Hero of Mythology:Volume01 Chapter 05

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 5

2 Juli 2035

Raka Hersanto adalah seorang pria berusia tiga puluh tahun. Penampilannya selalu rapi, dengan rambut pendek dan jenggot yang tak pernah dibiarkan tumbuh barang semili pun. Senyum menawan tak pernah lepas dari wajahnya, baik di lingkungan rumah atau tempat kerja.

Dan bicara soal kerja, ia memegang jabatan manajer dalam pekerjaannya, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang jasa. Dengan posisi itu, tentu ia memiliki tanggung jawab besar. Setiap hari ia harus berangkat pagi, bekerja penuh dedikasi seharian, dan pulang sore.

Tapi hari itu, ia memutuskan untuk pulang lebih awal. Itu karena beberapa hari sebelumnya ia menerima sebuah undangan dari semacam komunitas. Namanya cukup panjang.

Asosiasi Pensiunan Heroes of Mythology : Komisi Pencarian Fakta Mengenai Green

Raka tidak yakin komunitas macam apa itu. Meski sekilas seperti kumpulan pemain game, tapi mereka semua sudah pensiun. Jadi, apa mereka berkumpul untuk melakukan nostalgia? Tapi ada kata ‘pencarian fakta’ yang membuat kelompok ini terasa memiliki tujuan serius.

Lalu sebenarnya ada dua kata yang amat menarik perhatiannya. ‘Heroes of Mythology’ dan ‘Green’. Dua kata yang tak akan mengganggunya apbila didengar secara terpisah, tapi membangkitkan penasaran ketika ditulis dalam satu bari kalimat secara bersamaan.

Selain itu, lokasi pertemuan yang diberikan membuatnya tak kuasa menolak. Entah bagaimana caranya, komunitas itu mengundangnya langsung ke kantor pusat Exponent, perusahaan pengembang Heroes of Mythology cabang Indonesia. Dari situ ia menduga undangan ini sebagai sesuatu yang resmi.

Pukul tiga sore, pria itu sudah tiba di lobi Exponent. Ruangannya cukup megah dengan banyak layar hologram menggantung di atas yang menampilkan trailer permainan-permainan realita virtual keluaran terbaru. Semuanya memiliki grafis luar biasa dengan gameplay beragam, membuat Raka terpaku menyaksikannya penuh kekaguman.

Kemudian alat komunikasinya bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Saat ia mengecek, itu berasal dari perwakilan komunitas yang mengundangnya. Sebuah pertanyaan apakah ia sudah sampai atau belum. Langsung saja ia membalasnya.

Dengan hati bergetar, ia memutuskan untuk menunggu di sebuah kursi sofa kosong pada salah satu sudut ruangan. Ia membiarkan tubuhnya terenyak pada keempukan sofa. Mumpung ada kesempatan, tak ada salahnya bersantai sejenak. Kebetulan kegiatannya belakangan ini lumayan padat hingga membuat tak hanya fisik tapi lelah batin.

“Bapak Raka!” sebuah panggilan menyadarkannya dari peristirahatan.

Tampak dua orang pria sudah berdiri di dekatnya. Yang satu pria berkacamata dengan kemeja kotak-kotak merah. Kilatan antusias terpancar dari matanya di kala ia mengulurkan jabat tangan. Kala Raka berdiri dan membalasnya, ia lekas memperkenalkan diri.

“Saya Adit dari Asosiasi Pensiunan Heroes of Mythology : Komisi Pencarian Fakta Mengenai Green.”

Satu pertanyaan yang langsung melintas di kepala Raka adalah, bagaimana pria itu bisa menyebutkan nama asosiasi sepanjang itu dengan lancar? Tapi tidak sopan mengomentari hal itu. Maka ia juga memperkenalkan diri.

“Saya Raka.”

“Jadi anda benar-benar nyata ya,” gumam Adit seperti terkagum-kagum, membuat Raka agak heran.

“Pak Adit, tentu saja Bapak Raka ini nyata!” Kali ini orang kedua, pria gemuk dengan kemeja batik soklat. Suaranya keras namun terdengar bersahabat. Ia menjabat tangan Raka mantap. “Saya Bambang, perwakilan dari Exponent yang bertugas mengurus hal ini.”

