Angkringan Malam:Volume00 Prolog

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Burung besi raksasa lepas landas dari sarangnya. Menyisakan suara gemuruh yang bising dan seakan bisa membelah langit menjadi dua. Bahkan awan putih yang dilaluinya tidak mampu mempertahankan bentuknya lagi. Seperti kehidupan manusia yang tidak bisa diulang kembali seiring berjalannya waktu.

“Indonesia, eh?”

Sama persis dengan apa yang dipikirkan oleh seorang pria yang sedang menatap kepergian pesawat yang membawanya kembali pada tempat asalnya tersebut. Menyulut rokok, ia menghembuskan asap berisi karsinogen yang membuat sekitarnya menjauhi racun tersebut. Kini hanya tinggal sosoknya saja yang masih berdiri meratapi—atau lebih tepatnya mengenang kembali—masa lalunya yang tidak bisa diubah lagi.

Kata-kata adalah sesuatu yang dianggapnya penting dan penuh dengan makna. Harga dirinya terletak pada kalimatnya sendiri, ia selalu berpikir bahwa seorang pria harus memegang ucapannya. Terlebih lagi ketika ia berjanji, ia akan berusaha sekuat mungkin untuk menepati dan harus menepatinya tak peduli walau janjinya tersebut adalah menghancurkan dunia.


Dan dulu ia berjanji pada kakeknya di desa…


—Ketika Aku Berumur Lima Tahun—

“Kakek kakek~”

Seorang bocah kecil—yang mana adalah masa kecil dari pria tadi—merengek pada kakeknya yang hendak berangkat kerja. Ia ingin ikut karena bosan sendirian di rumah. Orang tuanya bekerja di luar negeri dan saat itu ia sedang berkunjung di rumah kakeknya. Neneknya sudah meninggal, maka dari itu ia kesepian.

“Apa, Nak?” jawab Kakek sembari menarik halus jenggotnya sendiri.

Mata bocah kecil bersinar kagum melihat tangan kakeknya yang sangat mahir menarik jenggot. Sebenarnya ia tidak sabar ingin mempunyai jenggot dan melakukan hal yang sama. Namun dia belum besar dan yang diinginkannya sekarang lebih kuat dari sekedar menarik jenggot.

Menggeleng, bocah kecil membalas. “Ikut dong! Aku mau kerja juga, keren!”

‘Keren!’ yang ia maksud tidak hanya untuk kerja, tetapi juga menarik jenggot.

Namun Kakek agak enggan mengajak bocah kecil karena anak tersebut masih kecil, tentu saja. Di samping itu, pekerjaan Kakek cukup menyeramkan untuk ukuran anak yang masih kecil. Makanya dia menolak.

“Ga usah, Nak. Di rumah saja, main kepiting sama Uyul.”

Tapi bocah kecil bersikeras ingin ikut.

“Engga mau! Uyul botak dan telanjang, malu-maluin kalau main sama dia hiyyy!!”

Mata Kakek melembut pada bocah kecil. Ia paham kalau sebenarnya bocah kecil sedang kesepian. Setiap hari ia bermain dengan Uyul yang hanya mengenakan selembar kain putih di selangkangan saja. Tentu aneh kalau bermain kepiting dengan Uyul. Takutnya, kepiting tersebut masuk ke dalam kain Uyul yang ada di selangkangan dan mencapit sesuatu yang berharga, bocah kecil tahu itu. Karenanya ia merasa lebih baik ikut Kakek saja. Kakek yang paham pun akhirnya menuruti keinginan bocah kecil—untuk mempermudah, mulai sekarang dipanggil Bocil(bocah kecil) saja—dan dengan senang hati, Bocil berkata.

“Makasih, Kek!”

Tapi nadanya malah seperti orang minta ucapan terima kasih—yang dimaklumi Kakek karena Bocil masih kecil.

“Hayuk deh, keburu gelap,” ajak Kakek.

