Hero of Mythology:Volume01 Chapter 04

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 4

14 Agustus 2035

Drasyl berjalan seorang diri melintasi padang rumput di seberang luar dinding Greeconia. Ia bersenandung sambil memperhatikan tingkah lucu anak-anak Satyr mengejar capung. Lalu tampak satu Satyr dewasa muncul melintas tidak jauh dari tempatnya berada. Kedua tangannya pun langsung terasa gatal.

Dimaterialisasinya sebuah busur di tangan kiri, dan anak panah di tangan kanan. Sudah tentu, kedua senjata itu adalah senjata berlevel tinggi, bukan mainan untuk pemula seperti yang ia gunakan dulu. Kemudian ia membidik, menarik anak panah hingga batas elastis tali busur.

“Sampai jumpa.”

Anak panah itu langsung melesat deras begitu dilepaskan. Benda kecil itu menembus tengkorak sang Satyr tanpa peringatan, membuat monster itu terbunuh tanpa pernah tahu apa yang membunuhnya.

“Serangan kritikal!” Seru Drasyl senang. Sebulan yang lalu, ialah yang hampir mati dikejar-kejar si monster kambing. Dan hal itu pun mengingatkannya. “Tak terasa sudah sebulan.”

Ya, sebulan yang lalu adalah saat di mana ia memulai petualangannya di Heroes of Mythology sebagai Archer. Berawal dari nol, tapi kini ia telah mencapai level tertinggi, mempelajari berbagai skill memanah nan mematikan, juga memiliki senjata-senjata langka. Tentu saja, segala pencapaian luar biasa itu tak bisa ia usahakan sendiri. Kalau bukan karena dukungan seorang Blademaster veteran, sampai sekarang mungkin ia masih kebingungan berkelana menjelajahi seantero Mythard untuk mencari tempat berburu yang tepat.

Selama sebulan ini Blademaster itu memberi bantuan dalam berbagai cara. Ia meminjamkan peralatan, menunjukkan tempat berburu, bahkan terkadang menjadikan dirinya sendiri umpan sehingga Drasyl dapat bebas menembakkan anak panahnya. Sungguh teknik bermain yang hanya bisa didapat melalui pengalaman bertahun-tahun.

Sekilas, hubungan mereka bagaikan guru dan murid yang serasi. Sang guru melakukan apa saja untuk membimbing muridnya, dan sang murid melakukan apa saja untuk tidak menyia-nyiakan kebaikan gurunya. Namun diam-diam, ada hal yang selalu mengganjal dalam hati Drasyl. Sesuatu yang belum pernah ia ungkapkan langsung, tapi mendorongnya untuk terus mengamati.

Sesampainya di dekat satu-satunya pohon ek yang tumbuh di antara padang rumput, ia melihat seorang pria sudah menunggu sambil tidur-tiduran. Blademaster yang membantunya mencapai level maksimal dalam waktu singkat. Pemain yang membangkitkan rasa penasarannya.

“Green!” seru Drasyl seraya melambaikan tangan seperti biasa.

“Lama sekali!” balas Green juga seperti biasa.

“Maaf,” ujar Drasyl mulai berlari kecil, lalu mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah sang Blademaster. “Aku ada sedikit pekerjaan. Kau sendiri... sudah log in berapa lama?”

“Aku? Tidak lama,” jawab Green singkat, lalu berpikir untuk menambahkan, “tidak lama sebelum kau datang.”

“Kukira kau sudah menunggu lama?”

“Err... Memang. Waktu itu relatif, apalagi terhadap orang yang menunggu. Menunggumu satu menit terasa seperti satu jam!” ujar sang Blademaster dengan nada memarahi. Lalu matanya bergerak menyelidik, seolah harusnya ada sesuatu yang bersembunyi di balik tubuh Drasyl. “Ngomong-ngomong di mana Tiara?”

“Tiara? Apa ia tak memberi tahumu? Ia sedang ada urusan keluarga.”

“Oh...” Green mengangkat kedua alisnya. Sekilat cahaya sesaat memancar di matanya, menunjukkan emosi tertentu. “Ya sudah apa boleh buat... Sekarang kau mau ke mana? Apa lagi yang kau incar?”

“Sebentar...” Drasyl membuka layar hologram untuk mencari daftar hadiah beserta lokasi dungeon untuk mendapatkannya. “Bagaimana kalau kita pergi Yggdrasil, tempat semua ini bermula.”

“Apa?”

