Hero of Mythology:Volume01 Chapter 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 1

– 9 Agustus 2035 –

Tiga orang pahlawan tengah jalan beriringan menyusuri Greeconia, kota terbesar di Mythard. Mereka tampak santai sambil berbincang satu sama lain.

“Baru pertama ini aku melihat pemain sebanyak tadi,” kata Drasyl sang Archer. Avatarnya mengambil sosok pria gagah berjaket kulit beruang. Hiasan berupa beberapa helai bulu elang tersemat di kepalanya.

“Oh ya, kau kan baru mulai sebulan yang lalu,” ujar Tiara, satu-satunya perempuan di antara mereka. Tubuhnya semampai, dengan rambut merah panjang tergerai. Seperti Spellcaster pada umumnya, ia mengenakan mantel hitam. Sepatunya yang juga hitam selutut memiliki hak tinggi yang kerap berbunyi tiap beradu dengan permukaan jalan. “Belakangan memang sudah jarang sekali ada yang bermain.”

“Itulah sebabnya server Indonesia ini ditutup,” timpal Green sang Blademaster diiringi dengusan. Penampilannya serba hijau. Mulai dari rambut, warna mata, hingga corak pada zirahnya didominasi warna itu. Tatapannya yang tajam dilempar jauh ke depan. “Lihat, baru berjalan agak jauh dari alun-alun saja suasana sudah kembali sepi.”

Memang, hanya ada mereka dan beberapa pemain lain yang melintas di jalan selebar itu. Bangunan-bangunan yang ada di sisinya hanya diisi para NPC – orang-orang dengan kecerdasan buatan yang bertugas membantu pemain. Ada yang berperan sebagai pelayan restoran, penjaga toko, atau sekedar anak yang bermain sebagai penghias kota. Sayangnya saat ini mereka lebih mirip patung yang terus menjaga senyum ketika tak ada satu pun pelanggan yang datang.

Sebuah orkes mini di ujung jalan memainkan musik latar dengan irama gembira. Namun keadaan sepi malam membuat lagu itu terdengar mempersuram suasana. Para musisi itu seperti orang-orang yang telah kehilangan pendengarnya tapi tetap keras kepala, tak mau berhenti kecuali tangannya tak bisa lagi memegang alat musik.

“Dulu jalan ini adalah pasar tak resmi,” kata Green memulai. “Entah mengapa banyak pemain yang membuka lapak untuk menjual barang hasil perburuan atau senjata langka. Tiap harinya ada ratusan pedagan dan pembeli yang memadati tempat ini.”

“Kedengarannya seru ya...” komentar Drasyl sambil mengangguk-anggukkan kepala.

“Hei, hei, Green!” seru Tiara tiba-tiba penuh antusias. “Kau ingat event kemunculan Bahamuth waktu itu?”

“Bagaimana aku bisa lupa event gila itu,” Green menyeringai. “Para pembeli kocar-kacir. Mayat-mayat pedagang langsung bergelimpangan di atas lapaknya. Mereka sudah seperti korban bencana saja!”

“Memang bencana! Kau tahu tidak, aku salah satu yang terbunuh!”

“Benarkah?” tanya Green mengangkat sebelah alis.

“Ya. Malah, itu pertama kalinya aku bermain. Saat itu aku sedang berkeliling, lalu tiba-tiba aku melihat naga raksasa di langit. Tahu-tahu aku sudah menjadi mayat. Bayangkan! Bagaimana perasaanmu jika itu sampai terjadi?”

“Maaf, aku tidak tahu rasanya, aku...” Green memberi jeda sejenak. “Aku tidak sebodoh itu sampai hanya diam melongo saat melihat monster tiba-tiba muncul di tengah kota.”

Ekspresi Tiara langsung berubah kaku. Ia agak terbelalak, lalu memukul lengan sang Blademaster. “Aku tidak bodoh, aku cuma pemula!” Tak bisa menahan, tawa Green lepas ke udara. Selanjutnya Tiara ikut tertawa. Hanya Drasyl yang cuma tersenyum kering sambil membayangkan reka ulang kejadian kala itu.

“Sekarang kita ke mana?” Kini Tiara mengubah arah pembicaraan. Ia menatap bergantian pada kedua pria.

“Drasyl,” Green melempar pertanyaan itu padanya. “Hadiah apa yang kau incar?”