Meraih tangan Kakek yang mengajaknya, Bocil sangat menantikan apa yang akan terjadi nanti ketika Kakek bekerja. Tak henti-hentinya ia mendendangkan lagu Naik-Naik Ke Puncak Gunung seraya melompat semakin tinggi. Melewati beberapa jalanan sepi dan gelap yang seolah-olah semakin lama semakin menelan Bocil dan Kakek, mereka melintasi sebuah rumah tua.

“Habis jalan lurus, rumah tua terus belok…” gumam Bocil.

Bocil tidak hanya menyanyi sambil melompat-lompat bak katak berpita suara manusia saja, tetapi juga menghafal rute perjalanannya. Ia pikir suatu saat bakal tidak diajak lagi bekerja oleh Kakeknya, makanya ia berencana pergi sendirian ketika hal tersebut terjadi.

Setelah berbelok, mereka berdua kembali berbelok mengikuti jalan yang mengitari rumah tua tersebut. Di tepi jalan yang ada di seberang bagian belakang rumah tua terdapat lahan kosong yang cukup luas. Sebuah gerobak bisa dilihat dengan jelas walau malam semakin suram.

Yang membuat Bocil mulai takut. “Nyalain lampunya, Kek!”

Lagi, dengan nada menyuruh Bocil berkata demikian. Tapi Kakek sudah mengerti kalau Bocil selama ini hanya mampu menggunakan satu nada saja yang sering ia dengar ketika ayahnya menyuruh pembantunya, “Surti! Bikinin kopi, kek! Kerja nonton tipi doang!” yang mana ia pikir keren pada saat itu. Karenanya, Kakek mulai menyalakan lampu minyak agar Bocil tidak merengek.

Cahaya lampu minyak yang agak redup terpantul dari mata Bocil yang sesaat terkagum, seolah melihat pintu cahaya surga terbuka di depannya. Kegelapan mulai lenyap dari sekitarnya, membuat Bocil sedikit lega walau tak jauh darinya masih bersemayam kegelapan. Yang menahannya dari rasa takut hanyalah nyala lampu dan kakeknya.

Lalu dingin menyerangnya.

“Brrr...” Bocil gemetar.

Kakek melihat Bocil yang seperti menahan buang air namun agak lain, ia kedinginan. Karenanya setelah mengeluarkan isi tas yang berupa makanan dan minuman bungkusan, dituangkannya oleh Kakek segelas jahe hangat dan diberikannya pada Bocil.

“Ini, Nak. Minum selagi hangat,” ujar Kakek dengan senyumnya, menambah kehangatan segelas jahe yang mulai Bocil seruput.

Sekejap rasa dingin dan takutnya lenyap seakan ditelan udara malam. Hangat nyala lampu, segelas jahe, dan senyum Kakek membuat Bocil nyaman dan aman. Ia sesaat yakin kalau bisa menghabiskan malam kerja bersama Kakek…jika saja tidak ada yang muncul dari semak-semak di ujung jalan sana.

Srek…srek…srek…sosok hitam tersebut menyeret langkahnya, berjalan dengan kaki yang sedikit bengkok ke dalam. Matanya tidak menatap lurus, tidak simetri, tidak ada tanda-tanda bahwa sosok tersebut menggunakan matanya untuk berjalan. Seolah hiasan yang ia kenakan satu-satunya adalah kedua matanya sendiri.

Srek…srek…srek…sosok hitam tersebut mulai diterangi oleh cahaya bulan. Mata Bocil terbelalak, giginya yang bergetar merusak tempo jalan sosok itu. Berpakaian compang camping dengan baju yang sobek di sana-sini, sosok tersebut terus berjalan mendekati Bocil seakan tak peduli walau harus telanjang di malam hari. Bahkan angin dingin yang menyengat tidak menghentikan langkahnya.

“…”

Bocil menelan ludahnya hingga kering kerontang.

