Niringar ch0 7

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Tanpa kusadari, sudah setahun lebih aku mengikuti perkembangan blog [World of Coin].

Sepulang dari kuliah, aku akan selalu menunggu halaman baru terbit sembari minum kopi luwak. Atau ketika hujan turun, aku akan selalu menekan tombol refresh berulang kali agar tidak kebosanan, berharap halaman baru keluar. Seolah sudah menjadi kebiasaanku setiap hari sejak aku berkuliah di Universitas Cendekia Utama ini.

Mungkin bisa kubilang kalau hiburanku selain melukis adalah mengunjungi blog tersebut.

Ya, rasanya cukup menyenangkan. Aku seperti sedang berkomunikasi satu arah dengannya. Aku mulai bisa memahami emosi apa yang sedang dia alami saat menuliskan halaman baru. Aku bahkan pernah tahu kalau sejenak dia menangis setelah membaca kalimat suramnya yang tampak lucu.

Ah, mungkin aku cukup aneh ya?

Namun apa boleh buat. Kepingan-kepingan kehidupan yang dia alami selalu diselipkan di setiap tulisannya, membuatku semakin tertarik dan lebih ingin mengenalnya. Membuatku mulai memikirkan seperti apa tingkah lakunya, seperti apa wajahnya, dan yang terpenting adalah… seperti apa suaranya?

Mustahil, ya? Aku tahu itu, kok!

Karena itulah aku selalu membaca tulisannya, berusaha membayangkan sendiri suara hati darinya yang tengah menangis, tertawa, berdegub kencang, hingga menguap kebosanan. Aku seolah sedang menjamah dunia baru bersamanya, di sisinya selalu.

Hingga suatu hari, dia mulai berhenti menerbitkan halaman baru.

Yang mana cukup mengejutkanku. Tidak, mungkin aku mulai merasa resah dan cemas. Tidak biasanya dia sama sekali tak menulis halaman baru selama lebih dari seminggu. Aku tahu kalau dia selalu menuangkan isi pikiran dan hatinya ke dalam tulisan. Mustahil untuknya membendung itu semuanya selama itu.

Apa yang terjadi padanya?

Aku mulai jadi khawatir.

Apa dia sakit?

Tak punya jawaban yang meyakinkan, aku coba mencari informasi di kolom komentar. Selama ini aku tak pernah mengeceknya karena yang kuinginkan hanyalah membaca tulisan pemilik blog tersebut. Jadi aku sangat terkejut ketika melihat ada hampir sepuluh ribu orang yang mencerca, mengolok-olok, merundung, dan menjelek-jelekkan blog itu dalam kolom komentar.

Beragam bahasa digunakan para komentator yang bahkan isinya hampir serupa, yang bertujuan untuk menjatuhkan blog tersebut. Kalau kupikir kembali, bahkan Dearno juga sempat mengatakan kalau blog itu sesat atau semacamnya. Tapi untukku, malah sebaliknya.

Meski begitu, aku cukup paham kalau tak semua orang punya pikiran yang sama denganku. Walaupun aku selalu membaca tulisannya, sekali pun aku tak pernah memberikan komentar baik padanya. Terlebih ada banyak orang yang menentangnya, aku yakin suaraku tak bisa mengimbangi mereka.

Apa dia berhenti menulis karena ini, ya?

Tidak begitu mengerti, aku coba konsultasi pada Elvi tentang hal tersebut. Setelah menceritakan situasinya, seperti dugaanku, Elvi langsung berkata.

[Yaiyalah! Mana ada orang yang kuat ngelanjutin tulisannya kalau ada banyak yang caci maki dia?! Itu sama aja kayak maling yang nyerah ke polisi karena takut dihakimi massa. Aku tahu sih kalau dia bukan maling. Tapi sama aja, tulisan dia bisa diartikan dan justru banyak diartikan salah oleh banyak orang. Mau ga mau ya dia harus berhenti.]

[Tapi aku ingin dia lanjut nulis.]

Setelah membalas Elvi, dia menghela napas panjang seraya menggaruk kepala. Cukup aneh juga melihat Elvi yang semakin cantik itu bertingkah seperti tidak peduli pada penampilannya. Tapi karena dari awal dia itu Elvi, aku cukup memakluminya.

