Angkringan Malam:Volume00 1

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Pembukaan—

Selamat datang di Angkringan Malam Damar!

Kenapa namanya Angkringan Malam? Karena tentu bukanya di malam hari! Kalau bukanya di siang hari, mau tak mau namanya jadi Angkringan Siang! Walau yah, di mana-mana kebanyakan angkringan buka di malam hari. Tapi akhir-akhir ini sering bermunculan angkringan yang buka pada siang hari—jadi untuk membedakan saja.

Ehem! Lupakan penamaan yang tak penting itu.

Di balik terpal biru yang akan menjadi atap pelindung hujan dan angin para pengunjung terdapat berbagai macam makanan yang hmmm, baunya saja tercium sangat menggiurkan walau dari kejauhan sekalipun! Gorengan hangat dan renyah, ceker dan kepala ayam yang manis dan gurih, berbagai macam sate yang menggugah selera, semuanya tersaji rapi dan siap untuk disantap!

Tidak lupa juga dengan nasi kucing pengenyang rasa lapar! Ada yang berlauk oseng-oseng tempe, sambel teri, oseng-oseng mercon, bahkan tumis tuna! Semuanya masih segar karena baru saja dibuat! Terdiri dari bahan lokal dan impor, kualitasnya yang tinggi tidak diragukan lagi!

Oh, suka yang manis-manis dan masih panas? Bisa dibakar! Bumbu kecap yang sudah dicampur dengan resep rahasia turun temurun sangat lezat dan menambah kenikmatan semua makanan yang ingin dibakar! Air lemak yang dipanaskan dan meleleh di lidah sangatlah gurih! Tidak ada kata ‘tidak enak’ dalam kamus Angkringan Malam Damar!

Hmmm~ Membayangkannya saja sudah membuat air liur kalian mengering kan?

…kehabisan cairan? Tenang saja! Tidak hanya makanan yang luar biasa sedapnya, Angkringan Malam Damar juga menyediakan segala macam minuman lokal maupun impor! Mau kesegaran buah dari jus buah naga? Atau kehangatan wedang jahe panas? Bisa! Bahkan ada kopi luwak penahan kantuk ataupun jeruk dengan sari daun mint penghilang pilek!

Bagaimana? Menakjubkan bukan? Angkringan Malam Damar bukan sekedar angkringan biasa! Ini angkringan ajaib, lain daripada yang lain! Ditambah dengan keramahan pemilik, siapapun pasti betah untuk menghabiskan malamnya di Angkringan Malam Damar! Malam yang hangat dan ceria bersama Angkringan Malam Damar!

Silahkan~ silahkan datang!

Jadilah pelanggan pertama dan kau tak akan menyesal! Jadilah pelanggan utama karena yang pertamax itu—


—KEREN!!

—Aku Melihatnya—

Dunia sangat luas, hingga tidak ada yang tahu apa saja yang tinggal di dalamnya.

Jika melihatnya dari luar angkasa, dunia sangatlah kecil. Hanya ada warna biru yang berarti air, putih yang berarti awan, dan hijau yang berarti pulau. Bahkan makhluk hidup tidak akan terlihat dari jarak yang sama.

Namun coba saja lakukan pendekatan, dari jarak yang sekiranya lebih normal. Atau bisa juga dibilang, jatuhlah ke dunia dan bisa disaksikan sendiri betapa banyaknya sesuatu yang mendiaminya.

Oke, mungkin masih kurang jelas.

Mari kita lakukan ini perlahan, dimulai dari melayang di udara dalam atmosfer. Bisa dilihat beberapa makhluk yang memiliki sayap beterbangan ke sana kemari dengan tujuan yang bermacam-macam. Ada yang kulitnya lunak, ada pula yang keras. Yang lunak biasanya hidup, tapi yang keras mati—atau tidak bisa bergerak tanpa campur tangan yang hidup.

Biasanya disebut sebagai burung dan pesawat terbang.

Mereka bervariasi dan tak terhitung lagi berapa kali menjelajahi angkasa. Walaupun bentuknya sama, hampir tidak ada dari mereka yang melewati tempat yang sama dalam hari yang sama pula. Yah, kecuali pesawat terbang karena memang jumlahnya tidak banyak. Namun ketika melihat betapa banyaknya jumlah makhluk yang beterbangan di langit, tidak semuanya tahu apa saja jenis dari mereka, bentuknya, habitatnya, bahkan eksistensinya sendiri. Dan hal tersebut berlaku tidak hanya di udara, tetapi juga darat dan lautan.

Mari kita lanjutkan turun, mendarat di sebuah pulau.

