Rebirth (Incomplete)

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Apa kau ingin hidup kembali?

Aku masih ingat bagaimana setiap tarikan napasku sudah tidak bisa menyediakan oksigen lagi. Tidak, bahkan oksigen tidak bisa masuk karena aku sedang bernapas…dalam halusinasiku.

Ya, di mana kebiasaan sesederhana tersebut sudah tidak bisa kulakukan lagi, aku seakan sedang bernapas. Otakku berkata aku sedang bernapas, namun kenyataannya tidak. Cairan asin lah yang memenuhi paru-paruku.

Sebentar lagi aku mati. Ingatanku mulai menyatu dengan air. Aku sudah tidak lagi ingat mengapa aku bisa dalam kondisi seperti ini. Yang kutahu sekarang, aku mati-matian mengulurkan tanganku ke atas seakan udara di luar sana bersedia menarikku keluar dalam keputusasaan ini. Namun aku tahu itu sia-sia.

Aku tidak bisa berenang, apa yang bisa kuharapkan lagi?

—Apa kau ingin hidup kembali?

Tapi tiba-tiba, suatu suara menggema di kepalaku. Ya, bukan di gendang telinga, melainkan isi kepala. Suaranya bak malaikat, menggodaku untuk mendengarnya.

Atau mungkin iblis? Karena aku tergoda untuk menjawab pertanyaannya. Tidak hanya itu, aku bahkan tidak sempat meragukan pemikiran-pemikiran logis yang akan aku pertimbangkan bila aku dalam keadaan normal. Aku ingin hidup. Aku masih ingin hidup. Beri aku kesempatan untuk hidup. Aku memaksa untuk hidup. Aku harus hidup. Karenanya aku harus terus hidup dan menjawabnya.

—Ya.

Dengan satu kalimat tersebut, seluruh kehidupanku berubah.

“Sudah saatnya kita berangkat, kan?” Seakan sengaja mengembalikanku ke dunia nyata, seorang—atau lebih tepatnya sesosok—malaikat (atau iblis?) memecah keheningan ruang hotel yang kami tempati.

Namanya Rakiel, mengaku sebagai dewi perang.

Aku tidak mengada-ada. Pasalnya, aku cukup kesulitan untuk menyembunyikan sayap putihnya yang selalu mengepak ketika dia tersenyum. Pedangnya yang selalu dia sarungkan di perisai bulat dan besar tajam sekali, selalu dia bawa tanpa hambatan dengan badan yang sangat ramping. Ditambah dengan ukiran kuno pada setiap detil pakaian besinya, aku menyimpulkan dia tidak berbohong.

Lagi pula, dia sudah membunuh delapan orang dengan pedang emasnya tersebut.

Mengangkat diri dari sofa, aku menjawab Rakiel. “Siapa target terakhir kita?”

Mengepakkan sayap berulang kali, Rakiel melompat padaku.

“Asyik!” Telunjuknya mengarah acak ke jendela luar. “Pilih saja, kamu bisa lihat titik-titik merah di jalanan itu kan? Ah! Bagaimana kalau anak muda di gang sana? Kelihatannya empuk!”

Mengapa Rakiel tampak senang? Itu karena dia punya kesempatan untuk membunuh. Cukup mengerikan sekali melihat sesosok perempuan (malaikat/iblis) kegirangan ketika menusukkan pedangnya tepat ke jantung korbannya. Aku menahan diri untuk tidak terlihat lemah karena menjerit atau sejenisnya di depan Rakiel.

Mungkin pada dasarnya, dewi perang memang suka membunuh.

“Empuk, eh?” gumamku dengan helaan napas.

Menurut pengalaman saat melawan delapan manusia lain yang sepertiku, tidak ada yang bisa diprediksi dalam permainan membunuh ini. Pernah ada satu gadis sekolah dasar yang riang dan tampak tak berdosa sedang menusuk punggungku dengan papan kayu tajam dan senyum termanisnya.

“Aku ingin lihat darahmu muncrat, heheh, HEHEHEHEH,” katanya dengan bola mata yang melihat ke arah berlawanan sebelum kemudian lehernya putus karena tebasan pedang Rakiel.

