Codex:Volume00 Chapter02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Codex-K

Mimpi yang sama.

Berulang dan terus berulang. Dari tahun ke tahun, dari bulan ke bulan, dari minggu ke minggu, dan kini hampir setiap kali ia terlelap Radhya selalu memimpikan hal itu, memimpikan akhir hayatnya.

Lalu ia sadar, bahwa semua itu bukanlah sekedar mimpi.

Memori.

Radhya membuka matanya lalu menarik napas panjang. Ia kemudian bangkit dari semedinya dan berjalan keluar dari tendanya.

Sudah hampir tengah malam saat itu dan sang rembulan berpendar lembut di antara bintang-bintang. Di kejauhan, di kedalaman hutan, serangga-serangga malam menyanyikan lagu mereka.

Sungguh malam yang damai. Melihatnya, sulit membayangkan kegilaan luar biasa yang telah berlangsung sepanjang siang tadi.

Orang-orang yang mati...

Darah yang tertumpah...

Sekali lagi Radhya menarik napas panjang. Untuk saat ini ia ingin melupakan semua itu. Melewati tenda-tenda prajurit, melewati kuda-kuda yang ditambatkan, melewati tumpukan-tumpukan senjata, ia terus berjalan sampai akhirnya ia tiba di tepi sungai.

Tak ada seorang pun di sana.

...

"Kau terlambat."

Entah darimana, seorang gadis muda muncul, lalu memeluknya dari belakang.

"Kukira kau tak akan datang."

Radhya menahan napasnya, membiarkan kehangatan tubuh sang gadis merasuk ke dalam jiwa dan raganya.

Ia kemudian tersenyum lalu bergumam, "Maafkan aku."

Tak lama kemudian, ia sudah berbaring di pangkuan sang gadis, memejamkan kedua matanya, membiarkan sang gadis membelai lembut kepalanya, menikmati alunan merdu tembang kuno yang mengalir dari bibir sang gadis.

"Besok hari keenam belas," kata sang gadis kemudian.

"Aku tahu," jawab Radhya, "dan dengan kematian sang guru di tangan Vijaya akulah yang akan maju memimpin pertempuran."

"Haruskah?" tanya sang gadis dengan suara bergetar.

Radhya diam sejenak lalu menjawab, "itu tugasku sebagai seorang ksatria."

Sesaat ingatannya kembali ke masa-masa yang telah berlalu, saat ia bermain bersama teman-temannya, mengembala ternak, mencuci kereta sang ayah... Radhya jadi bertanya-tanya kapan pertama kalinya ia ingin menjadi seorang ksatria.

"Tentu saja," kata sang gadis, "Kau adalah seorang ksatria. Yang terbaik yang pernah kukenal."

Radhya cuma bisa tersenyum mendengarnya.

"Kau ingat pertemuan pertama kita?" tanya sang gadis lagi.

Radhya tertawa, "Tentu saja tidak, aku masih sangat kecil saat itu. Tapi bayang-bayangmu sering sekali muncul dalam mimpiku."

"Bukan yang itu," gerutu sang gadis.

"Aku hanya bercanda," sahut Radhya, "sudah pasti aku mengingatnya. Kau tak tahu berapa lama aku menantikan saat dimana kau mau memanggilku dengan nama asliku."

Sang gadis tersenyum getir sambil kembali membelai kepala Radhya. "Rasanya tak akan pernah cukup berapa kali pun aku meminta maaf padamu."

"Tak perlu," Radhya bangkit lalu mencium kening sang gadis, "Karena tak sedetik pun aku menyalahkanmu atas semua yang terjadi."

Itu benar. Meski sebelumnya ia selalu merasa bahwa ia akan murka atas takdir yang menimpanya, pada akhirnya, ketika sang gadis muncul di hadapannya, Radhya cuma bisa mersakan kebahagiaan yang tak terkira.

"Kau ingat janjimu waktu itu?"

Radhya menganggukkan kepalanya, sedikit cemburu. Sedikit tidak adil memang, tapi Radhya sadar bukan hanya untuknya lah cinta sang gadis diberikan.

"Apa kau akan baik-baik saja?" gadis itu memandangnya dengan khawatir.

Radhya kembali tertawa, lalu balik bertanya "Apa kau khawatir padaku."

"Aku... aku tak bisa membayangkan kehilangan dirimu."

"Kau berbicara seakan takdirku telah ditentukan..." kata Radhya, tapi begitu ia melihat sorot mata sang gadis ia pun menghentikan ucapannya.

