Hero of Mythology:Volume01 Chapter 07

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 7

16 Agustus 2035

“Drasyl! Apa maksudnya ini? Aku tidak mengerti!”

Sang Archer hanya diam sambil mengecek perlengkapannya. Karena jika ia menceritakan semua, sama saja ia melanggar persyaratan yang diberikan Green, sehingga duel ini menjadi tak ada artinya lagi.

“Saksikan saja,” ujar Drasyl singkat. Tatapannya terlempar jauh pada sang Blademaster yang juga sedang menyiapkan perlengkapan tempur. Ratusan pemain yang berkumpul tampak menaruh perhatian pada keduanya.

“Kau siap?!” seru Green.

“Siap!” Biar bagaimana pun sebagai pemberi tantangan, ia tidak boleh tidak siap.

Tiara menarik bahu pria itu sebelum sempat beranjak.

“Tunggu, kau tahu kan siapa yang kau lawan? Dia Green! Legenda tanah ini!”

“Aku tahu,” jawab Drasyl begitu singkat dan dingin. Ia menepuk tangan Tiara di bahunya lalu berjalan mendekati Green.

Di bawah terang bulan, kedua pria berdiri berhadap-hadapan. Tatapan mata mereka begitu tajam seolah sedang berusaha saling membunuh satu sama lain. Ketegangan pun mencekam di udara, mengalahkan teror yang disebarkan oleh Apophis. Para penonton terlihat menahan nafas sebelum menyaksikan perhelatan ini.

“Hei, aku tidak tahu ada masalah apa di antara kalian,” kata George. “Tapi kuharap kalian selesaikan ini melalui pertarungan yang adil. Aku, dan ratusan pejuang Mythard yang akan menjadi saksi.”

Drasyl mengangguk lalu membuka layar hologram di depannya. Kemudian ia mengirimkan tantangan pertarungannya. Ketika Green menerima, sebuah angka sepuluh besar terbentuk di udara, penghitung sebelum duel dimulai.

“Arena terbuka, pertarungan berlanjut hingga salah satu pihak kehabisan hit point,” sang Archer menjelaskan peraturannya. Sebuah busur sudah siap di tangan kirinya, dengan anak panah terpasang.

“Dimengerti,” balas Drasyl yang juga sudah menyiapkan pedang besar dalam genggaman.

Angka besar di udara mulai menghitung mundur. Setiap detik yang berlalu, terasa begitu lama dan menyesakkan. Sementara beberapa penonton yang sudah menandai duel mengeluarkan layar hologram di hadapan mereka yang menampilkan rekam pertarungan secara lebih dekat.

Lima... Empat... Tiga... Dua... Satu...

Begitu hitungan berakhir, muncul tulisan merah besar ‘BATTLE START’ disertai bunyi peluit keras. Sudah saatnya.

Drasyl segera mengambil inisiatif. Bukan membidik, bukan memanah, tetapi berlari. Namun bukan berlari menerjang Green, melainkan meninggalkannya. Pria itu melangkahkan kaki secepat mungkin ke arah rimbunnya hutan. Ya, karena ia tahu benar, ia tak akan memiliki kesempatan dalam pertarungan langsung di tempat terbuka.

Melihat itu, sontak sang Blademaster mengejar. Berbanding terbalik dengan baju zirah yang terlihat berat, langkahnya begitu ringan.

“Hei, jangan lari!” teriaknya.

“Kau sendiri yang bilang,” jawab Drasyl melalui pesan, “jika seorang Archer harus selalu membuat jarak!”

Green tampak mengeratkan rahang, tapi membuat senyuman tak simetris. Ia berhenti lari, lalu sedikit menekuk kedua lutut. Cahaya kehijauan terpancar dari telapak kakinya. Kemudian ia melakukan tolakan keras, yang memantulkan tubuhnya jauh ke depan.

“Chariot Charge!”

Tapi Drasyl tahu skill itu. Ia tahu, itu adalah salah satu kemampuan seorang Blademaster untuk menerjang langsung ke arah kerumunan musuh. Pada pertarungan melawan petarung jarak jauh, bisa digunakan untuk menghilangkan jarak secara instan. Dengan pengetahuan itu, Drasyl melempar dirinya ke samping hingga berguling. Waktunya amat presisi, sehingga Green hanya melewati udara kosong.