Dunia ini memang penuh dengan orang-orang sinting—termasuk aku.

“Jadi, bisa kau jelaskan lagi padaku tentang permainan ini, Rakiel?” tanyaku sambil mengelap pistol yang kotor karena cipratan darah orang yang belum lama aku bunuh.

“Tentu!” balasnya dengan penuh semangat. Aku tidak tahu apa sifat ‘mereka’ semua mirip atau tidak, yang jelas aku belum pernah melihatnya muram. Rakiel mengeluarkan jari telunjuk seolah sedang menghitung sesuatu.

“Yang pertama, kamu punya waktu dua minggu untuk menyelsaikan permainan ini. Selebihnya, kamu otomatis akan dikeluarkan dari permainan, mati tentunya.”

Klise. Setiap permainan pasti ada batas waktu, apalagi yang menyangkut nyawa seperti ini.

“Kedua, setiap orang akan dipinjamkan ‘Bintang’ yang bisa membantunya tentang apapun yang berkaitan dnegan permainan ini.” Bintang milikku adalah Rakiel, entah malaikat atau iblis. Ketika aku bangun di pinggir pantai, dia muncul begitu saja di depanku dan menjelaskan tentang permainan di luar nalar ini. Awalnya aku tidak percaya, namun setelah sebuah tombak bercahaya yang dilemparkan oleh Bintang lain dan membelah sebuah kapal pesiar, aku mulai bisa mempercayainya.

“Ketiga, kamu harus membunuh sembilan Bintang beserta pemiliknya. Selesai~”

Ya, peraturan permainan yang cukup sederhana. Sangat sederhana hingga aku sama sekali tidak mengerti apa tujuannya. Bahkan aku tidak tahu siapa yang menciptakannya. Namun yang jelas, aku akan dihidupkan kembali setelah membunuh sembilan bintang beserta pemiliknya tersebut.

Dan nama permainan ini adalah—

“Ayo kita selesaikan ini dengan cepat.”

—Heaven’s Wheels.

“Ayo~” balas Rakiel meresponku.

Aku sudah selesai membersihkan senjataku. Kumasukkan pistol tadi ke dalam bajuku dan kukeluarkan senapan hitam kesayanganku. Berbaring, aku membidik bocah yang sedang terduduk di sudut gang bawah sana dari kamar hotel lantai sebelas.

Jarak antara kami sekitar lima ratus meter. Dengan membuka sedikit jendela kamar, aku sudah bisa merasakan kecepatan dan arah angin. Aku bukannya ahli dalam menggunakan senjata ini bahkan aku tidak tahu apa nama senjata ini. Hanya saja aku serasa tahu bagaimana cara menggunakannya.

Mungkin berhubungan dengan ingatanku yang hilang.

“Ke barat…” gumamku sambil membenarkan arah senapanku. Tidak perlu tepat di kepala atau jantung. Cukup satu peluru penuh tepat melukai tubuh bocah itu, maka aku sudah bisa menang. Setelahnya akan diurus oleh Rakiel, karena aku yakin Bintang milik bocah itu akan mencariku atau bisa jadi malah menghampiri bocah tersebut dan lengah.

Yang manapun, tidak masalah bagiku. Karena yang hanya perlu aku lakukan adalah menarik pelatuk—

“Eeehhh~ Tidak asyik ah!” Suara keluhan terdengar di belakangku, membuatku menoleh dan melihat wajah cemberut Rakiel. “Masa diam-diam seperti ini? Ayo maju dan bantai mereka dong!”

“Sssshhh! Aku sedang konsentrasi, jangan ganggu!”

“Tapi tapi…aku ingin melawannya dari dekat. Ayolah~” rengek Rakiel.

Aku hanya bisa menghela napas.

“Hanya satu tembakan dan kau boleh maju, bagaimana?” Memang benar, rekan membunuh harus mengerti metode atau rencana satu sama lain. Setidaknya, aku bisa membuat Rakiel menjawab.

“Setuju!”