Iluminasi Angan:Volume01 05

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 3

“Wow!”

Hebat sekali, bahkan suara Kilia bisa beda begitu!

Apa ini yang disebut sebagai pengisi suara? Kalau iya, aku beruntung bisa menyaksikannya langsung!

Sungguh menakjubkan!

Rasanya seperti bertemu dengan orang lain—tidak, aku tidak menyebut Kilia sebagai Likia atau yang lain. Hanya saja, ini seperti aku sedang meminta pasta gigi yang sudah habis dari kamar mandi pada adikku, tapi ternyata yang datang memberikannya padaku adalah ibu.

Ng… apa permisalanku jelek?

Yang pasti, aku kagum sekali dengan kemampuan Kilia. Mungkinkah perubahannya memang baik? Ah—apa yang kubicarakan? Mana mungkin baik! Maksudku, aku rela Kilia kembali seperti yang dulu lagi meski harus mengorbankan kemampuannya ini.

… Mengesampingkan semua itu, cerita yang dibawakannya kali ini cukup menyakitkan.

Ya, jelas dong aku mengerti ceritanya.

Ini tentang seorang ibu yang membunuh anaknya, kan?

Benar, seorang ibu rumah tangga cukup tertekan dan jiwanya tidak stabil. Tapi karena anaknya yang suka monopoli suka merengek, sang ibu tidak tahan mendengarnya. Karena itulah dia membunuh si anak yang sebenarnya hanya ingin bermain saja.

Sungguh kejam dan menyedihkan.

Walau begitu, bagian mana yang menggambarkan ‘menipu diri’ dari cerita itu?

… Eh? Kenapa kamu membersut begitu?

“Kamu… beneran engga ngerti atau pura-pura aja?” tanya Kilia setelah aku utarakan pendapatku.”Mengapa kamu memersepsikannya seperti itu?”

Alisnya menaut seolah tak mengerti. Apa yang dia bingungkan? Kalaupun begitu, seharusnya aku yang tidak memahami cerita, kan?

“Apa ada yang salah sama kesimpulan yang kubilang tadi?” balasku memastikan.

“Engga. Tapi yang salah itu otakmu. Jelas-jelas udah aku ceritain soal bagian ‘menipu diri’. Kamu denger semuanya ga, sih?”

“O-Otakku normal, tahu! Kan udah kubilang tadi. Ini tentang ibu yang punya gangguan mental terus bunuh anaknya! Kamu pikir aku ga tahu itu?”

Yang kudapati bukan balasan dari Kilia, melainkan helaan napas yang diikuti dengan dirinya yang merebahkan tubuh pada barisan boneka. Seolah benda-benda itu adalah kasur empuknya.

“Ahh… aku lelah, capek. Apa ceritaku tadi percuma? –Ngga juga, sih. Kayaknya emang terlalu cepat aja. Caraku salah mungkin. Dia masih belum ngerti konsepnya. Ya, mungkin aku terlalu maksain juga. Ngga mungkin semuanya bisa selesai secepat itu, kan?”

Aku hanya bengong melihat Kilia yang bergumam. Seolah dia sedang bicara dengan dirinya sendiri. Tidak, seharusnya lebih baik dia membatin atau semacamnya. Walaupun aku tak mengerti dengan apa yang dia katakan, tapi dia tengah membicarakan sesuatu tentangku, kan?

Tidak sopan.

Seenggaknya bilang dalam hati saja, lah! Aku mendengarmu, tahu!

“Ah, maaf. Tadi aku kebablasan pakai otakku buat mikir, ga kayak kamu. Oh ya, jadi cuma itu tadi yang kamu tangkap?”

“Yang aku tangkap? Bahkan cuma itu yang kamu ceritain ke aku!”

“Ah… gitu, ya?”

Lalu Kilia kembali lagi ke dalam pemikirannya. Atau seperti itulah yang bisa kulihat. Kilia hanya mengguman sendiri seraya menyilangkan tangan.

Berulang kali dia memainkan kakinya yang seputih nasi. Cukup pucat namun tampak mulus. Naik turun, seolah tak peduli gaunnya melorot dan aku mampu melihat hal yang tersembunyi di baliknya.

Ahh, kenapa napasku jadi berat begini?

