Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 07

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

07—Pengumpulan Pahala dan Rencana Baru

Melompat-lompat di atap rumah warga adalah kucing hitam itu, Hiren. Hanya dalam waktu beberapa jam saja, dia sudah melakukan sejumlah kebaikan. Mulai dari menuntun seorang nenek tua untuk menyeberang jalan. Sampai membantu seorang gadis cilik yang kucingnya tidak mau turun dari pohon. Dan hebatnya, itu dilakukannya tanpa harus berbicara. Cukup dengan mengeong. Memang, sejak dulu manusia dan hewan sudah punya cara untuk berkomunikasi yang ampuh, meskipun tanpa kata-kata. Kini Hiren terus berkeliaran. Kebaikan apa lagi yang bisa dilakukannya?

Hari sudah mulai sore. Si kucing hitam bertengger di tiang listrik, menengok kanan-kiri mencari peluang Pahala.

“Miiung,” keluhnya, “capek juga. Dan entah berapa jumlah Pahala yang sudah kukumpulkan, nyaw. Gelangku dipakai Nona Kecil itu.”

Hiren mencoba beristirahat sejenak, mengusap-usap bulunya, mencakar-cakar tiang besi itu untuk mengasah kuku. Dia juga ingin berguling-guling sambil menggeliat kalau bisa. Tapi saat itu, mata kucingnya sudah menangkap satu lagi kesempatan meraih Pahala.

Selembar kertas berbentuk belah ketupat yang disangga oleh kerangka kayu lidi yang sederhana. Itu adalah layang-layang. Menyangkut di tiang listrik yang cukup tinggi, di jalanan seberang.

Hiren melihat seorang anak lelaki, masih sangat kecil, memandang layang-layang itu dengan mata berair. Dan rupanya anak itu sudah mengejar layang-layang itu begitu jauh setelah benangnya putus di udara. Tak cukup banyak orang yang berlalu-lalang di sana. Dan sekalipun ada, mereka tampak tidak memedulikan rengekan si anak. Lagipula, memanjat tiang listrik dengan resiko tersengat tegangan tinggi hanya demi layangan? Siapa yang mau?

“Dasar manusia-manusia sombong, nyaw,” omel Hiren. “Apa mereka tidak tahu kalau menolong kesusahan anak kecil itu Pahala-nya lebih tinggi daripada menolong orang dewasa? Miaung!”

Dengan lincah, kucing hitam itu melompat turun dan meniti pagar, kemudian mendarat di tanah setelah memantul di tong sampah. Setelah menyeberangi jalan aspal yang sepi kendaraan, Hiren sudah sampai di tiang listrik bermasalah itu. Anak kecil itu masih menangis di sebelah Hiren.

“Miaw. Sudahlah, Bocah. Jangan cengeng! Akan aku ambilkan layanganmu,” tanpa ragu, Hiren mengucapkan itu.

Si anak tentu saja terkejut mendengar ada kucing yang bisa bicara. Tangisannya bahkan langsung reda. Dia terbengong. Untung saja kemampuan logikanya masih belum tumbuh. Dan sebelum dia bertanya-tanya, si kucing hitam sudah mulai melompat dan memanjat tiang listrik itu.

Tak butuh waktu lama, Hiren sudah bisa meraih layangan tadi. Dia menggigit kerangka lidi itu dengan hati-hati, agar layangan itu tidak rusak. Sewaktu berniat melompat turun, sudut mata kucing Hiren menangkap sesuatu yang tak lazim di kejauhan.

“Sosok-sosok itu? Jangan bilang hewan-hewan neraka lagi, nyang!”

Segera Hiren menuruni tiang listrik itu dan mengembalikan layangan itu kepada pemiliknya. Anak kecil itu tampak senang. Tetapi sebelum dia sempat berterima kasih, si kucing sudah melesat pergi. Kucing hitam itu punya urusan lain yang lebih penting. Sementara hari sudah mulai gelap.

Itu adalah lokasi bekas pabrik yang sudah tidak digunakan lagi. Setidaknya oleh manusia. Sebab, sekarang tempat itu sudah dipenuhi sejumlah hewan-hewan liar ... atau tepatnya, hewan-hewan neraka. Hiren membuntuti beberapa kucing iblis yang dilihatnya tadi, membawanya ke tempat ini.