Tubuhnya membeku, mematung, atau apapun itu yang jelas ia tidak bisa bergerak walaupun sebenarnya ingin. Teriak sekencang-kencangnya agar dikira kucing tersesat dan diabaikan sosok menyeramkan tersebut. Namun tenggorokannya sudah kering karena ia menelannya secepat pompa air, sehingga ia tidak bisa teriak.

Tamat riwayatku, pikir Bocil.

Sosok berantakan itu mulai menggerayangi sekitar Bocil dan tak lama menyentuhnya. Tidak, menyentuh terlalu lembut. Sosok itu menggosok-gosokkan telapak tangannya pada kulit mulus dan empuk Bocil seakan menemukan daging segar yang tergeletak begitu saja di pinggir jalan. Perbandingan ukuran dan tenaga mereka sangat kontras, hingga siapapun bisa melihat kalau Bocil sedang diserang. Setiap sentuhan—atau gosokan—seakan bisa sewaktu-waktu mematahkan tulang dan meremukkan tubuh Bocil.

Air mata Bocil tak henti-hentinya keluar. Ia bergetar hebat seolah ia akan terselamatkan hanya dengan melakukan itu. Giginya bergemeletuk kencang sampai Bocil tidak bisa menghentikannya. Hingga semuanya memuncak ketika jari telujuk dan ibu jari sosok tersebut mengangkat tinggi-tinggi tangan mungil Bocil dan—

“AH AAAAHHHHHHHHHHH!!”

—darah berhamburan dari bahu Bocil yang tak berlengan.

Erangan kesakitan Bocil menggema di seluruh penjuru dunia. Burung gagak beterbangan seolah meninggalkan mangsanya setelah memberikan ketidakberuntungan padanya. Begitu juga dunia itu sendiri, seakan mengabaikan teriakan lirih Bocil tanpa memberikannya keajaiban. Menyisakan isak tangis lemah dari Bocil yang mulai kehabisan darah.

“…”

Dari matanya yang berlinang air mata menahan rasa sakit, samar-samar Bocil melihat sosok jahat yang memutus tangannya tersebut melakukan hal yang menyeramkan—tentu saja. Dibukannya mulut yang penuh dengan gigi berantakan dan ketajaman yang berbeda-beda selebar yang tak bisa dibayangkan oleh manusia biasa, di mana sangat kontras dengan ukuran lengan Bocil yang hendak ditelannya.

“!!”

…atau itu yang anak ajaib seperti Bocil bisa bayangkan. Kenyataannya—

“Kek…wedang jahe kalengannya satu…”

—sosok (yang menurut banyak orang atau setidaknya Bocil) menyeramkan itu memesan minuman pelega kegalauan.

Memberikan pesanannya, Kakek berkata. “Silahkan. Dik Jombi galau lagi ya? Kali ini kenapa?”

“Ahhh…itu aku mau cerita, Kek…”

Menerima wedang jahe kalengan [1], sosok yang dipanggil Kakek Dik Jombi itu duduk di sebelah Bocil dan membuatnya terkesiap. Mata Dik Jombi yang tak beraturan tersebut bergerak-gerak seperti mencari sesuatu dan keduanya berhenti pada Bocil yang wajahnya biru pucat.

“…tapi sebelumnya, siapa anak ini, Kek?” tanyanya sambil menunjuk Bocil yang perlahan mulai geser menjaga jarak. “Ih jahat bener, masa aku dijauhin gitu? Aku bau ya?”

Bocil menggeleng-geleng sekuat dan sekencang yang ia mampu.

“Iyakah? Lalu kenapa jauh-jauh gitu?”

Bocil masih menggeleng seakan bakal diampuni nyawanya jika melakukan itu. Kakek yang paham akan keadaan aneh tersebut tertawa terbahak-bahak. Membuat Dik Jombi dan Bocil sama-sama memiringkan kepala dalam rasa bingung.

Setelah berhenti tertawa, Kakek berujar. “Tentu saja dia menjauh! Lihat sendiri betapa mengerikannya kamu sekarang, Dik Jombi!”

