Iluminasi Angan:Volume01 03

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 2

Itu… cukup mengejutkanku.

Tidak, seharusnya aku sangat terkejut. Atau mungkin sebaiknya aku menambahkan sebuah teriakan.

Jujur saja, aku tak melebih-lebihkan hal ini. Tidak ada secercah kebohongan yang menahan diriku untuk mengakuinya.

Apa yang kurasakan seperti seseorang yang pulang kerja dengan segala beban lelahnya. Berpapasan dengan pengamen berperawakan lusuh dan berantakan, namun mendapati suara yang dikeluarkannya bak malaikat. Menyembuhkan, tidak, bahkan menghapus rasa lelah dari orang yang mendengar.

Sangat menyegarkan, padahal aku seharusnya terkejut.

Aku tak menduga Kilia bisa menciptakan sebuah cerita yang bagus.

Ahh… mungkin bisa kubilang ceritanya sederhana. Meski dulu aku ingat dia tanpa intonasi membacakan cerpen yang dia buat di depan kelas. Tapi sekarang berbeda.

—Luar biasa berbeda.

Entah kenapa, caranya menyampaikan cerita itu sangat emosional. Seolah dia memahami sekali perasaan tokoh-tokoh yang ada di dalamnya. Seakan, dia pernah ada di dalamnya.

Terutama tokoh utama.

Tunggu, sepertinya aku terlalu percaya diri menyebutnya sebagai tokoh utama. Dia sangat lemah. Dia tak punya keberanian. Dia hanyalah pecundang.

Meski begitu, mungkin aku terlalu berprasangka baik pada seorang ‘tokoh utama’. Dari awal, tak ada jaminan kalau tokoh utama itu harus keren, kuat, dan punya berbagai sifat yang anak-anak dambakan.

Namun di samping itu semua—

“… Kenapa kamu pakai namaku?”

—bagaimanapun juga aku harus menanyakan itu terlebih dahulu.

“Eheheh.”

“Kenapa kamu malah julurin lidah ke samping sambil kedipin aku? Jawab pertanyaanku!”

Kilia cukup manis saat melakukannya, tapi kurasa ada yang aneh denganku. Mengapa aku bicara dengan gaya seolah menarasikan sesuatu? Aku harus periksa ke dokter setelah ini. Ya, aku harus.

“Kenapa engga?” kata Kilia seraya mengeluarkan kedua telapak tangan. “Atau kamu ingin aku pakai nama ‘Mas’? ‘Asm’ atau ‘Msa’ ga bisa jadi nama soalnya.”

“Bukan itu masalahnya!”

“Terus apa dong? Oh ya, ngomong-ngomong aku pakai ‘Likia’, loh, alih-alih ‘Kilia’.”

“Bukan itu juga! Ah, tapi aku jadi pengen nanya. Kenapa kamu ga pakai ‘Kilia’?”

Logikanya, dia seharusnya menggunakan nama kami berdua, kan?

“Kamu mau aku ganti jadi ‘Kilia’? Padahal ‘Likia’ udah bagus.”

“Eh? Jadi kamu lebih suka nama ‘Likia’ daripada ‘Kilia’? Dan itu alasannya kamu pakai ‘Likia’?”

Tapi ternyata tidak.

Kilia mengayunkan jari telunjuknya ke kanan dan kiri seraya berkata.

“Ngga lah. Kan itu bukan ‘Kilia’, bukan diriku. Jadi aku namai ‘Likia’. Kalau itu aku, pasti namanya nanti jadi ‘Kilia’. Oh, atau aku yang sekarang bukan ‘Kilia’ yang kamu kenal? Terus aku harus pakai nama apa dong?”

Ahh… aku mengerti. Dia masih dendam padaku soal tadi.

Melancarkan tenggorokan, aku mencoba menghentikan lelucon ini.

“Sudah, sudah, aku rasa sudah cukup soal nama,” kataku yang lalu diam sejenak, mencoba berpikir kembali apa yang ingin kubicarakan. Ah, ya, soal cerita Kilia.

“Jadi, apa maksud dari ceritamu tadi?”

Tapi Kilia malah mengangkat alis, seolah benar-benar tak mengerti dengan apa yang baru saja kukatakan.

“Kamu ngga tahu isi cerita tadi ya? Wah, sungguh mengejutkan,” ujarnya gamblang.

Kali ini aku mengerutkan dahi. “Apanya yang mengejutkan?”