“Saya Raka,” ulang pria itu. “Mengurus... dalam hal apa ya?”

“Nah, bagaimana kalau kita bicarakan di ruangan saya?”



Bambang membawa Raka dan Adit ke sebuah ruang rapat yang tidak terlalu besar. Terdapat meja persegi panjang, di mana Raka duduk di satu sisi, sementara dua pria lainnya menempati sisi lain. Tiga cangkir kopi sudah terletak di antara mereka, mengepulkan asap yang membawa aroma menyegarkan.

“Jadi...” Raka memulai. “Ada apa ini sebenarnya?”

“Kurasa biar Bapak Adit yang memulai?” ujar Bambang mempersilakan. “Biar bagaimana pun semua ini juga dimulai dari pihaknya.”

“Ah ya, baiklah,” kata Adit seraya memperbaiki posisi kacamatanya. Kemudian ia menatap Raka dalam. “Mungkin pertama aku akan menceritakan mengenai asosiasi ini. Kami adalah kelompok orang-orang yang pernah mengalami masa indah berpetualang di Heroes of Mythology. Tapi karena satu dan lain hal akhirnya kami pensiun. Namun kenangan itu tak pernah hilang sehingga kami membentuk forum di dunia maya untuk saling berdiskusi dan nostalgia.”

Raka mengangguk-angguk lalu mengangkat cangkir kopinya, “Maaf, boleh aku minum?”

“Ya, ya, silakan.”

Serentak dua pria lain melakukan hal yang sama, menyeruput minumannya. Setelah itu barulah Adit melanjutkan penjelasannya.

“Beberapa bulan yang lalu, kami melakukan diskusi seperti biasa. Sampai tanpa sengaja ada yang mengangkat topik itu.”

“Topik itu?”

“Selama kami bermain, dari generasi mana pun, ada satu Blademaster yang amat terkenal. Saking hebatnya sekarang ia disebut-sebut sebagai legenda. Pemain dengan nama karakter Green.”

Mendengar nama itu disebut, serta merta Raka terbelalak lebar. Namun bibirnya tetap terkunci rapat tanpa mengucap sepatah kata pun.

“Ia adalah pahlawan. Tak jarang ia memimpin penyerangan dungeon. Guild tempatnya bernaung juga hampir selalu memenangkan pertempuran. Tidak ada yang tak mengenalnya... setidaknya di dalam permainan.”

“Maksudmu?”

“Dalam diskusi beberapa bulan lalu, kami baru sadar bahwa sama sekali tidak ada yang mengetahui sosok Green secara offline,” kata Adit. “Dari situ pembicaraan mengenainya melebar dan kami menemukan beberapa keganjilan.Salah satu yang menjadi pokok perhatian kami adalah... Bagaimana statusnya selalu terlihat online. Dan setelah kami tinjau lagi, memang faktanya adalah, avatar karakternya selalu terlihat online.Dalam dua puluh empat jam, jika kau mengumpulkan saksi yang masing-masing bermain pada jeda waktu berbeda, semuanya akan melihat Green online pada saat mereka bermain.”

Raka mengerutkan kening. “Maksudmu ia seperti NPC yang menyala tiap saat?”

“Nah, itu yang awalnya menjadi dugaan kami!” Tiba-tiba Adit menjentikkan jari. “Jangan-jangan ia semacam Artificial Intelligence yang selama ini kami kira sebagai pemain!”

Raka masih menyimak.

“Tapi kami tak mau mengambil keputusan secepat itu. Didorong rasa penasaran, akhirnya dibentuklah komisi ini yang mencari fakta mengenai Green. Kebetulan aku yang diserahi kepercayaan memimpin komisi ini.” Adit menyeruput kopinya untuk menarik nafas sejenak. “Pencarian fakta pun dimulai. Aku mulai mencari siapa-siapa saja yang memiliki hubungan cukup akrab dengannya sewaktu di dalam game. Lalu benar saja, terlintas juga di pikiran mereka mengenai kecurigaan ini. Baru kemudian kami mencoba langkah selanjutnya, menghubungi langsung pihak Exponent.”