“Maksudku...” jelas sang Archer sebelum terjadi salah paham. “Yggdrasil disebut sebagai pohon dunia kan, di mana semua bermula?” Green mengerutkan dahi, “Kurang lebih.” Kemudian ia bangkit berdiri, lalu membersihkan celananya dari tanah dan rumput. “Tapi ada banyak cabang dungeon di Yggdrasil, mana yang mau kau jelajahi?”

“Nilfheim,” kata Drasyl mantap. “Aku ingin mengalahkan Nidhog sang naga.”

“Mengapa tak sang elang?”

“Hadiahnya... Token emas dari Nidhog lah yang kuinginkan.”

“Oke,” ucap Green seraya mengangkat kedua alisnya. “Kita berangkat sekarang?”

Yggdrasil adalah pohon kehidupan yang akar-akarnya menghubungkan sembilan dunia. Ada Asgard, - tanah para dewa –, Jotunheim – tanah para raksasa –, Midgard – tanah para manusia –, dan banyak lainnya. Namun di antara semua, ada tanah yang selalu diliputi kegelapan. Tanah tempat dikurungnya Nidhog sang naga di bawah akar terdalam Yggdrasil.

“Kau yakin ini jalannya?”

“Ya.”

Drasyl dan Green – kedua pahlawan – berjalan menyusuri dungeon Yggdrasil. Lorongnya seperti goa yang terbentuk dari dinding tanaman. Coklat, ditumbuhi lumut dan jamur pada beberapa bagian. Kadang batang kecil yang berdaun-daun mencuat dari langit-langit. Sementara permukaan lantainya tersusun dari jalinan akar kecil yang bergelombang hingga mempersulit langkah.

“Niflheim memang agak jauh.”

Lalu sunyi. Sesekali muncul Troll, monster besar setinggi tiga meter. Nafasnya amat bau, sampai-sampai bisa tercium jauh sebelum sosoknya tampak. Namun jelas ia bukan masalah bagi kedua pahlawan. Setelah membereskan makhluk-makhluk itu, sunyi kembali datang.

“Ehm,” Drasyl melancarkan tenggorokan. “Tidak terasa ya tinggal sebentar lagi.”

“Iya, sebentar lagi kita sampai Nilfheim.

”Bukan... Maksudku, sebentar lagi event ini selesai.”

“Oh,” respon Green singkat.

“Kukira sebulan itu lama, tapi berlalu begitu saja,” lanjut Drasyl, “tiba-tiba levelku sudah setinggi ini.”

“Yah, perjuanganmu tidak sia-sia,” kata Green disertai sebuah tepukan tunggal ke bahu.

“Tapi rasanya sayang kalau petualangan seseru ini diakhiri.”

“Iya,” Sang Blademaster mempercepat langkah hingga posisinya memimpin jalan di depan. Keheningan kembali menyelimuti. Cuma suara decit sepatu di atas kayu berlumut yang terdengar berulang-ulang.

“Hei,” Untuk kedua kalinya Drasyl memulai pembicaraan. “Aku mau tanya...”

“Tanya saja.”

“Bagaimana jika dunia ini berakhir?”

Green terkesiap mendengar pertanyaan itu. Ia berhenti, lalu memandang Drasyl keheranan. Ekspresinya tidak percaya, seperti orang yang ragu apakah baru saja melihat hantu.

“Dunia ini? Maksudmu Mythard?” tanyanya memastikan.

“Betul.”

“Kau ini bicara apa,” Green membentuk senyum, tapi senyum yang dipaksakan. “Kau bicara seolah dunia benar-benar akan kiamat. Hanya server ini saja yang akan ditutup.”

“Aku baru merasakan permainan realita virtual seperti ini,” kata Drasyl. “Walau cuma sebulan, tapi aku mulai menyukainya. Rasanya aku masih ingin mengeksplorasi banyak hal.”

“Ayolah, pasti masih ada banyak permainan realita virtual yang lebih seru. Heroes of Mythology sudah ketinggalan zaman. Itu sebabnya pula server ini ditutup, kan?”

“Kau benar,” Drasyl menganggukkan kepala satu kali. Namun saat ia mengangkat wajah, tatapannya terpaku tajam pada sang lawan bicara. “Masalahnya, bagaimana denganmu?”

