Hero of Mythology:Volume01 Chapter 06

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 6

16 Agustus 2035

Akhirnya tibalah hari ini, hari di mana Heroes of Mythology sampai di penghujung kisahnya. Kurang dari dua puluh empat jam ke depan, seluruh dataran Mythard akan ditutup dalam kegelapan abadi. Kota-kota, hutan, lembah, pegunungan, hingga dungeon-dungeon terdalam, semua akan kembali jadi sekedar data di dalam hard disk. Monster yang berlarian ganas, atau pun terbang bebas di udara, tak akan lagi meneror para pahlawan kecuali melalui cerita-cerita yang dikisahkan secara turun temurun.

Tapi sebelum semua itu terjadi, ada event persembahan event terakhir sebagai tanda perpisahan. Sebuah komet akan datang meluluhlantahkan dataran Mythrard. Bersama benda angkasa itu ialah Apophis, sang pembawa kematian. Segenap pemain harus bersatu untuk bisa mengalahkan monster itu. Dan seharusnya, yang perlu Green lakukan saat ini adalah, menikmati petualangan itu sebelum kesadarannya hilang bersamaan dengan ditutupnya server.

Seharusnya...

Tapi dua hari lalu terjadi peristiwa yang ia tak pernah sekali pun mengira mungkin terjadi. Archer pemula yang sebulan ini dilatihnya, tiba-tiba membawa sebuah mimpi buruk. Kenangan masa lalu yang sudah lama sekali ia kubur, mendadak muncul kembali di hadapannya.

Archer itu, Drasyl. Apakah orang itu benar-benar dirinya? Tak henti ia mempertanyakan hal itu. Tapi jika bukan, bagaimana bisa Archer itu mengetahui banyak hal tentang dirinya. Atau lebih tepatnya, bagaimana bisa Archer itu mengetahui sesuatu yang semestinya cuma ia sendiri yang mengetahui.

Perasaannya kini begitu runyam. Duduk memeluk lutut di bawah pohon ek yang sudah menaunginya belasan tahun, ia tak tahu harus bersikap seperti apa. Tatapannya membelalak pada udara dini hari yang kosong. Bahkan para Satyr masih terlelap menunggu fajar.

Tiba-tiba, sebuah benda tampak bergerak cepat dari langit utara, melesat dengan latar bintang-bintang. Benda itu menyala, merah membara, memancarkan cahaya dan hempasan panas meski masih berpuluh kilometer jauhnya. Tak salah lagi, itu adalah komet Apophis. Pandangan Green terus terpaku pada benda itu. Pelan-pelan ketegangan menjalar di dadanya, sedikit demi sedikit menguris segala gundah yang ia rasa beberapa saat sebelumnya.

Ketika komet Apophis menghantam sebuah titik yang tak begitu jauh dari kota, ledakan besar langsung tercipta. Puluhan ton debu terhempas tinggi sekali diiringi kobaran api membentuk jamur besar. Suara dentuman yang memekakkan telinga menyusul, membangunkan para Satyr. Tanah pun berguncang dahsyat, membuat beberapa helai daun berguguran.

“Green!” Sebuah pesan masuk. Dari Tiara. “Di mana kau?”

“Biasa,” jawabnya. “Di bawah pohon ek.”

“Kebetulan aku baru saja log in,” kata Tiara agak tergesa-gesa. “Event komet Apophisnya sudah dimulai ya? Banyak orang berkumpul di alun-alun Greeconia.”

“Apa kau melihat saat kometnya berjalan membelah angkasa?”

“Kometnya? Aku tidak sempat lihat.”

Green tersenyum ironis, “Sayang sekali, itu pemandangan yang hanya terjadi sekali... Karena setelah ini tak akan ada lagi.”

“Tentu saja,” kata Tiara polos. “Apa Drasyl sudah online?”

Green mengerutkan dahi. “Statusnya sudah online... Tapi aku tidak bertemu dengannya.”

“Oh... Di mana dia ya... Sama sekali tidak kelihatan di alun-alun.”

“Entahlah...”

“Nah, ngomong-ngomong sebaiknya kau cepat ke sini!”

“Ya, tunggu aku.”

Green menggaruk-garuk kepalanya, lalu bangkit dengan malas.