Tentu saja.

"Malam sudah larut," kata sang gadis sambil berdiri menatap angkasa, "Kurasa sebaiknya kau beristirahat sekarang."

"Aku akan mengantarkanmu kalau begitu," Radhya menawarkan diri.

"Berhentilah bercanda," sang gadis tersenyum usil sambil menjentikkan jarinya di dahi Radhya. "Tapi terima kasih," lanjutnya sambil memeluk Radhya erat-erat.

"Bagaimanapun aku khawatir akan keselamatanmu," protes Radhya, "Seandainya terjadi sesuatu padamu..."

"Anak baik, tapi sudah kubilang jangan khawatir. Bagaimanapun aku bukan wanita biasa," dan sambil mengatakan hal itu tubuh sang gadis memudar lalu menghilang begitu saja.

"Pritha!?" seru Radhya panik.

Lalu terdengar suara gelak tawa, saat sang gadis tiba-tiba saja telah muncul di belakangnya, merangkulnya, lalu berbisik, "Aku mencintaimu."

Pagi tiba.

Sangkakala telah ditiup. Genderang telah dibunyikan.

Bersama terbitanya mentari kegilaan pun kembali dimulai.

Di atas keretanya Radhya berdiri dengan tenang. Memberi aba-aba, memberi komando, melaju dari satu titik ke titik lain. Hari ini adalah miliknya.

"Apa kau gembira Radhya?" tanya sang kusir kereta dengan nada menghina.

"Apa aku terlihat gembira?" Radhya balik bertanya.

"Sangat," sahut sang kusir masih dengan nada sinis. "Kubayangkan kau betul-betul yakin dapat memenangkan pertempuran hari ini."

"Untuk itu dapat kupastikan," jawab Radhya angkuh, "tapi hal itu bukan berarti pertempuran sudah berakhir."

"Tentu saja," sang kusir menganggukkan kepalanya menyetujui kata-kata Radhya, "tapi katakan padaku, mengapa kau membiarkan mereka hidup?"

"Siapa?" tanya Radhya.

"Empat dari yang Lima," jawab sang kusir kereta sambil, dengan ketenangan yang luar biasa, mengendalikan kuda-kudanya, menghindari hujan anak panah dan prajurit-prajurit musuh.

Radhya cuma mengangkat bahu, "Untuk apa?"

"Mengakhiri peperangan?"

"Selama Vijaya masih ada, kita tak akan pernah memenangkan pertempuran ini."

Sekali lagi sang kusir kereta menganggukkan kepalanya, "Kau benar. Tapi kau belum menjawab pertanyaanku."

Karena janji.

Karena kasih sayang.

Radhya tersenyum. Tentu saja ia tak mungkin mengatakan hal itu secara terang-terangan, jadi sambil tersenyum sinis ia pun menjawab, "Mereka tak berharga untuk mati di tanganku."

"Dasar angkuh. Kemana kita sekarang?"

"Apa kau perlu bertanya?" jawab Radhya sambil mempersiapkan busurnya.

Kali ini sang kusir kereta pun ikut tersenyum lalu memacu kuda-kudanya, membawa kereta itu melaju, menuju tempat di mana Vijaya berada.

Mimpi itu lagi.

Lebih nyata dari sebelumnya.

Di sana, Radhya melihat dirinya sendiri. Tewas. Dengan puluhan anak panah menghujam tubuhnya, di sambut sorak sorai kemenangan dari pihak lawan.

Hampir semua bergembira dengan kematiannya.

Sungguh ironis.

Radhya bangkit dari duduknya. Dengan bayang-bayang kematian menari-nari di benaknya, sungguh sulit untuk berkonsentrasi dalam semedinya.

Tak jauh dari tempatnya berada saat ini, di tenda utama, tempat para jenderal dan panglima berkumpul, terdengar suara musik dan gelak tawa. Dan Radhya benar-benar harus bersusah payah menolak ajakan sang raja untuk ikut berpesta.

Bagaimanapun ia tak bisa menyalahkan orang-orang itu.

Setelah yang terjadi dalam enam belas hari ini...

"Mau kemana kau?"

Radhya menoleh. Rupanya sang kusir kereta. Seperti biasa, orang itu tampak tak peduli dengan apa yang terjadi.

"Kurasa itu bukan urusanmu," sungguh aneh, tapi sepertinya Radhya tak bisa menahan diri untuk tak bersikap sinis pada sang kusir kereta.

"Tentu saja bukan," gerutu sang kusir kereta, "Tapi mungkin sang raja akan mencarimu."

