Codex:Volume00 Chapter01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Codex-A

Di dalam ruangan, di puncak menara, dua orang pria duduk berhadapan. Yang pertama tinggi dan tegap, mengenakan zirah berwarna hitam, dengan wajah tampan, namun muram, dan sorot mata tajam, kecuali helai-helai uban yang mulai muncul di rambutnya, sepintas orang-orang tidak akan mengira lelaki usianya hampir mencapai setengah abad. Sementara itu tak ada cara untuk menduga berapa usia lawan bicaranya. Tubuhnya ringkih, kulitnya keriput, rambut dan janggutnya yang panjang semuanya berwarna putih. Namun entah bagaimana, gerakan lelaki tua itu masih tampak gesit dan cekatan, lalu sorot matanya, walau tak setajam mata lelaki berzirah, menunjukkan tanda-tanda kebijaksanaan.

Di luar, awan hitam memenuhi angkasa, memayungi seluruh negri dalam kegelapan. Petir menyambar bersahut-sahutan. Angin bertiup, menimbulkan bunyi lolongan panjang, bagai sekawanan serigala dalam sebuah perburuan. Mula-mula orang-orang mengira badai akan tiba, tapi setelah beberapa hari, akhirnya mereka sadar ada sesuatu yang tidak beres.

Dan di saat seperti itu, ke Istanalah orang-orang mengadu, menumpahkan kemarahan, ketakutan, meminta pertolongan, menjerit, menyalahkan, seolah-olah sang raja bukanlah manusia, melainkan dewa yang berkuasa atas segala sesuatunya. Untunglah pintu gerbang istana telah ditutup rapat-rapat. Seminggu yang lalu, gerombolan terakhir akhirnya menyerah dan pulang, setelah beberapa hari meneror istana dengan teriakan-teriakan marah dan pekikan ketakutan. Arthur tak tahu apa ia harus gembira atau tidak dengan hal tersebut.

Maka di sinilah ia, berdua, dengan satu-satunya orang yang dapat ia percayai. Ia ingin mendiskusikan apa yang sebenarnya terjadi dan bagaimana mereka bisa mengatasi masalah tersebut.

Ksatria-ksatrianya yang lain, tak satupun yang bisa ia andalkan, beberapa diam ketakutan, beberapa diam karena memang tak tahu apa yang harus mereka lakukan, dan banyak yang memilih diam karena sama sekali tak peduli atas apa yang sedang terjadi. Saat itu, untuk pertama kalinya Arthur menyadari betapa tak berkuasanya ia sebagai seorang raja.

"Senang bisa melihatmu kembali nak?" ujar sang lelaki tua pada akhirnya.

Arthur tersenyum getir, ia tahu sang lelaki tua jujur mengatakan hal itu, tapi baginya kalimat itu terasa bagai sebuah sindiran. Sudah beberapa tahun sejak ia terakhir menemui sang lelaki tua.

Ketika kerajaannya berdiri, lelaki tua itulah yang berada di sisinya, memberikan saran-saran bijak, serta berbagai pertimbangan tentang keputusan yang akan diambil, sehingga tak peduli betapa banyak ksatria yang memintanya mengambil suatu keputusan ia takkan menyetujuinya apabila hal tersebut dapat membawa dampak buruk nantinya.

Lalu insiden itu terjadi. Entah atas hasutan siapa, putra mahkota, memintanya turun dari tahta, atau menyerahkan separuh kerajaan untuknya. Dan dukungan untuk sang putra mahkota terus berdatangan, dari para tuan tanah dan beberapa ksatria kerajaan. Dalam sekejap sang putra mahkota pun telah memiliki bala tentaranya sendiri. Saat itu para ksatrianya memintanya memenuhi kehendak sang putra mahkota.

Dan Arthur pun jatuh dalam kebingungan. Semua hal itu tampak tak masuk akal bagai sebuah mimpi buruk yang akan hilang ketika ia terjaga. Tapi itu bukan mimpi.