Makhluk berbadan besar bertanduk dan berputing banyak itu biasa disebut sebagai sapi. Makhluk bertaring dengan kumis dan mata yang tajam yang sedang mengaum di sana namanya singa. Dan gerombolan makhluk kecil yang berbondong-bondong membawa sisa makanan itu namanya semut.

Tapi adakah dari kalian yang tahu apa saja makhluk yang ada di dalam tanah, makhluk yang ada di udara yang selalu masuk ke mata kita ketika sedang bepergian di malam hari, dan makhluk kuning yang selalu tumbuh di kamar mandi yang lembab? Tidak, tidak semuanya tahu akan makhluk-makhluk tersebut.

Dan jika berlanjut turun ke tempat yang lebih dalam lagi—di tiga puluh ribu kedalaman laut—apa yang akan ditemukan? Mungkin pertanyaannya salah, harusnya : adakah yang tahu makhluk apa saja yang tinggal di sana? Baik, kasus ditutup sampai di sini karena pasti semuanya langsung mencari di browser masing-masing menggunakan search engine. Tapi kalau boleh jujur, itu curang namanya—kecuali untuk pembelajaran diri.


…Lalu untuk apa semua pembicaraan di atas?

Tentu untuk—secara logika—mengatakan bahwa betapa sedikitnya makhluk yang diketahui suatu individu. Yang selanjutnya akan dihubungkan dengan makhluk yang jarang diketahui manusia—termasuk Damar.

Seperti yang sudah dijelaskan tadi, pasti ada eksistensi yang belum pernah diketahui atau bahkan sekedar diketahui dari kabar burung saja oleh suatu individu, terutama makhluk yang tidak bisa dilihat. Dan untuk orang seperti Damar yang hampir seluruh kehidupannya dihabiskan di luar negeri—daerah barat—yang lingkungannya sama sekali tidak pernah membahas atau membicarakan tentang suatu hal yang takhayul, tidak mengetahui bahwa ada makhluk lain yang berbeda dari dirinya namun berada di tempat yang sama. Tidak, bahkan makhluk yang sama seperti Damar (dengan kata lain manusia) tidak ada di tempatnya—Angkringan Malam itu.

Singkatnya, satu-satunya manusia yang berada di tempat tersebut adalah Damar seorang.

Semenjak matahari terbenam, ia mulai berteriak seperti orang gila. Jika tahu kalau hanya dirinyalah yang ada di situ, pasti ia akan malu sendiri dan lari pulang sambil menutup muka. Tapi beruntung baginya yang hidup tanpa rasa takut karena lingkungannya dulu tidak mengajari ‘rasa takut akan takhayul’, berada sendirian di tengah hutan gelap yang hanya diterangi lampu minyak saja bukan suatu masalah besar baginya. Dengan lantang ia berulang kali berteriak mempromosikan Angkringan Malam Damar agar dikunjungi pelanggan—

“…”

—yang mana mengganggu suatu eksistensi yang hampir tidak pernah keluar dari sarang tidurnya [1].

“Uhhh…kepalaku pening rasanya,” keluhnya karena makhluk itu juga punya mulut.

Ia berulang kali mengerjapkan matanya yang hitam dengan lingkaran putih pada bagian tengah, memantulkan cahaya bulan yang menyinari tidurnya. Menutup kuat kelopaknya, kemudian membuka, ia seolah menahan rasa pening di kepalanya. Yah, mirip dengan manusia yang sedang tidur lelap lalu ada mobil dengan klakson yang menyala terus, tentu akan membuatnya pusing. Karenanya ia bangun seraya mengusap-usap kepalanya yang kesakitan.

“…suara apa itu?”

Teriakan keras Damar cukup menggema di seisi hutan. Seolah seperti sedang mengisyaratkan penduduk hutan kalau eksistensinya ada di situ, Damar mengencangkan suaranya. Makhluk yang baru bangun tadi menjadi tahu kalau suara yang sekonyong-konyong mengacaukan tempo pelan pembawa tidur dari alunan angin malam yang lembut tersebut ternyata berasal dari manusia. Karenanya ia menjadi geram.

“Sekalinya ada manusia malah ganggu tidurku saja…ahhh, tapi ngomong-ngomong, aku lapar juga ternyata,” gumamnya sendiri sembari menghapus air liur yang keluar dari sudut mulutnya menggunakan lidahnya yang sangat panjang.

