Hero of Mythology:Volume01 Chapter 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 2

11 Agustus 2035

Siang itu Green berbaring di bawah naungan sebuah pohon berdaun rindang. Kebetulan matahari belum naik terlalu tinggi, sehingga udara yang bertiup juga masih segar.

Di sekitarnya, terdapat hamparan padang rumput yang amat luas, tempat Satyr-Satyr kecil berlarian mengejar capung. Mereka adalah monster bertubuh manusia namun berbaki kambing. Sepasang tanduk kecil mencuat di dahi makhluk-makhluk itu. Dengan batang kayu kecil, mereka menyabet-nyabet serangga yang beterbangan.

Sang Blademaster tersenyum geli melihat tingkah mereka. Nyatanya memang tidak semua monster di Hero of Mythology berbahaya. Ada juga monster pasif yang tak akan menyerang pemain asalkan tidak diganggu.

Lalu di seberang area rerumputan itu, tampak kemegahan Greeconia. Kota itu dikelilingi dinding batu putih yang berukiran dewa-dewi. Green masih ingat, bagaimana ia dan semua pemain yang pertama kali log in akan mendapati diri mereka di sana, untuk mendapat pengarahan singkat dari NPC.

Pria itu pun memejamkan mata. Entah sejak kapan posisi ia berada sekarang menjadi titik favorit baginya. Tapi mungkin, semenjak teman-teman yang ia kenal tak pernah lagi memainkan permainan ini. Tempat sunyi ini rasanya lebih baik daripada miris melihat kota besar tetapi sepi.

Namun ia juga tak selamanya sendiri di bawah pohon ini. Dalam gelap, ia jadi teringat apa yang terjadi sebulan lalu, awal pertemuannya dengan seorang Archer yang bertekad menaklukkan Mythrard dalam waktu singkat.


10 Juli 2035

Green tengah duduk diam di bawah pohon, memperhatikan daftar pertemanannya di layar hologram. Berkali-kali ia menggeser layar ke atas, ke bawah, lalu ke atas lagi. Tapi nihil. Tak satu pun dari orang-orang yang ia kenal menunjukkan aktivitas online. Hanya ada satu atau dua nama yang entah mengapa bisa ada di daftar itu. Namun meski ia coba mengirim pesan pada mereka, sama sekali tak ada jawaban.

“Hehhh...” Ia menghela nafas berat, lalu memandang miris ke langit virtual di atas sana.

Heroes of Mythology benar-benar sudah sampai pada akhirnya. Jika tak ada lagi yang bermain, wajar saja jika pihak perusahaan pendukung memutuskan untuk menutup server ini. Hanya orang bodoh yang terus menghabiskan biaya untuk mempertahankan server sepi.

Meski begitu Green sempat menaruh harapan pada event penutupan yang menawarkan berbagai macam hadiah. Ia berharap itu bisa menarik minat para veteran hingga ia dapat bertemu rekan-rekan lama. Sayangnya bahkan dua bulan setelah pengumuman, dan sebulan sebelum event dilaksanakan, dataran Mythard tetap saja kosong tanpa pahlawan.

Blademaster itu pun bingung harus melakukan apa. Ia tak mau cuma berdiam menunggu hingga event penutupan dimulai. Padahal sempat terpikir olehnya untuk memecahkan rekor, menaklukkan dungeon seorang diri. Tetapi selain sudah tak ada lagi dungeon menarik yang belum ia taklukkan, menaklukkan dungeon seorang diri itu sangat membosankan – kalau bukan menyedihkan.

“Payah...” Ia menggumam, entah pada siapa. Kemudian ia bersandar pada batang pohon dan memejamkan mata. Mungkin hanya itu satu-satunya hal yang perlu ia lakukan hingga sebulan ke depan.

Angin pun bertiup sepoi, menghembuskan aroma padang rumput bersamanya. Dedaunan bergemerisik, menghasilkan irama yang menenangkan jiwa. Dan di antara itu, sayup-sayup, terdengar suara yang meminta-minta lirih.

“Tolooong!”

Tolong?

