Hero of Mythology:Volume01 Chapter 03

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 3

13 Agustus 2035

Pyramid, sebuah dungeon tempat harta Tutankhamun tersimpan. Konon saking banyaknya, sang pharaoh sampai tak bisa tenang dalam kematian meski dikubur bersama harta itu. Rohnya terus terikat dalam mayat yang membusuk untuk menghabisi para penjarah yang datang.

Tapi meski kengeriannya telah mengutuk seantero dataran, hal itu sama sekali tak menghentikan langkah para pahlawan Mythard. Mereka kerap berdatangan demi mengejar kekayaan duniawi. Dan untuk itulah saat ini Tiara berada di dalam lorong Pyramid yang dipenuhi ukiran hieroplyph.

Gadis itu berdiri di sebelah Drasyl sang Archer, di belakang Green sang Blademaster. Di depan sana, sekawanan penjaga makam terlihat memenuhi lorong. Mereka adalah prajurit bertubuh kekar dengan kulit perunggu, bersenjatakan pedang kopesh. Geram dan lenguhan terus terdengar seirama langkah kaki.

“Jangan gentar, para pahlawan Mythard!” Tiba-tiba Green berseru lantang sambil mengacungkan pedangnya. “Aku akan menahannya, kalian serang terus!”

“Hei,” Tiara mendesis, “Kau berteriak seperti pahlawan di film. Norak sekali.”

“Shh,” Green balas mendesis. “Diam dan ikuti saja instruksiku!”

Tiara tak menjawab, tapi tak kuasa menahan senyum lebar. Terlepas dari ledekan yang ia lontarkan, sebenarnya seruan Green berhasil membuat semangat dalam dadanya berapi-api. Berada dalam formasi tempur, menghadapi terjangan monster, sesuatu yang tak pernah gagal membawanya ke dalam gejolak ekstasi.

Lalu para penjaga makam yang sudah berjarak cukup dekat mulai menyerang. Tak mau kalah, Green juga menerjang. Ia berteriak lantang lalu melepas skill berbahaya.

“Tornado Slasher!”

Sang Blademaster mengayun pedang dengan putaran tiga ratus enam puluh derajat. Tekanan angin keluar menyertain tebasan yang penuh tenaga. Tiga penjaga makam terdepan langsung terhempas seketika, menabrak rekan-rekannya yang berbaris di belakang.

“Kalian jangan diam saja!” Ia berteriak lagi.

“Maaf,” seru Drasyl yang segera melepaskan tembakan. Anak-anak panahnya melesat melalui celah antara tubuh Green dan dinding batu, menghantam para monster.

Sementara Tiara agak berdecak, lalu melakukan tugasnya seperti biasa. Gadis itu mulai merapal, kemudian sihir-sihir penghancur berkekuatan tinggi melesat dari ujung tongkatnya. Bola-bola api dan petir berkilatan, meledak, menghujam setiap penjaga makam. Oh, apa ada yang lebih baik dari ini? Melumat musuh dari tempat aman sementara orang lain berjaga di depan sana. Kombinasi yang disebut sebagai kerja sama tim.

Lama kelamaan gadis itu terbawa suasana. Ia begitu fokus hingga tak menyadari kehadian monster yang mengendap-endap dari sisi lain lorong – arah belakang mereka. Sosok manusia bertubuh hitam pekat dengan kepala anjing. Dua buah kopesh hitam teracung pada masing-masing genggamannya.

Anubis.

Tiba-tiba monster itu berlari tanpa suara. Saat di mana Tiara menyadari kehadirannya adalah setelah punggungnya menerima tebasan beruntun dua bilah kopesh monster itu. Bar hit pointnya langsung berkurang setidaknya sepuluh persen.

“Aaaaa!” Ia menjerit spontan meski tak merasa sakit.

Drasyl langsung bergerak mengantisipasi saat menyadari kesalahan. Ia berbalik lalu melepaskan anak panah yang kebetulan sedang terpasang di busur. Serangannya cepat, tapi refleks Anubis tak kalah cepat. Monster itu langsung menyilangkan kedua pedang kopeshnya untuk menepis anak panah. Tapi setidaknya itu cukup untuk menghentikan pergerakan sang monster yang hendak melukai Tiara makin parah.

