku atau tidak ingin tampak berteman denganku ketika teman kelas lain masih ada di sekitar.

Walaupun Elvi tak pernah mengatakannya, sepertinya aku bisa memahami tindakannya itu. Cukup wajar menurutku, terlebih dia berteman dengan orang sepertiku—yang masih belum meminta maaf kepada siapapun hanya karena Elvi bilang itu tidak perlu. Aku masih tak mengerti kenapa dia malah berkata kalau merekalah yang harus minta maaf kepadaku, termasuk Elvi.

Sebenarnya yang salah aku, kan?

Entahlah, yang jelas, aku mengerti kalau Elvi tidak ingin ikut dijauhi orang lain karena berteman denganku. Tak masalah juga, sih. Toh Elvi selalu datang padaku di sore hari, bahkan minta maaf setiap kali memulai pembicaraan. Padahal aku yang seharusnya minta maaf padanya.

Ya, pertemanan kami yang sedikit unik ini berjalan mulus hingga aku dan Elvi masuk di SMA.

Bukan suatu kebetulan atau keajaiban juga, sih. Dari awal, kami berdua sudah sepakat untuk masuk ke dalam SMA yang sama. Hanya saja, cukup disayangkan ketika di kelas satu SMA, aku dan Elvi tidak berada di kelas yang sama. Karenanya sekali lagi, aku merasakan dunia abu-abu penuh dengan ingar bingar yang sunyi.

Haha, perumpamaan yang cukup aneh—tapi entah mengapa aku cukup menyukainya.

Tidak banyak yang terjadi. Hanya kehidupan sekolah yang biasa, walau agak sedikit lain dari yang di SMP. Teman sekelasku akan sesekali mengajak bicara, terutama teman semeja, meski kutahu kalau dia sedang bosan saja. Sisanya adalah saat mereka membutuhkanku, atau saat aku membutuhkan mereka saja entah dalam tugas atau kegiatan lain seperti piket kelas dan semacamnya. Tidak ada yang benar-benar ingin berteman denganku layaknya Elvi.

Itulah kenapa aku merasa sangat senang ketika melihat nama Elvi berada di kelas yang sama ketika kami beranjak ke kelas dua SMA. Saking bahagianya, aku sampai buru-buru datang pada Elvi yang tengah duduk di barisan depan meja kelas. Ah, dia tampak makin cantik dan manis saja. Rasanya seperti lama tak bertemu saja karena belakangan kami disibukkan oleh tugas sekolah, ujian, dan libur sekolah.

Elvi yang menyadari kehadiranku, menyambutku dengan senyum lebar dan lambaian tangan. Tanpa pikir panjang aku langsung duduk di sebelahnya dan menyapa.

[Apa kabar? Lama tak jumpa!]

[Iya, lama tak jumpa! Aku sehat-sehat aja. Kamu gimana? Ada teman baru?]

[Sehat juga! Seperti biasa, cuma kamu temanku, haha!]

[Dasar pemalas!]

Aku tersenyum di luar dan tertawa di dalam hati.

Bagaikan takdir yang indah, atau pertemuan yang penuh emosi. Aku merasakan nostalgia yang menggerogoti dunia abu-abu penuh keheningan yang kurasakan satu tahun yang lalu. Bersama Elvi, dunia kembali berwarna-warni dengan suara deburan ombak emosi yang selalu berubah tempo. Dengan teman yang akan selalu berada di sampingku ini, rasanya aku tidak sabar lagi menghadapi hari-hariku di kelas dua SMA.

… Teman?

Ah, aku lupa!

[Maaf! Aku lupa kalau kita enggak seharusnya bicara saat kelas masih ramai begini! Aku pindah dulu ya!]

Setelah menuliskan itu, aku hendak berdiri meninggalkan Elvi jika saja—

“!?”

—dia tidak menarik lenganku, menghentikan langkah yang hendak kuambil, lalu menuliskan sesuatu.

[Gapapa kok! Aku udah nggak permasalahin itu lagi. Malahan aku ingin kita bisa bicara tiap hari! Jadi kamu nggak perlu kayak dulu lagi.]

Sejenak berpikir, aku kemudian membalas.

[Kamu yakin?]

Dengan senyum lebar, Elvi mengangguk mantap.

[Seratus persen!]

Meski aku agak sedikit ragu, tapi akhirnya aku menerima kesempatan menggiurkan itu dengan senang hati.

[Oke!]