Kraai:Prolog

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

“Siang yang panas, tuan?”

Seorang pria hanya bersungut-sungut mendengar pertanyaan itu. Baginya, yang biasa hidup susah di jalanan ibukota, mendengar keluhan seperti “panas” sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kesehariannya. Tak terkecuali hari ini, dimana seorang anak muda datang dan melihat-lihat koleksi buku tuanya yang sudah mulai lapuk dan menguning.

“Ah, Pramoedya. Mengapa tuan bisa punya buku ini? Dan lihat ini, arsip-arsip lama! Sudah lama saya cari barang bagus seperti ini, tetapi tidak pernah ketemu!”

Sang pria tertegun. Ia heran, mengapa anak muda ini mendatanginya? Seingatnya, sejak dua tahun berjualan buku bekas di tepi jalan, orang yang mengunjunginya paling tak lebih dari sepuluh orang setiap minggu. Kalau musim hujan, tiap bulan malah bisa dihitung dengan jari. Itu pun juga tak membeli, hanya melihat sepintas dan langsung pergi.

Memang, ada satu dua orang yang biasa membeli. Dari situ ia menggantungkan hidupnya, selain belas kasih dari jamaah masjid tempat ia biasa bermalam. Terkadang, sebuah warung makan langganannya biasa memberi sisa makanan yang masih baik. Daripada dibiarkan membusuk di tong sampah, lebih baik berikan saja padanya.

Sungguh. Hanya itu relasinya dengan orang-orang saat ini. selain diacuhkan dan tak dipedulikan, tentu saja.

Karena itu, ia sungguh heran. Mengapa seorang anak muda, dengan pakaian yang bersih lagi rapi, datang melihat-lihat koleksi bukunya yang sudah kuning dan lapuk dimakan zaman? Apalagi dengan matanya yang sipit, tak sepertinya, warga pribumi kebanyakan. Dia anak keturunan Tionghoa, dan ia lebih pantas mencari buku yang diinginkannya di toko-toko yang sejuk.

“LIhat judul-judul ini! Mengapa tuan bisa punya? Dan tuan bisa menjualnya di tepi jalan, tempat aparat biasa bertugas dan lalu lalang? Apa tuan tak takut mati?”

Mendengar anak muda itu, sang pria tak lagi kuasa menahan rasa herannya. Ia pun kembali membuka mulutnya yang sudah ia tutup rapat-rapat sejak dahulu.

“Ada apa denganmu, anak muda? Kalau kau ingin baca, ambil saja. Tak ada juga orang yang mau membelinya.”

“Hahaha… tentu saja tak ada yang mau membeli, tuan. Buku ini sudah asing di zaman ini. tuan bisa lihat spanduk itu, bukan?” kata anak itu sambil mengangkat jarinya ke arah jalan.

SUKSESKAN PELITA. ORDE BARU JAYA. KOMUNISME MUSUH LATEN.

“Itu sebabnya bukumu tak laku, tuan. Salah langkah sedikit dan hidupmu tinggal cerita,” keluh si anak muda sambil duduk di sampingnya. “Kau berikan kebebasan kepada kami tapi kau bredel kaki dan tangan kami. Apa itu yang namanya kebebasan?”

Mendengar kata-kata itu, sang pria semakin heran.

“Kau warga keturunan. Dan kau sudah tahu bagaimana pemerintah saat ini, bukan? Lebih baik kau pulang, bermanis muka pada aparat itu. Siapa tahu kau dikasih sedikit uang buat modal usaha. Tak usah cari-cari masalah.”

“Apakah tuan pikir saya sama dengan saudara sebangsa, para penjilat? Mereka turun ke jalan dan berteriak soal pelacur politik, tapi mereka justru lacurkan diri mereka pada penguasa baru saat Soekarno tumbang! Dan sekarang tuan ingin saya berlaku seperti mereka? Maaf tuan, tapi itu menyinggung harga diri saya!”

Pria itu terkejut. Dalam ingatannya yang lapuk dimakan usia, baru kali ini ia kembali menemukan sesosok orang yang tak rela harga dirinya disamakan dengan para penjilat.

“Kau sungguh anak muda yang aneh,” ujarnya sambil tersenyum.

“Apa maksud tuan?”

“Tidak ada. Hanya saja, aku sering melihat anak-anak muda sepertimu berjalan dengan pakaian borjuis bersama para perempuan. Ada rokok dan minuman, tentu saja. Dan mereka lewat saja di hadapanku tanpa peduli. Andai Jepang masih ada di sini, mana mungkin mereka berlaku seperti itu. Seperti teman-temanku, misalnya.”

“Temanmu? Tunggu, apakah tuan pernah hidup di masa penjajahan?”

“Ya. Dan aku turut angkat senjata.”

Anak muda itu terdiam. Lama sekali.

“Maafkan aku, tuan. Aku belum bisa memjadikan negeri ini lebih baik,” ujarnya pelan. Mungkin sedikit terisak.

“Bukan salahmu, anak muda.”