“Kamu. Seharusnya aku yang bingung, bukannya malah kamu. Aku ga tahu pasti kalau ceritaku tadi bisa dibilang jelek atau bagus—jujur, baru kali ini aku ceritain ke orang. Tapi aku yakin kalau gayaku bercerita hampir sempurna—ngga, mungkin agak lebih jelek sedikit. Walau begitu, menurutku, sih, maknanya udah jelas tersampaikan kok. Kecuali…”

“Kecuali?”

“… kamu beneran bego.”

“…”

Kasar sekali.

Meski begitu, aku tak bisa mengeluhkannya. Bagian dia-bercerita-dengan-baik itu aku akui memang benar. Oh, bahkan aku sudah mengatakannya tadi. Pengulangan ini sudah bisa menjadi bukti yang cukup untuk menilai betapa takjubnya diriku, kan?

Mengesampingkan hal itu, aku masih belum bisa menerima bagian selanjutnya—di mana ceritanya mudah dipahami. Bagian mananya coba?

Maksudku, aku tahu kalau ini cerita tentang seorang cowok pecinta kamarnya yang bertemu seorang cewek ceria—hiperaktif—dan berakhir tragis di mana si cewek meninggal karena kecelakaan. Cowok itu sedih dan merasa bersalah karena dia menyia-nyiakan cewek yang hendak memberinya hadiah di hari spesial, ulang tahunnya.

Lihat, kan? Aku mengerti isi ceritanya. Plotnya cukup sering digunakan. Karakternya juga cukup biasa, dengan masing-masing yang mempunyai latar belakang. Oh, bahkan aku belum tahu latar belakang cewek itu. Kilia belum menceritakannya.

Jadi, bagian mana yang tak kupahami?

“Kamu emang ga ngerti,” kata Kilia blak-blakan.

Aku yang baru saja menjelaskan semua yang kuketahui hanya bisa terdiam. Peluh keringat meluncur dari dahiku, tak tahu harus berkata apa. Lalu Kilia menghela napas seolah mengejekku ‘Kayaknya ini anak emang bego’. Walau mungkin hanya imajinasiku, aku tetap saja sangat merasa sedang dioloknya.

Ah, kalimat selanjutnya yang dia ucapkan sudah mewakili kalau yang kubayangkan ternyata benar.

“Apa boleh buat. Mungkin aku harus ngejelasin ceritanya pelan, pelaaaaaaan banget. Sampai kamu ngerti.”

“Kamu kok kayaknya sekarang pinter ngeledekin aku, ya? Perasaan dulu kamu deh yang sering aku ledekin.”

“Yang kamu ejek dulu itu ‘Kilia’. Yang sekarang ngejek kamu ini ‘Likia’. Beda tahu!” balas Kilia sembari menjulurkan lidah. Aku hanya bisa menghela napas dan menggeleng pasrah.

“Sudah, cukup mainan penamaan, oke? Mending kamu jelasin deh, soal cerita kamu itu.”

Kilia mengangkat salah satu sudut bibirnya, seakan dia sudah memenangkan sesuatu dariku, entah apa itu. Lalu menyandarkan kepala di tangannya yang bertumpu pada boneka.

Tanpa mengasihani atau sekedar memedulikan benda yang mirip dengannya itu, dia memulai kalimatnya.

“Kamu tahu apa yang ingin kusampaikan dari cerita ini, kan? Perubahan. Di mana ada sesuatu yang berubah. Bisa saja nasib, bisa saja hidup, bisa saja lingkungan, sekitar, atau bisa jadi diri sendiri. Yah, sebut saja sesukamu. Apapun yang ada di dunia ini pasti berubah. Kita bisa taruhan untuk itu.”

“… Aku ga tertarik.”

“Aku juga cuma bercanda doang, sih. Cuma coba bayangin, bahkan meja yang dibiarin aja bisa berdebu. Kamu tahu lampu merah, kan? Bohong itu. Warnanya berubah tiap selang tertentu. Harusnya ganti nama jadi lampu merah, kuning, ijo.”

… Aku masih belum menemukan intinya.

“Sama halnya kayak cerita si Sam dan Likia tadi. Apa yang berubah dari mereka adalah ‘kehidupan’. Dari awal mereka bertemu, keseharian keduanya berubah begitu saja. Likia merasakan hidup di dalam ruangan, Sam punya kehadiran baru yang selalu menemaninya. Yah, walaupun pada akhirnya mereka berpisah, sih. Tapi tetap aja, meski kehidupan Likia berakhir. Sam punya kehidupan baru yang berubah.”

“Ng… jadi intinya, setiap orang bisa berubah dalam bermacam-macam kondisi, seperti Sam dan Likia?”