"Kau bisa mengatakan kalau aku sudah tertidur." jawab Radhya, "Aku yakin ia tak akan menanyaimu lebih lanjut."

Sang kusir kereta cuma mengangkat bahu.

Radhya kembali melangkah. Belum tengah malam memang, tapi tak ada salahnya kan jika ia datang lebih awal.

Lagipula... mungkin saja ini terakhir kalinya...

Sesuai perkiraan Radhya, tak ada seorangpun di tepi sungai. Dugaan Radhya, saat ini sang gadis mungkin sedang berusaha menghibur mereka yang tengah berduka.

Bagaimana tidak. Untuk pertama kalinya dalam peperangan itu, Radhya mengeluarkan segenap kemampuannya. Menunjukkan pada orang-orang itu bahwa kenyataan mereka masih hidup sampai saat ini adalah cuma karena perlindungan para dewa semata.

Para dewa...

Radhya tertawa. Ia tak pernah habis pikir bagaimana makhluk-makhluk yang hampir abadi itu dapat berkuasa sedemikian lamanya. Mengatur apa yang terjadi di dunia dari balik layar, bertingkah seolah merekalah Tuhan yang sejati.

Para dewa...

Karena mereka lah peperangan ini dimulai.

Tentu saja. Semuanya jadi masuk akal sekarang. Bukankah orang-orang itu adalah keturunan para dewa?

Pada akhirnya ini bukan masalah baik dan buruk.

Tapi bagaimana dengan orang itu? Apa yang ada di dalam pikirannya?

Ingatan Radhya kembali ke bebeberapa minggu sebelumnya. Saat pemuda berkulit gelap itu datang menghampirinya.

"Salam Radhya," sapa sang pemuda waktu itu.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Radhya ketus.

"Tak ada," jawab sang pemuda, "Aku cuma ingin menawarkan dunia ini padamu."

"Dengan imbalan?"

"Semuanya asal kau bersedia menerima peran yang kuberikan padamu," lanjut sang pemuda. " Pikirkanlah. Bagaimanapun, kau adalah bagian dari kami. Dan daripada Vijaya, secara pribadi aku menganggapmu lebih cocok memainkan peran ini. Mewakili kami menjadi penguasa dunia."

"Kalau begitu lupakanlah," sahut Radhya tanpa pikir panjang.

Tapi sang pemuda cuma tersenyum dingin. "Sudah kuduga."

Lalu dengan nada suara misterius sang pemuda kembali berkata, "Berulang kali aku menawarkan hal ini padamu, tapi tiap kali pula kau menolaknya. Bagaimanapun pikirkanlah baik-baik. Kapanpun kau berubah pikiran, aku siap menerimamu."

Dan sang pemuda pun berlalu sambil tertawa kecil.

Menentang 'penguasa takdir'. Apakah itu suatu kesalahan? Bukankah jika ia menerima tawarannya, semuanya akan berakhir dengan baik. Peperangan ini pun mungkin tak akan terjadi.

Radhya cepat-cepat menggelengkan kepalanya, mengutuki dirinya sendiri yang begitu memalukannya berandai-andai seperti itu hanya karena takut pada sang maut.

Tapi bukankah wajar bagi seseorang untuk takut pada kematian?

Sayangnya ia seorang ksatria.

Dan jika dipikir-pikir lagi bukan kematianlah yang ia takuti. Dan bukan rasa takut yang ia rasakan. Enggan mungkin lebih tepat.

Karena...

"Apa kau lama menunggu?"

Sama seperti kemarin. Gadis itu, Pritha, muncul begitu saja lalu memeluknya dari belakang.

"Sedikit," jawab Radhya, "kukira kau tak akan datang malam ini."

"Mengapa?"

Radhya mengangkat bahunya, "Kukira mereka lebih membutuhkanmu di sana."

"Dan kau sendiri? Apa kau tak ingin bertemu denganku?" Pritha balik bertanya.

"Jangan bodoh," gumam Radhya. "Tak ada yang lebih menggembirakan bagiku daripada saat-saat bersamamu."

"Aku sudah mendengar semuanya," kata Pritha gembira, "Kau sungguh-sungguh luar biasa hari ini." Lalu dengan lembut ia mencium pipi Radhya, "Dan aku sungguh senang kau menepati janjimu."

Radhya tersenyum, "Seorang Ksatria tak pernah mengingkari janjinya."

"Kalau begitu berjanjilah padaku sekali lagi," sahut Pritha.