“Tentu, ini salahku!” katanya sedikit keras. “Mengapa aku tak halangi mereka saat orde lama runtuh? Andai saat itu aku ingatkan mereka soal candu dan kue kekuasaan, mereka pasti tak akan jadi lintah, penghisap darah rakyat. Tapi aku, aku…”

Anak muda itu tak bisa menahan kekecewaan. Bola matanya menatap dengan tajam, tetapi memerah dan basah.

“Dan kini, aku kritik mereka. Tapi musuhku semakin banyak dan orang-orang dekatku perlahan menghilang, tak ada lagi. Semakin banyak aku berjuang, semakin banyak yang meninggalkanku. Terkadang, aku merasa sungguh kesepian, tuan,” katanya sambil mendekapkan kedua tangannya. Lalu ia berlutut.

Kali ini, giliran pria tersebut yang terdiam. Pikirannya melayang jauh ke masa lalu, saat ia berdiri bersama orang-orang yang dikenalnya, bahu membahu mengangkat senjata.

Ia masih ingat soal desing peluru yang melayang ke arah musuh. Masih diingatnya soal darah segar dan teriakan dari oang-orang yang meregang nyawa di tengah pertempuran. Dan baginya, yang biasa berdiri di tengah kematian, hidup damai seperti ini saja sudah seperti kebahagiaan yang tak terkira.

Sebab merdeka telah jadi sebuah impian. Mimpi yang selalu dijadikan pengantar tidur oleh ibu-ibu di masa itu.

Karena itu, saat anak muda tadi berkata soal tangan dan kaki yang dibredel, ia heran. Bukankah negara ini sudah lebih baik daripada saat kompeni masuk dan menghancurkan ladang orang yang tak mampu bayar pajak?

Ingin ia bertanya lebih lanjut, tetapi anak muda itu terlanjur ingin pamit.

“Lebih baik tuan jual koran saja. Lebih baik daripada buku bekas yang sepi pembeli. Penguasa itu senang juga kalau berita palsu soal dirinya dimuat. Dan terima kasih, tuan, telah berjuang untuk kami. Walaupun aku sendiri tak tahu lagi, merdeka itu maksudnya seperti apa.”

Ketika anak itu akan membalikkan badannya, seketika pria itu merenggut tangannya.

“Tunggu, anak muda. Kau bisa membawa buku apapun yang kau mau.”

“Tak usah, tuan. Buku itu memang bagus, tetapi tuan lebih butuh untuk dijual. Lagipula, aku tak punya uang. Aku mungkin masih bisa menemukannya di perpustakaan, walaupun sulit.”

Mereka kembali terdiam. Lama sekali.

“Ngomong-ngomong, apa yang tuan pikirkan tentang kemerdekaan kita saat ini?” kata anak itu memecah kebuntuan.

Pria tersebut hanya menjawab pelan.

“Setidaknya, jauh lebih baik dibandingkan harus dikejar-kejar oleh bangsa asing.”

“Walaupun sekarang yang mengejar adalah bangsa sendiri? Aku kagum padamu, tuan. Kau telah banyak dikhianati tetapi masih saja berpikir baik-baik tentang bangsamu.”

“Apa buktinya?”

“Lihat saja dirimu, tuan. Kotor dan dekil. Andai pemerintah mau peduli, kau pasti telah tinggal dalam asrama veteran dan hidup mewah di sana. Kau tak perlu menjual buku bekas dan mengemis agar orang membeli bukumu.”

Pria itu tertegun. Ia memang pernah mengajukan haknya sebagai veteran, tetapi salah seorang pejabat yang ditemuinya beralasan kondisi ekonomi sedang sulit. Dan esoknya, ia membaca sebuah koran dan menemukan sang pejabat sedang berpose ria di sebuah patung singa yang memancarkan air mancur di negeri orang.

Sejak saat itu, ia alergi terhadap koran.

“Sudah dulu, tuan. Ibu saya menunggu di rumah. Aku juga harus menyiapkan barang-barang. Lusa harus berangkat ke Semeru, naik gunung,” ujarnya sambil tersenyum.

Pria tadi segera mengambil sebuah buku Pramoedya dan menyodorkannya dengan keras pada anak itu.

"Sudah, ambil saja. Sekalian untuk melepas lelah apabila sampai di puncak gunung."

Anak muda itu kembali terdiam. Dan sejenak kemudian, matanya berbinar.

"Terima kasih banyak, tuan! Aku tak akan lupa bagaimana orang-orang kecil berlaku baik kepadaku!"

Anak itu segera berlari sambil melambaikan tangannya.

Ingin rasanya ia terus bersama, tetapi apa daya. Anak muda itu juga punya kehidupan. Dan ingin rasanya pria itu bercengkerama tentang banyak hal, mulai dari harga yang terus naik hingga ungkapannya soal merdeka dan kaki tangan yang dibredel.

Sayangnya, anak itu telah menghilang dari pandangan. Dan ia sepi sendiri di sini.