“Mundur!” seru Drasyl, tapi gadis itu sulit mengartikannya. Ke mana mereka harus mundur di saat monster mengepung dari dua sisi lorong

“Tiara! Drasyl!” terdengar seruan Green yang berlari menyusul mereka. Di belakangnya mengejar mengejar gerombolan penjaga makam. Namun ia tak peduli, malah fokus pada monster hitam berkepala anjing. Ia mengangkat pedangnya tinggi untuk ancang-ancang. “Bone Breaker!”

Anubis kembali menyilangkan kedua pedang kopeshnya untuk menangkis serangan. Namun saat pedang Blademaster itu menghantam kopeshnya, aliran energi seperti mengalir, memberi efek kejut yang membekukan. Monster itu pun terdiam ketika berusaha memberpetahankan posisi keseimbangan.

Di sisi lain, Green lekas menarik pedangnya lalu melancarkan serangan berikutnya. Sebuah tusukan yang mengarah tepat ke jantung pertahanan lawan.

“Diamond Piercer!”

Kali ini Anubis kena telak. Tubuhnya terpental jauh ke belakang.

“Lari! Kita atur ulang formasi!” komando Green yang langsung mengambil langkah seribu.

Tak punya pilihan, Tiara dan Green mengikuti sang Blademaster. Toh tanpa petarung garis depan, penyerang jarak jauh seperti mereka tak akan berdaya. Namun itu tak membuat para pengejar berhenti. Mereka justru tampak makin ganas. Tiara pun segera bertindak. Sambil berlari ia mulai membisikkan mantra. Ketika meteran castingnya terisi penuh, ia berbalik dan mengarahkan tongkat pada kawanan penjaga makam dan Anubis.

“Ice Stake!”

Tiba-tiba muncul belasan sula yang menghujam tubuh monster-monster itu, dari bawah ke atas. Otomatis gerak mereka terhenti. Selain itu lorong sempit juga membuat monster yang berada di baris belakang jadi terhalang sepenuhnya.

“Kerja bagus!” puji Green tanpa perlu menoleh ke belakang, seolah ia sudah hafal dengan pekerjaan rekannya itu.

Tiara hanya tersenyum simpul, meski dalam hatinya membuncah senang. Yang barusan ia gunakan adalah skill kebanggaannya sebagai Spellcaster. Perlu menyelesaikan quest rahasia yang amat panjang untuk bisa mendapatkannya. Namun, bukan Ice Stake skill yang dimaksud, melainkan sebuah skill pasif yang memungkinkannya melakukan casting meski dalam posisi berlari. Walau, terdapat kelemahan juga di mana waktu casting menjadi lebih panjang dari biasa.

“Belok sini!” seru Green mantap.

“Kau yakin?!” tanya Drasyl meski tetap mengikuti juga.

“Peta dungeon ini sudah kuhafal di luar kepala!”

Ya, Tiara amat yakin akan hal itu. Petualangannya bersama Green selama bertahun-tahun silam yang membuatnya tak ragu akan kemampuan Blademaster itu menghafal peta dungeon – serumit apa pun itu. Dalam diam ia ikut berbelok di persimpangan lorong.

“Sudah cukup, kita hadang mereka di sini!” seru Green tiba-tiba berbalik di ujung lorong. “Kalian berlindunglah di belakangku... Oh ya!” Ia menunjuk ke lantai. “Keramik itu, jangan diinjak! Itu jebakan!”

“Eh?”

Cklek –

Drasyl, yang hanya terpaut dua setengah langkah di depan Tiara, menginjaknya. Sebuah petak menonjol di permukaan lantai yang berwarna lebih gelap dari petak lainnya.

Setelah itu tak ada kesempatan untuk bereaksi. Lantai lorong di sekitar keramik itu langsung terbuka, menjatuhkan Tiara beserta sang Archer ke dalam lubang gelap yang seperti tak berujung. Hanya sedetik kemudian lantainya menutup lagi.

Green yang paling tahu, bahwa jebakan tak akan tebruka lagi dalam setidaknya lima belas menit ke depan. Dengan gerombolan monster yang berdatangan ke arahnya, maka tak mungkin juga ia tetap di sana untuk menyusul.

“Drasyl... Tiara...” gumamnya sambil melanjutkan pelarian. “Teganya kalian meninggalkanku.”

Kejatuhan yang luar biasa dalam. Untung saja ini adalah dunia virtual. Di dunia nyata, jatuh dari ketinggian seperti barusan akan menyebab tubuh Tiara hancur berantakan. Sambil mengusap-usap pinggul – lebih karena kebiasaan setelah jatuh ketimbang rasa sakit – gadis itu melihat ke lubang di langit-langit.