Pria itu – sang Blademaster - terperanjat. “Aku tak mengerti,” katanya, “mengapa kau bertanya seperti itu?” Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan penelusuran dungeon. “Oh ya, mungkin maksudmu, aku akan merasa sedih karena kehilangan? Memang banyak yang bilang begitu. Aku terlalu terikat pada permainan ini. Tapi itu benar, aku memang sangat menyukainya. Karenanya setelah ini pun, aku tak ada niat untuk mencoba permainan lain. Anggap saja petualanganku sudah berakhir.”

Terdengar kecanggungan dalam rentetan kalimat barusan. Green berbicara cepat nyaris tanpa jeda. Ia bertanya sendiri, lalu menjawab sendiri. Ia bahkan menjawab untuk hal yang tak ditanyakan.

Lama kelamaan lorong yang mereka lewati menyempit. Dindingnya hanya muat untuk dilalui satu orang pada satu waktu, dan langit-langit amat rendah hingga mereka harus sedikit menundukkan kepala.

“Green,” panggil Drasyl.

“Apa lagi?!”

“Kenapa sebelumnya kau berkata ‘pasti masih ada banyak permainan virtual yang lebih seru’?”

“Memangnya... itu salah?”

“Tidak, tapi kau bilang ‘pasti’. Itu adalah opini. Mengapa kau beropini untuk hal itu?”

“Aku tidak terlalu mengikuti perkembangan.”

“Sama sekali tidak? Kau benar-benar fokus pada Heroes of Mythology? Kau tak pernah tergiur untuk mengintip ada permainan apa selain ini?”

“Sama sekali tidak.”

“Sebuah sentimen...” Drasyl memberi jeda sebelum melanjutkan kalimat yang diberi penekanan, “Atau kau tidak memiliki akses untuk itu?”

Akhirnya jalur lubang sempit berakhir. Begitu keluar, sebuah ruang yang amat besar menyambut mereka. Masih terbuat dari dinding tanaman, namun terdapat bekas koyakan di seluruh lapisannya. Baik di permukaan lantai mau pun langit-langit. Pengandaian paling dekat untuk menjelaskan tempat itu adalah seperti bagian dalam apel yang berlubang setelah digerogoti ulat sedikit demi sedikit. Pertanyaannya, makhluk apa yang mampu menggerogoti hingga ke skala sebesar ini.

Udaranya lembab, dengan bau kayu bercampur asam menguara di udara. Aroma itu akan membuat hidung mengernyit saat pertama kali menciumnya.

“Drasyl!” Bentak Green sama sekali tak mempedulikan hal itu. Wajahnya tampak memerah dengan mata terbelalak lebar. “Apa yang bicarakan semenjak tadi?! Apa maksud perkataanmu?!”

Agak terhentak, tapi sang Archer berusaha untuk tetap menjaga ketenangannya. “Seberapa pun contanya kau pada Heroes of Mythology, mengapa petualanganmu harus berakhir bersamanya?”

“Karena – “

“Kau tidak bisa log out kan?” tembak Drasyl. “Itu sebabnya petualanganmu akan berakhir di sini. Kau tak yakin apakah masih bisa bernafas di luar sana ketika server ini ditutup.” Ekspresi Green berubah kaku, laksana seseorang yang baru tersambar petir. Nafasnya menggantung di udara, seolah memberi ruang untuk berpikir. “Kenapa aku harus... tidak bisa log out?”

“Harus atau tidak, bukan itu pertanyaannya,” ujar Drasyl. “Pertanyaannya adalah apa kau tidak bisa log out?”

“Tentu saja bisa...”

“Kalau begitu bisa kau jawab ini?” Sekarang keduanya berhadapan bagai koboi yang akan melakukan duel. Drasyl seolah hendak menembakkan peluru dan Green bersiaga untuk mengantisipasinya. “Seperti apa bentuk E-Fon terbaru? Apa keunggulannya?”

Green terdiam. Matanya terus mengawas Drasyl waspada sedang rahangnya mulai bergemeletak. “Aku... bukan tipe penyuka gadget.”

“Apa menu sarapanmua tadi pagi? Di dunia nyata?” Belum apa-apa pertanyaan berikutnya sudah dilontarkan. Ketika sang Blademaster tampak berpikir, pertanyaan berikutnya datang. “Mengapa harus berpikir? Apa kau lupa? Kapan terakhir kali kau menyantap sarapan?”

“Jadwal makanku tidak teratur!” seru Green gusar. “Wajar aku lupa! Aku lebih banyak menghabiskan waktu di sini!”