“Tentu awalnya perusahaan bersikeras untuk tak membocorkan informasi mengenai pemain,” Bambang menimpali tanpa aba-aba. “Tapi saat melihat mereka, kecintaan mereka pada Heroes of Mythology, juga ketika aku mencengar cerita mengenai Green, sesuai di sini tergerak,” pria menepuk dadanya sendiri. “Maka saya meminta para petinggi untuk menjadi perwakilan perusahaan membantu mereka.”

“Ya, terima kasih banyak Pak Bambang,” ujar Adit.

“Sama-sama, saya justru senang membantu. Ternyata permainan ini masih belum dilupakan meski servernya akan ditutup.”

“Iya, saya berhenti pun karena terbentur banyak kesibukan di dunia nyata. Yah, saya sudah bukan mahasiswa dengan banya waktu luang seperti dulu.” Adit tertawa – menertawakan dirinya sendiri.

“Tunggu, tunggu sebentar,” Raka menyela. “Server Indonesia akan ditutup?”

“Itu benar,” jawab Bambang sebagai perwakilan Exponent. “Dalam beberapa tahun terakhir jumlah pemain terus berkurang, tergusur oleh permainan-permainan realita virtual terbaru. Biaya perawatan server yang tak dimainkan terlalu mahal.”

“Sebentar, sebelum kita membicarakan hal itu, biar kulanjutkan sedikit,” sela Adit. Setelah dipersilakan, baru ia kembali memulai. “Berkat bantuan Pak Bambang, kami mendapat kepastian bahwa karakter Green bukanlah NPC mau pun Artificial Intelligence. Masalahnya...”

Pria itu berhenti sejenak, seolah bersiap untuk membeberkan rahasia besar yang hanya bisa diucapkan sekali, sehingga memberi kesempatan bagi pendengarnya untuk konsentrasi. Dan di sisi lain, perhatian Raka sama sekali tak putus. Raut wajahnya agak tegang dengan rahang kaku. Kemudian ia mengangguk sedikit sebagai tanda kesiapandengar.

“Masalahnya menurut catatan, status karakter itu terus online semenjak empat belas tahun lalu. Hal yang mustahil mengingat seseorang tak bisa meninggalkan karakternya AFK seperti permainan mmorpg konvensional. Setidaknya ia butuh makan dan tidur. Bagaimana bisa manusia hidup selama empat belas tahun tanpa makan dan tidur?”

“Maaf, menurut perjanjian seharusnya pihak perusahaan tak boleh menyebarkan identitas pemilik karakter,” timpal Bambang. “Tapi keadaan ini tidak biasa. Maka saya membuka profil identitas Green. Dan berdasarkan profil itu, pemilik akun Green adalah...” “Anda, Pak Raka.” Suara Adit nyaris seperti berbisik ketika menyambung kalimat Bambang.

Raka mendengar dengan wajah sedingin batu. Ia sama sekali tak berkedip. Giginya terkatup rapat di balik bibir yang sedikit membuka. “Mungkin,” lanjut Adit, “ada informasi yang tak kami ketahui, yang bisa anda berikan?”

Raka memejamkan matanya lalu menghirup nafas dalam-dalam. Setelah itu ia menyeruput kopi, sekedar untuk membasahi tenggorokan.

“Itu benar. Dulu, dulu sekali, aku bermain dengan karakter bernama Green.”

Adit dan Bambang terperangah secara bersamaan. Ekspresi mereka seperti orang yang akhirnya mendapat fakta yang bahwa apa yang mereka duga selama ini adalah kebenaran.

“Tapi Green sudah terdaftar semenjak hari pertama peluncuran Heroes of Mythology,” ujar Bambang. “Dan aktivitas onlinenya terbilang wajar – meski cenderung intensif – selama setahun pertama. Apa yang terjadi... setelah itu?”

“Kalian menanyakan tentang sesuatu yang terpaut waktu jauh sekali. Aku tidak tahu apakah ini berhubungan. Tapi jika suatu kejadian yang akan terus kuingat sampai kapan pun, yang terjadi empat belas tahun lalu... Ada satu.”

Baik Adit dan Bambang, keduanya menelan ludah. Raka sendiri tak langsung bercerita. Ia tampak ragu untuk beberapa jenak. Kenangan empat belas tahun yang lalu, kenangan yang mungkin membawa luka. Tapi tatapan penuh harap dari dua orang di hadapannya membuatnya merasa tak bisa menyimpan hal itu sendirian.