Meski di gerbang dan jalan-jalan tetap sepi seperti biasa, tapi malam itu alun-alun Greeconia amat hidup. Ada lebih dari seratus, mungkin dua ratus, pemain yang berkumpul di sana. Mereka adalah para veteran dengan level dan persenjataan maksimal. Pemandangan yang mengingatkan Green pada masa-masa kejayaan Heroes of Mythology, kenangan yang membuat aliran darah di tubuhnya mengalir deras – seandainya masih memiliki tubuh fisik.

Tapi ada sedikit perbedaan pada apa yang dibicarakan pemain-pemain itu. Jika dulu, sebelum event besar, biasanya orang-orang berdiskusi tentang strategi. Sekarang, kebanyakan dari mereka malah membicarakan kabar – tentang kehidupan, pekerjaan, keluarga – masing-masing. Kalau pun ada yang menyinggung tentang permainan ini sendiri, pembicaraannya tak jauh dari nostalgia dan salam-salam perpisahan.

Entah mengapa Green jadi muak sendiri mendengarnya. Saat ini mereka di dalam Heroes of Mythology, jadi untuk apa membicarakan tentang dunia di luar sana? Pergi saja, nikmati dunia kejam itu.

“Green!” Pria itu mendapati Tiara berlari ke arahnya. “Kau beruntung, sepertinya GM datang terlambat.”

“Biasa, jam karet,” ujar Green ketus “Atau mungkin ini bagian dari atraksi untuk membuat kita penasaran.”

“Oh ya,” mata Tiara menyapu ke sekitar. “Drasyl benar-benar tidak bersamamu?”

Green menggeleng.

“Aneh,” gadis itu mendesah sambil berkacak pinggang. “Padahal statusnya sudah online semenjak tadi.”

Green sama sekali tak tahu di mana Archer itu berada. Namun yang jelas, ia sedikit bersyukur. Untuk saat ini ia benar-benar tak ingin melihat wajah orang itu. Dan jika dipikir lagi, bisa jadi Drasyl pun enggan menemuinya setelah ia tolak mentah-mentah tempo hari?

“Green! Itu Green!”

“Kau benar! Rambut dan armor yang serba hijau, tak salah lagi!”

Tanpa sengaja ia mendengar suara obrolan tak jauh darinya. Saat menoleh, ia mendapati sekelompok pemain tengah memperhatikan ke arahnya. Mereka tampak kaget saat bertemu pandangan dengan Green, tapi kemudian berjalan mendekat. Salah satunya – seorang Blademaster – segera mengulurkan tangan.

“Kau benar-benar Green?”

“Tentu saja,” jawabnya. “Kau bisa melihat nama akunku.”

“Luar biasa! Ini keajaiban, teman-teman!” seru Blademaster itu heboh. “Tak kusangka bisa bertemu legenda di hari terakhir ini!”

“Untung kita bermain!” timpal temannya, seorang Windfighter yang langsung menyerobot untuk salaman. “Sekarang giliranku!”

“Tenang, tenang, satu-satu!”

Lalu mereka semua tertawa terbahak-bahak. Setelahnya, para pemain itu mulai bertanya, mengungkapkan kekagumannya pada Green, juga saling meledek, seperti sekumpulan anak yang mendapat kesempatan bicara dengan sosok idola. Pelan-pelan, sang legenda pun meladeni mereka. Toh GM juga masih belum naik ke atas panggung untuk menjelaskan tentang event terakhir.

Dan, debar perasaan Green semakin mantap. Lihat saja sekarang, bagaimana ia dipuja-puji bak pahlawan dari sebuah mitologi itu sendiri. Jika mereka berada di dunia nyata, belum tentu orang-orang itu akan bersikap sama. Jadi apa salahnya jika tetap berada di sini, dan musnah sebagai legenda?

Kalau bukan orang yang cemburu, Drasyl pastilah orang jahat yang ingin merusak dunianya. Orang itu tak mengerti bagaimana ia melepaskan diri dari kehidupan yang perih.

Saat salah satu dari mereka melihat sosok ksatria berbaju zirah perak naik ke atas podium, perbincangan itu terhenti. Tak hanya mereka, tapi juga semua orang yang berada di alun-alun. Sunyi segera datang ketika seluruh perhatian terpaku pada sang Game Master, George III. Selusin pengawal – entah staff GM atau hanya NPC – terlihat berdiri di sekitarnya sambil menggenggam pedang besar yang ujungnya menempel ke lantai.