Sambil bersembunyi di balik lebatnya daun pohon mahoni, mata dan telinga kucing Hiren berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Sepasang kucing dan anjing iblis tampak sedang kesal.

“Mwwrr ... jadi di sini adalah salah satu dari sebelas tempat itu?”

“Di sebelah mana tepatnya, graw?! Bagaimana ini, Panglima Chow?”

Kemudian terlihatlah sosok yang cukup membuat Hiren bergidik. Itu adalah banteng neraka! Ah, dari semua jenis hewan penghuni surga, kenapa harus tipe yang sebesar itu yang mungkar? Semoga saja para kadal raksasa zaman purbakala masih betah di surga mereka. Jangan sampai mereka ikutan memberontak.

“Fssshhh!” Chow menghembuskan nafas dari hidungnya. “Kalian ini! Kenapa tidak cari dengan lebih teliti? Informasi dari Kaisar Dhiwala tidak mungkin salah!”

“Tapi Panglima Chow—”

“Ketemu! Ternyata ada di bawah tanah!” seru seekor babun, yang muncul sambil menenteng sebuah sekop. Mereka pun pergi lebih dalam, menjauh dari pandangan Hiren. Dan saat itu, dia merasakan sesuatu di dekatnya, di dahan yang tak jauh dari tempatnya bertengger. Dan itu adalah kelelawar. Sialnya, itu bukan kelelawar biasa!

“Kiiikikik, siapa kau, kucing? Aku tak ingat kalau pasukan Panglima Chow memiliki prajurit seekor kucing hi—”

Tak perlu kelelawar itu menyelesaikan perkataannya, Hiren sudah angkat kaki. Bahkan untuk mengulur waktu, kucing hitam itu sengaja menabrakkan tubuhnya untuk menumbangkan kelelawar iblis tadi. Dan berhasil. Meskipun tidak telak, kelelawar itu jatuh ke permukaan tanah.

Ketika kelelawar itu bangkit dengan kesal, sosok Hiren sudah menghilang entah ke mana. Tak terkejar lagi, sekalipun kelelawar itu menggunakan sensor sonarnya ke segala arah.

“Kiii! Cepat sekali kaburnya dia! Barangkali dialah kucing yang digosipkan oleh pasukan lain itu.”

Hiren menerjang malam melewati atap-atap rumah, pepohonan, dan menjulangnya tiang-tiang listrik. Dikebutnya keempat kakinya itu, langsung menuju rumah keluarga Ayunandar. Samar-samar, dia bisa mengira-ngira apa yang akan terjadi di kota ini, dan juga apa yang diincar oleh hewan-hewan neraka itu.

“Mwwrrr! Sebelas lokasi? Kurasa menara jam tua di rumah si Nona adalah salah satunya. Sialan, nyaw! Aku tidak bisa meninggalkan tempat itu begitu saja!” Keempat kaki kucingnya terus melangkah cepat. “Dan memang aku BUTUH tambahan pasukan!!”


Saat Hiren sampai di rumah Gandis Ayunandar, dia bisa bernafas lega. Setidaknya untuk saat ini si Nona dan ibunya masih baik-baik saja. Dari jendela samping yang terhubung ke ruang keluarga, si kucing bisa melihat kalau Gandis dan Bu Gladis sedang menyantap makan malam. Hiren menoleh, melihat menara jam tua di sebelah kirinya.

Tiba-tiba terdengar bunyi kencang!

Kucing itu melompat kaget.

Tetapi itu ternyata hanyalah bunyi lonceng jam. Suaranya cukup lantang untuk ukuran jam berumur seabad lebih—berdasarkan cerita Gandis. Dan bicara soal gadis itu, tampak di ruang keluarga kalau dia sedang mengomel-omel, sewot dengan suara berisik yang didengarnya satu jam sekali.

“Nyuuh! Bikin kaget saja! Tapi untunglah .. hari ini mereka tidak di sini.”