"Katakan saja."

"Berjanjilah kau akan tetap hidup untukku. Kumohon..."

Radhya terdiam lalu menggelengkan kepalanya, "Aku tak bisa."

"Tapi aku sudah jemu menangisi kematianmu." bisik Pritha sambil memeluk tubuh Radhya lebih erat.

"Jadi kau sudah tahu..."

"Sudah kubilang, aku bukan wanita biasa."

"Kalau begitu ceritakan padaku mengapa semua ini terjadi."

Pritha melepaskan pelukannya lalu berdiri tegak selayaknya seorang pelajar. Kemudian dengan gaya yang dibuat-buat ia pun mulai berdeklamasi.

Dahulu kala...

Di masa yang telah lama berlalu. Saat dewa-dewa belum lagi berkuasa. Hiduplah seorang raksasa. Sahastra namanya.

Dan seribu perisai ia miliki Masing-masing tak tertembus Kecuali dengan seribu anak panah Yang telah diberkati tapa seribu tahun lamanya.

Dewa-dewa takut padanya Kecuali dua ksatria Yang menemukan cara bagaimana menaklukannya. Nara dan Narayan lah nama mereka.

Saat yang satu bertarung yang lain bersemedi Dan satu persatu perisai pun hancurlah Kecuali perisai yang terakhir

Berkilau bagai ribuan permata Menyala bagai kobaran api Surya sebutannya.

Dan bahkan kedua ksatria tak berani menghancurkannya Karena dengan melakukannya Dalam kegelapan dunia ini kan tenggelam.

Maka mereka pun membuat sang raksasa tertidur Lalu dengan mengorbankan keberadaan mereka sendiri Memindahkan jiwa sang raksasa Bersama jiwa mereka Masuk ke dalam lingkaran keabadian.

Tempat di mana zaman terus berulang Dan kisah-kisah tiada akhir berlangsung

Sang gadis mengakhiri kisahnya lalu membungkukkan badan.

Radhya tertawa sambil bertepuk tangan, "Sungguh kisah yang unik. Apakah kejadian itu nyata?"

"Tentu saja itu cuma dongeng," jawab Pritha, "Kisah kuno yang dulu diceritakan seorang padaku."

"Dan lingkaran itu?"

Pritha tersenyum, "Jangan khawatir. Tak ada kisah yang tak memiliki akhir."

"Tapi aku berulang kali memimpikannya," protes Radhya, "Dan orang itu juga mengatakan hal yang mirip dengan apa yang kau katakan tadi."

Wajah Pritha berubah muram, "Aku tak pernah menyukai orang itu."

"Aku juga. Tapi bagaimanapun juga, dialah sang 'penguasa takdir'," jawab Radhya.

"Sst Sst Ssst," Pritha meletakkkan telunjuknya di bibir Radhya, "Percayalah padaku."

Radhya cuma bisa menatap Pritha dengan tatapan sedih.

"Tapi daripada itu...," sang gadis menggembungkan pipinya, "kaulah satu-satunya yang belum meminta apapun dariku."

Radhya kembali tergelak, "Sudah cukup kau berada di sini saat ini."

"Kau sungguh tak adil," kali ini giliran sang gadislah yang membaringkan tubuhnya di pangkuan Radhya, "padahal mungkin ini terakhir kalinya kita dapat bertemu," gumamnya.

Dan hati Radhya pun seolah hancur berkeping-keping mendengarnya. Karena ia tahu bahwa hal itu benar adanya.

"Bagaimana kalau kita pergi saja?" bisik sang gadis.

"Pergi? Kemana?"

"Dunia ini luas. Kita bisa pergi kemanapun kau suka. Tanpa peperangan. Tanpa pertumpahan darah. Hanya kau dan aku. Dan aku akan membayar semua waktu yang kau lalui tanpa diriku."

Seandainya saja ia bisa...

"Tapi aku..."

"Seorang Ksatria." potong Pritha, "Tentu saja. Yang terbaik yang pernah ada. Bahkan dewa-dewa pun takut pada keberadaanmu."

"Maafkan aku..."

"Kalau ada yang mesti disalahkan, akulah orangnya," isak Pritha.

"Tidak. Tentu saja tidak." Perlahan-lahan Radhya membelai pipi Pritha, menghapus air mata yang mengalir di sana. "Hanya saja begitulah takdir yang mesti kujalani."

Pritha tiba-tiba saja berdiri, "Aku... Aku tak bisa menerima hal itu."

"Pritha?"