“Itu berarti tadi pagi kau tidak sempat log out kan? Tapi itu berbeda dengan pernyataanmu sebelumnya! Kenapa kau berbohong?”

Green menelan ludahnya sendiri. Selama ini ia telah menghadapi banyak monster mengerikan dalam mitologi. Kronos, Tutankhamun, hanya sedikit dari kegelapan yang pernah ia taklukkan tanpa rasa takut yang terlintas sedikut pun. Namun saat ini sang pemain legendaris terlihat amat pucat, di hadapan Archer yang seharusnya bisa ia habisi kapan pun ia mau.

“Ada satu hal yang tidak kau tahu, yang diam-diam kulakukan,” kata Drasyl. Melihat sang Blademaster hanya diam, ia melanjutkan. “Dua, tiga, atau empat jam setelah log out, sering kali aku melakukan log in sesaat hanya sekedar untuk melihatmu dalam daftar pertemananku. Ajaibnya, statusmu selalu online.”

“Aku selalu mengatakannya kan,” akhirnya Green mencoba menyusun kalimatnya. “Aku masih ada keperluan.”

“Tapi yang kulihat hanya pemain yang duduk diam menunggu di bawah pohon ek. Tidakkah kau punya sesuatu untuk dikerjakan di luar sana, di dunia nyata? Ah, semua orang pasti punya, setidaknya untuk mengisi perut. Manusia akan mati jika tak mengisi perut. Tapi kau tetap saja berada di sini.”

Wajah Green makin pucat. Matanya berkeliaran seperti sedang mencari jalan keluar, tapi tak menemukannya. Di tempat itu, hanya ada mereka berdua. Melarikan diri atau marah pun sama saja membuktikan bahwa tuduhan yang dilontarkan padanya adalah benar adanya. Maka tak ada lagi yang bisa dilakukan selain tersenyum pasrah.

“Kau benar, aku tidak bisa log out. Entah sejak kapan.”

Akhirnya pengakuan itu keluar. Selama perjalanan panjang Heroes of Mythology, ini adalah pertama kali hal semacam ini terjadi. Sebelumnya tak pernah ada laporan serupa. Ironisnya, kecelakaan ini justru menimpa sang pemain legendaris. Drasyl perlahan mendekati Green, lalu menepuk bahunya. “Tenang, aku akan membantumu keluar.”

Bukannya berterima kasih, Blademaster itu malah menjawab dengan gelengan kecil. “Tidak perlu.”

“Kenapa?” Drasyl agak terkejut. “Kau bisa musnah apabila server ini ditutup.”

“Musnah ya musnah saja,” Green melepaskan tangan Drasyl di bahunya. “Apa bagusnya kembali ke ‘dunia itu’? Tidak ada yang menungguku di sana.”

Belum sempat sang Archer membalas, terdengar geraman dalam, yang menggetarkan kuduk mereka. Geraman itu yang seharusnya tak pernah lagi didengar oleh manusia yang hidup sekarang, namun pernah meneror suku-suku primitif sebelum akhirnya dewa sendiri yang mengurung pemilik geraman tersebut.

Sontak Drasyl dan Green mencarinya. Dan ternyata tak jauh dari tempat mereka, di atas sebuah cuatan batang pohon besar, melata seekor reptil raksasa. Monster yang begitu ganasnya hingga butuh satu dunia – Nilfheim – sebagai kurungan, dan akar Yggdrasil sebagai pengunci.

Nidhog.

Matanya mendelik-delik dengan rahang terbuka lebar. Air liur mengalir deras melalui ratusan gigi yang setajam silet. Tak diragukan lagi benda itulah yang bertanggung jawab atas segala koyakan di seluruh dinding Nilfheim. Konon menurut kisah yang diceritakan turun temurun, sang monster akan terus menggerogoti akar Yggdrasil hingga berhasil bebas keluar.

Tubuhnya dilapisi sisik-sisik hijau lumut yang berkilatan seperti batu mulia. Badannya besar, panjang, tak kurang dua puluh meter dari ujung kepala hingga ekor. Terdapat dua pasang kaki kecil – depan dan belakang – yang secara ajaib mampu menopang pergerakan tubuhnya yang gigan.

Sepasang sayap mencuat di punggungnya. Tak lebar, tak terlihat untuk terbang, namun ujungnya berupa duri-duri hitam yang menakutkan.

“Besarnya...” celetuk Drasyl ternganga.