Mendengarku, Kilia terbelalak dan mulutnya ternganga, tampak takjub.

“Wow, simpel sekali kesimpulan yang kamu buat. Aku kira kamu ga punya kelebihan sama sekali—Ah, kayaknya aku salah. Maaf, aku terlalu meremehkan otakmu yang selalu berpikir sederhana itu.”

A… Aku tak mengerti, Kilia sedang menghina atau memujiku? Tapi hei, bicaranya kelewatan, kan? Aku rasanya ingin marah, namun juga ingin mengusap kepala dalam malu dipuji. Mana yang harus kulakukan?

Tak bisa menentukan pilihan, aku hanya bisa berdehem. “Jadi, tujuanmu ceritain semua untuk apa?”

“Bukannya aku udah bilang? Ah, aku belum menunjuk poin yang kumaksud.” Kilia mengeluarkan telunjuknya. “Satu bagian yang kufokuskan disini adalah perubahan total dari Sam. Yah, aku tahu Likia juga berubah cukup pesat dari hidup menjadi mati. Tapi bukan itu permasalahannya.”

“Tadi aku udah jelasin, kan, soal berubahnya Sam? Kehidupannya, dan kali ini aku tambahkan—yaitu dirinya sendiri. Sifatnya. Atau mungkin kamu lebih suka ‘karakter’? Yang jelas, Sam yang tadinya senang mengurung diri di kamar akhirnya bisa keluar. Dia bisa berjalan di dunia yang dia takuti sebelumnya. Dia telah berubah. Sam telah berubah menjadi orang yang bebas.”

Ah… sekarang aku mengerti apa yang dia maksud.

Aku mengerti.

Seharusnya cukup sederhana, tapi mungkin aku kurang memperhatikannya. Sam—bukan aku—yang tadinya takut akan dunia luar menjadi berani, berubah ketika suatu kondisi memaksa dirinya.

Tidak. Mungkin bukannya memaksa. Dia sendirilah yang berkehendak. Dia ingin merasakan apa yang Likia ingin dirinya rasakan. Dia berubah—mengikuti jejak Likia. Dia berubah—ingin mengabulkan harapan Likia. Membuat dia hadir di taman kota—dunia luar.

Ya, Sam berubah—

“… Sangat berlawanan dengan dirinya, Sam yang dulu.”

Mendengarku, Kilia tersenyum simpul. Lalu bertepuk tangan dan membuat lantai sekitar menyala.

Bukan, aku yakin itu bukan sihir atau semacamnya. Dan sekali lagi, aku tidak berbohong. Itu benar-benar lampu. Atau penerangan? Yang kulihat hanya lantai saja, tapi entah bagaimana bercahaya dan tampak sedikit terang.

Aku bisa melihat dengan jelas keindahan boneka-boneka yang menyelimuti kehadiranku. Detilnya sangat bagus, lekukan tubuh yang mempesona, dan kilauan kulit yang tampak halus memancarkan cahaya bak serpihan pelangi.

Walau kurasa, semua itu tak seterang dan secantik kalung yang dikenakan Kilia.

“Bagus,” pujinya, mungkin. “Sekarang kamu dah ngerti, kan? Berubah menjadi seseorang yang berkebalikan dengan dirinya yang dulu itu bukanlah hal yang buruk. Malahan bagus. Sama denganku. Aku ga merasa rugi atau semacamnya, kok.”

Yah, mungkin aku sedikit lebih mengerti sekarang. Tapi—

“Aku tetep ga setuju kalau perubahan Sam di ceritamu itu bisa dibilang baik.”

Membuat alis kiri Kilia naik. “Alasanmu?”

“Sangat sederhana.”

Memang benar Sam berubah—berlawanan dengan dirinya yang dulu—karena kematian Likia. Menjadi lebih baik. Kehidupan Likia pun berakhir, berubah juga, meski kata Kilia bukan itu permasalahannya.

… Tapi tidak, justru itu permasalahannya.

Sam berubah karena kematian Likia. Seperti anak ayam yang kehilangan induknya, Sam mencoba melangkah maju tanpa Likia. Dia mungkin bisa keluar rumah. Dia mungkin bisa mengakhiri ketakutannya. Namun tetap saja.

Tetap saja Likia sudah tiada.

Selama apapun Sam berdiri di taman. Sejauh apapun dia mengarungi dunia. Sekuat apapun dia menahan dirinya untuk tidak menangis.

Likia tetap tiada. Likia tak akan kembali lagi padanya.