Dalam hati Arthur tahu, tak ada kebaikan apapun dari memenuhi keinginan putra mahkota. Hal tersebut, ketergesaan, pembangkangan, justru menunjukkan betapa sang putra mahkota sama sekali belum siap untuk menggantikannya memimpin negeri itu.

"Kau adalah Raja negeri ini," kata sang lelaki tua waktu itu, "dengarkan hati nuranimu, gunakan akal sehatmu, lalu ptuskan yang terbaik, bukan untukmu, bukan untuk ksatriamu, tapi untuk seluruh kerajaanmu."

Maka dengan hati pedih, ia pun menolak tawaran sang putra mahkota, memintanya menyerah, sebelum ia mengambil tindakan tegas.

Sang Putra Mahkota cuma tertawa.

Beberapa minggu kemudian ia sendiri yang menguburkan jenazah sang putra mahkota di halaman belakang istana.

Tapi pertempuran itu memakan korban yang tidak sedikit. Para ksatria tidak menyalahkannya, tapi menggunakan kesempatan itu untuk memojokkan sang lelaki tua, menuduhnya menghasut sang raja untuk mengambil keputusan yang gegabah, seorang penyihir yang tak pantas berada di istana.

Rakyat jelata yang merasa diri mereka menjadi korban mendukung para ksatria, berbondong-bondong menuju istana untuk menghukum, dengan tangan mereka sendiri, sang penyihir yang telah mengakibatkan semua penderitaan mereka selama peperangan.

Tak ada yang bisa ia perbuat. Untuk menghindarkan sang lelaki tua dari kematian, ia memberi hukuman penjara seumur hidup di puncak menara. Dan sejak saat itu para ksatria lah yang memerintah di istana.

Itu terjadi sepuluh tahun yang lalu. "Aku juga gembira melihatmu," jawab Arthur kemudian, "bagaimana kondisimu? apa kau baik-baik saja?"

Orang tua itu terkekeh, "Tak pernah sebaik ini. Mungkin karena selama berada di sini aku jadi bisa beristirahat lebih lama dari sebelumnya."

Arthur kembali terseyum getir.

"Ah ya, kemarilah-kemarilah," sang lelaki tua melambaikan tangannya lalu mengajak Arthur menghampiri meja kerjanya, "tak banyak yang bisa kulakukan dengan segala keterbatasan di tempat ini, tapi kuduga kau akan tertarik dengan apa yang telah kupikirkan." Arthur melihat belasan bahkan puluhan perkamen di atas meja.

"Di mana ya... ah ini dia!" seru si lelaki tua sambil membuka sebuah gulungan perkamen, di sana terdapat beberapa bagan yang dipenuhi coretan-coretan tak jelas, mungkin keterangan untuk bagan tersebut.

Arthur tak pernah melihat benda yang digambarkan pada bagan tersebut: sebuah bola dari kulit, sebuah keranjang, lalu ada api yang menyala.

"Ini adalah kantong udara panas," lelaki tua itu menjelaskan, tangannya bergerak-gerak mencoba menggambarkan apa yang ia maksud. "Api digunakan untuk memanaskan udara di dalam kantong. Kau tahu? Udara panas lebih ringan dari udara dingin. Pemuaian, tapi itu berarti kantong ini harus dibuat dari bahan yang kedap udara, harus cukup besar, agar bisa mengangkat beban ke atas."

Lelaki tua itu masih terus menjelaskan dengan penuh semangat. Arthur tidak yakin mengerti apa-apa yang telah ia dengar, namun demi kesopanan, ia cuma mengangguk-anggukkan kepala sambil sesekali bertanya.

"Kemudian ini," lelaki tua itu mengambil perkamen lain, lalu dengan bersemangat menjelaskan bagan di dalamnya.

Kali ini sebuah menara, tinggi dengan bilah-bilah logam mencuat dari puncaknya.

"Aku baru memikirkannya beberapa hari terakhir, Petir," tunjuk sang lelaki tua keluar jendela, ya, petir masih terus menyambar, "dari angkasa ke bumi, dari bumi ke angkasa, sebuah lingkaran. Beribu-ribu tahun manusia mengamatinya dengan penuh rasa takjub, beberapa bahkan memujanya."