Tatapan Green juga terpaku pada monster itu. Refleks pedang besarnya termaterialisasi di tangan. Suara serak hampir seperti bisikan keluar dari mulutnya, “Nidhog harusnya tak sebesar ini...”

Kemudian sang monster merayap maju. Meski berkaki empat, ia meliuk-liukan badannya bak ular saat bergerak. Kecepatannya, bukan main. Tiba-tiba saja ia sudah berada di depan kedua pahlawan dengan rahang terbuka lebar.

“Tornado Slasher!”

Green melakukan tebasan berputar untuk melukai mulut Nidhog. Namun di saat bersamaan, sang monster mengatupkan rahang hingga pedangnya tergigit. Kunciannya total sampai-sampai Blademaster itu tak bisa menarik lagi pedangnya.

“Rapid Fire!”

Drasyl mengeluarkan sebuah skill pamungkas, berupa rentetan dua belas anak panah yang ditembakkan beruntun hampir tanpa jeda. Aura merah menyala dari mata bilah panah-panah itu. Tetapi ketika mengenai sisik Nidhog, semua serangan itu dipentalkan begitu saja.

“Pertahanannya terlalu kuat!” seru Green. “Statusnya pasti ditingkatkan untuk event ini!” Nidhog menggeram, lalu mengangkat kepalanya ke atas. Otomatis pedang yang digigitnya, beserta Blademaster yang memegang pedangnya erat, ikut terangkat ke atas.

Green menendang-nendang rahang monster itu, tetapi sudah peraturan bahwa serangan di luar sistem tidak akan memberikan kerusakan. Kemudian Nidhog membanting Blademaster itu, jauh ke depan, hingga membuatnya tersungkur terguling-guling. Belum selesai, monster itu kembali membuka rahangnya untuk menyemprotkan suatu cairan. Serta merta permukaan lantai dan sekitarnya meleleh, sementara Green mengalami kerusakan parah yang mengurangi hit point secara drastis.

“Aaargh!” teriaknya ketika berusaha bangkit. Rupanya cairan asam barusan memiliki efek melumpuhkan yang cukup fatal.

Nidhog kembali merayap mendekati mangsanya, sementara Drasyl berpikir keras. Tak mungkin ia dapat menghentikan monster itu jika anak panahnya tak bisa menembus sisik. Namun ia teringat suatu ketika Green pernah berkata, bahwa ini adalah permainan realitas virtual, sehingga memiliki hukum logika yang masih familiar dengan dunia nyata. Berpegang pada hal itu, ia mulai membidik.

“Rapid Fire!”

Dua belas anak panah kembali melesat. Tapi kali ini tak mengarah pada sisik yang menutupi sekujur tubuh, melainkan kepala – tepatnya mata. Sekuat apa pun sisiknya, harusnya mata tetaplah lembut.

Hantaman pun mengenai Nidhog bertubi-tubi. Pergerakan tubuhnya membuat serangan Drasyl tak langsung kena. Anak-anak panah awal menabrak pelipis, pipi, bahkan moncongnya. Namun panah-panah terakhir yang lebih akurat berhasil memenuhi tujuannya.

Mata kuning sang monster yang berpupil garis hitam itu tertancap dalam. Ia langsung berhenti, meraung, mengguncang-guncang kepala keras-keras. Berdasarkan hukum logika Heroes of Mythology, anak panah yang ditembakkan akan menghilang setelah beberapa saat.Begitu juga panah di mata Nidhog, menghilang beberapa saat kemudian. Namun kemarahan makhluk itu tak ikut menghilang, justru makin berkobar.

“RRROOAAAARRRRR!!!”

Nidhog benar-benar murka. Raungannya mengguncang jagad Nilfheim. Dan kali ini, ia mengincar sang Archer yang telah melukainya.

“Celaka,” Green langsung lari terbirit-birit.

Sebagai tipe petarung jarak jauh, ia tak mungkin punya kesempatan jika berhadapan langsung dengan monster itu. Sebenarnya kelas Archer memiliki skill yang memungkinkannya memasang jebakan untuk menghentikan pergerakan lawan, tapi saat ini ia menyesal karena tak mempelajarinya. Ia begitu yakin Green akan terus ada di garis depan untuknya.

Permukaan lantai yang tak rata, juga banyaknya akar timbul, membuatnya kesulitan melangkah. Dan baru saja ia berdecak mengeluhkan hal itu, kakinya terpeleset pada sebuah lubang bekas gerogotan Nidhog. Ia jatuh dengan bokong menghantam lantai. Refleks langsung membuatnya menoleh ke arah datangnya bahaya. Benar saja, sang monster sudah hampir menerkamnya. Segera ia angkat busur, lalu memasang anak panah pada senarnya.