“Para pahlawan Mythrard!” teriaknya lantang. “Apa kalian semua sudah melihat kekacauan apa yang baru saja terjadi?!”

Hampir bersamaan para pemain berseru. Ada yang mengiyakan pertanyaan George, namun ada juga yang hanya sekedar meneriakkan raungan acak peramai suasana. Green dan Tiara, hanya diam mengamati.

“Baru saja, Apophis mendarat di tanah ini!” lanjut George setelah seruan-seruan mereda. “Komet yang ia tumpangi menciptakan kawah besar. Apinya membakar habis seluruh hutan. Tak lama lagi para pengawalnya akan menyebar, membumi hanguskan kota-kota di Mythard. Jika kita tak bergerak sekarang, semua akan terlambat! Tapi apa kalian siap, mengangkat senjata dan sihir kalian untuk menghadapinya?!!”

“Yeaaah!”

“Kita serbu sekarang!!”

George memperlihatkan deretan gigi putihnya kala ia tersenyum. Lalu ia menarik pedang dari sarungnya, kemudian mengangkat senjata itu tinggi-tinggi ke udara.

“Kalau begitu, ayo kita maju! Siapa pun yang berhasil memenggal kepala Apophis, ia akan mendapat emas dan kejayaan luar biasa yang terkira!!”

Sekali lagi riuh raungan menenggelamkan alun-alun Greeconia dalam gaungnya. Inilah bagian terakhir dari rentetan event penutup yang sudah berlangsung semenjak tujuh hari lalu. Nuansa perang akhir berskala besar dan juga hadiah yang menanti dari pihak Exponent, meningkatkan moral para pahlawan hingga ke batas paling maksimal.

Masih di bawah naungan taburan bintang dini hari, George bersama dua belas pengawalnya memimpin para pemain dalam sebuah long march, menuju arah jatuhnya meteor. Di tempat yang sebelumnya terbentang hutan lebat, yang kini menjadi dataran penuh arang. Nyala api masih terlihat di kejauhan, menyerupai fajar yang biasa terbit dari ufuk timur.

Total dua ratus sembilan belas pemain berjalan berurutan dalam sebuah barisan panjang. George dan kedua belas pengawalnya menunggang kuda di depan, sedang yang lain mengikuti. Green, bersama Tiara, menjadi salah satu dari mereka yang mendapat kesempatan untuk berada di bagian depan barisan bersama sang Game Master.

“Menurutmu di mana Drasyl?” tanya Tiara. “Ia sama sekali tak menjawab pesanku.”

“Sungguh?” kata Green agak enggan membicarakan orang itu. “Ia sama sekali tak mengatakan apa-apa?”

Tiara menggeleng, membuat pria itu berpikir. Mengapa Drasyl tak menceritakan pada gadis itu tentang hal-hal yang diceritakan padanya? Padahal mudah saja jika ingin menghancurkan namanya sebagai pahlawan, dengan menyebarkan berita itu. Lalu, semua pasti akan memandang rendah padanya sebagai manusia yang melarikan dari kenyataan.

“Kita berhenti di sini!” seru George tiba-tiba.

Spontan para anggota barisan saling sahut menyahut, membawa perintah itu terus hingga ke barisan belakang. Tidak lama, seluruh barisan berhenti total.

Saat ini, mereka berada di sebuah tanah lapang pada dataran yang cukup tinggi. Tapi di hadapan mereka adalah sebuah hutan lebat, bagian pinggir hutan yang berhasil selamat dari efek ledakan meteor Apophis.

“Semuanya berkumpul, duduk melingkar!” seru George yang langsung dipatuhi. Tak lama ia sudah berdiri di antara para pemain. “Musuh terakhir kita ada di dalam hutan ini. Tapi kalian tak bisa asal masuk begitu saja. Aku tak tahu monster-monster seperti apa yang dibawa Apophis dalam kometnya. Mungkin saja mereka sudah memenuhi hutan. Karena itu aku ingin kalian bahu membahu, jagalah orang-orang yang bertarung di samping kalian! Ingat, ini bukan semata-mata tentang hadiah, tapi tentang persatuan, dan kedamaian abadi!”

