Iluminasi Angan:Volume01 Prolog

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Prolog

Aku tak ingat pernah membuka pintu menuju ruangan gelap ini.

Tak ada secercah petunjuk dalam kepalaku untuk bisa mengingat diriku tengah membuka pintu. Atau mungkin, aku memang tak perlu mengingatnya. Ya, hal tersebut sangatlah tidak signifikan. Berbeda sekali dengan pemandangan yang ada di balik pintu itu.

Ahh… aku mengerti.

Mungkin apa yang ada di dalam ruangan gelap inilah yang membuatku melupakan sang pintu. Spontan bulu kudukku berdiri. Pemandangan yang sangat janggal hingga aku ternganga sejenak. Bulir keringat meluncur dari dahiku.

… kurasa tidak.

Hal ganjil adalah di mana sesuatu sangat berbeda dari sekitarnya, tampak menonjol. Layaknya genangan air di padang pasir. Bak api di tengah danau. Atau mungkin hantu di lautan manusia. Jadi, aku tidak bisa menyebut apa yang kulihat ini sebagai sebuah kejanggalan.

Karena pemandangan yang ada di depanku saat ini adalah ruangan yang dipenuhi boneka wanita yang sejenis.

Semuanya tergeletak tak bernyawa, tentu saja. Mata mereka indah—namun tampak hampa. Membuatku bergidik karena merasa diperhatikan oleh boneka-boneka mati tersebut. Mungkin aku akan segera pergi dari ruangan ini, jika saja tak ada satu sosok boneka yang kukenal.

Tidak, aku tidak melebih-lebihkan.

Tidak juga berbohong.

Apa yang aku lihat seolah adalah suatu personifikasi dari sebuah boneka cantik nan anggun.

Yang bernapas.

Yang menatap kehadiranku dengan matanya yang bersinar.

Salah satu hal yang menerangi ruangan gelap ini—ahh, mungkin inilah yang aku bilang ganjil. Dalam suramnya tempat ini, cahaya memendar dari dalam bola mata itu.

Namanya Kilia.

Dia duduk di antara barisan boneka yang memenuhi sudut ruangan. Seakan tengah bersembunyi, membaur dengan kaumnya. Perlahan menampakkan senyum menawannya padaku.

“Hei,” ujarnya menyapa. “Kamu masih hidup, toh?”

Dan kalimatnya membuatku terpaku, membeku dalam rasa tak percaya.

Kontras dengan polos dan sucinya baju yang dia kenakan, sosok dirinya itu sendiri. Aku sungguh terkejut mendengar sapaan kasar yang biasa dilakukan oleh para laki-laki dengan nada bercanda.

Bukan berarti perempuan tidak bisa seperti itu.

Maksudku, hal tersebut bisa dilakukan oleh siapapun.

Hanya saja, aku sangat yakin setidaknya Kilia tak akan berbicara kasar. Tidak akan mengurung diri dalam ruangan gelap. Bahkan tidak akan berkumpul dengan boneka dingin berambut pirang sekalipun dia pemalu.

Sangat berbeda dengan Kilia yang dulu kukenal, dia benar-benar berubah drastis.

Aku masih ingat, ingat betul dengan jelas seperti apa rapinya dia, kakunya ucapannya, pendiamnya dia.

Berlawanan dengan rambutnya yang berantakan—walau masih tampak anggun. Berlawanan dengan kakinya yang terbuka—walau masih tampak cantik. Berlawanan dengan gadis yang dulu pernah kusuka—walaupun aku masih mencintainya bahkan sampai saat ini.

Dan kini, aku ingin tahu apa yang membuat Kilia menjadi seperti ini—


—Apa saja yang terjadi setelah lima tahun kami berpisah?