“Kau punya skill untuk terbang kembali ke atas sana?” tanya Drasyl sepolos susu.

“Tidak, aku hanya kagum bisa selamat dari ketinggian itu.”

“Oh... Ngomong-ngomong, di mana ini?” tanya Drasyl lagi sambil melihat-lihat ukiran hieroglyph di dinding.

“Mana kutahu...” jawab Tiara menggumam. “Yang pasti masih di dalam Pyramid.” Tiba-tiba sebuah pesan terdengar masuk, “Kalian, bisa dengar aku?”

Baik Tiara dan Drasyl langsung sigap menjawabnya, “Ya!”

Sang gadis Spellcaster menambahkan, “Di mana kau?”

“Di tempat yang jauh dari kalian. Banyak sekali monster di sini.”

“Kami akan segera ke sana!” ujar Drasyl cepat.

“Tidak usah, tenang saja, aku bisa mengatasinya,” jawab Green santai. “Hei, bagaimana kalau kita langsung bertemu di depan ruang Tutankhamun?”

“Serius?”

“Ya, untuk mempersingkat waktu.”

Tiara dan Drasyl saling berpandangan, lalu keduanya mengangguk bersamaan tanda setuju.

“Baik!”

“Oke! Sampai bertemu di sana! Kalian hati-hatilah!”

Lalu sambungan pesan terputus.

“Apa ia akan baik-baik saja?” tanya Drasyl sejurus kemudian.

“Pastinya,” jawab Tiara tanpa berpikir dua kali.

“Tapi ada banyak monster di atas sana.”

“Sudah, tenang saja!” ujar gadis itu gregetan seraya menepuk bahu Drasyl keras. “Orang itu adalah tipe petarung Rambo. Ia tidak akan mati meski berhadapan dengan seratus musuh sekaligus!” Ia berhenti sejenak sebelum bicara dengan nada sinis. “Malah justru keselamatan kita yang perlu dikhawatirkan.”

“Eh?”

“Kita berdua adalah tipe petarung jarak jauh. Kalau sampai tersudut, habislah kita.”

Tampak ekpresi berkerut Drasyl yang baru menyadari kenyataan itu. Kini ia tak lagi merasa aman meski kelompoknya terdiri dari dua orang.

“Tapi berdoa saja,” ujar Tiara sambil mengangkat tangan kanannya ke depan. Serta merta muncul layar peta hologram di ujung jarinya. Ia mulai mengamati peta itu beberapa saat. “Sebaiknya kita bergegas.”

Namun keningnya segera berkerut. Beberapa kali ia memperbesar dan memperkecil gambar, lalu menggeser-geser secara menyeluruh.

“Hei... Tiara...” panggil Drasyl pelan.

“Apa?!”

“Bisa bagi petanya padaku? Biar aku coba membacanya.”

“Ukh...” Sesungguhnya gadis itu merasa amat direndahkan. Tapi yah, memang ia selalu bingung melihat lekak-lekuk abstrak pada peta. “Baiklah.”

“Kalau ada monster, aku akan langsung mengaktifkan Ice Stake, lalu kau panah terus. Kalau monsternya belum mati, kita pakai strategi hit and run. Jangan terlalu lama berdiam, karena bisa-bisa kita dikepung.”

Tiara terus menjelaskan panjang lebar pada Drasyl yang memimpin jalan sambil memperhatikan peta. Archer itu kerap mengangguk-angguk pasrah. Yah, setidaknya inilah yang bisa dilakukan gadis itu untuk menebus rasa ketidakbergunaannya karena tak mampu membaca peta atau menghafal jalan dungeon – mengingat statusnya sebagai pemain veteran.

Tapi lorong ini cukup sepi. Sejak tadi sama sekali tak ada tanda kehidupan kecuali beberapa kumbang yang melintas.

“Ah, jalannya membingungkan juga,” celetuk Drasyl kemudian.

“Ya kan? Ya kan? Membingungkan?” entah mengapa Tiara sedikit terhibur.

“Aku jadi heran, bagaimana Green bisa menghafal tiap tikungan dalam dungeon ini.”

“Bukan cuma dungeon ini,” koreksi Tiara, “Kurasa hampir setiap dungeon di Heroes of Mythology.”

Drasyl menatap gadis itu takjub.

“Itulah Green,” Tiara mengendikkan bahu dengan senyuman lembut, “Di sini, bisa dikatakan ia adalah pemain legendaris. Jika permainan ini memiliki mitologinya sendiri, maka tak perlu diragukan, ia adalah bagian dari mitologi tersebut.”