“Ya maaf…dari dulu aku memang begini, Kek…” ujar Dik Jombi lemah sambil menggaruk pipinya dengan jarinya yang berkuku panjang hingga berdarah-darah—yang membuat Bocil semakin ketakutan.

“Hahahaha!” tawa Kakek semakin menjadi. “Tuh, Nak. Dik Jombi sebenarnya ga nakutin kok!”

Melihat ekspresi Kakek yang ceria dengan tawa hangatnya dan ditambah dengan Dik Jombi yang mengusap kepalanya dalam rasa malu, ketakutan Bocil perlahan menghilang dihisap kegelapan malam. Tubuhnya yang masih kecil bergerak mendekati Dik Jombi dan kepalanya menengadah, meneliti dengan seksama bahwa Dik Jombi tidak akan melakukan hal yang berbahaya padanya seperti yang ia bayangkan tadi.

“…halo,” sapanya pelan dan masih ragu.

Dik Jombi yang mendengarnya menoleh. Ia ingat kalau orang tuanya dulu pernah berpesan kalau ia disapa seseorang, ia harus membalasnya dengan senyuman. Maka, ia mencoba melakukannya.

“Halo juga, malam yang indah yah…” balasnya dengan senyuman yang sangat lebar hingga kulit pipinya sobek meruncing ke atas, yang melah membuat Bocil semakin takut.

“Hi-hiiiiiii!!” seru Bocil yang kembali menjauh.

Melihat sikap Bocil, Dik Jombi menjatuhkan rahangnya—secara harfiah, hingga membuat Bocil terkesiap dan semakin takutan dengan tambahan ‘HIIII!!’. Namun itu tak lama sebelum kemudian Bocil merasa kasihan pada Dik Jombi yang berkata.

“Tuh kan, Kek…anak kecil saja takut melihat aku, apalagi cewek-cewek…aku memang ga populer…” dengan suara parau [2]. Karenanya secercah rasa peduli terpantul dari mata Bocil. Dengan takut-takut, ia mencoba membuka mulutnya untuk berkata.

“…Dik…Dik Jombi kenapa?” seraya perlahan mendekati Dik Jombi lagi.

Dik Jombi yang sudah tidak bisa menahan air matanya mulai menangis darah. Hal itu membuat Bocil terkesiap namun mencoba mengesampingkan ketakutannya dan mendengarkan apa yang dikeluhkan Dik Jombi.

“Aku…aku…ditolak untuk yang keseribu kalinya, Nak!” Lalu ia menangis sejadi-jadinya.

Bocil merasa iba dan hendak menepuk pelan punggung Dik Jombi, namun ia urungkan karena cukup menakutkan dan bisa jadi membuat Dik Jombi marah. Yang ia lakukan kini hanya mendengar keluhan dan cerita Dik Jombi yang diselingi dengan isak tangis aneh.

“…Bayangin saja, Kek, Nak. Masa Kuntil milih naik ojek gratisan dibanding aku anter pulang? Sakit tahu, sakit!” keluhnya yang kemudian menegak habis wedang jahe kalengannya.

Kakek tertawa mendengar Dik Jombi. “Yaiyalah! Kamu kan jalannya pelan, Dik Jombi. Keburu pagi baru sampai rumahnya nanti, hahaha!”

Melongo sadar, Dik Jombi berkata. “Eh? Iya juga yah?”

Lalu keduanya tertawa bersama. Bocil yang ikut mendengar dan melihat ekspresi ceria mereka berdua pun tanpa sadar menaikkan kedua sudut bibirnya, tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.

“Haha…hahahhahahhaha!!”