Mata sang lelaki tua tampak cemerlang saat bercerita, mau tak mau kali ini Arthur mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh.

"Dalam skala kecil, para alkemis sudah berhasil menirunya, tapi dibandingkan petir sesungguhnya, apa yang telah mereka buat cuma permainan anak-anak. Menara penangkap petir, butuh waktu lama untuk membuatnya, banyak yang harus dikerjakan, seandainya bisa, percobaan dan percobaan, pengumpulan data. Dengannya," ia berhenti sejenak, "aku berharap kita bisa menangkap petir, sesuai namanya, mengubahnya ke dalam bentuk yang lebih bersahabat. Butuh waktu lama, tentu saja, tapi apabila hal ini berhasil, bayangkan kemajuan apa yang dapat dicapai oleh umat manusia."

"Itu... menakjubkan," jawab Arthur, keningnya berkerut, "tapi juga menakutkan."

"Ya, ya, selalu begitu," lelaki itu menarik napas panjang, ia terlihat begitu lelah. "Ah ya aku sampai lupa menanyakan kabarmu, tapi kulihat kau baik-baik saja," ia menjulurkan tangan kemudian memegang pipi, lalu helaian rambut Arthur yang memutih. Ia tersenyum, "Kau terlihat sedikit lebih tua... lalu bagaimana kabar permaisuri? Apa dia sudah memberimu putra mahkota baru?"

Permaisuri. Mendengarnya, Arthur hampir berharap saat ini ia masih berada di Avalon. Hidup dalam kedamaian, bersama Morgana dan putranya, tak peduli pada apa yang terjadi di dunia luar.

Terkutuklah hari, dimana ia menikahi permaisuri. Wanita itu cantik, lebih cantik dari wanita manapun yang pernah ia temui. Suaranya merdu. Lincah bagai gadis-gadis muda. Anggun. Tapi...

Entahlah. Ia tahu bahwa ia tak benar-benar mencintai sang permaisuri dan ia tak pernah tahu apa sang permaisuri pernah mencintainya. Di sisi lain ia pun tak benar-benar bisa membenci wanita itu, bahkan setelah ia tahu pada siapa sebenarnya permaisuri memberikan cintanya.

Kadang-kadang ia sendiri bingung apa yang menghalanginya menancapkan belati ke dada wanita itu.

Sesuatu, seolah ada sesuatu ikatan tak terlihat diantara mereka berdua, yang akan membuatnya sedih apabila suatu saat nanti permaisuri meninggalkannya. Begitu juga sebaliknya, tiap kali mereka bersama, ketika ia menatap mata sang permaisuri, ia bisa melihat beragam ekspresi disana:harapan, rasa takut dan kesedihan.

Mungkin...

"Ia baik-baik saja," jawab Arthur. "Sebenarnya tujuanku kemari bukan cuma sekedar untuk menemuimu dan menanyakan kabarmu."

"Aku tahu," sang lelaki tua kembali duduk di kursinya, "kau kemari untuk menanyakan padaku apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini."

"Maafkan aku."

"Untuk apa. Kau adalah raja di kerajaan ini dan kau sudah berusaha melakukan peranmu sebaik mungkin," suara sang lelaki tua terdengar sedih, "justru aku lah yang harus minta maaf padamu... Tentang badai ini, jika hal semacam ini bisa kau sebut badai, aku sama sekali tak tahu apa-apa. Ini pertama kalinya, sepanjang usiaku, hal semacam ini terjadi."

"Jadi kau pun tak tahu?"

"Alam semesta dan manusia. Salah satu takkan ada tanpa keberadaan yang lain. Aku khawatir..."

Belum sempat sang lelaki tua melanjutkan kalimatnya, pintu ruangan itu terbuka, seorang pengawal masuk dengan wajah pucat pasi.

"Tuanku! Aku tak tahu bagaimana caranya tapi anda berdua harus pergi dari sini sekarang juga."