Tapi kalau dipikir-pikir, Kilia tumbuh menjadi wanita yang cantik. Bahkan dibalik perangainya yang berantakan—rambut bercabang tidak disisir, pakaian yang tidak rapi, cara bicara yang tak sopan, mengurung diri di kamar—aku masih bisa mengetahui kecantikannya. Seolah dia memiliki keindahan yang natural.

Bicara soal keindahan, aku suka dengan tengkuknya yang putih. Melihatnya saja membuatku menelan ludah. Keringatnya yang meluncur turun—masuk ke dalam gaunnya sungguh terlihat seksi.

A, apa yang sedang kupikirkan?

Tidak, tidak, tidak! Aku ke sini bukan untuk mengomentari hal itu! Ada apa dengan isi kepalaku?

“Kamu kenapa?”

“Uwaaa!”

Wajah Kilia begitu dekat menatapku—aku bahkan bisa melihat matanya yang memantulkan diriku. Bibir merah mudanya tampak lembut. Merekah. Ini kali pertamanya wajahku terasa jadi hangat dibuatnya.

Se-sejak kapan dia mendekat?!

Memiringkan kepala seolah sedang mencermati wajahku yang sedikit tertutupi poni, Kilia berkata. “Kamu demam, ya?”

“S-Stop! Plis jangan tempelin jidatmu di kepalaku!”

“… …”


Kemudian suasana menjadi hening.

Kilia melongo sesaat, sebelum kemudian tertawa terbahak.

“Kamu ini kenapa? Kebanyakan nonton film?” sindirnya menyebalkan.

Aku hanya bisa menggigit bibir dalam rasa malu.

Kilia benar, aku membayangkan hal yang sering terjadi di film atau novel. Yah, wajar, kan? Orang bilang novel dan film itu berdasar pada kenyataan. Salah, kah, untukku menebak kalau apa yang selanjutnya akan dilakukan Kilia adalah menempelkan dahinya padaku?

“Habis… kamu tiba-tiba deket gitu!” keluhku kesal.

“Haha, kamu, sih, bengong gitu kayak orang bego. Eh, maaf. Kamu kan emang bego, sekali lagi maaf.”

“Kamu ga perlu minta maaf—ah! Maksudku, kamu emang kudu minta maaf!”

“Kan aku udah minta maaf, masih kurang ya?”

“… …”

Kenapa kalau Kilia minta maaf aku masih saja merasa tersinggung?

Ada yang salah disini?

“Ngomong-ngomong, Sam,” ujar Kilia yang sudah tidak tampak mempedulikanku. “Kalau begitu aku masih belum jelasin soal ‘menipu diri’, ya?”

“Sama sekali belum. Kamu kenapa malah cerita tragedi gitu, sih? Aku malah jadi penasaran soal itu.”

Kembali ke singgasananya—deretan boneka berambut pirang—Kilia menyilangkan tangan dan melipat kakinya, membalas.

“Nggak, ga ada apa-apa, kok. Mending kita bahas soal ‘menipu diri’ biar engga merembet ke mana-mana.”

Aku mengangguk.

“Sebenarnya, sih, aku cuma mau bilang kalau ‘menipu diri’ itu engga selalu buruk. Oh ya, bahkan buruk sama baik sendiri sangat subyektif. Mencuri itu buruk karena merugikan orang. Padahal, mencuri bisa aja baik dengan alasan untuk kasih makan keluarga—tentu di mata pencuri. Semua bisa jadi kebenaran, tergantung dari sudut pandang siapa. Jadi, kebenaran mana yang kamu lihat?”

“Er… mencuri itu merugikan?”

“Kalau gitu kamu engga ngerasa kasihan kalau keluarga si pencuri mati kelaparan?”

Ya kasihan, sih. Tapi normalnya—wajarnya, mencuri itu dilarang. Mengambil hak orang dengan paksa. Melanggar hukum. Dibenci masyarakat. Walau sekepepet apapun dia, seharusnya tidak mencuri. Ya, harusnya—

“Dia kan bisa ngelakuin hal lain. Cari kerja misalnya, atau serabutan. Yang penting dia dapet uang bukan dari mencuri.”

“Ah, benar katamu,” balas Kilia yang juga setuju. “Tapi, Sam. Kalau semuanya semudah yang kamu bilang, kenapa masih aja ada pencuri di dunia?”