Dengan lincah Hiren melompat memanjat pipa pembuangan menuju lantai dua, kemudian mendarat tepat di sisi jendela kamar Gandis. Jendela itu dibiarkan terbuka begitu saja.

Sebelum masuk, kucing hitam itu menoleh ke belakang. Dia bisa merasakan aura sinis. Agak jauh dari sana. Tetapi kucing hitam itu yakin kalau itu adalah musuh-musuhnya, yang jumlahnya masih belum dia ketahui banyaknya untuk saat ini.

Kemudian Kaisar Dhiwala? Entah seperti apa wujudnya. Kucing? Anjing? Harimau? Singa? Buaya? Atau gabungan dari semua itu? Sepertinya sang Kaisar memanglah ada, bukan mitos kosong seperti yang dipercaya selama ini.

Hiren mengela nafas panjang. Cukup lelah dia. Tak bisa terbayangkan sekiranya tadi dia tertangkap ataupun terkejar oleh gerombolan Chow. Melawan banteng neraka? Dan dengan hanya berbekal Pahala yang tidak diketahui sudah terkumpul berapa banyak? Tentu Hiren tak akan senekat itu.

Si kucing melompat masuk ke kamar. Ingin rasanya dia langsung berbaring di keranjang buah berselimut yang nyaman itu. Tetapi pertama-tama dia harus bertemu dan melapor pada sang Nona, yang secara resmi telah menjadi majikan-nya.

Kucing itu melewati pintu kamar dan menuruni tangga, hanya untuk menemui kalau Gandis dan ibunya telah selesai makan malam.

“Ah, Hitam. Sudah kutunggu!” seru gadis itu gembira. “Aku telah menyiapkan sesuatu yang bagus untukmu. Sangat pas. Dan lucu. Ahahaha.”

Sambil tertawa riang, Gandis langsung melewati Hiren, langsung masuk ke kamar. Sementara itu, di ruang keluarga, Bu Gladis memanggil-manggil.

“Hiren! Ini, sudah kubelikan makanan kucing untukmu. Enak, lho,” kata si ibu.

Hiren tertawa dalam hati. Enak, kata si ibu? Memangnya nyonya itu pernah mencobanya sendiri?


Setelah dengan lahap menghabiskan makanan kucingnya, plus susu putih, Hiren bersendawa. Untuk ukuran makanan bumi, ini sudah lumayan enak. Bu Glandis hanya bisa tertawa melihat kucing hitam itu berbunyi aneh. Mungkinkah sang ibu sudah menerima keberadaan Hiren, terlepas takhayul yang dipercayainya?

Sang ibu mulai mengelus-elus bulu si kucing, sembari melepas perban yang sudah acak-acakan. Luka Hiren, sebagai kucing surgawi, tampaknya sembuh lebih cepat daripada kucing biasa. Dan kucing biasa pun sebenarnya punya kemampuan regenerasi yang cukup cepat dibandingkan manusia. Dan saat itulah terdengar suara Gandis memanggil, dari lantai atas.

“Hitam, kau sudah selesai makan?! Ayo naik kesini, ahahaha! Sudah kubilang aku punya barang bagus.”

Hiren langsung merasakan firasat buruk. Dia tak mau naik ke atas. Tetapi sang majikan terus memanggil. Apa boleh buat? Dengan langkah goyah, kucing itu mendaki tangga menuju lantai dua.

Sesampainya di kamar, dia langsung disambut dengan tawa gembira Gandis yang menyodorkan suatu benda aneh.

“Ini untukmu, Hiren. Sebagai pengganti gelangmu yang putus. Tadi sewaktu pulang, aku sempat mampir ke toko aksesoris hewan, dan menemukan sesuatu yang unik. Yang mungkin akan membuatmu tambah sangar. Seperti singa!”

Sambil tersenyum lebar, Gandis menyodorkan benda itu.

“M-myaa?” Hiren spontan melangkah mundur. “Kau memberiku surai??”

“Lucu, ‘kan? Ini praktis dipakai, bisa langsung dilingkarkan di kepala.”