"Tenanglah, Ksatria," Arthur memgang pundak sang pengawal, "coba jelaskan padaku apa yang terjadi!"

Sang pengawal menari napas panjang, "Para Ksatria," lanjutnya, "mereka sedang menuju kemari."

"Astaga Arthur, jadi kau datang kemari tanpa sepengetahuan mereka?"

"Yah, mereka takkan mengizinkanku. Dan tampaknya kali ini mereka menganggapku bersekongkol denganmu."

"Begitulah Yang Mulia," sang pengawal menyela, "Saya tak yakin, tapi sepertinya pintu istana telah dibuka. Orang-orang berdatangan, berseru, agar sang penyihir," ia melirik takut-takut pada sang lelaki tua, "agar sang penyihir segera dibakar. Mereka, mereka menganggap apa yang terjadi adalah ulah sang penyihir. Anda berdua harus segera pergi!"

"Ide bagus, tapi aku yakin cuma ada dua jalan keluar masuk menara ini," jawab Arthur, "lewat jalan yang biasa atau melompat keluar jendela."

"Dan meski kalian bilang aku seorang penyihir, aku sama sekali tak tahu bagaimana cara membuat seseorang terbang tanpa alat, kalau saja kita punya kantong udara panas."

Sang pengawal tertunduk lemas. "Kalau begitu tak ada pilihan lain yang mulia. Kita bertiga melawan Para Ksatria. Saya, saya tahu, saya takkan banyak membantu, tapi izinkan saya bertempur di sisi anda."

Arthur tersenyum, "Kalau begitu bersiaplah!"

"Terima Kasih!"

Ketika pengawal itu berbalik, Arthur secepat kilat memukul tengkuk pemuda itu, dan seketika itu ia pun terjatuh tak sadarkan diri.

"Maafkan aku, tapi aku tak bisa membiarkanmu mati sia-sia. Baiklah sobat tua, sekarang cuma aku dan kamu. Senang akhirnya bisa bertempur bersamamu lagi," ia menatap sang lelaki tau dengan penuh kasih sayang, "seperti dulu."

"Ha ha ha, jangan terlalu optimis." Lelaki tua itu mengangkat sebelah tangannya dan beberapa saat kemudian tampak sebuah bidang, mirip kaca tipis, di udara. "Kau membawa pedangmu?" Arthur mencabut pedangnya. "Bagus, sekarang ayunkanlah!"

Sesaat berikutnya, para Ksatria telah menyerbu masuk ke ruangan di puncak menara, masing-masing dalam zirah berkilauan dan pedang terhunus. Namun yang mereka temukan di sana cuma seorang pengawal yang tergeletak pingsan.

...

Batu yang dilontarkan Arthur memantul, lima, enam, tujuh kali di atas permukaan air sebelum kemudian tenggelam ke dasar danau.

Avalon.

Arthur tak bisa mengungkapkan dengan kata-kata betapa gembiranya ia bisa kembali berada di tempat menakjubkan itu.

"Katakan padaku, apakah Morgana masih tinggal di sana?" tanya Arthur sambil menunjuk ke arah kastil di tengah pulau tempat mereka berada saat ini. Kastil itu dulu indah, sekarang pun masih demikian, hanya saja ia bisa melihat betapa tak terawatnya tempat itu saat ini.

Sang lelaki tua menggelengkan kepalanya.

"Begitukah? sayang sekali," Arthur mengambil batu pipih lagi lalu melontarkannya ke danau, kali ini batu itu langsung tenggelam, "Dimana ia tinggal sekarang? Berhubung sekarang aku sudah tak menjadi raja, kukira kita bertiga bisa tinggal bersama, menghabiskan sisa usia kita, aku bisa kembali bertani, kau akan sibuk dengan penelitianmu, lalu dia, dia akan memasak dan bernyanyi untuk kita."

"Dia sudah tak berada di dunia ini."

"Begitukah..." Arthur kembali mengambil sebuah batu kemudian melontarkannya sekuat tenaga. Ia tak bisa melihat dimana batu itu jatuh, ia bertanya-tanya apakah batu tersebut sampai ke seberang danau. "Sayang sekali."