Pria itu memutuskan untuk menyeruput kopinya sampai habis terlebih dahulu. Biar bagaimana pun seharusnya ia kan baik-baik saja. Kejadian itu telah lama berlalu dan semua sudah selesai dengan baik saat itu. Maka ia mulai bercerita.

“Empat belas tahun yang lalu, aku adalah remaja yang telah kehilangan orientasi akan dunia. Bagiku saat itu, Heroes of Mythology adalah dunia yang sesungguhnya. Aku mengabaikan dunia ini, lalu menenggelamkan diri sepenuhnya di sana. Menyedihkan ya?”

“Ti, tidak sama sekali!” Adit langsung menggelengkan kepala cepat. “Di awal kemunculnya permainan ini memang sangat memikat. Bahkan aku pun sempat merasakan hal yang sama.”

Raka menyiratkan senyuman. “Lalu semua sampai di puncaknya pada malam itu. Aku bertengkar hebat dengan ibuku kemudian mengunci diri di kamar. Aku log in dan bersumpah tak akan pernah log out untuk selamanya. Selanjutnya aku berlari menyusuri dungeon Yggdrasil. Lebih tepatnya, berlari dari kenyataan. Tapi tak lama, semua menjadi gelap.”

“Gelap? Apa yang terjadi?” Bambang tak tahan bertanya di kala Raka memberi jeda untuk menarik nafas.

“Yang kutahu selanjutnya, aku terbangun di kamar rumah sakit. Yang kulihat pertama kali, adalah ibuku yang menunggu di sisi ranjangku dengan mata sembab. Belakangan aku baru tahu jika aku telah mengalami koma selama berhari-hari.”

Bambang terlihat amat terkejut mendengar pernyataan itu. Mungkin baru kali ini ia mendengar peristiwa yang berkaitan dengan Heroes of Mythology.

“Malam itu, setelah aku log in, kedua orang tuaku mendobrak masuk kamar lalu mencabut alatku dengan paksa. Tapi aku tak kunjung sadar hingga dibawa ke rumah sakit. Tapi berita baiknya,” Raka tersenyum. “Peristiwa itu membawa hikmah. Entah bagaimana aku dan kedua orang tuaku mulai bisa saling mengerti. Segalanya pun berjalan makin baik. Satu yang pasti, aku tak pernah lagi menyentuh Heroes of Mythology semenjak itu.”

“Syukurlah,” gumam Bambang. “Pak Raka, apa bapak ingat tanggal berapa kejadian itu? Agar aku bisa menyocokkannya dengan waktu di mana Green mulai online terus-terusan?”

“Menurutmu itu berhubungan? Tapi aku lupa, tanggal berapa tepatnya...”

“Mungkin saja... Mungkin saja berhubungan... Sangat mungkin, malah.” Adit terlihat menggosok-gosok dagunya yang tak berjanggut. Ketika kau menggunakan alat realita virtual, otakmu akan mengirim dan menerima gelombang dari server. Proses log in dan log out adalah proses penyambungan dan pemutusan gelombang tersebut. Apabila pemutusan terjadi secara paksa dan tiba-tiba, bagaimana jika gelombang... atau ingatan... atau kesadaranmu masih tertinggal di dalam server?”

“Tapi kenapa saat ini ingatanku masih ada di dalam kepalaku?” tanya Raka sembari menunjuk dahinya sendiri.

“Mungkin karena ingatan manusia memang sudah seharusnya ada di kepala manusia itu sendiri?”

“Seperti kopian dari ingatan ya,” timpal Bambang, “yang di dalam server.”

“Iya, dan ingatan dan tuan itu membentuk kesadaran, lalu berkelana selama empat belas tahun di dalam server.”

Aneh. Sulit dipercaya. Sayangnya itulah yang mungkin terjadi. Setelah memutus kontak dengan Heroes of Mythology selama belasan tahun, Raka sama sekali tak menyangka jika ketidak wajaran ini yang akan menghubungkannya kembali. Tapi kemudian beragam pertanyaan berseliweran dalam benaknya.