“Rapid Fire!”

Heroes of Mythology adalah permainan realitas virtual yang mengadopsi sebagian hukum di dunia nyata. Tembakan skill yang dilakukan terburu-buru tanpa bidikan pun akan menyebabkan serangan yang acak. Anak-anak panah itu mengenai mulut, gigi, dahi, tapi tak satu pun sukses menancap di mata.

“Uwaaa!” Drasyl berguling ke samping, tepat sebelum rahang Nidhog mengoyak tubuhnya.

Namun ia belum lepas dari ancaman. Tiba-tiba ekor raksasa monster itu melesat seperti pecut, menghantamnya dengan gaya sebesar hantaman mobil. Ta ayal tubuhnya terpental jauh dengan pengurangan hit point yang dahsyat.

Kemudian terjadi pola serangan yang sama dengan yang dilakukan Nidhog pada Green sebelumnya. Monster itu membuka rahangnya labar, lalu menyemprotkan hujan asam. Bau busuk yang menyengat tercium bersamaan dengan melelehnya lingkungan sekitar. Tubuh sang Archer yang terjebak di dalamnya menjadi kaku seketika, sementara hit point berkurang dengan hitungan konstan.

Sekarang ia tak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Sang monster pun merayap mendekat, membuat kedua matanya terbelalak. Memang, makhluk ini hanyalah makhluk virtual yang tak akan menyakiti secara fisik, tapi melihat rahang yang dipenuhi gigi setajam silet itu mendekat tetap saja akan membuat keringat dingin membanjiri tengkuk.

“Meteorite Stomper!”

Entah dari mana Green melompat seperti belalang – tinggi – ke atas punggung Nidhog. Pedangnya yang diangkat tinggi bersinar di udara. Kemudian ia menghujamnya kuat-kuat di tubuh bagian atas monster itu, tepat di antara dua sayap kaku yang mencuat keluar.

Sang naga meraung dan pergerakannya terhenti. Ia memutar tubuhnya, hendak menangkap pengganggu yang naik di atas tubuhnya. Namun sang pengganggu lekas berpegangan pada salah satu cuatan sayap.

“Drasyl!!!” Teriak Green. “Aku baru ingat, coba tembak bagian bawah tubuhnya, lebih empuk!” Kemudian ia mulai menghujamkan pedangnya pada punggung Nidhog sambil terus berpegangan. “Aku akan mengurangi hit pointnya dari sini!”

Itulah permainan realita virtual. Meski di satu sisi mengikuti hukum dunia nyata, namun di sisi lain tetap berpegang pada hukum game. Pedang yang dihantamkan meski tak menembus sisik pertahanan akan tetap menghasilkan kerusakan yang akan mengurangi hit point.

Drasyl pun mengangguk sambil memperhatikan Nidhog yang kalang kabut. Dengan Green di atasnya, pemandangan itu seperti atraksi rodeo yang suka dilakukan para koboi. Kemudian ia menggunakan potion untuk memulihkan diri, lalu bersiap dengan busur dan anak panah. Pria itu bertekuk setengah lutut, dengan tubuh amat merunduk. Ia memegang busur di tangan kirinya secara horizontal hingga amat dekat dengan lantai. Dari posisi itu, ia bisa membidik bagian perut sang monster yang tak terlindung sisik hijau.

“Rapid Fire!”

Hujan panah kali ini langsung melesat mematikan. Spontan Nidhog meraung, lalu berniat mengejar orang yang berani menembaknya. Namun serangan bertubi dari Blademaster yang ada di atas punggungnya membuat fokusnya kacau, hingga akhirnya ia cuma berputar-putar bingung.

“Serang terus!!!”

Perlahan tapi pasti, sang monster tengah berjalan menuju kehancuran. Meski dewa yang mengurungnya di bawah Yggdrasil, namun sesungguhnya pedang dan panahlah yang membuatnya terlupakan dari ingatan umat manusia. Seolah menyadari hal itu, amukannya pun makin mengganas. Ia mengangkat kedua kaki depannya, tidak tinggi, tapi hentakannya membuat Green limbung, lalu terperosok jatuh.