Hingga tak lama kemudian dia selesai menuliskan sesuatu.

[Oke, kamu pengen dia nulis lagi. Terus? Apa yang bisa kamu lakukan? Kamu tahu mana orangnya?]

[Engga, sih.]

[Nah yaudah. Mau gimana coba?]

Bagaimana ya… ah! Aku ingat!

[Tapi kayaknya Handaryo tahu.]

Bisa kulihat Elvi menaikkan satu alisnya.

[Handaryo? Tunanganmu itu?]

Aku mengangguk.

[Tahun lalu dia bilang bakal cariin informasi tentang penulis blog itu. Katanya biar dia bebas gitu.]

[Weleh… dia segitu pengennya lepas dari ikatan ya? Hmmm, tapi kamu udah coba hubungi dia lagi belum?]

[Belum. Aku kira dia yang mau kasih tahu sendiri.]

[Telpon lah! Kali aja dia lupa! Ah, iya, kamu nggak bisa telepon ya? Duh, maaf. Sini biar aku aja yang telepon!]

Aku hanya bisa mengangguk.

Aku tak mengerti apa yang dikatakan Elvi pada Handaryo. Meskipun ada kemungkinan kalau Elvi juga berpikir buruk terhadap penulis blog itu, saat ini aku hanya bisa mempercayakan semuanya pada Elvi. Ya, dia adalah teman terbaikku. Jika penilaianku salah, aku yakin dia akan menghentikan keinginanku sekuat tenaga.

Jadi, setelah Elvi menelepon Handaryo, kami bertiga bertemu di sebuah kafe.

Aku hanya duduk manis sembari melihat Elvi dan Handaryo berbicara dengan berbagai gerakan tubuh yang berganti-ganti. Dengan sesekali menatapku, aku bisa cukup mengerti kalau mungkin keduanya juga mengkhawatirkanku. Diskusi yang mereka lakukan juga lewat suara, artinya mereka tidak ingin aku tahu tentang apa yang tengah mereka perdebatkan.

Oleh sebab itu, setelah beberapa menit mereka saling bertukar argumen keduanya lalu menatapku secara bersamaan. Membuatku ingin melangkah mundur jika saja tidak sedang duduk. Tapi sebelum aku sempat sekedar menggeser mundur kursi, Elvilah yang pertama kali menunjukkan kertas kepadaku.

[Aku masih belum yakin sama omongan Ryo, tapi kalo sekedar mau ucapin terima kasih dan semangatin buat nulis lagi, mungkin sementara aku izinin. Kecuali kalo aku ketemu langsung sama orangnya.]

Lalu Handaryo menyenggol mundur Elvi dan memperlihatkan kertas tulisannya.

[Lo ga akan nyesel ketemu dia, kok! Malahan gue dukung! Gue udah temenan sama dia sejak semester satu cuma lupa aja ngenalin ke lo. Ganteng loh! Gimana? Penasaran kan? Lo juga ga pengen kawin ma gue kan? Tawaran bagus ini!]

Kali ini Elvi yang menyenggol jatuh Handaryo.

[Jangan dengerin dia! Belakangan dia kayak salesman mencurigakan yang banyak nipu pelanggannya! Pokoknya kamu harus hati-hati, ngerti?]

Aku hanya bisa terpaksa tersenyum melihat keduanya.

Maksudku, seberapapun khawatirnya Elvi kepadaku, aku tetap akan bertemu dengan penulis itu dan tentu akan berhati-hati tanpa Elvi memperingatiku. Begitu juga, sekeras apapun Handaryo menawarkan semua itu, aku percaya kalau apa yang dikatakannya bisa kupegang. Benar, keduanya adalah orang baik, aku tak mungkin mengecewakan mereka.

Maka, ketika keduanya menanyakan apa yang akan kulakukan, aku menjawab mereka dengan yakin.

Tanpa keraguan sekalipun.

Menggenggam erat kemantapan hati.

[Aku ingin menunjukkan padanya arti kebebasan milikku.]