Baru saja terasa kalau perutnya ternyata kosong, sudah lama tak berisikan sesuatu. Atau mungkin dari awal isi perutnya tidak ada—siapa yang tahu? Yang jelas, tidak ada yang bisa berkata kalau makhluk tersebut tidak kelaparan setelah melihat raut wajahnya yang penuh nafsu untuk segera melahap daging segar sekaligus darah dari seorang perjaka. Kedua sudut bibirnya yang runcing semakin naik, hingga sejajar dengan kedua matanya, dan menampakkan taring-taring yang panjang.

Tangan panjangnya yang lebam mulai meraih batang pohon dan membuat tubuhnya berdiri. Kakinya yang masih kaku—karena kebanyakan tidur—perlahan mengambil satu demi satu langkah untuk mendekati Damar. Mata hitamnya yang memantulkan cahaya lampu minyak dan semangat Damar seolah hendak menelan keduanya dalam sekejap—mengunci sasarannya dengan buas. Hanya masalah waktu saja hingga Damar menjadi santapan makhluk itu jika saja—

“…hm? Bau ini…”

—indera penciuman makhluk tersebut tidak berfungsi kembali.

Sangat beruntung bagi Damar. Nyawanya yang sebenarnya sudah terancam hilang tersebut terampuni hanya karena hidung makhluk itu berfungsi normal. Atau bisa dibilang, Damar akan selalu aman di hutan ini karena ia memiliki bau khas yang merupakan ciri dari keluarganya sejak dulu. Wangi yang tajam namun cukup lembut, dengan sekejap sudah menenangkan diri makhluk yang tadinya berpikiran untuk menyantapnya tersebut.

Ya, makhluk itu mengingat kembali kalau bau tersebut adalah milik seseorang yang sudah lama tidak mendirikan angkringannya lagi. Yang membuatnya malas bergerak di malam hari dan terus tiduran hingga pagi tiba dan kembali tidur lagi sampai malam datang. Yang membuatnya—

“Kakek Tua!”

—rindu akan kehangatan senyum dan malam bersamanya, Kakek dari Damar.

“A-ah, hai…”

Makhluk itu tiba-tiba keluar dari semak-semak gelap, yang membuat Damar terkesiap dan kehabisan kata-kata padahal baru saja ia berteriak. Bukan karena ketakutan setengah mati melainkan karena ia hanya tak habis pikir saja seseorang memanggilnya ‘Kakek Tua’ padahal tadi pagi ia sempat berkaca dahulu dan memastikan kalau penampilannya sangat keren. Tidak, orang tua pun bisa saja keren, tapi setidaknya ia merasa kalau rambutnya masih hitam kecoklatan dan wajahnya masih kencang, begitu pula badannya yang tetap tegap walau angin kencang menerpa. Karenanya ia hanya bisa menyapa saja dalam rasa ketidakpercayaannya kalau-kalau ia sebenarnya salah mendengar.

“E-eh?”

Namun tidak, bisa ia pastikan dari wajah seseorang [2] yang baru saja memanggilnya sebagai ‘Kakek Tua’ itu terdapat secercah rasa kaget yang seolah berkata ‘Aduh, salah orang!’—yang entah mengapa membuat Damar lega. Koreksi, bukan ‘entah mengapa’ melainkan ‘memang’, karena ternyata Damar bukanlah seorang kakek tua dan ia kembali percaya diri dengan penampilannya sendiri.

Berdehem, Damar merapikan kerahnya dan berkata dengan suara lantang.

“Selamat datang di Angkringan Malam Damar!”

Yang kemudian dibalas dengan raut kebingungan makhluk itu.

“Siapa kau?”

—Namaku Damar—

Ada sesuatu yang aneh di sini. Atau mungkin lebih tepatnya otak orang itu agak aneh. Seingatku dan memang aku baru saja berteriak ‘Selamat datang di Angkringan Malam Damar!’. Tapi kenapa dia masih tanya siapa aku? Apa dia tuli?

—Tunggu.

Bisa dibilang bukan hanya otaknya saja yang aneh, tetapi juga semua tentangnya. Maksudku, pakaiannya yang sobek-sobek terlihat aneh—atau lebih cocoknya lagi ganjil dan kotor. Tangan panjangnya yang tidak wajar menyentuh tumitnya sendiri. Letak warna hitam dan putih di matanya terbalik, ganjil. Mulutnya yang sangat lebar meruncing ke atas hingga sejajar dengan matanya itu tidak wajar. Sudah kubilang tidak ada yang normal darinya.

Tapi—

“KEREN!!”

—ajaib! Bagaimana dia bisa membentuk tubuhnya seperti itu? Resep keluarga? Rahasia suku tertentu?! Wah, pasti mudah baginya mengambil buah di dahan pohon yang tinggi!