“Green!” teriak Drasyl menyaksikan Nidhog berputar untuk menyantap sang pengganggu yang saat ini masih terbaring di lantai. Tanpa ragu pria itu membidik, lalu hendak melepas tembakan.

“Tunggu! Tenang!” Ternyata Green masih mampu berguling dan langsung berdiri. Ia bergerak lincah untuk menghindari gigitan rahang sang monster yang seperti mesin penghancur batu. “Aku akan terus mengalihkannya, baru kau serang!”

Drasyl terperangah. Memang benar, jika ia melepas tembakan barusan, Nidhog pasti akan berbalik dan mengejarnya. Tapi itu untuk menolong Green. Tapi, sang Blademaster ternyata jauh lebih memikirkan keselamatan dirinya. Pria itu memaksa untuk tetap berhadapan langsung dengan sang monster untuk menghindarkannya dari bahaya.

Archer itu mengeratkan rahangnya, lalu kembali menembak monster yang sedang sibuk bermain kucing-kucingan melawan Green.

Pertarungan pun berlanjut dengan sengit. Kedua pihak harus menjaga konsentrasi agar tak dikalahkan. Namun jika Nidhog memang pintar, harusnya sejak awal ia takkan bisa dikurung dalam Nilfheim, sedang umat manusia lah yang musnah menjadi santapannya. Dan saat ini, kekalahan monster itu terulang kembali. Akhirnya ia kehabisan hit point di tangan dua pahlawan Mythrard.

Ketika tubuh monster itu tergeletak tanpa nyawa, nyala sisiknya meredup hingga kusam seperti batu. Baru setelah itu badannya pecah dalam kristal-kristal cahaya. Terdapat token emas sebagai hasil buruan. Selain itu ada satu item lain, berupa busur hijau dengan semburat-semburat keemasan. Drasyl mengambil keduanya, sedang Green duduk puas di atas sebuah gelondongan batang pohon.

“Kau lihat? Aku berhadapan dengan naga ganas. Salah sedikit saja tubuhku akan dilumat habis. Bagaimana kau menyebutku kalau bukan seorang pahlawan?” ujarnya penuh keagungan.

“Green...” sang Archer hanya bisa menggumam. Memang benar, ia sendiri tak akan sanggup melakukan aksi seperti itu. Rasa ngeri dan tekanan akan membuat gerakannya berantakan.

“Tapi di luar sana,” tiba-tiba, Blademaster itu menampilkan sebuah senyum, yang tak pernah ia perlihatkan pada siapa pun sebelumnya. Senyum dengan banyak makna tersirat di dalamnya. Antara takut, sinis, ngeri, getir... “Di luar sana... aku...” Ia tak menghabiskan kalimatnya.

“Tapi jika tak keluar, kau bisa mati bersama server ini!”

“Apa kau pernah dengar sebuah ucapan?” tanya Green, “Lebih baik hidup sehari sebagai singa, daripada setahun sebagai domba. Meski hidupku hanya tinggal sesaat lagi, aku lebih memilih mati sebagai pahlawan, ketimbang melanjutkan hidup sebagai pecundang.”

“Itukah sebabnya...” kedua mata Drasyl terbelalak lebar, seolah tak percaya. “Itukah sebabnya selama ini kau terus bermain seolah tak terjadi apa-apa?”

“Malah, inilah mimpiku yang jadi nyata. Duniaku bukan lagi dunia di mana aku tak ada harganya. Duniaku adalah dunia yang menyanjungku sebagai pahlawan. Karena itu sekarang, biarkan aku binasa sebagai pahlawan.”

Drasyl menghela nafas pasrah. Ia masih sulit mempercayai kata-kata pria di hadapannya. Meski, itulah fakta. Kadang kenyataan amat menyakitkan hingga membuat orang berusaha lari – bahkan memilih mati meninggalkannya.

“Dan hei, kenapa kau harus memusingkanku?” ucap Green dengan nada mengejek. “Kau sudah mendapatkan token-token hadiah yang kau mau.” Drasyl melihat token emas Nidhog di tangannya, lalu menghela nafas, “Kau kira aku murni menginginkan ini? Biar kuceritakan sesuatu.” Dengan wajah muram ia memulai. “Dulu ada seorang anak remaja yang hidup dalam tekanan. Ia tak memiliki kelebihan apa pun, namun begitu kedua orang tuanya menaruh harapan tinggi padanya. Maka tak heran, jika kerap kali ia membuat orang tuanya kecewa.”

“Mengapa... kau tiba-tiba menceritakan ini?”

