Hiren Hitam dan Laskar Sembilan Nyawa:Volume01 Chapter 05

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

05—Pahala dan Surga

Mereka berdua sudah berada di rumah keluarga Ayunandar, tepatnya di kamar Gandis di lantai dua. Sudah agak malam, tetapi keduanya tampak belum berniat untuk tidur. Terutama Gandis.

“Lihat,” katanya sambil memperlihatkan pergelangan tangan kirinya, “ini lebih pas untuk jadi gelang tanganku, Hitam. Ahahaha!”

Hiren yang duduk-duduk di kasur pun protes, “Sudah kubilang, nyaw, itu aksesoris penting untukku, Kucing Prajurit Surgawi. Kembalikan!”

Gandis mengangkat alis, “Hmm, tetapi ukurannya sudah tidak muat lagi di lehermu, Hitam. Tak percaya?”

Dan setelah dicoba, gelang leher itu sekarang kekecilan, tak cukup untuk melingkari leher si kucing hitam. Gelang itu kini kembali menghias lengan kiri Gandis. Kini Hiren pun mendengus kesal.

“Miuu, pengaitnya hilang. Ujungnya hancur lebur seperti itu.”

“Yap. Jadi lebih pendek beberapa senti, meskipun sudah kupasang pengait baru.” Gandis kemudian melirik. “Sekarang katakan, apa benar kita bisa menghubungi surga melalui gelang ini?”

Hiren melompat ke atas meja belajar. Badannya nampak segar meskipun berbalut sejumlah perban.

“Bukan Surga Manusia, nyaw,” katanya. “Tapi Surga Kucing, surga kami. Dan gelang itu juga berfungsi menyimpan Pahala. Lihat saja, nya, ada angkanya.”

Mata Gandis mengamati sisi gelang yang ditunjuk si kucing. Perlu sedikit memutar pergelangan untuk melihat lebih jelas.

“Hmm, 0000250 P? Maksudnya 250 Pahala? Aneh, aku baru dengar kalau yang namanya pahala itu ada hitungan angkanya,” Gandis melirik ragu ke arah si kucing.

“Kenapa aneh, myang? Kau, sebagai manusia, juga setiap hari mengumpulkan Pahala, bukan? Nanti bisa ditukar dengan segala macam kenikmatan di surga. Semakin besar kenikmatan itu, tentu semakin besar Pahala yang kau butuhkan untuk membelinya di surga. Nyaaw~”

“Ookee...,” Gandis terdengar semakin ragu. “Tapi kok aku merasa kalau Pahala seperti uang saja?”

“Begitulah.”

“Jadi,” ujar Gandis, “setiap kamu melakukan kebaikan, poin Pahala di gelang ini akan bertambah. Dan dengan Pahala yang tersimpan di sini, Hitam, kau bisa mengeluarkan jurus ajaib seperti tadi?”

“Hanya jika jumlah Pahala-nya cukup.”

Gandis tersenyum lebar, “Baiklah. Jujur saja, aku sangat tertarik dengan semua hal tentangmu, Hitam. Tentang Surga Kucing. Tentang prajurit. Lalu tentang misi yang sedang kamu jalankan. Ahahaha.”

“Nya, aku bisa menceritakan detail semuanya kalau kau mau, Nona Kecil,” Hiren berkata dengan sedikit membusungkan dada. Jelas ada nada bangga dalam suaranya tadi. “Akan kumulai dari—”

“Ah, tunggu. Tunggu sebentar!” potong Gandis.

“Wanyaa? Aku baru mau bercerita nih, miuuuw.”

Gandis menggeser kursi berodanya ke samping sebuah rak, kemudian mengambil sebuah buku bersampul pink dari sana. Diletakkannya buku itu kembali di atas meja belajar, sementara tangan kirinya sudah bersiap dengan pulpen kesayangannya. Setelah memasang kacamatanya kembali, akhirnya Gandis mempersilahkan si kucing hitam.

“Oke, Hitam. Ayo, ceritakan saja sepuasmu.”

“Myuuh!” Setelah sedikit menghela nafas, Hiren bercerita juga. “Pertama-tama, kuberi tahu saja, aku sedang membangun istana terbaik di Surga Kucing. Istana yang belum pernah ada kucing yang bisa membangun itu sebelumnya. Sudah setengah jadi, nya~”

Gandis terus mendengarkan cerita panjang lebar dari Hiren.

Tangan gadis itu begitu tangkas mencantumkan apa saja yang menjadi inti dari yang dikisahkan si kucing. Dimulai dari sistem Surga Kucing dan posisinya dalam Konfederasi Surga Hewan. Berlanjut pada gambaran seperti apakah pemandangan di dalam surga hewan itu, khususnya Surga Kucing. Kemudian tentang para Administrator, alias para malaikat yang mengurus surga, ataupun yang mengatur pergi-masuknya para Kucing Prajurit Surgawi.

Cerita terus berlanjut sampai pada satu bagian di mana Hiren menyebutkan kalau misinya sekarang ini adalah yang paling serius daripada semua misi, ratusan misi, yang pernah dijalankannya selama ini.

“Kau bisa bayangkan sebanyak apa Pahala yang bisa dikumpulkan jika aku bisa menyelesaikan misi ini, myaw?” kumis kucing Hiren bergerak-gerak karena senang.

“Ho,” komentar Gandis sinis, “tapi tak seperti dugaanmu, ini bukan misi yang bisa selesai sekali ngeong, kan? Dasar kucing sombong!” Hiren panik dan mencoba berkilah, “A-a-aku bukan sombong, miuu, hanya terlalu percaya diri.” Kucing itu sedikit membuang muka. “Biar begitu, ini bukan misi yang mustahil untuk Hiren, Kucing Prajurit Surgawi terbaik. Nyahaha!”