Drasyl segera mengembalikan keseimbangan pada posisi setengah berlutut, lalu memasang anak panah pada busurnya. Dalam sepersekian detik ia membidik punggung Green yang baru menghentikan laju Caesar Charge, lalu melepaskan rentetan panah berapi.

“Rapid Fire!”

Sukses. Sang Blademaster terhantam dua belas anak panah secara berurutan hingga tubuhnya tertahan untuk beberapa saat. Namun itu sudah cukup, sang Archer tahu jika ia tak bisa terus-terusan menembak tanpa ancaman apa pun. Maka ia kembali berlari memasuki lebatnya hutan sebelum Green sempat berbalik.

Riuh penonton mulai terdengar kala menyaksikan itu. Ada yang mengumpati teknik Drasyl sebagai bentuk kepengecutan dalam duel, tapi ada juga yang justru memuji kelihaian itu. Sementara Tiara, ia tak tahu harus berkomentar apa. Ia juga tak tahu harus mendukung siapa, karena ia tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, apa motivasi dari pertarungan ini.

Drasyl berdiri bersandar punggung pada sebuah pohon besar. Ia diam, menyembunyikan hawa keberadaan. Dari sana ia mendengar, merasa, dan memperhatikan pergerakan lawannya di kejauhan, di balik lebatnya pepohonan hutan. Berkat kemampuan khusus kelas Archer miliknya, ia bisa melakukan ini meski kegelapan malam melingkupi.

“Pengecut!” teriak Green yang terus mengawasi sekelilingnya.

Drasyl mengintip dari balik batang pohon. Otaknya mulai berpikir, mengapa Blademaster itu berteriak seperti barusan? Padahal ia sendiri berusaha keras untuk tak terlihat.

Oh ya, tentu karena ia adalah seorang Blademaster. Kelas pengguna pedang besar seperti itu tak perlu takut ketahuan. Justru, yang mereka harapkan adalah pertarungan terbuka secara langsung, satu lawan satu.

Tapi tetap saja, bukankah memberi tahukan posisi sama dengan meminta pemanah untuk menembak?

Drasyl menarik anak panahnya, lalu mulai membidik. Ia memejamkan sebelah mata agar lebih fokus pada target yang terhalang ranting di sepanjang jalur tembak.

Tepat pada saat itu, sesuatu melintas di benaknya. Tanpa mendengar teriakan pun, sejak awal ia bisa menentukan lokasi Green. Mengapa orang itu harus mengundangnya untuk menembak? Ya... tentu saja... dari mana pun arah datangnya anak panah nanti, ke situlah Green akan menerjang.

Sensasi merinding menjalari kedua telapak tangan Drasyl yang menggenggam busur dan anak panah. Bayangan Blademaster berpedang besar yang melakukan Charriot Charge ke arahnya harus ia akui cukup mengerikan. Namun ia lekas menggelengkan kepala. Biar bagaimana pun ia sendiri yang memutuskan untuk memasuki hutan agar bisa menghindari terjangan lurus seperti itu. Setiap pohon yang tumbuh di antara ia dan Green bagaikan dinding pertahanan. Setidaknya ia masih memiliki kesempatan lari setelah posisinya terbongkar.

Pria itu menarik nafas dalam, lalu menahannya. Baru kemudian ia lepaskan Rapid Fire. Rentetan anak panah berapi itu melesat menembus ranting dedaunan, tepat menghujam zirah hijau sang Blademaster.

Green tersentak, memperhatikan Hit Pointnya berkurang. Lalu ia melempar pandang pada kegelapan, ke arah datangnya hujan api barusan. Tanpa ragu ia melesat, melangkahkan kaki yang – sulit dipercaya – begitu ringan meski perlengkapannya tampak berat mengganggu. Drasyl bisa saja menarik anak panah untuk menembak sekali lagi, tapi ia tahu Blademaster memiliki skill yang memungkinkan mereka tetap menerjang maju tanpa henti meski mendapat serangan. Begitu tak ada lagi jarak di antara mereka, habislah sang pemanah. Pria itu pun melangkahkan kakinya untuk kembali bersembunyi dalam balutan rimba.

“Kau tak bisa sembunyi lagi.”

Alangkah terkejutnya Drasyl menerima pesan itu, yang tak lain dari Green sendiri. Ia sedikit menoleh ke belakang, dan terlihat sosok berzirah hijau yang berlari menerobos hutan. Geraknya cepat sekali.