“He-hei…siapa kau? A-apa yang kau—!“

Tanpa sadar aku sudah mendekatinya untuk melihat lebih jelas lagi apakah bentuk tubuhnya itu hanyalah ilusi belaka atau sungguhan. Mungkin cukup membuatnya takut karena aku tiba-tiba saja menyentuh tangannya yang dingin dan keras untuk membuktikan keasliannya. Tapi sungguh, dia benar-benar asli!

“Maaf maaf, aku ga bisa menahan diri…” Aku mengeluarkan ibu jariku untuknya, “tapi sungguh, kamu keren banget!”

Tapi raut wajahnya yang putih pucat tampak kebingungan. Ah, mungkin aku terlalu frontal padanya sehingga dia pucat ketakutan ditambah kebingungan. Mungkin aku harus menenangkannya dengan segelas wedang jahe hangat.

Mencoba menuntunnya ke kursi panjang, aku kemudian mengambil gelas kosong seraya mempersilahkan.

“Ayo duduk, jangan diam saja. Di luar dingin!”

Sepertinya dia mengerti dengan apa yang kubicarakan karena dia lantas duduk dan melipat kedua tangannya di atas meja gerobak. Pupil putihnya mengecil dan membesar seakan cahaya dalam tenda angkringan ini cukup tidak stabil sembari memandangiku dengan cermat. Bibirnya yang seolah dari awal memang sudah membentuk senyuman tersebut—karena kedua sudutnya meruncing ke atas—bergerak dan menghasilkan sebuah pertanyaan.

“Siapa kau?” ulangnya lagi untuk yang ketiga kalinya, yang membuatku sedikit jengkel.

“Namaku Damar.” Menyajikan segelas jahe hangat, aku melanjutkan. “Silahkan minum selagi hangat.”

Lalu aku hanya diam menatapnya. Yang kemudian setelah berulang kali mengalihkan pandangannya padaku dan segelas jahe hangat, akhirnya dia memilih untuk meminumnya alih-alih menanyakan hal yang sama lagi. Meletakkan gelasnya, dia menghela napas.

“Maaf, bukan maksudku meragukan jawabanmu. Hanya saja…baumu mirip dengan Kakek Tua,” ujarnya seraya menggerakkan hidung, seakan-akan mencoba meyakinkanku kalau dia tidak berbohong.

Aku menaikkan alis. “Kakek Tua?”

Menyesap kembali minumannya tersebut, dia menjawab. “Ya, Kakek Tua. Dulu dia sering berjualan di sini pada jam yang sama persis dan lokasi tepat di mana gerobakmu ini berdiri. Kau tahu sesuatu tentangnya?”

Jika dia menanyakan seseorang yang berjualan di seberang jalan belakang rumah tua, mungkin aku tahu siapa orangnya. Dan jika dia menanyakan kakek tua yang berjualan di tempat yang sama dalam waktu yang sama pula, maka aku yakin kalau aku kenal dekat dengannya. Dia…beliau—

“Aku cucunya,” jawabku singkat dan juga jelas.

Mendengarku, dia tampak kaget…namun hanya sesaat saja sebelum kemudian dia berkata. “Hoo, pantas saja baumu sama. Bahkan aku melihat senyum yang sama persis dengan Kakek Tua terpancar darimu yang tadi menyambutku.”

“Tahu identitas dari bau? Kamu kenal dekat dengan Kakek ya?” tanyaku penasaran karena dia bisa melakukan hal sekeren mengetahui milik siapa wangi yang dia cium.

“Tidak terlalu. Aku sesekali datang memesan makanan dan minuman untuk menghabiskan hariku saja di sini. Tapi ada yang lain dari Kakek Tua, yang membuatku merasa nyaman berlama-lama di sini. Dan kurasa itu adalah baunya,” jawabnya yang tak lama menyesap minumannya lagi hingga habis. “Boleh tambah? Rasanya cukup enak dan hangat.”

“Boleh,” balasku meraih gelasnya dan mengisi kembali minuman jahe buatanku seraya bertanya. “Kalau boleh tahu, siapa namamu? Maksudku, seenggaknya aku tahu siapa saja yang mengenal Kakek.”

Aku tidak tahu kalau dia sedang tersenyum atau memang wajahnya dari awal berbentuk seperti itu. Namun kulihat bibirnya yang meruncing ke atas tersebut sedikit naik, sebelum kemudian menjawabku.

“Mael, kau boleh memanggilku Mael.”

“Nama panjangmu?”

Menggaruk kepalanya yang bertopikan kupluk hitam—selaras dengan warna mata dan rambutnya—dia menjawab.

