Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 06

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

06—Kucing dan Sekolah

Pagi hari, saat sarapan, timbul kehebohan di ruang keluarga. Ibu Gandis melompat kaget. Hampir saja dia menumpahkan rantang nasinya sewaktu melihat ada kucing hitam berbalut perban yang turun dari lantai dua bersama anak putrinya.

“Wastaga, Gandis! K-kucing pembawa sial dari mana itu?!”

Gandis menepuk dahi. Dia lupa tentang ibunya. Satu, si ibu mudah kaget. Dua, dia juga sangat percaya takhayul. Seharusnya Gandis mengenalkan Hiren pada malam hari ketika mereka pulang. Namun, saat itu sang ibu sudah tertidur. Apa bisa dikata?

“Ibu. Jangan terlalu dramatis begitulah! Ini Hiren, dia cuma kucing biasa, kok,” kata Gandis, meskipun di dalam hati dia sungguh tahu kalau kucing yang dimaksud bukanlah sekedar kucing biasa.

“Kucing biasa apanya, Gandis? I-itu kucing hitam! Memakai perban begitu ... kenapa bisa?!”

“Hhh,” Gandis menghela nafas, “dia terluka, makanya kukasih perban, Ibu. Dan mulai sekarang, Hitam adalah peliharaanku.”

Sang Ibu masih terpaku, tetapi Hiren justru melihat itu sebagai kesempatan untuk memperkenalkan diri. Dia lupa kalau saat ini, dia adalah ‘kucing biasa’.

“Miaaw! Aku Hire—”

Buru-buru Gandis menangkap kucing hitam itu dan melemparnya. Untung saja Hiren masih bisa mendarat dengan mulus. Dia menggeram kesal.

“T-tadi dia ngomong, ya??” sang Ibu gemetar, mencoba memastikan apa yang tidak seharusnya terdengar.

Gandis tertawa kaku, “Ahaha, i-itu pasti hanya khayalan Ibu saja. Itu karena Ibu terlalu percaya takhayul!”

“Jangan bercanda! Semua orang tahu kalau yang namanya kucing hitam itu pembawa sial.”

“Hhhh,” Gandis terus menghela nafas. “Ya, Ibu. Semua orang yang percaya takhayul! Lagipula ... aslinya kucing hitam juga dipercaya sebagai pembawa keberuntungan kok, di sejumlah mitos,” dalih Gandis.

“Oh, ya? Kok Ibu nggak tahu itu?”

“Itu karena Ibu jarang baca!”

Sang Ibu malah tersenyum, “Hoho, tapi setidaknya itu yang membuat ibu tetap cantik di usia segini. Tanpa kacamata.”

“Ya, benar,” cibir Gandis, “kalau memang Ibu begitu cantik¬-nya, mengapa Ayah betah bekerja di luar negeri dan hanya pulang setahun dua kali?”

Tentu saja sindiran seperti itu akan berakhir dengan jitakan sewot dari sang Ibu. Setelah keduanya puas saling meledek, acara sarapan pagi itu dimulai juga.

Seperti biasa, rumah keluarga Ayunandar yang cukup besar itu hanya diramaikan oleh dua penghuninya saja. Yaitu Gandis dan sang ibunda, Gladis Ayunandar. Sinang Ayunandar, sang kepala keluarga, masih dalam pengerjaan proyek perusahaan konstruksinya di luar negeri. Sementara kakak lelaki Gandis, yaitu Awang, sedang berkuliah di Ibukota, terpaut ratusan kilometer dari Kota Taruma.

Tak ada pembantu di rumah tangga itu. Semua pekerjaan rumah dikerjakan bergantian antara Gandis dan Bu Gladis, meskipun sebenarnya 70% itu diborong oleh sang ibu. Jadi sesungguhnya, keberadaan Hiren si kucing hitam, bisa sedikit menambah keramaian itu.

Tentu butuh sedikit waktu bagi Bu Gladis untuk terbiasa dengan keberaan kucing hitam, simbol pemberi kesialan atau pembawa keberuntungan, tergantung mitos mana yang jadi acuan.

“Ibu, aku belum sempat beli makanan untuk si Hitam,” ujar Gandis. “Apa kita masih punya stok ikan asin?”

“Oh, jadi namanya adalah Hitam?” Bu Gladis melirik si kucing. “Tidak terlalu kreatif nama yang kamu beri itu, Gandis.”

Gandis merengut, “Nama aslinya Hiren. Tapi aku lebih suka memanggilnya Hitam. Karena bulunya hitam.”

“Hiren Hitam, ya?” kembali pandangan si ibu tertuju pada kucing hitam yang tampak mulai risih dengan tatapan itu.

Bu Gladis pun menghela nafas panjang. Seolah sudah bisa melewati badai, dia pun membuka kulkas untuk mengambilkan sarapan bagi kucing peliharaan baru mereka.