“Wow,” mulut Drasyl membentuk lubang besar. “Aku memang tidak tahu seperti apa ia dulu. Yang kutahu selama sebulan ini, ia adalah pemain dengan level puncak yang memiliki senjata-senjata langka. Selain itu aksinya terbatas dalam hal membantuku naik level. Tapi aku tak bisa membayangkan pahlawan seperti apa ia saat permainan ini masih berada dalam masa jayanya.”

Tiara berpikir. Tidak ada monster di sini. Dan perjalanan kelihatannya masih panjang. Jadi, ia memtuskan, “Mau kuceritakan?”

“Mau! Mau!” respon Drasyl cepat sambil mengangguk-angguk.

“Tapi ceritaku ini berdasarkan sudut pandangku ya...”

“Memang apa salahnya? Semua cerita juga pasti mendapat opini dari penceritanya meski sedikit apa pun.”

“Baiklah,” Tiara berdeham untuk melegakan tenggorokan. “Kau tahu kenapa aku menyukai permainan virtual reality ini? Heroes of Mythology?”

Drasyl mengendikkan bahu. Gadis itu sang Archer pasti kebingungan mengapa mulai dengan menceritakan dirinya sendiri. Tapi perjanjiannya jelas, ini adalah cerita dari sudut pandangnya. Dan suka tak suka, ia merasa harus mulai dari sini.

“Sejak dulu, aku tumbuh sebagi remaja yang merasa bahwa kehidupan ini terlalu biasa – “

“Remaja? Dulu?” tiba-tiba Drasyl menyela. “Jadi sekarang berapa usiamu?”

Spontan tangan Tiara membentuk tinju dan menghantam sendi bahu Drasyl. Tidak sakit, tapi cukup membuat pria itu terhempas ke dinding.

“Tolong jangan memotong kata-kataku.”

“Maaf.”

Gadis itu menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kisahnya. “Sekolah, bekerja, menikah, mempunyai anak, mengurus keluarga, hanya seperti itu. Semua seperti sudah digariskan. Dalam pikiranku yang dulu, aku gagal memahami apa yang menarik dari kehidupan seperti itu.

“Tapi,” gadis itu memberi jeda, “Suatu hari aku menemukan permainan ini.” Matanya menatap lurus ke mata Drasyl. “Aku bukanlah tipe pemain video game. Karena itulah yang kulihat pertama kali dari Heroes of Mythology adalah sebuah dunia baru dengan hukum dan logikanya sendiri. Di sini kau tak perlu memikirkan ujian, pekerjaan, sedang di sisi lain bahaya bisa datang kapan saja. Dan di sini, pahlawan itu nyata.”

“Green?”

“Ya,” Tiara mengangguk. “Entah kebetulan apa, aku bergabung dengan guild tempatnya bernaung. Sepertinya aku sudah pernah memberitahumu sebelumnya?”

“Pernah.”

Gadis itu meneruskan, “Aku yang dulu berpikir jika ia adalah pahlawan yang tak mungkin ada di dunia nyata. Ia memiliki kekuatan yang senantiasa berada di atas rata-rata anggota guild lain. Ia juga mampu memimpin pasukan ke dalam dungeon yang berisi monster ganas hingga kembali dengan selamat. Namun dengan reputasi yang hebat sekali pun, ia selalu menyempatkan diri membantu para pemula – dan tak terbatas pada anggota guild saja. Ya, persis sepertimu sekarang.”

“Jadi ia banyak membantumu saat kau masih pemula,” celetuk Drasyl. “Itu yang membuatmu mengaguminya?”

“Aku? Kagum?!” Mendadak wajah Tiara terasa panas. “Yah... Mungkin... dulu... begitu...”

“Bagaimana dengan sekarang?”

“Ah-sekarang-biasa saja – “ jawab Tiara tersendat-sendat, “Kau tahulah... Saat itu... aku... remaja labil. Hahahahahahaha!” Kata-katanya diakhiri tawa memaksa, lalu tangannya tak kuasa untuk tidak menepuk bahu Drasyl keras-keras.

“Haha,” Drasyl ikut tertawa garing. “Lalu... seperti apa lagi Green di matamu?”

“Kenapa tiba-tiba kau jadi sangat tertarik?”

“Eh? Benarkah?” Drasyl mengusap-usap bagian belakang lehernya. “Entahlah, aku hanya sedikit heran. Sepertinya ia amat keranjingan dengan permainan ini.”