Tak mengindahkan pertanyaan itu, Drasyl meneruskan. “Celakanya ia juga tak memiliki teman di sekolah. Orang-orang selalu menyebutnya bodoh, berpikiran lambat, meski sebenarnya ia hanya tertekan. Tidak ada yang tahu sudah berapa kali anak itu ingin melepaskan diri dari dunia ini. Tetapi hati pengecutnya selalu mencegahnya melakukan itu. Sampai suatu hari, ia menemukan sebuah permainan yang mampu membawanya ke dunia lain. Permainan realitas virtual pertama di dunia : Heroes of Mythology.”

Green bangkit berdiri lalu berjalan dengan marah. Ia menarik kerah Drasyl dengan kedua tangannya. “Siapa-yang-sedang-kau-ceritakan?!”

“Tak perlu ditanya, anak itu tenggelam dalam permainan,” kata Archer itu tak mengacuhkan sang Blademaster. Tatapannya tetap tajam terpaku menusuk lawan bicara. “Dunia anak itu sudah tertukar. Keyakinannya antara realitas asli dan virtual pun tidak lagi sama. Ia bisa tak makan dan tidur berhari-hari – bahkan bolos sekolah – untuk bermain.”

“Apa kau tidak dengar kataku?!” teriak Green tepat di wajah Drasyl, pun begitu sang Archer tetap tenang melanjutkan cerita.

“Sayang bukannya sadar akan kesalahan mereka, kedua orang tuanya malah makin gusar, terutama sang ibu. Ia tak mau melihat anaknya menjadi anak menyedihkan yang lari dari kenyataan tanpa pernah berpikir mungkin ialah penyebabnya. Lalu suatu malam, terjadi pertengkaran hebat di antara mereka. Si ibu memarahi si anak dan memasukkan berbagai ide tentang kebenaran, sedang di sisi lain si anak yakin jika kebenarannya tak bisa dimengerti orang lain. Dalam hati yang dibakar amarah, si anak berlari lalu mengunci kamarnya, memasang helm permainan virtual, dan bersumpah untuk tak pernah lagi keluar dari dunia mimpinya. Dan setelah itu mimpinya memang jadi nyata. Ia tak pernah lagi log out hingga detik ini. Tapi apa kau tahu, apa yang sebenarnya terjadi saat itu?”

Green tak lagi berteriak. Malah, sekarang ia menatap Drasyl penuh rasa penasaran. Meski enggan, mulutnya tetap mengajukan pertanyaan. “Apa yang terjadi... saat itu?”

“Saat itu, usai si anak mengunci diri di kamar, kedua orang tuanya mendobrak masuk. Melihat anaknya sudah kembali tenggelam dalam dunia palsu, si ibu menjadi histeris. Ia menarik paksa perangkat yang mengunci pikiran anak itu. Sesuatu yang harusnya tak boleh dilakukan.”

“Jadi... begitu...” Green melepaskan cengkramannya di kerah Drasyl. Ia berjalan mundur dengan kikuk, sampai kakinya tersandung. Untunglah ia tak sampai jatuh. “Lima belas tahun lalu... setelah anak itu kembali ke dunianya, ia berlari kalap menyusuri lorong Yggdrasil. Ia berlari terus, tanpa henti. Sehari? Dua hari? Atau tiga hari? Yang jelas setelah emosinya reda dan ia keluar dari dungeon, menu log out di layar hologramnya sudah tidak ada. Saat itu ia menganggapnya anugrah. Tapi siapa sangka, jika ibu yang menyakitinya, justru yang memberikan anugrah tersebut.”

Green menggosok-gosok tengkuknya, lalu sedikit menelengkan kepala. Alisnya terangkat tiba-tiba seolah sesuatu baru terlintas dalam benaknya.

“Kalau alatnya ditarik paksa,” katanya, “dan aku tetap tertinggal di sini... apa itu berarti hanya pikiranku yang terjebak di dalam server? Aku-aku cuma penasaran. Bagaimana tubuhku di luar sana?”

“Tubuhmu sehat dan terus menjalani hidup.”

Kedua mata Green terbelalak lebar. Ia terperanjat. “Bagaimana mungkin...”

“Awalnya aku sendiri tidak percaya,” kata Drasyl. “Tapi biar kujelaskan secara lebih rinci.”

“Siapa kau... sebenarnya?”

“Dengarkan ini, nanti kau akan tahu sendiri.”