Setelah itu mereka berdua menghabiskan waktu dalam diam. Kecuali kicau burung dan nyanyian angin, tak terdengar suara apapun. Arthur memandang ke angkasa dan menyadari, berbeda dengan di dunia luar, langit di Avalon begitu cerah tanpa berkas-berkas awan sedikitpun sementara matahari bersinar lembut.

Pemandangan yang biasa di Avalon tapi sudah lama dilupakan di dunia luar. Meski demikian Arthur yakin bahwa dulu, sebelum ia pernah menginjakkan kakinya di Avalon, ia pernah merasakan hal seperti saat ini di dunia luar.

Jawabannya muncul begitu saja.

Kejadiannya terjadi hampir tiga puluh lima tahun yang lalu. Ketika ia yang waktu itu belum genap berusia lima belas tahun, karena penasaran, mengunjungi bukit raja-raja, tempat legendaris yang bahkan disegani oleh para ksatria. Banyak ksatria pemberani yang datang ke sana namun hanya sedikit yang kembali. Saat itu ia bahkan bukan seorang Ksatria.

Mungkin itulah yang disebut Takdir.

Ia baru saja akan mencoba mencabut pedang itu, ketika sang lelaki tua muncul, entah bagaimana lalu dengan riang berkata, "jika aku jadi kau, anak muda, aku takkan terburu-buru. Kemarilah, kemarilah, katakan pada kakek tua ini siapa namamu, dan apa tujuanmu kemari."

Begitulah perkenalan mereka, sama sekali tidak mengesankan. Tapi saat itu benar-benar menyenangkan, bagi dirinya yang tak memiliki orang tua, hal tersebut benar-benar pengalaman baru untuknya. Sang lelaki tua mengajarkan berbagai hal padanya, membawanya pergi ke berbagai tempat dan menemui banyak orang, kebanyakan lelaki tua memang, namun semuanya orang-orang yang menakjubkan dengan keahlian di bidangnya masing-masing.

Lima tahun kemudian...

"Sepertinya sekarang tinggal kita berdua," ucap Arthur memecahkan keheningan, "Seperti dulu."

Sang lelaki tua, yang sejak tadi cuma duduk diam, menggelengkan kepalanya, "Seperti yang kubilang, jangan terlalu optimis. Kemarilah, kemarilah, izinkan kakek tua ini meminjam pedangmu barang sebentar."

Arthur menyerahkan pedangnya, ia menahan diri untuk tidak bertanya apa yang dilakukan sang lelaki tua kali ini, meskipun menyebut dirinya seorang alkemis dan bukannya penyihir, dengan segala hal ajaib yang dilakukannya, Arthur tak bisa menyalahkan jika orang-orang menganggap sang lelaki tua seorang penyihir.

Sementara itu sang lelaki tua mengamati dengan penuh antusias pedang yang kini berada di tangannya. Meski ia turut membantu pembuatan benda itu, ia tetap takjub melihatnya. Namun di saat yang sama, walau tahu saat itu tak ada cara lain, ia menyesal pedang itu harus muncul ke dunia ini.

Alam semesta dan Manusia.

Sang lelaki tua kemudian mengalihkan pandangannya, kali ini ke arah Arthur. Setelah sekian lama, ia sudah menganggap Arthur sebagai anak kandungnya sendiri. Dan kini, ia merasa bersalah atas beban berat yang mesti di tanggung oleh putra angkatnya itu.

Mungkin itulah yang disebut Takdir.

Tapi menghabiskan sisa hidup bersama seorang lelaki tua renta... bahkan ia sendiri tak pernah memimpikan hal itu.

Paling tidak, paling tidak, ia menginginkan akhir yang bahagia untuk putra angkatnya itu, dan jika ia tidak bisa mendapatkannya disini...

Pedang itu berpendar kebiruan. Sang lelaki tua mengayunkannya menebas udara. Dan pada tempat yang terkena tebasan muncul sebuah celah, sama seperti sebelumnya.