“I-Itu karena… usaha mereka kurang?”

Kilia terkekeh.

“Apa kamu yakin kalau itu masalahnya? Banyak faktor yang berasal dari dunia—ah, kayaknya bakal lama kalau ngebahas ini. Aku persingkat aja. Apa, sih, yang mendorong seseorang buat mencuri?”

“… Kepepet?”

Kilia mengangkat alis.

“Bisa jadi, tapi bukan itu maksudku. Kamu sendiri bilang kan kalau mereka ga perlu mencuri? Nah, kepepet itu adalah kondisinya. Sedangkan tindak pencurian sendiri berasal dari dorongan diri. Kamu tahu apa itu?”

Aku selalu penasaran terhadap Kilia yang menanyakan sesuatu padaku. Apa dia mengharap aku bisa menjawabnya? Apa dia yakin aku tahu jawabannya? Ataukah dia hanya sekedar bertanya saja?

Mungkin itu gaya bicaranya?

Sulit untukku bisa menunjuk satu poin lain. Terdesak adalah alasan yang cukup bagus. Tapi ternyata ada yang lain. Jika begitu, akan kucoba untuk mencarinya.

Kalau dipikir-pikir, apa ya yang membuat seseorang mencuri?

Sesuatu yang berasal dari dalam diri, kata Kilia. Nafsu, kah? Tidak. Orang mencuri bukanlah nafsu. Mungkin beda kalau klepto, hanya saja aku yakin yang kami bahas sekarang bukan penyakit itu.

Ah, aku ingat pernah ada yang bilang kalau ingin memahami sesuatu, posisikan dirimu di situ sebagai benda atau orang tersebut.

Aku coba bayangkan diriku tersesat di jalan, tak tahu arah pulang. Perutku lapar, sudah tiga hari tidak makan. Kepalaku pusing. Jalanku sempoyongan hampir menabrak tiang listrik.

Tiba-tiba aku mencium bau gorengan. Di jual di tepi jalan. Ramai pembeli. Berbagai macam jenis tertumpuk begitu saja di baki. Banyak sekali jumlahnya. Sangat banyak sampai aku tidak yakin para pembeli bisa menghabiskannya.

Perutku keroncongan. Di sana banyak gorengan. Aku lapar. Tidak ada yang memperhatikan dalam keramaian. Lambungku sakit. Bisa-bisa aku mati dengan usus kosong. Saat itu juga, satu-satunya hal yang terbesit dari dalam pikiranku adalah…

‘Aku ambil satu saja ga ada ruginya, kan?’


“Ah…”

“He? Sepertinya kamu udah ngerti sekarang,” kata Kilia seraya menyeringai.

Ya.

Aku mengerti.

Sangat mudah tapi mungkin tak kuketahui karena aku belum pernah merasakannya. Atau bahkan tidak kusadari. Itu berasal dari alam bawah sadar, menyeruak begitu saja ketika kondisi kritis menyerang. Ya, itu adalah…

“… Menipu diri.”

Kilia bertepuk tangan.

“Benar, kamu hebat bisa ngerti maksudku! Ternyata kalau otakmu dipakai cukup berguna juga, ya?”

Tidak, bukan hanya itu saja.

“Tapi bisa jadi karena hal lain, kan? Misalnya keserakahan, rakus, pemalas, mencari cara yang lebih cepat dan instan agar bisa mendapat sesuatu. Peranan lingkungan dan keluarga juga penting dalam hal i—“

“—Dan itu semua menjadi justifikasi untuk mencuri, kan? Dia menipu diri—nggak. Dia menipu diri untuk membenarkan pencurian. Justifikasi. Yang terjadi selanjutnya adalah dia yang menjadi pencuri.”

Kilia memotong kalimatku, aku terdiam dibuatnya.

“Walaupun hanya sesaat saja dia berpikir seperti itu. Ketika melakukannya, maka dia membenarkan pencurian. Penyesalan atau rasa bersalah yang ada setelah itu bukan hal yang relevan lagi. Karena tepat saat dia mencuri lah—semua norma runtuh di benaknya.”

Maka, orang itu mencuri.

“Sekalipun dia bisa menahan diri dari mencuri, pikiran sejenak itulah yang menipu dirinya,” tambah Kilia, mengakhiri kalimatnya dengan helaan napas.