“Huh! Itulah yang kusebut sebagai sombong!”

“Aku tidak menyombong, maww. Buktinya, tak ada kucing prajurit lain yang mau menerima misi ini. Mereka terlalu takut mendengar nama Dhiwala.”

Pensil Gandis mulai bergerak lagi, menuliskan nama baru. “Jadi, siapa sih si Dhiwala ini, Hitam?”

Yang ditanya hanya bisa menggeleng, “Tak ada yang pernah melihatnya, nyaw. Bahkan bertemu hewan-hewan iblis seperti tadi sore pun bisa dibilang kejadian yang sangat langka. Entah apa yang mereka mau, menunjukkan diri di permukaan seperti itu, miuu?”

Gandis mendengus, sambil menggaruk-garuk kepala. “Ini ... tentang tujuan mereka. Sepertinya tadi, sewaktu di parkiran sekolah, aku mendengar mereka menyinggung tentang itu.”

“Nya? Benarkah? Apa? Apa?!”

“Ahahaha! Aku lupa, miaw,” ujar Gandis, menirukan suara kucing. “Soalnya tadi aku begitu takut, miaw. Jadinya mana bisa ingat, miaw. Ahahaha.”

“Mwhh!! Hentikan miaw¬-mu itu!”

Dengan kesal, Hiren pun berjalan mendekat. Sementara itu, Gandis tampak sudah selesai dengan buku catatannya. Dia menaruh pulpennya kemudian kembali memandangi tingkah laku si kucing.

“Kesinikan gelangnya, sebentar,” seru Hiren. “Aku mau menghubungi Surga Kucing.”

“Lagi? Bukankah sejak tadi tidak pernah tersambung?”

Gandis membuka gelang di tangan kirinya lalu mengembalikan benda itu pada Hiren. Diletakkannya di meja, sementara kucing hitam itu mulai menekan suatu tonjolan kecil di gelang emas itu.

“Mwwr, ini aneh,” kata si kucing. “Seharusnya terdengar suara sambungan, miuuw. Kalau betulan rusak, aku tidak bisa memanggil bala bantuan.”

Mendengar itu, Gandis berkomentar, “Ho? Jadi ternyata kau butuh pertolongan juga? Katanya tadi kau adalah Hiren si Kucing Prajurit Surgawi terhebat?”

“Diam, nyaw!” balas Hiren. “Kau belum mengerti besarnya masalah yang kuhadapi. Sekalipun aku kuat, kurasa aku pun butuh segala bantuan yang bisa kudapat.”

Hiren terus mengutak-atik gelang surgawinya, berharap ada keajaiban. Setelah cukup lama berkutat dengan benda itu, si kucing akhirnya menyerah juga. Dia menghela nafas panjang.

“Myuuh...! Sial!” makinya. “Tapi setidaknya fungsi pengatur Pahala-nya masih bekerja. Hanya saja, aku juga tidak bisa mengambil deposit Pahala dari Surga Kucing ke sini, myuu. Ah, sudahlah. Tidak begitu banyak juga stok Pahala-ku di sana, lagipula.”

Merasa bosan, Gandis mulai beranjak dari kursinya. Dia menguap. Rupanya rasa kantuk sudah datang bersama dengan semakin larutnya malam. Gadis itu menaruh kembali buku, pulpen, dan kacamatanya, ke tempatnya masing-masing. Setelah itu, dia merebahkan diri di kasur.

“Selamat tidur, Hitam. Kau bisa memakai itu,” ujar Gandis sambil menunjuk satu keranjang buah yang sudah sedikit dimodifikasi hingga menjadi tempat tidur yang nyaman untuk seekor kucing. Terlebih setelah ditataki oleh selimut kecil yang empuk.

“Nyaa. Tidurlah yang nyenyak, Nona Kecil,” jawab si Hiren. “Kurasa aku akan tinggal di sini untuk sementara waktu.”

“Yaah, tentu saja ... hoahm,” sela Gandis yang sudah semakin mengantuk. Sambil menarik selimutnya hingga menutup kepala, dia berkata, “kau kan sudah jadi hewan peliharaanku, Hitam ....”

“Nyahaha. Enak saja!”

Tak lama, si Nona sudah terlelap. Akan tetapi, Hiren belum mau mengikutinya. Dia mendekat ke sisi jendela, sedikit menyibak tirainya. Terlihatlah menara jam tua, simbol Kota Taruma yang dirawat oleh keluarga Ayunandar. Naluri kucingnya merasakan ada sesuatu dengan menara itu. Kalau tidak, mengapa kemarin kawanan hewan iblis berkeliaran di dekat sana?

Rasanya Hiren ingin menanyakan tentang menara jam itu sekarang juga kepada Gandis. Tetapi apa boleh buat? Gadis itu sudah pergi ke alam mimpi.

“Badanku masih lumayan nyeri, miuu. Kurasa sedikit istirahat tak akan rugi juga.”

Si kucing melompat turun dari meja belajar, kemudian berjalan cepat menuju sudut kamar. Dia langsung meringkuk di keranjang berselimut empuk itu. Memang, tidak senyaman rumahnya di surga. Tetapi untuk saat ini, itulah tempat tidur terbaik yang bisa diperolehnya.

Dan mata kucing itu tertutup juga.

Dengan lampu kamar yang lupa dimatikan, keduanya mengakhiri malam itu.