Apa saja yang sudah dilalui Green selama ini?

Apa karakter itu sadar dengan apa yang terjadi?

Bagaimana keadaannya sekarang?

Dan di atas segalanya, muncul sebuah keinginan untuk berbicara dengan Green. Karena secara tidak langsung karakter itu adalah belahan dirinya yang berusia empat belas tahun namun memiliki percabangan pengalaman yang amat berbeda dengannya. Namun di saat bersamaan, ia teringat akan kata-kata bambang di awal pembicaraan ini.

“Oh ya,” ujarnya dengan mata terbelalak lebar. “Apa tadi anda mengatakan bahwa server ini akan ditutup?”

“Iya, dalam beberapa bulan ke depan.”

“Kalau begitu... Apa yang akan terjadi dengan kesadaranku di dunia itu... Green?”

Ketiga orang itu saling berpandangan. Tak satu pun yang tahu apa yang akan terjadi. Meski ada satu hipotesa yang muncul, mereka tak berani mengucapkannya.

“Kurasa kita perlu membicarakannya pada para teknisi ahli,” kata Bambang mengakhiri keheningan. “Tapi sebelumnya aku perlu memastikan apa memang itu yang terjadi. Aku akan mengecek tanggal pasti saat Green tak tak pernah lagi log out. Bapak Raka, bisakah anda mencari dokumen atau bukti penunjang yang menyatakan kapan tepatnya kejadian itu terjadi?”

“Tentu,” jawab Raka langsung saja.

“Uhh... Lalu apa yang harus kulakukan?” tanya Adit.

“Anda sudah melakukan hal hebat, sekarang tunggu saja. Tapi bersiaplah, kita mungkin akan segera membutuhkan sesuatu.”

“Baik.”

Pembicaraan sore itu pun berakhir dengan kesimpulan sementara yang tak pernah terkira sebelumnya. Berawal dari rasa penasaran, berujung pada sesuatu yang harus mereka selesaikan bagaimana pun caranya.


13 Agustus 2035

“Setelah itu mulai dikumpulkan bukti,” kata Drasyl. “Ketika berita ini beredar di dunia maya, tak terhitung yang memberi dukungan untuk mengembalikan Green. Kau tahu, itu satu-satunya cara untuk menyelamatkanmu dari penutupan server. Teknisi ahli pun didatangkan dari perusahaan induk yang mengembangkan permainan ini. Kabar baiknya, kerja keras semua orang membuahkan hasil. Kesadaranmu bisa dikembalikan dan kita akan menjadi satu seperti sedia kala.”

Green hanya diam terperangah mendengar semua itu. Raut-raut tidak percaya masih terpampang jelas di wajahnya.

“Kau adalah aku...” ujarnya. “Yang melanjutkan hidup di dunia nyata... Di dunia kejam itu?”

“Dunia nyata tidak sekejam itu.”

Green mengeratkan rahangnya. Sebelah matanya terpicing menatap Drasyl. “Kau berasal dari luar, pasti memiliki kuasa lebih atas dunia ini... Mengapa harus repot-repot? Kenapa tidak langsung bawa aku dari sana?”

Sang Archer menggeleng. “Tidak... Awalnya aku penasaran ingin bertemu denganmu. Lalu berbincang-bincang. Aku ingin tahu jadi seperti apa diriku di dunia ini. Dan ternyata, aku menjadi pahlawan legendaris.”

“Itu berarti saat kau di padang rumput sebulan yang lalu... kau sengaja?” tanya Green tak mempedulikan ucapak Drasyl sebelumnya. “Kurang lebih begitu... Mereka bilang kau senang berada di bawah pohon ek itu kala sendirian.”

“Jadi sekarang... kau akan memaksaku keluar sana?”

Wajah Drasyl melunak. “Bagaimana mungkin aku memaksa diriku sendiri? Aku tidak sanggup melakukan itu.”

“Lalu apa? Apa yang akan kau lakukan?”

“Aku ingin membicarakan ini denganmu.”

“Kenapa tidak dari awal?”

“Sudah kubilang, aku ingin mengenalmu lebih dahulu. Bukan sebagai aku, tapi sebagai Green yang menghabiskan separuh hidupnya berpetualang di tanah Mythard.