Green membuka matanya lalu mencari di hamparan padang rumput antara percaya dan tidak.

Seharusnya di tempat ini tidak ada monster berbahaya yang bisa membuat orang berteriak-teriak ketakutan, mengingat semua yang bermain saat ini pastilah veteran. Namun jika yang sedang diserang adalah pemain baru, itu justru lebih sulit dipercaya. Masalahnya, untuk apa mulai bermain sekarang, di saat server akan ditutup bulan depan?

“Tolooong!”

Green melihatnya, sesosok Archer dengan penampilan amat sederhana – baju katun dan celana coklat. Senjatanya pun hanya busur kayu kecil, benar-benar ciri khas pemain baru. Ia tengah berlari terbirit-birit. Itu karena, di belakangnya ada seekor Satyr dewasa yang mengejar sambil memegang erat sebuah pisau batu.

Green terkesiap. Kalau ada Satyr kecil, untuk apa bersusah payah memburu Satyr dewasa? Archer itu juga tidak mungkin dikejar tiba-tiba, karena Satyr dewasa sekali pun bukan monster bertipe agresif, di mana makhluk itu harus diserang terlebih dahulu, baru akan menyerang balik. Berarti, Archer itu benar-benar iseng sudah memanah sang Satyr dan sekarang malah berlari tunggang langgang ketakutan.

“Aaaaa!!!” Sekali lagi sang Archer berteriak dengan wajah putus asa.

Senyum simpul segera terbentuk di bibir Green. Biar bagaimana pun jiwa pahlawan dalam dirinya membuat pria itu tak bisa duduk diam. Ia bangkit, lalu berlari mendekati sang pemain baru.

“Oi, lari berputar!” Ia berteriak lantang. “Bawa Satyrnya ke arahku!” Sebuah pedang hijau besar termaterialisasi dalam genggamannya.

Menyadari panggilan itu, sang Archer menoleh. Awalnya ia tampak bingung. Tapi keadaan terdesak membuatnya tak bisa berpikir panjang. Ia mengangguk, lalu mengubah arah berlari. Ia mengambil lintasan berputar, tepat menuju Green. Otomatis sang monster mengikutinya.

“Bagus!” Green berlari makin kencang. Ia menepuk bahu Archer itu saat berpapasan dengannya, lalu meneruskan hingga berhadapan langsung dengan sang Satyr. Bilah pedangnya pun bersinar cerah kehijauan, kemudian diangkat tinggi. “Bone Breaker!!!”

Satu tebasan, dan hit point monster itu berkurang hingga nol. Ia terhempas di atas rumput, lalu tubuhnya pecah terurai menjadi butiran cahaya.

“Mudah,” gumam Green puas sambil mendematerialisasi pedangnya. Lalu ia menoleh saat mendengar suara memanggilnya.

“Hei!” Sang Archer yang baru diselamatkan datang dengan ekspresi wajah campur aduk antara lega, malu, dan bersyukur. “Terima kasih banyak.”

“Tidak masalah,” jawab Green santai. Ia memperhatikan sejenak pemain pemula di depannya, lalu memutuskan untuk memberi sedikit nasihat. “Meski berada di satu wilayah, Satyr dewasa memiliki level berbeda dari Satyr anak-anak. Kau tidak bisa langsung melawannya begitu saja.”

Sang Archer terlihat meringis. “Ya... Aku tahu...”

“Benarkah?” Green mengangkat sebelah alisnya. “Lalu kenapa kau tetap melawannya?”

“Aku hanya coba-coba, hehehe,” Archer itu tertawa garing. “Tapi, aku juga ingin meningkatkan level secepatnya.”

Green hanya diam dengan tangan bersedekap di dada. Tatapannya terpaku pada Archer itu, menyiratkan sebuah permintaan akan penjelasan lebih lanjut.

“Temanku bilang sebulan lagi ada event penutupan server,” lanjut sang Archer setelah membaca gestur Green. “Katanya ada macam-macam hadiah yang ditawarkan. Jadi, aku iseng-iseng ingin mencoba.”