“Eh,” Sang Archer mengusap-usap leher. “Aku mau E-Fon terbaru.”

“E-Fon ya...” Green membuka layar hologram di depannya, lalu membuka pengumuman mengenai event penutupan ini. Secara umum, event akan berlangsung sampai delapan hari dari sekarang, yang dibagi menjadi dua sesi. Sesi pertama adalah perburuan penghuni dungeon, yang berlangsung selama tujuh hari. Monster tingkat bos akan terus muncul di dasar tiap dungeon dan akan menjatuhkan token-token yang nantinya bisa ditukar bermacam hadiah.

Sesi kedua mengambil hari terakhir dari keseluruhan event. Sampai sekarang belum ada diturunkan detail jelas, tapi panitia menjanjikan petualangan yang menarik, juga hadiah yang luar biasa besar-besaran.

“Ini dia,” gumam Green sambil memperhatikan daftar monster bos dan token hadiah yang dijatuhkan. “Kita harus mengalahkan Kronos di dasar dungeon Tartarus. Tiap kali mati, ia baru akan muncul sekitar enam jam kemudian. Jadi kalau tak mau ketinggalan, sebaiknya langsung saja kita menuju ke sana.”

“Oke,” jawab Drasyl dan Tiara bersamaan.

Ketiganya pun segera bergegas menuju portal teleport yang bisa memindahkan mereka ke lokasi tujuan dalam sekejap.


Tartarus adalah dungeon legendaris tempat dikurungnya para Titan setelah kekalahan dalam perang melawan dewa. Di sana mereka dirantai menggunakan salah satu logam terkuat di penjuru alam semesta. Lorongnya berliku penuh muslihat dan dijaga oleh monster-monster mengerikan yang sudah ada sebelum manusia tercipta, ketika dunia masih gelap belum tersentuh cahaya matahari.

Tempat seperti itulah yang harus ditaklukkan Green, Drasyl, dan Tiara saat ini. Namun dengan level tinggi dan perlengkapan terbaik, penaklukkan berlangsung dengan cukup lancar. Dua jam setelah memasuki gerbang, setelah menelusuri lorong dan mengalahkan beberapa bos kelas menengah, akhirnya mereka tiba di lantai paling dasar.

Menanti di hadapan mereka sebuah ruangan besar. Langit-langitnya tinggi menjulang dengan ribuan serangga aneh yang memendarkan cahaya hinggap di sana. Sinarnya menerangi seisi ruang, memperlihatkan batuan biru penyusun dinding.

Di ujung, tampak monster besar berwujud kakek tua. Tubuhnya berotot dan menjulang hingga dua meter meski tengah berada dalam posisi duduk. Rambut, kumis, dan janggutnya putih panjang menutupi wajah kecuali hidung dan sepasang bola mata merah menyala. Kedua pergelangan tangannya diikat pada rantai besar yang terikat langsung ke permukaan bumi. Namun sayangnya rantai itu terlalu panjang hingga ia masih memungkinkannya lari mengelilingi seluruh ruang dasar Tartarus.

“Kronosnya masih ada,” ujar Drasyl penuh kekaguman. Sebuah senyum tersungging di bibirnya. “Kita berhasil. Kita adalah orang yang pertama kali tiba di sini.”

“Masalahnya, tidak ada orang lain yang menjelajahi dungeon ini selain kita,” kata Tiara sinis. “Wajarlah kita yang pertama sampai.” “Apa kalian sudah siap?” tanya Green seolah tidak mendengar percakapan sebelumnya. Fokusnya tetap terpaku pada monster yang berdiam seperti patung di seberang sana. Pedang hijau besar sudah siap dalam genggaman.

“Siap.”

“Kapan pun kau siap.”

“Kalau begitu mari maju,” Green melangkah memimpin kelompok. Ia berjalan santai seolah tidak ada apa-apa di hadapannya. Namun begitu sampai pada titik tertentu – tengah ruangan – tiba-tiba sang Kronos menggeram.

“Lihat, lihat, dia bergerak!” bisik Drasyl langsung memasang anak panah pada busur, lalu membidik.

“Ya... Jaga jarak kalian!” Green lekas memasang posisi tempur. Kakinya dilebarkan dengan lutut sedikit menekuk, sementara pedang berdiri tegak di genggaman kedua tangannya. Tatapannya tajam tertuju pada sang Titan – yang baru saja bangkit.