“Keranjingan?” Seketika itu juga Tiara menghentikan langkahnya. Suara ketukan hak sepatunya pun mendadak lenyap, menenggelamkan lorong dalam kesunyian. “Apa maksudmu?”

Drasyl ikut berhenti, lalu berbalik. “Erm... Maksudku... Tiap kali aku log in, ia selalu sudah online. Saat aku log out, ia juga masih online. Seolah-olah ia online setiap saat...”

Sejujurnya itu adalah pertanyaan yang hampir pasti dilontarkan oleh siapa saja yang mulai mengenal Green. Tapi mau bagaimana lagi, memang seperti itulah faktanya. Yang perlu Tiara lakukan sekarang, sama seperti sebelumnya, menjelaskan segala sesuatu dari perspektifnya.

“Menurutku,” gadis itu memulai, “Green adalah pemain yang sangat mencintai Heroes of Mythology lebih dari siapa pun. Memang ada juga pemalas yang terus-terusan log in, tapi kurasa ia bukan bagian dari orang seperti mereka. Tiap kali ada dungeon baru, ia akan menjadi yang paling pertama mengunjunginya. Saat muncul equip baru, ia pasti yang paling pertama mendapatkannya. Meski terus menjaga levelnya sebagai yang teratas, ia selalu punya waktu untuk mengayomi pemain-pemain baru.”

“Kau benar-benar mengaguminya ya?”

“Bagiku yang dulu,” Tiara menatap sang Archer tajam, “Ia adalah sosok pahlawan ideal yang tak ada di dunia nyata.”

Drasyl terenyak. Bibirnya terlihat membuka hendak mengucap sesuatu, namun diurungkan. Setelah jeda sesaat, ia kembali melangkah, “Aku mengerti.”

Tiara pun mengikutinya. Tadi ia sempat berpikir jika Archer di depannya ini akan menghina – atau sekedar mendiskreditkan – namun itu tak terjadi. Padahal kalau sampai ia melakukannya, gadis itu bersumpah akan melemparnya ke kerumunan monster. Karena baginya, Green adalah –

“Jadi kau bermain lagi sebagai salam perpisahan untuknya?” tanya Drasyl tanpa menoleh.

“Aku sudah pernah bilang kan?” jawabnya sambil mengingatkan, “Aku mengincar hadiah dari event ini. Kebetulan saat ini statusku adalah pengangguran. Kalau ada peluang, kenapa tak diambil... Lagipula bermain adalah hal yang menyenangkan.”

Sebagian kecil. Hanya sebagian kecil dari alasannya untuk bermain lagi.

“Tapi tetap, ia pasti senang bisa bertemu teman lama.”

“Sebenarnya sih, semua orang pasti senang bila bertemu denganku.”

“Ahaha, percaya diri sekali,” tawa Drasyl garing. “Berarti,” ia mengulurkan jabatan tangan, “kita rekan seperjuangan!”

Tiara tersenyum tidak simetris, lalu meraih jabatan Archer itu dan mengguncangnya kuat. Setelahnya mereka lanjut berjalan, menyusuri lorong demi lorong.

“Hanya saja,” tampak sesuatu masih mengganjal di benak sang Archer, “Untuk seorang yang amat mencintai permainan ini, penutupan server... pasti seperti mimpi buruk.”

Dada Tiara langsung terasa sesak, seperti ada beban berat yang ditekan padanya. Lidahnya kelu. Ia tahu bagi Green perpisahan ini sangat menyakitkan. Tapi bagi seseorang, perpisahan ini pun tidak akan kalah menyakitkan.

“Ada empat alasan mengapa aku bermain lagi saat ini,” entah mengapa kalimat itu terucap sendiri dari mulutnya. “Pertama, untuk mendapat uang hadiah.” Drasyl meliriknya penuh tanda tanya.

“Kedua... aku ingin berpetualang sekali lagi dengannya,” lanjutnya agak bergetar. “Ketiga, aku ingin memberi sesuatu padanya... Mungkin hadiah. Tapi...” Ia berhenti sejenak, kemudian menatap sang Archer, “Apa hadiah yang bisa kuberikan padanya?”

Bahkan saat ini Green lan yang membantunya dan Drasyl mendapatkan hadiah dari event penutupan. Orang itu amat legendaris hingga rasanya tak butuh bantuan mereka untuk mendapat yang ia inginkan. Hal ini amat membingungkan, hingga kerap menghantuinya semenjak ia mulai menginjakkan kaki sekali lagi di tanah Mythrard.

