Iluminasi Angan:Volume01 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 1

“Apa aku salah masuk rumah tetangga?”

Hanya itu yang sanggup kuucapkan dalam kondisi yang sedikit canggung ini.

Dalam ruangan gelap dipenuhi boneka-boneka yang serupa, aku menelan ludah.

Salah satu dari mereka hidup. Tidak, dari awal dia memang hidup. Menjadi sesuatu yang kini tengah kuragukan sebagai Kilia.

Maksudku, aku bahkan tak mengenalnya!

Bukan, bukan berarti aku tak mengenali siapa Kilia. Tapi dia yang saat ini beda dari yang dulu. Aku bukannya sok tahu atau semacamnya, sungguh.

Coba bayangkan saja, semisal ada teman yang dulunya suka berkelahi di sekolah. Suka memalak adik angkatan, bahkan kakak kelas. Tapi setelah beberapa tahun, kita tak sengaja melihat dia tengah menggendong nenek yang kakinya terkilir. Tahu perbedaannya, kan?

Ya, kurang lebih seperti itulah yang kurasakan saat ini.

Berpeluh keringat dingin, aku hanya bisa berdiri menatap perangai tak biasanya. Bergaun putih bersih dan mengenakan kalung emas bercahaya.

Tidak, kurasa benda yang melingkari leher dan bercahaya tak bisa kusebut sebagai kalung. Tapi begitulah adanya, dengan sosok diamnya yang kemudian menggerakkan bibir indahnya.

“Bukan. Mau aku antar ke rumah sebelah?”

Sangat terkejut hingga aku tak bisa tersenyum menerima candaan yang Kilia kembalikan padaku. Karena aku berekspetasi lain seperti ‘Ah, enggak, kok. Ka-kamu nggak salah masuk!’ atau semacamnya.

Ah, mungkin aku kaget dengannya yang bisa bergurau. Jangankan bercanda, dia sering terbata-bata saat berbicara denganku—dulunya.

Seolah aku bertemu orang baru, benar-benar baru. Tapi dia mengenalku, dan aku hanya mengenali perangai luarnya. Aku tak mengerti harus berkata apa padanya.

“Hei, kenapa diam?”

Karena itu, dialah yang memecah keheningan. Membuatku memutuskan untuk mengikuti arah pembicaraan yang Kilia bawa saja. Mungkin aku harus melihat dulu seberapa jauh dia berubah.

“Engga. Aku cuma bingung aja,” jawabku mencoba tenang. “Kok kamu bisa beda gini, sih?”

Mendengarku yang tengah mengerutkan dahi, Kilia memiringkan kepalanya ke samping. Seolah malas untuk tetap tegap, sebelum kemudian menjawab. “Beda gimana? Apa ada yang aneh dariku?”

Tidak hanya aneh, bahkan kamu seperti ganti kepribadian!

“Y-Ya beda aja. Kamu berubah. Udah ga kayak dulu lagi. Ngerti maksudku, kan?”

“Ngerti, sih…” balasnya dengan jari telunjuk di pipi, “… sekaligus engga.”

Membuatku terbungkam sejenak.

“Kamu lupa namaku ya? Aku Kilia, teman masa kecilmu dulu. Masih sama dan belum ganti. Apa waktu lima tahun itu lama banget ya sampai-sampai kamu lupa begitu?”

“Bukan itu maksudku. Iya, aku tahu kalau kamu Kilia. Tapi kamu bukan Kilia—ah. Pokoknya kamu beda dari Kilia waktu kita masih sama-sama!”

Aku jadi sedikit bingung.

“Jadi aku siapa dong? Kamu bilang aku bukan Kilia. Kalau gitu harusnya aku punya nama lain, kan? Likia? Wow, lumayan bagus juga!”

“Kenapa kamu jadi bahas nama?!”

Teriakanku membuat matanya terbelalak. Refleks, aku langsung menutup mulutku seolah kalimatku tadi bisa kembali kutelan. Tapi tetap saja percuma.

“Kamu masih galak juga, ya? Oooh, jadi ini maksudmu ‘berubah’? Hmmm, cukup abstrak juga. Kalau gitu namamu tetap ‘Sam’ dong? Kamu ga bisa jadi ‘Mas’.”

Aku menggaruk kepala. Walau aku tak paham dengan apa yang Kilia katakan, namun sepertinya dia mengerti maksudku.

“Tapi apa iya aku ‘berubah’?”

—Atau tidak.

“Kalau bukan berubah, terus namanya apa dong?” tanyaku penasaran.

“Ganti ekspresi? Lagian kamu juga dulu pernah gitu, kan? Pas jam istirahat sekolah, kamu ngamuk-ngamuk kayak kesetanan terus keluar kelas. Habis itu kamu masuk lagi sambil nangis keras banget. Gimana itu, hayo?”

“Itu kan beda orang! Yang ngamuk aku dan yang nangis adik kembarku!”

“Eh, iya kah?”

“Iya!”

Aku ingat saat itu aku keluar kelas dan memukul adikku sendiri karena dia menyuruhku berhenti. Kalau dipikir-pikir, bisa juga dikatakan aku berubah drastis dari sudut pandang orang lain.

“Tapi, Sam. Coba pikir lagi,” sahut Kilia mengalihkan pembicaraan, membuatku mencoba kembali tenang. “Apa sih ‘berubah’ itu? Apakah sesimpel semisal aku jadi polisi, aku bisa dibilang ‘berubah’?”

Hmmm, iya? Berubah pastinya. Dari orang yang mengurung diri dalam kamar gelap, menjadi seorang polisi. Jelas perubahan yang drastis dan nyata.

“Atau misal ya, aku tumbuh dan wajahku jadi keriputan. Apa itu namanya ‘berubah’?”