Sambil melenguh seperti orang tua yang tubuhnya kaku, Kronos menegakkan dirinya. Kini ia benar-benar terlihat bagai raksasa dengan tinggi mencapai setidaknya empat meter. Ia memperhatikan anggota kelompok pahlawan satu persatu, lalu meraung tanpa peringatan. Serangga yang hinggap di langit-langit langsung beterbangan hingga pencahayaan di ruangan itu terganggun untuk beberapa saat.

Sekujur tubuh Drasyl yang sedang membidikkan anak panah pun merinding dibuatnya. Sementara Tiara, tetap fokus menyiapkan sihir-sihir untuk dilontarkan. Tongkatnya teracung tinggi di udara.

Kemudian Kronos melangkah, bumi pun bergetar ringan. Langkahnya berlanjut, semakin lama dalam tempo semakin cepat, hingga seperti berlari. Getaran yang dibuat pun makin lama makin dahsyat, seolah tiap hentakannya mampu membuat Gaia menangis.

“Tahan...” Bisik Green. “Tahan... Sedikit lagi...” Kemudian ia berseru, “Sekarang!”

Green berlari menyongsong Kronos seorang diri. Saat keduanya sudah akan berhadapan satu lawan satu, ia mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, lalu mengayunkan sekuat tenaga. Namun sang monster juga melayangkan tinju raksasa yang mengintimidasi.

Serangan mereka pun bertemu. Pedang membentur tinju yang sekeras baja. Hantaman itu menciptakan gelombang dahsyat yang membuat seisi ruang bergetar.

Efek balik hantaman membuat tubuh Green tertahan kaku. Tapi di sisi lain, Kronos sudah mengambil ancang-ancang tinju berikutnya dengan tangan kiri. Habislah sang Blademaster, kalau bukan karena sebuah bola api menghantam wajah monster itu, diikuti anak-anak panah menancap di dadanya.

Tubuh besar Kronos pun terdorong ke belakang. Pertahanannya hilang seketika.

“Bagus!” Seru Green berapi-api pada kedua rekannya. Ia lekas bergerak maju, lalu mengaktifkan skill yang membuat pedangnya bersinar terang. “Bone Breaker!”

Saat tebasannya mengenai perut Kronos, muncul efek ledakan hijau yang menandai serangan kritikal. Kronos meraung kesakitan dibuatnya. Tapi tak puas berhenti sampai di situ, Green melanjutkan dengan rentetan kombinasi skill.

“Diamond Piercer!”

Serangan menusuk dengan tingkat akurasi tinggi.

“Tornado Slasher!”

Serangan berputar tiga ratus enam puluh derajat yang menghempas seluruh sisi.

“Meteorite Stomper!”

Serangan menghujam dari atas ke bawah, bertekanan tinggi hingga mampu membuat raksasa bertekuk lutut.

Selain itu lesatan panah dan ledakan-ledakan sihir membuat Kronos makin kalang kabut. Beberapa kali monster itu mencoba balas menyerang, tapi hantaman yang datang bertubi ke arahnya kerap membuatnya pergerakannya terhenti. Bar hit pointnya pun terus berkurang dalam kecepatan konstan.

Namun matanya menyala makin merah, sementara rahangnya terkatup rapat. Bahkan semenjak permainan RPG konvensional, terdapat sebuah aturan tak tertulis di mana saat monster tingkat bos sekarat, ia akan mengeluarkan serangan-serangan dahsyat yang tak pernah terlihat sebelumnya. Sekarang, Kronos akan memunculkan sifat itu.

Ia meraung ganas, melepaskan sebuah skill simpanan berlevel tinggi.

“Chronokinetic : STOP !”

Tiba-tiba pergerakan semua orang di ruangan itu berhenti. Green terdiam dengan posisi yang akan melancarkan tebasan, Drasyl masih membidik, sementara petir yang dilontarkan Tiara menggantung di udara. Kemudian Kronos membuat ancang-ancang, lalu membogem tubuh Green hingga rata dengan tanah. Setelahnya ia menginjak, lalu menendangnya jauh seperti bola.