"Bahkan jika kau menolak meminta sesuatu padaku. Aku akan tetap memberikan berkatku padamu. Bersimpuhlah!"

Dan Radhya pun dengan serta merta bersimpuh dihadapan sang gadis.

Lalu sambil mengecup mesra kening Radhya, sang gadis pun berbisik, "Tak akan kubiarkan kematian menyentuhmu. Tidak dalam pertempuran ini."

Dan sama seperti kemarin, tubuh Pritha pun memudar lalu menghilang begitu saja.

Radhya menahan diri untuk tidak menangis. Hatinya hancur sudah. Bukan karena esok ia akan menemui ajalnya, tapi karena membayangkan bagaimana ia sekali lagi akan mengecewakan Pritha.

Sayang sekali tak ada yang dapat ia lakukan.

Pagi lagi.

Lebih muram dari pagi-pagi sebelumnya.

Bahkan meski hari itu mentari bersinar lebih terik dari biasanya, kegelapan yang menggantung di cakrawala terasa begitu mencekam.

Maju! Maju! Maju!

Sekali lagi dunia tenggelam dalam kegilaan.

Pedang beradu.

Gada berdentam.

Busur-busur berdesing. Melepaskan ribuan anak panah yang berjatuhan bagaikan rintik hujan.

Maju! Maju! Maju!

Di atas keretanya Radhya bagaikan seekor singa yang sedang mengamuk. Tiap panah yang ia lepaskan selalu tepat mengenai sasaran.

Menembus leher.

Menembus jantung.

Menembus kepala.

Mencabut nyawa orang-orang tak terhitung jumlahnya.

Bahkan sang kusir kereta yang biasanya bersikap sinis, hari ini menjalankan tugasnya dengan lebih serius.

"Ayo Radhya!" serunya, "Tunjukkan semua yang kau miliki! Tunjukkan bagaimana seharusnya seorang Ksatria bertempur! Hari ini adalah milikmu!"

"Bagus hari ini kau bersemangat." komentar Radhya, "Bawa aku ke sana. Dan akan kuberikan pertunjukan yang menarik padamu."

Sang kusir tertawa, lalu bergegas memacu keretanya, menerobos barisan prajurit, tak terhentikan, bagai anak panah yang meluncur menemui sasarannya.

Dan akhirnya mereka pun berhadapan.

Radhya dan Vijaya.

"Apa kau sudah lebih baik sekarang?" ejek Radhya.

"Hari ini kau akan menemui ajalmu." balas Vijaya sementara kusir kereta Vijaya, sang pemuda berkulit gelap, cuma memandangnya dengan tatapan penuh arti.

Petimbangkanlah

Radhya seolah bisa mendengarkan suara sang pemuda di kepalanya.

Masih ada waktu

TIDAK!

"Baguslah kalau begitu," sahut Radhya pada Vijaya, "Karena kalau kau masih selemah kemarin, aku mungkin akan membunuhmu bahkan tanpa aku menyadarinya."

Sesaat kemudian, semuanya kembali sunyi, saat prajurit dari kedua belah pihak cuma bisa terpana menyaksikan pertarungan antara Radhya dan Vijaya di atas kereta mereka masing-masing.

Bagaikan dua orang saudara kembar, keduanya bertarung dengan kemampuan dan keahlian yang hampir serupa.

Bagaikan cahaya dan kegelapan, keduanya tampak begitu bernafsu untuk saling meniadakan keberadaan yang lain.

Bergantian panah-panah dilepaskan dari busurnya, masing-masing diberkati dengan Mantra dan Astra, membuat mereka lebih mematikan dari panah-panah biasa.

Berdentum. Berdentam. Anak-anak panah itu seolah bukan terbuat dari besi. Melainkan dari petir, dan api, dan cahaya, dan kegelapan, dan elemen-elemen lain yang membentuk semesta ini. Anak-anak panah yang bahkan dapat membunuh dewa sekalipun.

Tapi seiiring berjalannya pertarungan, mulai terlihat siapa yang lebih unggul.

Tak salah lagi. Radhya lah yang akan memenangkan pertempuran ini.

Masih ada waktu

Suara itu kembali terngiang di benak Radhya, walau kali ini nadanya sudah mulai terdengar tak sabar.

Tidak.

Sayang sekali

Lalu entah bagaimana kuda-kuda kereta Radhya mendadak berubah liar. Sang kusir kehilangan kendali, dan Radhya pun terlemparlah dari atas kereta.

Mimpinya menjadi kenyataan.