“Sudah lima belas tahun aku melakukan ini,” ujar Green lagi dalam pesannya. “Pepohonan tak bisa menghentikanku.”

Dalam lintasan lurus, Archer memang memiliki keunggulan atas kecepatan terhadap Blademaster yang tak terbantahkan. Dalam lintasan penuh halang rintang, secara prinsip Archer masih memiliki keunggulan dalam kecepatan. Namun masalah ada pada keahlian untuk terus melaju sambil menghindari batang-batang besar yang menghalangi. Berbeda dengan Drasyl yang agak kesulitan, Green tampak begitu terbiasa.

Debar jantung sang Archer mulai memburu. Tak hanya rencananya berantakan, tapi Blademaster di belakangnya terus mengejar dengan percepatan konstan, seperti serigala lapar yang sedang berlari hendak menerkam mangsa.

“Charriot Charge!”

Drasyl nyaris tak percaya saat mendengar skill itu diaktifkan di sini. Ia menoleh, dan memang, terdapat lintasan kosong antara dirinya dan Green. Lekas ia mengerem dengan jejakan kuat di tanah, lalu berbalik. Ia akan kena serangan telak apabila tidak menghindar. Celakanya, efek momentum sisa berlari tadi membuatnya kesulitan untuk melesat ke samping pada saat itu juga. Padahal, Green sudah menekuk kedua lututnya untuk menerjang lurus.

Tak ada pilihan. Drasyl menggenggam busurnya dengan kedua tangan. Tapi ia bukan akan menggunakannya untuk menangkis. Ia melakukan gerak memelintir pada batang busur itu hingga terdengar bunyi ‘klek’.

“HAAA!!!”

Green menrjang dari seberang sana. Tubuhnya melesat seperti elang. Pedangnya teracung tinggi di udara. Sementara Drasyl, lekas menyilangkan dua batang busur yang kini terpisah dan memiliki bentuk melengkung dengan bagian bilah tajam di satu sisi – seperti pedang.

Hantaman terjadi. Sekuat apa pun pertahanan Drasyl, tubuhnya masih terdorong ke belakang hingga menghantam sebatang pohon besar. Sejumlah Hit Point nya pun berkurang. Namun setidaknya – yang masih ia syukuri – ia tidak kehilangan pijakan dibuatnya. Ia masih berdiri meski bersandarkan pada pohon.

“Itu... Bow of Sagitarius?” tanya Green keheranan.

“Kau sendiri yang membantuku menyelsaikan quest untuk mendapatkan ini,” Drasyl menarik setengah bibirnya membentuk senyum tak simetris. Kini ia berdiri di atas kedua kakinya, lalu melesat ke arah Green.

Refleks sang Blademaster menggunakan skill nya yang mematikan, Bone Breaker. Tapi Drasyl membacanya. Drasyl bergerak ke samping untuk menghindar, lalu menyarang dua sayatan berturut-turut sebelum kemudian melompat menjauh untuk membuat jarak. Green tampak amat kesal menerima perlakuan itu.

Sejatinya, kelas Archer tidak bisa menggunakan senjata-senjata pertarungan jarak dekat. Sekali pun memaksa, mereka akan dikenakan penalti yaitu pengurangan kekuatan serangan mau pun kecepatan. Tetapi Bow Artemis adalah senjata langka yang memberi efek khusus. Benda itu bisa mengkonversi kecepatan menembak panah yang bertubi-tubi menjadi kecepatan untuk menyerang dan menghindar, sementara ketepatan dikonversi menjadi kekuatan serangan. Tak ada penalti – setidaknya untuk status karakter.

“Mau melakukan pertarungan jarak dekat?!” tantang Green dengan tatapan menusuk. “Permainan realita virtual tak sama dengan permainan konvensional. Di sini kau tak hanya bergantung pada sistem, tapi juga kemampuan dan mengalamanmu menggerakkan tubuh. Kenapa kau berpikir bisa mengalahkanku yang sudah menghabiskan setengah hidupku di sini?”

“Jangan lupa,” ujar Drasyl membalas. “Aku bukan sepenuhnya pemain yang baru merasakan permainan realita virtual selama sebulan belakangan ini. Lima belas tahun yang lalu, kita pernah mengalami petualangan yang sama menjelajahi tanah ini. Dan lagi, aku adalah kau. Mengapa aku harus tidak bisa mengalahkanmu, diriku sendiri?”

Green melompat, mengangkat pedangnya tinggi ke udara. “Meteor Stomper!”