Saat waktu kembali berjalan, Drasyl dan Tiara baru menyadari jika petarung garis depan mereka telah dihantam habis. Kronos juga telah berlari mengarah pada mereka, dengan tiap langkah yang mengguncang bumi.

“Lari! Lari!” seru Green sambil berusaha bangkit.

Tanpa berpikir panjang, kedua orang itu berbalik. Namun di saat yang sama Kronos mengayunkan tangan kuat-kuat, hingga dua rantai yang mengikatnya menjulur keras ke depan. Jalinan logam itu pun menghantam mereka hingga terpental jauh.

“Aaakh!!!” teriak Drasyl saat jatuh berguling dan berhenti di sebelah Green. “Ah... Untung tidak sakit. Tapi tetap saja seram.”

Namun tak ada waktu untuk bersantai. Kronos terus benerjang ke arah mereka.

“Sial,” Green merintih, lalu segera berlari ke arah sang monster. “Lemparkan potion padaku!” Pedangnya dalam posisi terhunus. Cahaya hijau mulai keluar dari sana membentuk semacam perisai. “Aku akan menahannya! Charriot Charge!”

Sebagai respon, Kronos menyilangkan kedua tangannya. Pedang Green pun gagal melakukan penetrasi, terhenti oleh jalinan otot yang sekeras baja. Namun efek dari skill sang Blademaster tetap terlihat. Sang monster terkena stun seiring dengan tubuh yang terus terdorong ke belakang, memberi kesempatan pada dua petarung garis belakang untuk kembali siap ke posisi bertarung.

“Grand Potion : Green!” seru Tiara sambil mengacungkan sebuah botol berisi cairan putih. Benda itu langsung terurai menjadi partikel sinar yang melesat merasuk tubuh Green. Hit poin Blademaster itu pun pulih seketika.

“Bagus, teruskan!” seru Green. “Asal kalian menjaga hit pointku tetap prima, tak ada yang perlu dikhawatirkan!”

Pertarungan pun berlanjut. Beberapa kali Kronos mengeluarkan skill Chronokineticnya seperti SPEED – mempercepat gerakannya sendiri – dan SLOW – memperlambat gerakan Green. Meski begitu koordinasi yang baik dalam pemulihan hit point membuat sang Blademaster dapat terus bangkit dan menghentikan pergerakan monster itu di satu titik. Sisanya adalah siraman anak panah dan sihir yang datang silih berganti, memberi akhir dari perlawanan sang penguasa waktu.

Sebuah raungan pedih menjadi penanda kalahnya Kronos. Tubuh besar monster itu terhuyung beberapa saat sebelum jatuh berdebum. Lalu ia terurai menjadi butiran cahaya keemasan yang merasuk dala tubuh avatar ketiga pemain sebagai peningkatan experience. Sementara di atas tanah bekas ia terbaring, kini terdapat sekeping koin emas.

Green lekas mengambil benda itu. “Drasyl, ini,” Ia menunjukkannya. “Serahkan token ini pada Game Master nanti setelah event usai.”

Sang Archer mendekat, lalu memperhatikan koin emas itu beberapa saat. “E-Fon...” Matanya tampak berbinar, tapi sekaligus ragu. “Token ini... untukku?”

“Kukira kita ke sini karena kau yang awalnya menginginkan E-Fon?” ujar Tiara sinis.

“Kau... Kau tidak mau?” Drasyl balik bertanya.

“Aku lebih memilih hadiah uang,” kata Tiara sambil berkacak pinggang. Telunjuknya diacungkan ke depan hidung sang Archer. “Makanya jangan lupa, bantu aku mendapatkan token uang nanti!”

Drasyl mengangguk, lalu berpaling pada Green. “Kau yakin tidak menginginkannya? Kau sudah berbuat banyak – ”

“Sudah, ambil saja!” Suara Green geregetan. Lalu ia melempar tokennya pada Drasyl yang refleks menangkap. “Aku tidak butuh.” “Baik. Tapi, jika ada yang kau inginka – “

“Sudah, tak usah kau pikirkan!” kata Green melalui punggung. Ia sudah melenggang pergi sambil melambaikan tangan. “Kalau aku ingin sesuatu, aku akan mendapatkannya.”

Menyaksikan itu Drasyl dan Tiara hanya saling berpandangan, lalu berlari mengikuti sang Blademaster keluar dari kegelapan dasar Tartarus.