“Ng… iya. Itu namanya ‘berubah’.”

“Kalau gitu, wajar dong ‘berubah’. Kenapa kamu sampai segitunya kaget? Kenapa kamu kayak ngerasa ga terima gitu kalau aku ‘berubah’?”

“Ah, kamu beneran berubah ternyata.”

Sejak kapan Kilia punya gaya bicara yang seperti itu? Aku tidak ingat dia pernah mengatakan sesuatu yang samar dan mendalaminya. Aku tak yakin dia bisa berpikir sejauh ini. Atau aku saja yang belum pernah melihatnya begitu?

Yang jelas, alasanku mempermasalahkan Kilia yang berubah tidak lain karena aku menyukai Kilia.

Tentu saja aku tak bisa mengatakannya langsung, malu juga rasanya.

Hanya saja, aku merasa asing dengan Kilia yang sekarang. Karena itu aku tak bisa tinggal diam. Aku ingin memahaminya. Aku ingin mengerti siapa dirinya. Aku ingin tahu, diri sebenarnya dari Kilia yang baru.

Atau mungkin lebih tepatnya, aku sangat ingin tahu apa yang membuatnya berubah.

“Ngomong-ngomong, Sam. Kenapa kamu ga duduk dulu aja? Capek tahu berdiri terus!”

“… Ah? Ya.”

Mengikuti sarannya, aku duduk menghadap Kilia. Tepat di tengah ruangan, dikelilingi oleh boneka berwajah sama. Sesaat aku merasa merinding lagi, membuat tubuhku bergetar dalam rasa cemas.

“Kamu kedinginan ya? Gemetaran gitu.”

“Engga. Ngga apa-apa, kok.”

“Terus?”

“Apanya?”

“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi. Kenapa kamu kayak ngerasa aneh gitu kalau aku berubah?”

Oh, yang itu. Ng… apa ya? Aku tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Jadi, aku menjawab.

“Karena kamu temanku,” yang sepertinya terasa kekanak-kanakan, “kita sering sama-sama dulu. Wajar dong aku ngerasa aneh.”

Kilia cemberut, merasa tidak puas dengan jawabanku. Raut kecewanya seolah berkata ‘Jadi aku aneh ya?’.

Namun bibir tipisnya berucap lain, “Jadi aku sekarang bukan temanmu dong?”

Kalimatnya seakan menghantam keras diriku.

Saat itu juga aku menyadari sesuatu.

Sesuatu yang sangat penting, begitu saja kulupakan. Mungkin banyak yang jarang mengetahuinya, bahkan mereka yang sudah menjalaninya bertahun-tahun. Ah, atau mungkin karena sudah terbiasalah, mereka tak bisa menyadarinya dengan cepat.

Tapi tidak untukku. Karena itu adalah sesuatu yang sangatlah berharga bagiku.

Benar, yang kumaksud adalah ‘pertemanan’. Dan juga ‘teman yang sejati adalah yang akan selalu menjadi teman kita apapun keadaannya’.

Bukan lah teman yang akrab karena punya keperluan yang sama. Bukan juga teman kantor, atau teman sekelas. Tetapi teman, yang akan tetap menjadi teman seberapa berubahnya dirimu.

‘Pertemanan yang tak semudah itu diputuskan oleh perubahan’, ya, sesederhana itu.

Karenanya aku tersenyum, menghadapi sekali lagi Kilia dengan jawaban mantab.

“Tentu aku temanmu.”

Kilia membalasku dengan senyum simpul, sebelum kemudian berkata. “Kalau gitu, ga ada yang aneh, kan, dari berubahnya diriku?”

Aku menggeleng. “Ngga. Kamu tetap aja aneh.”

“Eeeeeeeeeeeeeeeeeh?!”

“Kamu temanku. Tapi aku juga ingin tahu, kenapa kamu bisa berubah jadi kayak gini.”

Membersut, Kilia membalas. “Ini rahasia cewek, tahu! Kamu ga boleh ikut campur!”

Aku mengernyit tak mengerti.

“Ini bukan masalah gender. Aku ingin tahu karena kamu temanku. Ada yang salah?”

“Tapi ga perlu gitu juga, kan…”

Walau berkata begitu, raut Kilia tiba-tiba berganti menjadi ceria. Mata hijaunya tampak bersinar. Seolah dia baru saja menemukan ide cemerlang. Sebelum kemudian mengemukakannya padaku.

“Aku ada ide!”

Oh, dugaanku ternyata benar.

“Ide apa?” balasku mengikuti alur pancingannya.

“Bagaimana kalau aku bercerita sesuatu?”

“Tentang kenapa kamu berubah?”

“Tentang perubahan!”

Ahh, random sekali dia.

Sepertinya aku mengharapkan sesuatu yang mustahil. Apa gunanya aku mendengar cerita tentang perubahan?

“Biar kamu ngerti, apa itu ‘perubahan’! Harapanku, sih, kamu ga akan ngerasa aneh lagi habis denger ceritaku.”

Kilia berkata demikian setelah aku menyuarakan pertanyaan dalam pikiranku. Kalau begitu maksudnya, mungkin aku masih bisa meluangkan waktu untuk mendengarnya.

Ya, bagaimanapun juga aku ingin memahami Kilia, begitu pula perubahannya.

“Tapi… sejak kapan kamu suka bercerita?”

“Ng… sejak tadi?”

Dia benar-benar random.

“Kalau gitu, coba ceritain.”

Kilia mengangguk. “Oke. Tapi jangan kaget ya kalau nanti cerita selanjutnya bakalan ganti gaya ceritanya?”

“Selanjutnya? Kamu masih mau cerita hal lain?”

“Yap. Aku yakin obrolan kita pasti bakalan panjang banget.”

Ah… mungkin ini bukanlah hari keberuntunganku.