“Ng…Maeling? Maaf, ingatanku buruk soal masa laluku.”

Maeling…tangan panjang…Maling? Ah, apa yang aku pikirkan?

Menggeleng-gelengkan kepala, aku berkata. “Mael saja sudah bagus, keren!”

Yang membuatnya—Mael—tertawa. “Haha, kau lucu, Nak.”

“Hei, kamu bisa panggil aku ‘Nak’ kalau mau. Biasa Kakek memanggilku seperti itu.”

“Boleh, Nak,” ujarnya.

Lalu kami berdua tertawa dalam harmoni.


Kami berdua tidak bicara banyak, hanya sesekali saja dan kebanyakan adalah ketika Mael ingin tambah minuman. Beberapa kali kucoba menanyakan soal Kakek padanya tapi dia hanya bisa menjawab beberapa hal yang sudah kuketahui. Namun entah mengapa, ketika dia bercerita tentang Kakek aku merasa bahwa dia cukup dekat atau mungkin sudah menghabiskan cukup banyak waktu bersama Kakek, sekalipun mereka tak bicara banyak.


Hingga tak terasa, air di ceret sudah habis. Aku ingat Kakek pernah membawaku ikut pergi ke sungai untuk mengambil air bersih. Kalau tidak salah hanya beberapa meter ke timur dan aku akan menemukan sungai besar dan kata Kakek lumayan dalam. Aku juga bisa mendengar arusnya cukup deras walau sebenarnya lembut, membuatku cepat sampai dan mulai mengambil air.

Air yang terciprat membasahi tanganku, yang mana ternyata dinginnya luar biasa. Spontan aku menggigil dan hampir melepaskan ceretku jika saja aku belum pernah merasakan musim dingin di Eropa. Namun aku sudah cukup terbiasa dan tak lama kemudian ceret yang kubawa telah penuh dengan air.

“Saatnya kembali,” gumamku.

Namun langkahku terhenti ketika mendengar—

BLUP BLUP

—suara janggal yang berbeda dengan arus deras sungai.

Perlahan aku menoleh ke belakang. Setelah aku cermati, sumber suara tersebut berasal dari gelembung-gelembung udara aneh yang tidak seharusnya bisa muncul di permukaan air karena derasnya arus. Artinya, ada sesuatu di dalamnya, sesuatu yang menghasilkan karbondioksida atau zat udara lain entah apa itu.

“…”

Mematung, aku seolah menunggu sesuatu keluar dari bawah gelembung-gelembung itu karena jumlahnya yang semakin banyak. Suaranya pun semakin berisik hingga tidak bisa kudengar lagi arus deras yang bahkan sama dekatnya dengan telingaku. Semakin kencang dan berbuih, membuat harapanku akan munculnya sesuatu dari sana semakin besar dan besar. Namun…

“Eh? Gitu aja?”

…seakan sengaja mematahkan semua harapanku, tempat di mana suara janggal tadi berasal berhenti mengeluarkan gelembung dan buih. Aku hanya bisa menghela napas dan mengambil satu langkah ke tanah becek yang mengeluarkan dua suara yang sama.

PLUK

—lalu sepotong tangan yang tiba-tiba muncul dari sungai menggenggam kakiku.



  1. Ketika berbicara soal jam tidur, tentu semua makhluk tidak bisa disamakan. Manusia saja bahkan banyak yang tidak tidur hanya untuk sekedar menggunakan internet berlebih atau membaca buku horor komedi. Untuk makhluk yang satu ini—atau begitu juga makhluk sejenis namun tak serupa dengannya—jam tidurnya adalah pagi hari hingga malam hari, normalnya. Tapi seperti halnya manusia yang menghabiskan waktunya untuk bergadang tadi, makhluk ini juga bisa tidur lebih lama dari seekor tupai di musim dingin.
  2. Mungkin tidak begitu penting, tapi untuk memperjelas saja. Bisa dikatakan bahwa yang dimaksud adalah makhluk tadi, dan memang itu dia. Sesuai dengan perangainya, banyak yang menduga kalau ia bukanlah manusia—yah, dugaan tersebut memang tidak salah. Yang salah adalah presepsi Damar, di mana ia melihat makhluk tersebut—yang bentuknya memang mirip dengan manusia namun agak aneh—sebagai seorang manusia biasa karena tentu, Damar tidak tahu seperti apakah sosok makhluk bukan manusia di Indonesia, atau bahkan di negara yang ditinggalinya dulu. Bisa dibilang pengetahuannya tentang hal gaib adalah kosong, sudah bukan nol besar lagi.