Menunya ikan asin, bukan barang mewah. Tetapi setidaknya ada pelengkap sepiring susu putih yang cukup lezat. Tak selezat makanan surgawi yang biasa disantap Hiren, tentu saja. Namun karena di Surga Kucing sana ikan asin itu tidak ada (atau tidak laku?), maka Hiren menyantap saja, tanpa banyak mengeong. Menyantap ikan seperti ini ... ada sedikit rasa nostalgia, sisa-sisa memori dari kehidupan kucing hitam itu terdahulu. Sebelum dia mati dan masuk ke surga.

Setelah berpamitan, Gandis pun mengajak Hiren ke sekolah. Untung saja sang ibu lupa bertanya tentang sepeda yang kemarin dibawa anaknya. Sepeda itu tentu sudah binasa, remuk digilas oleh Mogaw, anjing neraka yang jadi Panglima dari hewan-hewan iblis. Sambil berjalan, Gandis dan Hiren sedikit mengobrol.

“Hei, Hitam,” kata siswi itu, “di perpustakaan sekolahku, ada buku dongeng kuno yang menarik, lho. Tentang kucing legendari—”

“Aku tidak tertarik, nyaw!” sergah Hiren. “Saat ini yang paling penting itu adalah menambah jumlah Pahala-ku.”

“Oh, maksudmu ini?” Gandis menunjukkan gelang emas yang dipakainya di tangan kiri. “Gelangnya sedang kupakai, nih. Apa Pahala-mu masih bisa masuk?”

“Tentu saja masuk, miuu. Bisa repot kalau tidak. Radius efektivitas benda itu sekitar ... satu bumi!”

Tentu saja Gandis melonjak kaget, “A-apa? Seluas itu??”

“Nyaw! Jika dibandingkan luasnya Surga Kucing dan surga-surga lainnya, bumi hanyalah seperti taman kecil,” Hiren tersenyum bangga. “Tapi tetap saja, dengan fasilitas transportasi yang tidak sepraktis surga, bumi yang kecil pun jadi seperti raksasa. Bahkan Kota Taruma ini juga terasa begitu luas. Miuuuw ....”

“Ho? Menarik sekali surgamu itu, Hitam, seperti yang kemarin kau ceritakan. Tapi, gelang ini,” Gandis terus memperhatikan gelangnya, “dengan cara apa saja kamu mengisi Pahala-nya?”

“Gampang, maung. Normalnya, setiap beres menjalankan misi, kami mendapat Pahala dalam jumlah cukup besar. Tapi di dalam pengerjaan misi itu sendiri, Pahala-Pahala kecil juga bisa dikumpulkan.”

“Seperti?”

“Berbuat kebaikan apapun. Atau bisa juga seperti kemarin ... menghabisi hewan-hewan neraka, miang!”

Mendengar itu, seketika Gandis bergidik. “Sebenarnya apa itu hewan-hewan neraka? Apa mereka adalah hewan yang sewaktu hidupnya berbuat banyak keburukan sehingga ketika mati mereka dimasukkan ke neraka?”

“Nyahahaha! Bukan begitu, Nona Kecil,” si kucing malah tertawa. “Semua hewan pasti masuk surga. Surga mereka masing-masing tentunya, myaw! Karena pada dasarnya, hewan hanya bertindak sesuai naluri. Sehingga mereka tak mungkin berbuat jahat. Tapi yah ... ketika mereka sudah masuk surga dan mendapat kenikmatan, muncullah sifat yang istilahnya ... manusiawi.”

“J-jadi?” tanya Gandis, masih belum menangkap apa maksud cerita Hiren.

“Mwww ... sulit untuk dijelaskan. Anggap saja, mereka adalah hewan-hewan surgawi, dulunya, tapi sekarang tersesat.”

“Haa??”

Tanpa menjelaskan lebih lanjut, Hiren langsung melompat ke atas pagar di samping jalan trotoar. Dia memang tidak terlalu nyaman berlama-lama di permukaan tanah, entah mengapa. Mungkin karena dia adalah kucing?

Tak lama berjalan, keduanya sudah tiba di sekolah Gandis, SMPN 1 Taruna.


Di kelasnya, IX-B, Gandis memamerkan peliharaan barunya, yang saat ini berdiri di atas meja siswi itu. Langsung saja Hiren menjadi pusat perhatian, terutama oleh siswi-siswi lainnya. Sedangkan para cowok, tampaknya tidak begitu peduli.

“Woh, kucing hitam yang lucu! Jadi namanya Hiren Hitam?”

“Kenapa dibalut perban begini? Dia luka, ya? Kasihaan ....”

“Tapi imut juga jadi agak mirip kucing mummy, hahaha!”

“Tunggu hei, semuanya, dia kucing hitam lho!”

“Memangnya kenapa? Masih percaya sama begituan?? Daripada itu, Gandis, mengapa tidak kau berikan kucing ini padaku saja? Aku lebih berpengalaman soal merawat kucing. Lagipula, bukannya kau selalu sibuk membaca buku?”