Kemudian dengan wajah cerah dan mata yang bersinar, ia mulai dengan senang hati mendengarkan lanjutan cerita Dik Jombi. Ia tertawa sekaligus iba, lalu tertawa lagi hingga ia melupakan ketakutannya. Seolah dari awal rasa takutnya itu hanyalah khayalan—atau memang sebenarnya rasa takut manusia itu pada dasarnya adalah ilusi atau sugesti diri yang manusia ciptakan sendiri. Namun kini, ia sudah lega dan tidak takut lagi karena ternyata Dik Jombi baik hati dan tidak sombong, sedikit bodoh namun lucu.

Malam yang mencekam tersebut tidak akan pernah ia lupakan, pikir Bocil.

Hingga pada akhirnya pagi datang, Kakek dan Bocil mengucapkan salam perpisahan pada Dik Jombi. Sebenarnya Bocil masih ingin mendengarkan semua cerita dan curhatan Dik Jombi namun pagi selalu datang, seolah memang tugasnya mengusir makhluk semacam Dik Jombi. Tapi tak apa, mereka bisa bertemu lagi malam nanti. Bocil masih hafal jalan ke tempat ini dan bisa sewaktu-waktu datang dan bekerja dengan Kakek.

“Enggak mau! Aku enggak mau ikut Ayah Ibu! Aku ingin ikut Kakek!!”

…atau itu yang diinginkan Bocil jika saja ayah dan ibunya tidak datang untuk menjemputnya ikut pergi ke luar negeri.

Kakeknya yang tidak bisa menahan Bocil untuk tinggal dengannya lebih lama lagi hanya bisa melepaskan Bocil dalam pilu. Ia mengerti bahwa Bocil masih ingin tinggal bersamanya dan bekerja lagi seperti malam kemarin. Tapi apa daya, Bocil harus ikut orang tuanya demi kebaikan Bocil sendiri. Tidak ada yang sempurna bagi kehidupan seorang anak tanpa orang tuanya yang selalu memberi kasih sayang padanya.

—Namun memisahkan seseorang dari teman barunya juga bukanlah hal yang baik.

Maka Kakek mendekatkan mulutnya ke telinga Bocil dan mulai berbisik. “Kamu ingin kerja di tempat itu lagi, Nak?”

Masih dengan linangan air mata Bocil mengangguk. “Iya, Kek!”

“Kalau begitu,” Kakek melanjutkan, “suatu saat nanti kamu harus kembali ke sini dan…”

Kalimat selanjutnya tidak bisa diingat Bocil besar—Bocil yang sekarang sedang mengingat masa lalunya ini—namun ia ingat betul kalau ia membalas dengan senyuman besar.

“Ya, Kek! Janji! Seorang pria pasti akan tepatin janji! Keren!”

Dan ingatannya berlanjut pada akhir pertemuannya dengan Kakek. Melambaikan tangannya, Bocil berharap secepatnya kembali pada Kakek dan bekerja kembali di malam hari. Bertemu dengan Dik Jombi, mendengarkan ceritanya, dan pada akhirnya pagi datang lalu mereka berpisah. Terus menerus seperti itu saja yang bisa dibayangkan Bocil. Malam-malam ceria bersama Kakek dan Dik Jombi selalu terngiang di benaknya.


Yang ternyata, malam tersebut tidak pernah datang.


Bocil tidak punya kesempatan untuk kembali ke Indonesia dan bertemu Kakek, tidak lupa juga Dik Jombi. Setelah ia memasuki sekolah dasar dan sekolah-sekolah lanjutan lainnya, Bocil tidak sempat memikirkan lagi keinginannya tersebut. Hari-harinya disibukkan oleh belajar dan belajar. Hingga Bocil sudah bukan Bocil lagi—maksudnya, ia sudah bukan bocah kecil lagi dan menjadi besar. Dan terlebih, Kakek sudah meninggal tanpa ia sadari.

Kini, ia masih berdiri di pintu luar bandara seraya mematikan rokoknya setelah selesai mengingat kembali masa lalunya, menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya.


—Ketika Aku Sudah Dewasa dan Ingin Menepati Janji—

Masih bisa diingatnya jalan menuju tempat itu dengan jelas.