“Kalau menurutku, kau meluangkan waktu bersamanya saja sudah luar biasa,” penuh kelembutan, Drasyl mengatakan itu. “Setidaknya ia bisa menghabiskan hari-hari terakhir Mythrard bersama seorang yang ia percaya. Lebih dari itu, kau bisa membuat kenangan terakhir permainannya sebagai petualangan yang tak terlupakan.”

Sontak kedua mata Tiara terbuka lebar kala menyadari hal itu. Tak pernah terlintas dalam benaknya, ya tak pernah. Karena, “Aku hanya seorang Spellcaster yang kebetulan satu guild dengannya. Apa itu cukup untuknya?”

“Aku tidak tahu,” jawab Drasyl datar. “Tapi kalau aku jadi dia, aku akan sangat bersyukur dengan keberadaanmu.”

Kali ini dada Tiara mencelos. Lega. Segala tekanan itu hilang entah ke mana. “Terima kasih,” ucapanya singkat.

Drasyl pun membalas dengan senyum. “Lalu, apa alasan terakhirmu?”

“Ah! Itu...” Kebetulan, kala ia tak ingin mengatakannya, ia sudah berada di lorong yang amat familiar. Berjarak antar lebar dengan langit-langit cukup tinggi, dan ukiran dewa-dewa Mesir kuno memenuhi dinding. Langsung saja ia berlari meninggalkan Drasyl. “Ruang makam Tutankhamunnya sudah dekat! Ikuti aku!”

“Hei! Hei! Tunggu!” terdengar seruan Archer itu yang tak ia acuhkan.

Alasan keempat, mungkin menjadi alasannya yang paling kuat. Semenjak mengenal Green dalam permainan ini, pria itu tak pernah bercerita sekali pun tentang kehidupan di dunia nyata. Tapi itu wajar, beberapa orang memilih untuk menjadikan itu sebagai hal tabu di dunia virtual yang sarat akan kebebasan. Dan itu tidak masalah. Sungguh, tidak masalah, selama gadis itu masih bisa melakukan kontak.

Bahkan ketika gadis itu pensiun dan fokus meniti kehidupan di dunia nyata, ia tak khawatir. Ia merasa, jika ingin bertemu, ia tinggal log in ke dunia virtual.

Namun sebentar lagi Heroes of Mythology server Indonesia akan ditutup. Tanpa tahu alamat email atau pun nomor telepon, tak mungkin ia bisa melakukan kontak. Ia baru sadar, ini akan menjadi perpisahan yang sesungguhnya. Ia tak akan pernah bisa menghubungi Green, meski sekedar untuk mengucapkan ‘hai’. Karena itulah, ia bertekad untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia tak mau membuat kesalahan besar yang menjadi penyesalan seumur hidup.

“Hei! Lama! Nanti Tutankhamunnya keburu pulang ke alam baka!” terdengar suara teriakan yang khas di depan sana.

Green, berdiri gagah sambil bersedekap di depan sebuah pintu batu besar berukiran hieroglyph raksasa.

“Terlambat semenit lagi, aku pasti sudah masuk dan menghajar monster itu sendirian.”

Tiara percaya, ia memang sanggup melakukannya, sehingga ia tersenyum lebar, “Maaf! Drasyl tak bisa membaca peta!”

“Apa? Kenapa aku?” protes sang Archer yang berlari susah payah menyusul di belakangnya.

Ketika sampai di depan gerbang, mereka pun tertawa bersama. Saling meledek, dan memamerkan kemampuan satu sama lain. Setelah puas, barulah mereka beraksi. “Saat kudorong ini, tidak ada kata mundur,” kata Green yang menyentuh daun pintu dengan telapak tangannya. “Siap?”

“Ya!”

Pintu terbuka, dan ruangan raksasa – dengan makam sang firaun di tengahnya – menyambut mereka. Ketiga pahlawan melangkah masuk tanpa rasa takut. Malah deburan semangat bergejolak di dada mereka. Khususnya, Tiara.

Gadis itu bersumpah akan menjadi petualangan ini yang terbaik. Dan setelah itu, ia harus bisa melakukan apa yang tak pernah bisa ia lakukan sebelumnya. Ia memiliki kontak nyata seluruh anggota guildnya dulu. Kali ini, ia tak boleh gagal melengkapinya, memasukkan nama dan nomor sang pemain legendaris ke dalamnya.

Karena ia tak ingin penutupan server ini menjadi perpisahan yang mengerikan baginya.