Adalah benar, kau tidak bisa menyerahkan semua sepenuhnya pada sistem dalam permainan realita virtual. Maka secepat Green menyerang, secepat itu pula Drasyl bergerak menghindar. Ia melompat ke belakang hingga hujaman sang Blademaster hanya menghantam tanah. Tetapi hantaman dahsyat itu memiliki efek gelombang kejut yang tetap membuat tubuh Drasyl terhentak.

Green pun melanjutkan serangannya, “Tornado Slash!”

Serangan horizontal itu menyapu seperti badai, melukai Drasyl dan menerbangkannya seperti kerupuk.

“Biarkan aku menikmati jam-jam terakhir permainan ini dengan tenang!” seru Green seraya berjalan mendekat.

“Ukh...” Drasyl susah payah berdiri, lalu langsung melesatkan kedua pedangnya.

Green mencoba menangkis dengan memalangkan pedang besarnya. Namun Drasyl lekas menarik kedua pedangnya sendiri, berputar, kemudian melakukan tebasan ganda yang tak terduga. Tak berhenti hanya sampai di situ, ia kembali berputar saat sang Blademaster mencoba untuk mengenyahkannya dengan sabetan kuat. Ia terus mencuri sayatan demi tebasan, mengurangi Hit Point Green.

“Sial!!!”

Intinya adalah jangan sampai tertangkap serangan masiv sang Blademaster. Jika Drasyl bisa terus bergerak cepat, ia akan baik-baik saja. Asalkan ia bisa menghindari tiap ayunan dahsyat sang Blademaster, ia bisa terus mencuri poin. Dan saat kesempatan datang, ia melepaskan Rapid Fire yang telah dikonversi menjadi serangan bertubi pedang kembar yang diselimuti kobaran api.

Tapi sebenarnya, setiap serangan yang berhasil Drasyl berikan justru membuat ketakutannya makin nyata. Meski sebanyak apa pun mana poin yang ia habiskan untuk melancarkan Rapid Fire, semuanya tak memberi pengurangan berarti pada Hit Point Green. Pertahanan Blademaster itu amat luar biasa hingga sampai sekarang pun, Drasyl hanya berhasil mengurangi seperempat Hit Point.

Pergerakan terus menerus membuat fokus rasyl lelah. Untuk satu titik ia membuka celah bagi Green. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Blademaster itu langsung menghantamkan serangan.

“Bone Breaker!”

Tebasan dari perut ke dada itu langsung mementalkan Drasyl. Ia jatuh tersungkur di antara semak belukar, dengan Hit Point yang berkurang drastis. Tiap serangan yang ia terima benar-benar menyakitkan, sementara serangan yang ia berikan hanya seperti tusukan jarum.

Seolah ingin ini semua lekas berakhir, Green berjalan mendekati lokasi Drasyl yang masih terbaring – berusaha untuk bangkit. Pedangnya diseret di tanah meninggalkan jejak panjang. Tubuhnya tampak seperti penjagal di bawah terang bulan. Melihat sosok itu, Drasyl merasa tak berdaya. Seberapa keras pun ia mencoba, seolah hasilnya akan sama. Sehingga, akhirnya ia hanya menghela nafas disertai senyum pasrah.

“Kau hebat sekali, tidak heran mereka memanggilmu pahlawan,” ujarnya. “Apa yang membuatmu jadi sehebat ini?”

Green langsung berhenti, menatap penuh teka-teki pada Drasyl.

“Tidak semua orang bisa sepertimu,” lanjut Drasyl. “Bagaimana kau melakukannya?” Green tak langsung bicara. Ia tampak mencerna maksud pertanyaan itu terlebih dahulu, hingga menemukan jawaban yang tepat. “Tidak ada yang spesial.”

“Tapi apa yang kulihat sebulan ini telah memberitahuku, apa yang membuatmu jauh mengungguli yang lain,” ujar Drasyl seraya berdiri dengan berpegangan pada dahan pohon di sebelahnya. “Kau memiliki kebulatan tekad yang luar biasa dalam menaklukkan dunia ini.”

“Memangnya... kenapa?”

“Jika kau melakukan usaha yang sama seperti di sini untuk dunia di luar sana, tidakkah menurutmu kan bisa menjadi legenda... dalam arti yang lain?”