Dikerumuni seperti itu, tentu saja Hiren langsung jengah. Namun sebelum dia berniat berbicara, Gandis sudah memelototinya. Tentu gadis itu tidak ingin memberi bukti yang menunjukkan kalau kucing hitam yang dibawanya adalah kucingnya penyihir. Jika itu terjadi, bukankah status penyihir itu akan disandangkan pada Gandis? Itu bukan hal lucu.

Satu per satu, siswi-siswi itu mulai mengelus-elus bulu hitam si Hiren. Semakin lama, kucing itu pun semakin risih. Harga dirinya sebagai prajurit surgawi seolah tercoreng. Langsung saja dia melompat turun dari meja, mengagetkan yang lain.

Buru-buru dia melangkah menuju pintu keluar. Akan tetapi, sebelum kucing itu pergi, Gandis menyerunya.

“Hitam! Aku akan pulang sore seperti biasa. Kau bisa tunggu di rumah kalau bosan bermain di luar.”

Kucing hitam itu berniat menjawab, tetapi saat ini dia harus membisu. Yang bisa dilakukannya untuk membalas hanyalah mengeong sambil mengangkat satu kaki depannya, tanda “iya”.

Setelah itu, akhirnya Hiren bisa pergi.

“Wah,” kata salah satu teman Gandis, “kucing yang pintar! Dia seperti bisa mengerti apa yang kamu katakan.”

“Ahaha, begitulah,” sahut Gandis. Di dalam hati dia geli sendiri. Tentu teman-temannya belum tahu sepintar apa Hiren sebenarnya, bukan? Setidaknya untuk saat ini.

Lalu bel masuk berbunyi.

Kebetulan wali kelas IX-B yang mengisi jam pelajaran pertama dan kedua. Dan dia, Pak Mendira namanya, adalah orang yang tepat waktu. Hanya semenit setelah bel, dia sudah masuk. Sambil membawakan berita yang mungkin sedikit ... mengejutkan Gandis.

Segera setelah salam pembuka kelas, si wali kelas langsung berkata, “Kamu, Gandis. Yang di parkir belakang sekolah, yang remuk itu, bukankah itu sepedamu?”

Gandis mengangguk. Dalam pikirannya langsung terbayang sejumlah alasan yang bisa diungkapkannya. Tentunya itu bukanlah “Sepedaku dihancurkan anjing setan yang bertanduk dan bersayap kelelawar”. Sambil gadis itu mencari-cari alasan masuk akal, dia memperhatikan raut muka wali kelasnya. Wajah tuanya masih serius seperti biasa.

“Kamu pasti lupa membawanya pulang kemarin, tak heran. Dan pada malamnya, mungkin ada binatang liar yang masuk sekolah. Mungkin anjing. Dan entah bagaimana caranya, membuat sejumlah kerusakan di sekolah ini. Sepedamu juga jadi korban.”

Jantung Gandis berdetak semakin kencang, begitu gugup. Ternyata, pengalaman seorang guru senior memang tak boleh diremehkan. Sekalipun hanya spekulasi, sebagian besar tebakan Pak Mendira itu cukup tepat. Dan barulah Gandis teringat kejadian kemarin, kalau yang dirusak oleh kumpulan hewan iblis, atau hewan neraka—apapun sebutan mereka—bukan hanya sepeda gadis itu saja.

“Kalian semua,” Pak Mendira beralih kepada semua siswa di kelas, “kalau kalian menengok ke kelas adik-adik kalian, banyak jendela kaca yang pecah. Rusak.” Kemudian guru itu berdehem. “Tapi! Kalian tidak perlu cemas. Tak ada yang perlu diheboh-hebohkan. Kami, para guru, sudah melapor pada yang berwajib. Entah yang melakukan perusakan itu siapa, manusia atau hewan liarkah, semua akan segera ditangani! Kegiatan belajar mengajar tetap berlangsung seperti biasa. Dan dengan ini, bapak juga menyanggah gosip yang telah beredar sejak pagi yang menyebutkan kalau sekolah akan diliburkan.”

Sejumlah murid langsung menyeru kecewa. Rupanya ada yang termakan gosip itu juga.

“Hhh ... harusnya satpam itu tahu sesuatu. Sikapnya sungguh aneh,” Pak Mendira bergumam sendiri, sebelum akhirnya kembali dia berdehem. “Oke! Kelas IX-B, kita lanjutkan pelajaran yang sebelumnya. Bapak yakin kalian semua masih ingat dengan jenis-jenis majas—”

Dan suara Pak Mendira semakin tenggelam di telinga Gandis. Dia sudah tidak memperhatikan lagi. Padahal biasanya pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia adalah kesukaannya.

Kali ini, benak siswi itu dipenuhi bermacam persoalan. Bagaimana kalau hewan-hewan iblis itu datang lagi dan menyerangnya? Sekarang Gandis menyesal karena membiarkan Hiren pergi berkeliaran begitu saja.

Terus saja gadis itu termenung, tanpa menyadari kalau gelang yang dipakainya sedikit berkilau. Itu tanda kalau sejumlah Pahala baru telah masuk.