Sejenak aku tak bisa berkata apa-apa.

Tidak.

Aku bahkan tak tahu harus berkata apa, sebelum kemudian aku mengingat sesuatu.

“Aku ngga tahu kenapa kita jadi ngomongin hal yang rumit gini. Tapi kamu belum kasih contoh yang jelas soal ‘menipu diri’ itu baik.”

“Apa yang bikin aku seperti ini lebih kompleks lagi dari hal tersebut. Yah, biarpun gitu, sekarang kamu seenggaknya ngerti kalau kebenaran cukup abu-abu dan subyektif.”

Mengambil salah satu boneka yang berukuran sedikit lebih kecil dari yang lain, Kilia mendekapnya seraya melanjutkan.

“Jadi, aku rasa sekarang kamu ga akan mendebat lagi kalau aku bilang: melupakan sesuatu yang ngga menyenangkan itu bisa ngebuat orang ngerasa nyaman, kan?”

… Kalau dipikir lagi pun, aku sendiri sering menganggap lalu saja nilai ulangan yang jelek. Karena itu, ya, aku setuju.

“Melupakan hal buruk itu termasuk ‘menipu diri’. Kamu tahu? Orang trauma berat punya kecenderungan melupakan hal yang ngeri baginya. Yah, tergantung kategorinya, sih. Cuma emang ada yang seperti itu. Kayak amnesia. Sama sekali ngga ingat kalau dia pernah mengalami hal yang buruk.”

“… Ya, mungkin ada.”

“Nah, itu salah satu kasus beratnya. Ada juga yang baru saja membunuh adiknya, tapi setelah ditanya dia bilang bukan dia pelakunya. Mungkin masih banyak contoh lain. Tapi ngga perlu kusebutin semuanya, kan?”

“… Engga, udah cukup.”

Aku juga pernah mendengar kalau orang gila suka berbicara sendiri—tidak. Bahkan aku pernah melihatnya. Seolah mereka punya lawan bicara. Seakan mereka mendengar sesuatu. Yang tak bisa kulihat. Yang tak bisa kudengar.

Kalau itu adalah contoh yang lainnya, aku hampir bisa setuju dengannya.

Baik disini bukanlah dari sudut pandang orang lain. Bukan, mungkin ada sekelompok orang yang menganggap ‘menipu diri’ itu baik. Ada juga kelompok lain berkata sebaliknya. Tapi meski begitu, tetap saja baik yang kubicarakan ini jatuh pada pilihan yang merasakan.

‘Tak apa kalau aku tak ingat. Toh aku tidak perlu mengkhawatirkannya lagi.’

‘Tak apa kalau semua berlalu. Toh aku tidak perlu memikirkannya lagi di masa depan.’

Ya, semuanya sesederhana itu. Hanya itu. Tidak ada hal lain yang terpikirkan olehku.

Sangat rumit membicarakan tentang manusia. Aku bukan dokter atau sejenisnya, jadi aku tidak ingin obrolan kami mengarah ke sana. Sama sekali tidak.

Tapi ada yang mengganjal di kepalaku.

Di awal kami membahas tentang perubahan diri—yang berlanjut pada menipu diri, kemudian melupakan hal yang buruk. Apa ya? Aku merasa ada sesuatu yang bisa dihubungkan dari ketiganya.

Ah, aku tetap tidak bisa menyebutkannya. Tak ada satupun hal yang keluar dari kepalaku selain tiga keadaan di atas. Mungkin otakku sudah mulai panas. Haruskah aku minta bantuan Kilia?

“Aku ada cerita yang ada hubungannya dengan itu semua. Atau mungkin aku beri istilah ‘perubahan total’?”

Ini dia… sesi [Kilia Bercerita].

Aku merasa sangat menyesal telah mengatakannya pada Kilia. Hanya saja aku penasaran. Aku ingin tahu kejanggalan ini. Ya, seakan-akan aku harus tahu.

Karenanya, aku membenarkan posisiku duduk—bersila—dan bersiap mendengarkan cerita Kilia lagi.

“Aku mulai, ya?”

Semoga kali ini aku bisa mendapatkan jawaban atas kejanggalan itu tanpa berdebat lagi.