"Kita akan pergi lagi?" tanya Arthur.

Sang lelaki tua menggelengkan kepalanya, "kau yang pergi..."

"Tapi..."

"Masih ada yang harus kukerjakan... kecuali kau ingin kerajaan yang telah kau bangun jatuh dalam kegelapan selamanya."

Arthur diam saja.

"Ayolah, kita tak punya banyak waktu."

"Apakah ini perpisahan?"

"Jangan terlalu optimis," sang lelaki tua tersenyum.

Masih banyak yang ingin Arthur katakan dan tanyakan sebenarnya, tapi ia memutuskan mempercayai sang lelaki tua. Dengan ragu ia melangkah memasuki celah itu.

"Sampai Jumpa Merlin jaga dirimu baik-baik."

Celah itu menutup.

Kini tinggal Merlin seorang diri. Pedang ditangannya bergetar hebat seolah menyadari bahwa sang tuan telah meninggalkannya. Sekuat tenaga Merlin menahan pedang itu agar tidak jatuh.

"Pedang ini," tiba-tiba saja Merlin teringat kata-kata terakhir sang guru, "adalah jembatan... Alam semesta dan Manusia... Keduanya saling terkait..."

Pedang yang merefleksikan harapan di dalam hati manusia. Pedang yang mewujudkan harapan pemiliknya. Pedang yang setia menemani Arthur dalam pertempuran. Pedang yang bahkan dapat mempengaruhi ritme alam semesta.

Ia sedih mengakuinya, tapi Arthur telah jatuh dalam kegelapan. Fenomena yang sedang terjadi, pedang itulah penyebabnya, namun pedang itu pun cuma sekedar mengikuti kehendak Arthur. Dalam hatinya yang terdalam, Raja Muda itu rupanya marah, menyesal, bahkan mengutuki keberadaan kerajaannya itu. Sebuah ironi, setelah segala yang dikorbankannya untuk mendirikan kerajaan itu.

Pedang itu masih bergetar hebat. Merlin, menggunakan sisa kekuatannya menancapkan pedang itu ke tanah.

Apa yang terjadi kemudian benar-benar tak pernah terbayang dalam benaknya.

Langit tiba-tiba dipenuhi awan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Angin bertiup begitu kencang, membuat danau bergolak begitu hebatnya. Pedang itu mulai 'memakan' Avalon.

Merlin cuma bisa memandangi apa yang sedang terjadi dengan penuh ketakjuban. Tak ada apapun yang bisa ia perbuat. Sebelum ia benar-benar sadar apa yang sedang terjadi, ia sudah berada dalam kegelapan. Di hadapannya pedang itu melayang, berpendar merah kehitaman.

Belum habis rasa takjubnya, pedang itu pecah berkeping-keping, menyisakan sebuah bola cahaya yang perlahan berubah wujud menjadi sesosok bayangan manusia.

Sang bayangan menatap tajam ke arahnya. Dan meski ia tak mengatakan apapun, Merlin tahu bahwa bayangan itu mencari Arthur.

"Tidurlah!" seru Merlin pada akhirnya. "Masamu telah berakhir! Beristirahatlah dalam kedamaian!"

Bayangan itu masih tetap diam.

"Arthur sudah pergi! Biarkan ia sendiri! Ia sudah tak membutuhkanmu!"

Bayangan tersebut seolah berubah makin gelap mendengar hal itu.

Sang bayangan kemudian mengangkat tangannya, kemudian dengan gerakan menebas ia mengayunkannya. Merlin terkesiap. Bayangan itu telah membuka celah dimensi sama seperti yang telah ia lakukan sebelumnya. Dan belum sempat Merlin melakukan sesuatu, sang bayangan telah masuk dan menghilang di dalam celah tersebut.

Sekarang tinggal Merlin seorang diri.

Tak tahu apa yang harus ia perbuat, lelaki tua itu memejamkan kedua matanya. Dalam hati ia berdoa, berharap, agar semuanya baik-baik saja.

-EnD FoR Now-