Pidatonya sebagai Game Master berhasil membuat sebagian besar pemain terseret dalam antusias dan ekstasi. Mereka percaya, jika nasib Mythard seluruhnya ada di tangan mereka.

“Ayo!” George mencabut pedangnya, lalu menghadap langsung ke pohon-pohon lebat tepi hutan. “Kita serbu!”

Para pemain yang sudah tidak sabar langsung beranjak dan mengeluarkan senjata masing-masing. Sesuai arahan sang Game Master mereka memasuki hutan. Gelap, tapi cahaya bulan bisa sedikit masuk melalui sela-sela ranting dedaunan. Beberapa menyalakan obor sebagai sumber penerangan. Dan entah mengapa malam itu, hutan yang biasanya hanya dihuni monster kelas rendah ini terasa amat mencekam. Dahan dan ranting hitam yang tertiup angin terlihat seperti makhluk raksasa yang sedang memanggil-manggil mereka untuk bergabung dalam kematian.

“Hati-hati,” bisik Green pada Tiara di sampingnya.

Suasana di dalam hutan begitu sunyi. Burung-burung malam pun tidak terdengar kicauannya. Para pemain yang sebelumnya amat berisik kini sampai terbawa suasana. Mereka sangat berhati-hati dalam melangkah, seolah tak mau menimbulkan suara sekecil apa pun. Komunikasi juga dilakukan dengan bisik-bisik atau melalui pesan agar tak bisa didengar monster.

Tapi sayang, jauh dari permainan selama bertahun-tahun telah menumpulkan insting mereka.

Tiba-tiba sekelebat sosok hitam melompat dari dahan pohon ke salah satu pemain yang berada di tengah barisan. Monster itu menerkam dengan gerak cepat, lalu mencabikkan cakar yang dipenuhi kuku seperti pisau. Tak ayal pemain itu berteriak panik. Setiap pasang mata segera tertuju padanya. Tapi celakanya, monster itu bukan satu-satunya yang datang.

Dari atas dahan-dahan, berlompatan sosok-sosok lain. Monster hitam berkepala ular dengan tubuh dipenuhi sisik berkilatan. Mereka menyerang para pemain secara acak dan bersamaan.

Secara refleks para pemain yang diserang berusaha melarikan diri atau bertahan. Sebagian yang lain ingin membantu, tapi sebagian yang lain memutuskan untuk mencari tempat aman dulu untuk mengatur ulang strategi. Dalam waktu singkat, formasi pecah berantakan, di saat semua bertindak sendiri-sendiri.

“Tiara, punggung ke punggung!” seru Green. Keduanya langsung saling menempelkan punggung, sehingga bisa mengawasi sekeliling dengan baik. “Jika ada monster yang datang dari arahmu, katakan padaku!”

“Datang!” jawab gadis itu tanpa jeda.

Green segera memutar tubuhnya. Pedangnya sudah siap, dan langsung ditebaskan ke perut si monster ular. Tiara tetap berusaha menempel di punggungnya.

“Gunakan sihirmu pada monster-monster terdekat,” komando Green. “Usahakan pada monster yang mengancam pemain.”

“Baik!”

Monster ular yang sempat terpental kini menyerang kembali ke arah Green, namun itu jelas bukan masalah baginya. Pertahanan mau pun serangannya merupakan kelas atas, hingga ia bisa menumpas monster itu dalam waktu singkat. Di sisi lain, sihir Tiara kerap menyambarkan sihir pada reptil-reptil di sekitarnya hingga berguguran satu persatu.

“Semuanya! Bentuk formasi saling berpunggungan!” Green berteriak sambil terus bertarung. “Buat formasi dengan siapa pun yang ada di sebelah kalian! Jangan berikan monster-monster ini celah untuk menyerang!”

Melihat efektifitas pertarungan Green dan Tiara, satu persatu petarung lain pun saling berpunggungan.

“Khusus healer, lindungi mereka di antara punggung kalian! Tanpa healer, legiun ini sama saja dengan mati!”

