Kraai:Afterword

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Catatan: tulisan ini mengandung spoiler. Sangat tidak disarankan untuk tidak membacanya sebelum menamatkan novel ini.

Ketika menulis cerita ini, saya teringat catatan pinggir Goenawan Mohamad dalam majalah Tempo, tapi saya tidak ingat lagi kapan tulisan itu dimuat.

“Membaca sejarah, menyusun sejarah, adalah berkabung.”

Tentu saja. Saya masih ingat bagaimana pembelajaran sejarah di sekolah saya yang jauh dari kata menyenangkan. Saya mengambil jurusan IPA saat SMA dan sejarah adalah satu-satunya mata pelajaran sosial yang diajarkan saat itu. Dua jam. Setiap minggu. Dan kami harus dipaksa menghafal tanggal—ya, tanggal. Karena soal ujian diberikan dalam bentuk pilihan ganda dengan angka-angka yang menarik: 26, 27, 28, 29, dan 30 Desember 1949.

Saat itu, saya hanya menarik napas panjang. Kapan anak-anak bisa memahami sejarah ketika mereka hanya ditanya soal penanggalan saat ujian?

Tiga tahun berlalu dan saya telah duduk di bangku kuliah. Tentu saja, saya mengambil jurusan yang berkaitan dengan ilmu alam. Dan saya resmi “berpisah” dengan sejarah. Tentu saja, dalam pendidikan formal.

Karena setiap saat, kita pasti akan menoleh ke belakang. Mengingat-ingat segala yang telah terjadi ke belakang.

Dan saat itu, saya kembali bertanya.

“Apakah kita bisa membuat suatu pembelajaran yang menyenangkan tentang sejarah?”

Saat itu, terbersit ide awal untuk menulis Kraai. Sebenarnya tak muluk-muluk amat. Intinya, agar para pembaca (pada umumnya) dan siswa (pada khususnya) dapat mengetahui sekilas bagaimana pergolakan revolusi pada masa itu (1945-1949). Tentu saja, karena ditulis dalam format novel, akan banyak hal-hal tak penting yang tak ada hubungannya dengan sejarah masa itu. Katakan saja hubungan antara Sakai dan rekan-rekannya, sikap komandan dalam pertempuran, dan lainnya.

Dan tentu saja, ini adalah suatu fiksi. Anggap saja tindakan Andreas yang menembak Jenderal Mallaby itu hanya suatu hal yang remeh. Juga soal Sakai yang bertemu dengan Jenderal Soedirman saat gerilya keliling Jawa. Karena sampai saat ini kita tak pernah tahu, siapa dalang di balik peristiwa jembatan merah. Bukankah Soedirman juga bertemu dengan banyak pejuang—saat ia diarak dengan tandu di pedalaman desa?



Membaca sejarah dan menyusunnya adalah berkabung.

Di sana, kita bertemu dengan tokoh-tokoh yang mati. Mereka ada di masa lalu. Mereka makan, tertawa, dan punya mimpi. Karena itu, saat kita mencoba menyusun wajah mereka oleh fragmen memori yang tercecer, saat itulah kita bertemu dengan mereka.

Dan kita berkabung.

Kita sadar, ada kematian. Dan kita sadar, ada hal-hal lain yang tak pernah kita tahu. Sejarah memang disusun atas kehendak banyak orang—entah rekan, keluarga, atau orang yang punya kepentingan.

Namun, kita tak akan pernah mereka wajah sejarah itu seutuhnya.

Kita mungkin disuguhkan soal kemerdekaan yang hiruk pikuk. Di benak kita, yang terbayang adalah banbu runcing, teriakan para pejuang, dan orang-orang berbaju putih yang berorasi di atas podium. Dan semua itu diakhiri dengan adegan Soekarno-Hatta yang membuka secarik kertas dan membacakan sebuah naskah yang melegenda.