Sang pemuda berkulit gelap, dalam sekejap menghapus keengganan Vijaya untuk memanah seseorang yang tak bersenjata. Dan saat ini Vijaya pun, dengan senyum kemenangan. melepaskan Shakti kearahnya.

Radhya memjamkan kedua matanya.

Pritha benar.

Tak ada cerita yang tak memiliki akhir. Dan inilah akhir dari kisahnya.

.

.

.

.

.

"Aku memang tak bisa meninggalkanmu sebentar saja..." bisik Pritha lirih.

Radhya sontak membuka matanya.

Hanya untuk melihat, bagaimana Pritha, dengan kemampuan yang ia miliki telah menjadi perisai untuknya.

"Pritha?"

Sesaat Radhya tak bisa mempercayai kedua matanya.

Bagaimana tidak.

Darah mengalir dari dada Pritha. Membasahi Sari yang ia kenakan. Membasahi kulitnya yang putih bak pualam.

Merah.

Darah.

Radhya bergegas mengulurkan tangannya menangkap tubuh Pritha sebelum gadis itu jatuh ke tanah.

Mengapa?

Ia memandang sekeliling. Berharap seseorang mengatakan padanya bahwa hal ini tak benar-benar terjadi.

Tapi tidak.

Hal itu nyata.

Bahkan sang pemuda berkulit gelap tampak terkejut sementara Vijaya, dengan wajah sepucat mayat, dan tubuh gemetar turun dari kereta lalu jatuh terduduk berlinangan air mata.

"Ibu... ibu..." isak Vijaya seperti seorang anak kecil.

Mengapa?

"Apa kau baik-baik saja?" gumam Pritha sambil berusaha tersenyum, "Mengapa kau menangis?"

Perhatian Radhya kembali pada Pritha tapi ia tak sanggup mengatakan apa-apa.

Mengapa?

"Kurasa cerita itu salah," ujar Pritha tertawa kecil, "Karena jumlah perisai yang dimiliki Sahastra bukanlah seribu, melainkan seribu satu."

Radhya kembali menatap sekelilingnya.

Seseorang?

Siapa saja?

Tak adakah yang bisa menolongnya?

"Aku tak suka kalau kau tak mendengarkanku saat aku berbicara," gerutu Pritha.

Ini semua salah.

Bukan begini seharusnya cerita ini berakhir.

Radhya memang tak ingin melihat Pritha bersedih. Tapi ia lebih tak ingin menyaksikan Pritha meregang nyawa.

"Kau tahu..." gumam Pritha, "Aku jadi ingat kalau kau belum sekalipun mencoba masakan yang kubuat."

"Govinda!" seru Radhya pada sang pemuda berkulit gelap, "lakukanlah sesuatu! Akan kuserahkan hidupku padamu asal kau mau menyelamatkannya."

Tapi sang pemuda berkulit gelap hanya diam sambil perlahan menggelengkan kepalanya.

"Kau tak boleh melakukannya," kata Pritha dengan napas tersenggal. "Bukankah kau seorang Ksatria?"

"Ibu... ibu..." Radhya terisak sambil memeluk erat tubuh Pritha. Sama seperti Vijaya, ia pun kini cuma seorang anak yang sedang menyaksikan kematian ibunya.

"Anak baik," ujar Pritha. Lalu dengan sisa tenaganya ia pun membelai lembut kepala Radhya.

Kegelapan...

Memori...

Dan Radhya pun tergelaklah. Dengan Pritha dalam gendongannya ia bangkit berdiri.

Kegelapan...

Memori...

Radhya mendongak ke angkasa.

Masa bodoh dengan para dewa.

Masa bodoh dengan dunia ini.

Jika dulu ia adalah raksasa yang akan menghancurkan dunia ini, maka biarlah itu yang terjadi.

Dan Radhya pun membiarkan apa yang selama ini tertidur dalam dirinya terjaga.

Kegelapan...

Memori...

Memori?

Sesaat kesadaran Radhya kembali. Di hadapannya ada Vijaya yang masih tampak seperti orang yang hilang akal.

Lalu ada Yudistira, dan Bima, dan Nakula, dan Sadewa.

Bukankah ia telah berjanji pada Pritha untuk tidak melukai mereka?

Untuk terakhir kalinya, Radhya menatap Govinda dengan penuh ancaman. Kemudian dengan memusatkan kekuatannya ia pun mulai membuka gerbang lalu menghilang ke dalamnya, meninggalkan padang Kurukshetra dalam kesunyian yang mencekam.

-EnD FoR NoW-