Di manapun dia berada, Likia tak akan hadir dan menemaninya lagi. Likia tak akan bercanda, mengejek, dan memamerkan pengalamannya tentang dunia luar lagi. Di manapun dia melangkah, Sam tak akan pernah bertemu dengan Likia lagi.

Dan itu bukanlah yang Sam inginkan.

Yang mana, perubahan Sam itu adalah bentuk dari ‘menipu diri’. Seperti halnya kalau aku mendapatkan nilai 30 pada mata pelajaran matematika saat ulangan. Awalnya aku kecewa, sebelum kemudian memasukkan kertas ulangan itu ke tasku yang paling dalam. Aku akan tersenyum kembali dan mencoba melupakan kegagalan tersebut.

Tidak penting mata pelajaran apapun. Mau matematika, bahasa, sejarah, ataupun olahraga. Dalam diriku pasti akan berkata ‘Oh, kali ini gagal, ya?’, lalu melupakan begitu saja semua yang tak kusukai itu.

Ya, ‘menipu diri’, dengan begitu Sam membuat tujuan baru atas nama kematian Likia.

Mungkin baik, mungkin juga tidak. Bagaimanapun juga menipu itu bukanlah hal yang bagus, kurasa. Yah, walau aku sering melakukannya seperti yang kubilang tadi. Namun setidaknya aku tak separah Sam.

“Karena itu, aku yakin perubahan Sam bukanlah hal yang baik,” ulangku mengakhiri semua pemikiranku yang aku utarakan pada Kilia.

Baru pertama kali aku melihatnya terdiam. Matanya lepas dariku. Dia tampak sedang berpikir.

Yang tak lama kemudian mulai membalas.

“… Belum tentu itu benar,” ucapnya, membuatku tak mengerti.

“Maksudmu?”

“Yah, sebenarnya ini hanya masalah sudut pandang saja. Kebenaran itu cukup abu-abu di dunia ini. Kadang yang kamu pikir salah ternyata punya kebenaran, dan yang kamu kira benar punya kesalahan. Tak ada yang sempurna. Sekali subyektif, apapun bisa menjadi benar.”

“Tapi aku punya satu pertanyaan untukmu, Sam. Siapa yang bikin cerita tentang Sam dan Likia?”

“Err… kamu?”

“Benar, aku. Aku yang bikin ceritanya. Aku misalkan Tuhan yang mengatur dunia dan seisinya. Sama denganku, akulah yang mengatur semua isi ceritaku. Jadi aku pastikan padamu kalau Sam ga punya penyesalan. Ya, dia akan terus mengenang indah Likia. Perubahan dia itu bagus.”

“Ada keluhan?” tambahnya mengakhiri.

“Cu-Curang! Woy, itu kan curang! Masa aku ngomong panjang dari tadi jadi ga ada gunanya sekali kamu bilang begitu?! Buat apa coba aku buang-buang napas cuma mau digituin?!”

Kilia tertawa puas.

“Seenggaknya, kamu jadi ngerti maksudku, kan? Juga konsep perubahan.”

“Tapi caranya ga gitu juga kali! Aku udah susah-susah mikir, tahu! Kembaliin otak berhargaku!”

“Haha, kamu ini ngomong apa? Emang kamu punya otak, ya? Lagian kamu harusnya bersyukur. Gara-gara aku, otakmu jadi kepake!”

“… …”

Anak ini lama-lama jadi tambah tidak sopan juga, ya.

“Tapi ngomong-ngomong, Sam. Aku jadi penasaran sama yang kamu sebutin tadi. Soal ‘menipu diri’. Kamu bilang gimanapun juga menipu itu buruk, kan?”

Aku mengangguk.

… Tiba-tiba perasaanku jadi tak enak.

“Kalau gitu, aku punya cerita yang bahas soal ‘menipu diri’. Kamu ada saran aku pakai nama apa?”

“… …”

Tuh, kan! Dugaanku benar ternyata!

“Ng… asalkan kamu ga pake nama kami atau anagramnya lagi aja. Sumpah, kepalaku pusing. Susah bedainnya!”

Lalu Kilia kembali tertawa. Seolah aku bisa membayangkan dia ingin berkata ‘Emang otakmu ga mampu mikir lama-lama kali!’. Tapi jujur, aku jadi benci pada diriku yang suka berimajinasi ini.

“Oke! Kalau gitu, aku akan pakai gaya lain. Dengerin baik-baik, ya?”

“Lakukan sesukamu.”

Semoga perasaan tidak enak ini juga hanya imajinasiku saja.