Saya pertama kali mengetahui peristiwa itu saat kelas 5 SD. Dan saat guru mencatat di papan tulis, saya menoleh ke teman perempuan di bangku sebelah, meminjam kotak pensilnya, dan mengambil sebuah pulpen yang punya tinta warna emas (entah kenapa ia punya pulpen seperti itu). Akhirnya, saya mencatat peristiwa itu dengan kebanggaan. Karena saat itu Indonesia merdeka setelah dijajah sekian lama dengan perjuangan yang tak terhingga.

Untuk pertama dan terakhir kalinya, saya mencatat dengan pulpen emas. Selain tak ada yang menjual, anggapan soal “peristiwa” itu ternyata tak seindah kenyataan yang ada.

Sebutlah soal pejuang dan bambu runcing. Tak ada pertempuran pada bulan itu. Dan proklamasi pun sejatinya tak seperti yang banyak digembar-gemborkan. Saat itu Soekarno sedang sakit. Beberapa saat sebelum upacara yang “legendaris” itu, Hatta bahkan sampai masuk ke kamar dan menyatakan kesanggupan Soekarno. Dan Soekarno sanggup, tetapi terpaksa. Setelah prosesi yang “melelahkan” baginya, ia kembali ke kamar dan tertidur kembali.

Dan dari peristiwa yang sederhana itu, Indonesia merdeka. Bukan dengan bambu runcing atau teriakan para pejuang. Walaupun tanpa hal-hal tersebut, Indonesia tak akan pernah merdeka.



Salahkah jika kita berkabung saat menyusun sejarah?

Entahlah. Saya sendiri tak pernah tahu. Yang jelas, saya menulis Kraai dengan perasaan yang berat.

Yang pertama, bab-bab awal ini ditulis dalam minggu ujian. Repotnya jadi seorang pelupa, ide sekecil apapun harus segera ditulis agar tak menguap. Jadilah saya harus dimarahi dosen karena tak bisa menjawab pertanyaan remeh gara-gara menulis ide yang terbersit malam harinya.

Akan tetapi, semua itu tak lebih berat andai membandingkan orang-orang yang berjuang saat itu.

Mereka berperang. Mereka kehilangan. Dan mereka mati di sana. Rasanya, Chairil Anwar cukup jelas menggambarkan mereka dalam puisi “Karawang-Bekasi”.

Dan mereka dikenang. Sebagai seorang pahlawan bangsa. Baik dikenal maupun tidak.

Namun saya bertanya. “Cukupkah itu?”

Maksud saya, apakah para pahlawan itu benar-benar menginginkan hidup seperti itu? Saya sendiri sangsi. Buktinya, banyak orang-orang yang berkhianat dan hidup nyaman setelahnya. Kita menggambarkan orang-orang itu sebagai “antagonis” yang harus musnah. Dan lagi-lagi saya sangsi.

Andai kita benar-benar hidup pada masa itu, apakah kita benar-benar siap untuk angkat senjata? Kenyataannya, banyak di antara mereka yang berperang justru setelah kehilangan sesuatu atau orang-orang yang mereka cintai.

Andaikan demikian, agaknya saya sedikit punya empati pada para pengkhianat, walaupun tak pernah setuju dengan apa yang mereka lakukan. Setidaknya, mereka jujur pada dirinya sendiri, bahwa mereka juga manusia yang butuh rasa nyaman dan ketenangan.

Di lain pihak, manusia butuh chaos itu sendiri untuk bisa nyaman. Banyak perdamaian yang terjadi setelah banyak darah tumpah dalam peperangan. Tak hanya sekali. Jika ada yang berkata bahwa moral manusia tak pernah berubah lebih baik sejak zaman batu, saya mungkin bisa memahaminya.

Karena itu, saya menyusun naskah novel ini dengan perasaan berat. Di sana, ada kehilangan. Ada penderitaan. Ada pengkhianatan. Ada nyawa yang melayang—saya tak tahu apakah kematian itu sia-sia atau tidak. Saya bahkan tak yakin bahwa Sakai mendapat “kemerdekaan” yang telah lama diharapkannya bersama Rheana. Jika ada yang berkata bahwa ending novel ini bahagia, entahlah. Saya tak tahu lagi.

Yang jelas, saya punya harapan sederhana.

Melihat negeri ini hidup dengan damai.

Itu saja. Tak ada lagi.