Tanpa meminta persetujuan si kucing, Gandis langsung mencoba untuk memakaikan surai palsu itu kepada Hiren. Tetapi dengan gesit si hitam menghindar. Dan terus menghindar. Sampai-sampai Gandis kesal sendiri.

“Hei, diam sedikit dong, Hitam! Ini tidak lucu!”

“Memang tidak lucu, muuw!” balas Hiren. “Kucing mana yang mau dipakaikan surai-suraian seperti itu?! A-aku akan terlihat bodoh, nyaw!”

“Masa sih?” alis Gandis mengerut.

“Lagipula,” lirik Hiren, “warnanya keemasan begitu. Jelas tidak cocok untuk bulu hitam indahku, miang.”

“Aku bisa mengecatnya jadi hitam.”

“S-sekalipun dibuat jadi hitam, tetap saja aku tidak mau memakai surai itu, nyaa,” bantah Hiren. “Bisa-bisa, aku malah tampak seperti kucing neraka ....”

Gandis menghela nafas panjang, menyerah juga. Dikembalikannya surai itu ke dalam laci dan disimpannya, setidaknya untuk saat ini. Tapi satu senyuman lagi tampak di wajah si gadis. Ya, dia masih punya benda lain!

“Oke, Hitam, jadi kau tidak ingin menjadi singa, hah? Kalau begitu ini—”

Hiren butuh beberapa detik untuk memastikan penglihatannya tidak salah. Tadinya dia pikir sang Nona akan mengeluarkan benda ajaib lainnya. Ternyata hanya selembar sapu tangan merah, atau bandana. Sewaktu si kucing masih terpaku, Gandis sudah melingkarkan bandana merah itu di leher Hiren, kemudian menyimpulnya di belakang. Dengan ikatan yang tidak terlalu kuat, tentunya.

Dan selembar bandana merah itu kini memberi kontras yang indah jika dipadukan dengan bulu hitam Hiren.

“Gimana?” tanya Gandis.

Tanpa menjawab, kucing itu langsung melompat naik ke meja belajar kemudian berdiri di depan cermin. Sedikit berpose dia.

“Nyaaw. Lumayan juga, Nona Kecil,” katanya. “Aku ambil ini.”

“Ahahahaha,” tawa si Nona, “syukurlah kau suka.” Kemudian Gandis mendekat dan menunjukkan gelang tangannya. “Oh iya, dari tadi pagi kamu sibuk sekali tampaknya ya, Hitam? Nih, sudah terkumpul segini, Pahala-mu.”

Kucing itu melihat angka di gelang, “Nya? Ternyata banyak juga.” dan senyuman Hiren melebar. “Begus! Kalau sebanyak ini, miaw, aku bisa melakukan pembangkitan. Setidaknya untuk satu atau dua kucing. Dan aku memang sedang butuh bala bantuan. Lebih cepat kalau kucari sendiri daripada menunggu hubungan dari Surga Kucing, miang.”

Setelah berseru sendirian, panjang dan lebar, kucing hitam itu tertawa begitu senang. Tinggal Gandis saja yang kebingungan. Melihat gelagat majikannya, si kucing langsung memberikan penjelasan. Dan sekarang memang saatnya si kucing untuk bertukar informasi. Gandis duduk di kasurnya, tentunya sambil kembali menyiapkan buku pinknya. Setiap ada informasi baru dari Hiren, gadis itu selalu mencatatnya.

“Jadi intinya kau mau mengumpulkan anak buah, Hitam?”

“Mereka akan menjadi semacam ... kucing surgawiyah, atau kucing dunia yang memiliki kapasitas surgawi.”

“Apa bedanya surgawiyah dan surgawi??” Gandis bergumam sendiri, kemudian melanjutkan pertanyaan. “Dan kenapa hanya kucing saja, Hitam?”

“Karena kuasaku hanya sebatas apa yang diberikan Surga Kucing, miaa,” Hiren kemudian mendekat ke jendela, melirik ke kegelapan malam. “Dan yang lebih penting, miuu, kurasa aku bisa menebak apa yang hewan-hewan iblis itu akan lakukan di Kota Taruma ini.”

“Betulkah?”

“Tapi, nyaw, sepertinya aku akan butuh bantuanmu, Nona Kecil.”