Berjalan lurus dari rumah Kakek, bisa ia temukan rumah tua yang menghadap ke selatan. Selanjutnya ada jalan ke kiri dan ke kiri lagi, di belakang rumah tua tersebut atau lebih tepatnya di seberang belakangnya. Di tepi jalan terdapat lahan yang cukup luas yang hanya ditempati oleh satu gerobak yang seolah sama tuanya dengan rumah yang ada di seberangnya itu. Di situlah ia dan Kakek pernah berkerja dulu, dengan pelanggannya Dik Jombi.

Tapi…

“Aku ga pernah tahu kalau ternyata aku pernah kerja di tempat kayak gini.”

…tidak pernah ia sadari kalau ketika masih kecil, ia bekerja di tengah hutan.

Pepohonan tinggi menjulang di mana-mana, bermacam-macam bentuk hingga ia tidak bisa mengenalinya lagi. Atau memang pengetahuannya akan tumbuhan sangat sempit. Karena pada dasarnya, pohon-pohon tersebut mengelilinginya hingga ia merasa pusing dan tak bisa berpikir dengan benar.

Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Sudah sore, aku harus mendirikan gerobak ini sebelum matahari tenggelam,” gumamnya sendiri bak orang yang kesepian.

Mendirikan gerobak di sini bukan lantas ia menegakkan kembali gerobak yang sudah terjatuh atau semacamnya, melainkan menyiapkan isi gerobak itu sendiri. Ia meletakkan beberapa makanan seperti nasi kucing, gorengan, berbagai macam sate, kepala ayam, ceker ayam, dan berbagai macam jenis makanan siap saji lain yang dijamin halal dan higienis. Tidak lupa ia menyalakan tungku api dengan arang dan meletakkan ketel berisi air dan wedang jahe.

Disapunya dedaunan kering yang berserakan di tanah, berusaha membuatnya sama seperti punya Kakek dulu, bersih dan nyaman. Kemudian ia mengambil sebuah spidol besar berwarna putih dan menuliskan sesuatu pada terpal biru yang setelahnya ia pasangkan di atas tempat duduk panjang dan dipan yang ada di seberang tempat duduk.

Ketika sudah selesai, ia menghapus peluh keringatnya dan menghela napas.

“Sudah selesai~ Keren!” serunya sendiri.

Mundur ke belakang, ia menatap dengan mata yang bersinar karena kagum melihat betapa kerennya gerobak yang ia dirikan tersebut, menurutnya saja sih. Karena bisa ia lihat sendiri hasil karyanya, gerobak jualan dengan namanya terpampang jelas di terpal biru bertuliskan spidol putih.

[Angkringan Damar]

Yang tak lama kemudian, ia—atau Damar yang mana adalah namanya—berseru dengan penuh semangat.

“Sesuai janji! Angkringan malam resmi dibuka!”



  1. Wedang Jahe Kalengan adalah minuman yang dipercaya bisa menghilangkan kegalauan pria-pria kesepian terutama ketika di minum saat malam minggu. Rumor yang beredar di masyarakat, sangat sedikit penjual minuman ajaib ini sehingga sulit ditemukan. Di media jejaring sosial pun hanya menjadi kabar burung saja, beruntunglah bagi mereka yang menemukannya terutama di saat kegalauan menyerang. Jadi jika ada yang menemukannya, mohon diberitahukan ke teman sekitar atau terdekat agar membantu bagi mereka yang membutuhkan.
  2. Cukup terasa aneh kalau Dik Jombi masih bisa berbicara meski rahangnya sudah jatuh. Bayangkan saja kau tak punya rahang dan berbicara tentang dirimu yang kasihan karena tidak populer, orang pasti bakalan bingung antara harus ketakutan atau turut berduka. Tapi sepertinya masih bisa dimaklumi bahwa makhluk seperti Dik Jombi tidak perlu rahang untuk bicara aslkan lidah sama pita suaranya masih ada. Kenapa? Dia monster, apalagi coba?