Pantas saja, pikir Green seraya menghela nafas. Untuk apa orang mulai bermain di server yang sudah akan tutup kalau bukan karena hadiahnya? Apalagi dalam tahun-tahun belakangan pastilah banyak muncul permainan virtual lain yang lebih menawan.

“Kurasa target utama event ini adalah pemain veteran dalam rangka perpisahan,” ujar Green mengemukakan pendapat.

“Kau benar. Makanya... aku ingin lekas menaikkan level setinggi mungkin... Hahahaha.” Kata sang Archer dengan menggaruk-garuk kepala. “Ah, tapi sepertinya aku menyerah saja ya. Tidak mungkin aku mengimbangi para veteran hanya dalam sebulan.”

Tentu saja tidak mungkin. Dan entah mengapa kepolosan pikiran itu agak mengganggu Green. Memang adalah hak siapa pun untuk memilih kapan mulai bermain, tapi ia merasa perbuatan orang itu seolah meremehkan permainan yang telah menjadi hidupnya. Event ini harusnya menjadi hadiah bagi mereka yang telah mendedikasikan diri pada Heroes of Mythology.

Namun di saat yang sama, sebuah ide melintas di benak Blademaster itu seperti petir siang bolong. Sebuah gagasan yang justru bertolak belakang dengan perasaannya barusan. Ia tak mengerti, tapi hal itu datang begitu saja.

“Sebenarnya bukan tidak mungkin,” kata Green pelan, “Apabila kau melakukan dengan cara yang benar dan didukung peralatan sesuai, mencapai level puncak dalam sebulan bukanlah hal mustahil.”

“Tapi... aku tidak tahu cara yang benar, apalagi peralatan.”

“Bagaimana kalau aku membantumu?”

Tampak jelas kedua mata sang Archer langsung terbelalak tak percaya. Ia nyaris tergagap ketika mengucapkannya. “Su... sunguh?”

“Ya,” Green sedikit membuang tatapannya keluar. “Kebetulan aku sedang bosan.”

Ia mengatakan yang sesungguhnya. Tak ada lagi hal baru yang menarik di dataran Mythard baginya. Tapi mungkin membantu seorang pemula mencapai level tertinggi dalam rentang waktu singkat akan memberi tantangan tersendiri. Selain itu setidaknya kini ia akan berpetualang – menghabiskan hari-hari – seorang diri.

“Bagaimana?” tanya Green untuk menegaskan, karena sang Archer masih menimbang-nimbang.

“Kalau kau tidak keberatan sih...”

Dari kalimat itu Green tahu, sang Archer sedang memikirkan apakah ia pantas menerima kebaikan seorang veteran seperti ini.

“Tenang, aku tidak keberatan!” jawabnya lantang seraya berkacak pinggang. “Jadi kau mau atau tidak?”

“Jelas saja mau!” kata sang Archer sumringah.

“Kalau begitu kenalkan,” Green mengulurkan tangan. “Aku Green.”

“Aku,” Sang Archer membalasnya, “Drasyl.”


11 Agustus 2035

“Greeen!!!” Kelopak mata Blademaster itu terbuka. Ia melihat dua sosok yang tengah berjalan ke arahnya. Yang satu adalah pria yang sedang melambaikan tangan, sementara satunya gadis yang berusaha menyusul. Drasyl dan Tiara.

Tiba-tiba senyum Green merekah kala teringat akan perjalanan yang telah ia lalui sebulan terakhir ini. Drasyl sang archer menjadi murid yang baik dan telah mencapai targetnya. Lalu Tiara sang Spellcaster, rekan yang sudah lama tak ia jumpai, kembali muncul karena tertarik oleh hadiah event penutupan. Tidak buruk, dan malah membuatnya agak sedih karena sebentar lagi semua akan berakhir.

Semoga – ia harap – sisa petualangannya di dataran Mythard ini akan menjadi sangat berkesan.

Maka ia bangun, lalu balas melambaikan tangan.

“Hei, lama sekali kalian! Nanti hadiahnya keburu dipatuk ayam!!!”