Kini berapa pun dan dari mana pun monster-monster ular berdatangan, mereka tak bisa menerkam para pemain semudah sebelumnya. Serangan tiba-tiba yang dilancarkan sudah kehilangan momentum. Mereka yang datang belakangan bisa dibilang hanya datang untuk dibantai.

Dua puluh menit berlalu, dan gelombang monster berakhir. Dari dahan-dahan pepohonan sudah tidak terlihat ada yang menerjang turun. Namun para pahlawan masih dalam posisi siaga untuk beberapa saat, hingga akhirnya George berseru.

“Kita berhasil! Kita berhasil menumpas mereka!” Ia mengacungkan pedangnya tinggi-tinggi. Seperti membeo para pemain mulai ikut berseru menyuarakan kemenangan. Lalu setelah gempita mereda, pria itu berjalan mendekati Green. Ia memperhatikan sang Blademaster dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Jadi cerita tentangmu bukan isapan jempol belaka ya.”

Green hanya menyunggingkan senyum dan agak menundukkan kepala. Tapi sorak sorai mulai terdengar kembali mengelu-elukan namanya. Seketika itu, rasa bangga membuncah di dadanya. Sudah lama sekali, semenjak ia terakhir dipuja-puja bak pahlawan oleh kerumunan massa. Ia hanya bisa tertegun, memandang terperangah ke orang-orang di sekitarnya.

“Hei, jangan bengong saja!” Tiba-tiba Tiara mengagetkannya dengan sikutan di rusuk.

“Ah ya,” lalu Green mengangkat pedangnya tinggi, sebuah simbol kepahlawanan di tanah Mythard.

Sebelum melanjutkan perjalanan, George memutuskan untuk mengatur ulang strategi. Ia menghitung jumlah pemain tersisa, dan hasilnya cukup mengejutkan. Lebih dari tiga puluh orang kehabisan hit point akibat sergapan barusan, sehingga mereka kini dikirim kembali ke kota untuk dihidupkan.

“Bagaimana ini?” tanya salah seorang Healer.

“Kita lanjutkan,” jawab sang Game Master tanpa berpikir lama-lama.

“Tapi mereka yang mati saat ini sudah dihidupkan kembali di kota,” ujar Healer itu. “Apa tidak sebaiknya kita menunggu mereka datang kembali?”

“Menurutmu berapa lama waktu yang mereka butuhkan untuk sampai di sini?”

“Tapi... Kekuatan kita akan berkurang kalau seperti ini.”

“Kalau kita menunggu siapa pun yang terbunuh untuk kembali, event akan selesai sebelum kalian bisa memenggal kepala Apophis!”

Healer itu terdiam, lalu mengangguk mengalah.

“Apa ada pertanyaan lain?!” seru George. “Jika tidak ada, ayo kita lanjutkan perjalanan ini!”

Benar-benar tipe pemimpin bertangan besi. Tapi... Green menyukainya. Kadang memang ada yang harus ditinggalkan meski pada prakteknya ia cenderung berusaha untuk menyelamatkan semua. Toh, kau disebut sebagai pahlawan ketika bisa menyelamatkan banyak orang. Namun, saat ada yang ditinggalkan, ada sensasi lucu di mana kau merasa kuat, merasa sebagai sosok yang mampu bertahan di kala yang lemah terhempas.

Tak lama, para pemain sudah melewati bagian hutan berpohon lebat. Kini mereka sampai di hadapan padang gersang yang permukaan tanahnya dipenuhi gelimpangan batang pohon hangus. Masih tampak beberapa yang masih berdiri, tapi kondisinya pun tidak kalah memprihatinkan. Api masih berkobar di beberapa titik, mengepulkan asap tebal yang menyesakkan.

“Luas sekali efek ledakannya,” ujar Tiara sambil memicingkan mata. “Aku bahkan tidak melihat meteornya.”

“Itu! Meteornya di sana!” seru seorang Archer yang memang memiliki akurasi pandangan luar biasa. “Kita hanya perlu berjalan lurus!”

“Ya, tapi tetap waspada!” kata George seraya memimpin rombongan. “Pada lahan terbuka seperti ini tidak akan ada serangan dadakan seperti sebelumnya. Tempatkan para pemain suportif di tengah barisan! Lindungi mereka!”

“YAK!!!”