Di luar dungeon, matahari sudah menyorotkan cahaya jingga kemerahan tanda senja telah datang di tanah Mythard. Hamparan gandum liar yang tertiup angin pun tampak kemerahan memantulkan cahaya. Suara musik latar terdengar lembut mengalun melengkapi suasana.

“Kalau begitu aku akan log out,” kata Drasyl. “Aku harus bekerja besok pagi.”

“Sebenarnya aku sedang punya banyak waktu luang,” ujar Tiara lalu menguap seraya meregangkan tubuh. “Tapi aku ngantuk.”

“Green, bagaimana denganmu?”

Namun pria itu sepertinya tak mendengarkan. Ia sedang berdiri khidmat memandangi gerbang Tartarus yang berupa goa raksasa dengan lubang gelap ke dalam bumi. Ia terus diam hingga Tiara menepuk bahunya keras-keras.

“Hei, kenapa kau?!”

“Eh!” Green tersentak. “Tidak, tidak apa. Aku cuma sedang memperhatikan Tartarus. Hanya itu.” Ia sedikit salah tingkat. Saat mulai bisa menguasa keadaan, ia kembali bicara. “Yah, mungkin ini adalah terakhir kali aku memasuki dungeon ini.”

Drasyl agak terkesiap. “Kau... kelihatan sedih...”

“Benarkah?” jawan Green spontan tanpa menyadari matanya sudah agak berkaca-kaca.

“Kau menangis!”

“Menangis?” barulah pria itu sadar. Ia hendak menyeka air mata dengan lengan, tapi malah logam keras zirah yang bertemu wajahnya. Jelas ia segera menjadi bahan tawa cekikikan. “Aku... tidak... Ah!!!” Ia berdecak sebal sendiri.

Green memperhatikan kedua rekannya yang masih senyum-senyum segan. Setelah berpikir sesaat, ia memutuskan bahwa mungkin lebih baik mengutarakan perasaan apa adanya. Maka ia menghela nafas berat.

“Biar bagaimana pun Tartarus menyimpan kenangan tersendiri. Saat pertama datang ke sini, aku masih terbilang pemula. Melihat ke dalam lubang yang seperti tak ada batasnya itu saja bisa membuatku merinding ngeri. Monster-monster di dalam juga menyeramkan. Kadang aku takut tersesat dan tak bisa keluar lagi. Tapi aneh, sekarang aku malah merasa akan merindukannya.”

“Yah, kurasa itu wajar...” kata Drasyl sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Ketika kau menghabiskan banyak waktu di suatu tempat, akan muncul suatu ikatan batin.”

“Jangan cengeng ah!” protes Tiara tiba-tiba. Tapi ternyata matanya sudah ikut berkaca-kaca. Ia lantas membuang muka. “Ah, kau membuatku muak!”

“Dasar,” rutuk Green.

“Oh, jadi,” Drasyl menepuk telapak tangan. “Apa kau masih mau di sini sebentar lagi? Aku log out duluan ya?”

“A-aku juga! Green, sampai nanti!” Tiara lekas-lekas melambaikan tangannya.

“Yap, sampai jumpa di petualangan berikutnya!” Green menunjukkan jempol.

“Ya. Minggu ini pasti menyenangkan...” kata Tiara nyaris berbisik. Kemudian ia tersenyum, memancing balasan senyum dari Green. Setelah itu barulah tubuh avatarnya menghilang bersama cahaya putih.

“Ah, aku malah ditinggal,” gumam Drasyl tidak terima. “Kalau begitu aku segera log out juga. Green! Sampai ketemu!”

“Ya, sampai jumpa!”

Setelah Archer itu keluar, maka sekarang tinggal Green sendiri. Ia menghela nafas, lalu meregangkan tubuh, memutar pinggang ke kiri dan kanan. Lalu ia naik ke sebuah batu besar dan duduk di sana. Dihamparkan tatapannya ke sekeliling, seolah tengah merekam pemandangan ke dalam pikirannya. Titik-titik air mata pun meleleh, jatuh dan terurai ketika menghantam bumi.

“Sial...” ujarnya. “Aku menangis seperti gadis kecil.”

Kali ini ia melepas zirah sehingga bisa mengelap air mata menggunakan kain lengan baju yang terbuat dari bahan katun.