Kedua mata Green terbelalak seolah mengatakan, bahwa ia sudah menduga akan sampai ke sini arah pembicaraan mereka. Otaknya pun lekas berputar, memikirkan argumen-argumen lain untuk dikerahkan.

“Di sana tidak sama,” ucapnya rendah. “Orang-orang memaksaku untuk melakukan hal yang tidak kusukai. Sampai mati pun aku tidak akan bisa menjadi legenda ketika terus melakukan hal yang membuatku tertekan.”

“Kalau begitu, lakukanlah hal yang kau sukai.”

“Apa itu? Di dunia nyata tidak ada dungeon untuk dijelajahi dan monster untuk diburu.”

Persis. Cara berpikir itu, persis sama dengan cara berpikir Drasyl lima belas tahun yang lalu. Ia yang hidup dalam sangkar tidak mengetahui hal menyenangkan lain untuk dilakukan selain dari apa yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Pria itu pun terkekeh, memikirkan dirinya seolah sedang berbicara dengan belahannya dari mana lalu.

“Kau berani menyusuri dungeon, menghadapi monster-monster berbahay, bahkan bila hanya seorang diri?” tanya Drasyl. “Dunia nyata pun dipenuhi dungeon dan monster berbahaya.”

“Monster apa? Tidak ada monster di sana!”

“Celakanya, monster di dunia nyata jauh lebih berbahaya daripada monster di dataran Mythard. Kau tidak bisa melihatnya, tapi monster-monster itu akan menghabisimu sedikit demi sedikit. Tapi jika kau memiliki keberanian dan tekad yang sama dengan yang kau miliki di sini, kau akan bisa menghadapinya. Toh sejak awal permainan virtual dibuat dengan sebisa mungkin mengikuti hukum-hukum dunia nyata, kan?”

“Selain monster,” kata Green setelah menghembuskan nafas. “Ada keindahan yang tidak kalah dengan yang memperhatikan tiap kata yang diucapkan. Ia mempertimbangkan, seberapa besar kebenaran yang terkandung di dalamnya.

“Dan jika kau kembali sekarang, kupastikan ada satu petualangan besar yang pastinya tak pernah kau rasakan di dunia ini.” Sebuah senyum terkembang di wajah Drasyl. Tatapannya begitu sayu. Kemudian ia tertawa kecil sendiri. “Pernahkah kau yakin telah menemukan belahan jiwamu, lalu berusaha mati-matian mendapatkannya?”

Tentu saja Green hanya menggeleng.

“Ikutlah denganku,” Drasyl mengulurkan tangannya. “Kita taklukkan dunia yang kejam itu bersama. Kita pasti bisa. Petualangan baru telah menanti.”

Berkali-kali Green menelan ludah. Sedikit demi sedikit keteguhannya luntur. Hati kecilnya mulai berbisik menyebutkan keinginan yang telah lama dipendam. Tapi nampaknya ia belum puas. Maka ia mengajukan satu pertanyaan. Bukan untuk menolak, kali ini lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

“Apa kau yakin aku bisa bertahan di sana?”

“Tentu saja,” Drasyl mengangguk disertai senyuman. “Keberadaanku saat ini adalah buktinya.”

Green diam mematung. Perlu beberapa saat baginya untuk membulatkan hati. “Baik. Akan kucoba.”

Drasyl langsung melompat, lalu merangkul leher sang Blademaster. Terlihat ia sangat gembira, seperti orang yang akhirnya bertemu dengan saudara yang terpisah selama belasan tahun. “Tenang saja!” katanya. “Setidaknya kau tak akan menghadapinya sendiri!”

“Eh. I, iya,” kata Green canggung. Mungkin ia tak menyadarinya. Tapi mungkin, ini adalah saat yang sebenarnya ia tunggu-tunggu sejak semua dimulai empat belas tahun lalu. “Jadi, bagaimana pertarungannya? Apa kita lanjutkan?”

“Oh ya!” ujar Drasyl baru ingat lalu melepaskan rangkulannya. “Mari kita lanjutkan!”

Sisa pertarungan berlangsung tidak kalah sengit, namun pemenangnya sudah jelas. Di seluruh Mythard, tak ada satu orang pun yang bisa mengalahkan Green. Begitu Drasyl kehabisan hit point, segenap penonton pun bertepuk tangan, bersorak riuh. Dengan khidmat sang legenda menikmati itu semua, karena setelah ini ia tak tahu masihkah ada lorang yang mau memujinya begitu tulus.