Namun, Green menangkap sesosok yang berdiri di depan sana. Apa itu monster? Rasanya bukan. Ukuran tubuhnya biasa saja dengan kepala, tangan, dan kaki seperti manusia pada umumnya. Sosok itu juga menjinjing senjata di bahunya. Apa itu monster jenis baru yang berbentuk menyerupai manusia?

“Hei! Siapa di sana?!” seru George yang meyakinkan Green bahwa sosok itu bukanlah monster.

Sosok itu terdiam, tak menjawab. Mau tak mau rombongan tetap bergerak maju, namun dengan waspada. Pedang, tombak, tongkat sihir, semua dikeluarkan, siap untuk menyerang.

“Siapa di sana?!” George mengulang pertanyaannya dengan pedang teracung. Jelas, ia dapat mengidentifikasi bahwa sosok itu bukanlah monster, namun ia tak mengerti mengapa ia berdiri di sana.

Namun Green, dan Tiara, akhirnya dapat mengenali sosok itu ketika mereka berada cukup dekat. Cahaya bulan memperlihatkan wujud seorang Archer berjaket kulit beruang dan hiasan bulu elang di kepala. Sontak sang Blademaster terperangah, sementara Tiara memanggil dengan lugunya.

“Drasyl! Sedang apa kau di sana?!” gadis itu langsung berlari mendekat.

Awalnya George berniat menghentikan, tapi terlambat, sehingga ia membiarkan saja untuk mengamati apa yang akan terjadi selanjutnya.

“Hei, kenapa kau tidak menjawab pesanku?!” Tiara langsung memukul bahu Drasyl, tapi pria itu diam saja. Ia hanya mengangguk ringan, lalu melempar pandangan pada Blademaster yang masih berdiri di dalam barisan.

Jantung Green langsung berdegup keras. Di saat ia hampir lupa, di saat ia telah tenggelam dalam adrenalin petualangan, sosok yang mengejar dari masa lalunya kembali muncul untuk merusak segalanya. Rahangnya mengeras, tanpa sadar genggamannya pada gagang pedang menjadi amat erat. Ini tak bisa dibiarkan.

“Kau! Mau apa kau di sini?!” teriak Green marah.

“Kau juga mengenalnya?” tanya George, tapi tak ditanggapi.

“Sudah kubilang, biarkan saja aku sendiri!” teriak Green lagi.

Tiara jelas kebingungan menyaksikan tingkah laku kedua temannya. Ia menatap bolak-balik pada dua raut wajah yang penuh ketegangan. “Kalian! Apa yang kalian bicarakan?!”

Tetapi Drasyl hanya menepuk bahu gadis itu, lalu berjalan perlahan melewatinya, menuju ke arah Green. Tatapannya terpaku ganas tanpa kedip.

“Aku ingin mengajukan sebuah tantangan pada Green sang pahlawan mitologi dari Mythard! Kalau memang ia bukan pengecut, ia harus menerimanya!” teriak Drasyl yang langsung ditanggapi dengan terheran-heran oleh para pemain lain.

“Jadi kau ingin bertarung? Tidak masalah!” jawab Green penuh keyakinan.

“Tapi, jika aku menang, aku ingin agar kau kembali ke dunia nyata!”

Tiba-tiba nafas sang Blademaster terasa tercekat. Tenggorokannya kering hingga ia harus menelan ludah untuk membasahinya. “Persyaratan macam apa itu?!”

“Berarti kau takut kalah dariku?”

Sebuah pertanyaan yang membungkam Green. Harga dirinya di dunia ini terlalu tinggi untuk mengabaikan tantangan itu. Apalagi, di hadapan segenap pemain yang mengenalnya sebagai pahlawan.

“Apa ini? Bagian dari event?”

“Entahlah, tapi sepertinya menarik.”

Terdengar desas-desus dari belakang sana. Sementara George sendiri, cukup terhanyut mengamati drama yang terjadi di depan matanya. Sama sekali tak nampak niatan darinya untuk menghentikan semua ini.

Green menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan mata. Saat ia membuka kembali kelopaknya, ia sudah siap dengan satu jawaban.

“Baiklah, kuterima tantanganmu,” katanya. “Tapi jika kau kalah, aku ingin kau diam hingga seluruh server ini ditutup.”