Cakraningrat

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

CAKRANINGRAT – KISAH JATUHNYA SI BUNG BESAR

Diktator yang bergantung pada kewibawaan orang seorang tak lama umurnya. Sebab itu pula, sistem yang dilahirkan Soekarno tidak akan lebih panjang umurnya dari Soekarno sendiri. Umur manusia terbatas. Apabila Soekarno sudah tidak ada lagi, maka sistemnya akan roboh seperti rumah kartu.

– Mohammad Hatta –


7 September 1964

Jip Willys CJ-2 yang kukemudikan melaju di jalanan Jakarta yang sudah sepi. Trem sudah tak tampak lagi berjalan di pukul sepuluh malam seperti ini. Penduduk pun nyaris tak nampak lagi di jalanan. Hanya ada sejumlah personel militer berseragam loreng dan polisi berbaju coklat yang tampak di jalanan.

Kuarahkan mobilku ke sebuah kompleks bangunan di daerah Pejaten Timur dan kuparkir mobilku di sana. Lalu turunlah aku dari mobilku dan berjalan memasuki sebuah rumah beratap limas yang atapnya sudah menghitam.

“Assalamualaikum,” aku mengetuk pintu sambil mengucapkan salam.

Seorang wanita tua – seorang pembantu– membukakan pintu dan mempersilakan aku masuk. Di dalam sana sudah tampak empat orang pria duduk melingkari sebuah meja kayu jati dengan muka masam dan cemberut. Ada satu tamu yang menarik perhatianku, seorang pria Batak berjenggot tipis kelahiran Kutaraja (sekarang Banda Aceh) yang seharusnya sekarang ada di dalam penjara. Mantan kepala Badan Intelijen Indonesia – Kolonel Zulkifli Lubis.

Kembali aku memberi salam dan keempat orang itu pun menjawab salamku serta mempersilakan aku duduk. Aku pun duduk sembari memperhatikan satu-demi-satu tamu yang hadir di sana. Seorang pria keturunan Arab yang kurus berwajah cekung klimis, Mustofa Ali Basra, seorang pria berpangkat Kolonel dengan rambut depan sudah botak – Kolonel Bratasena, seorang lagi adalah rekan kerjaku dalam tugas lapangan – Harun. Tiga orang ini dan diriku namanya tak akan pernah ada dalam dokumen resmi negara karena kami adalah pasukan bayangan. Bahkan teman-teman kami di Badan Pusat Intelijen (sekarang BIN) tidak tahu soal keberadaan kami.

“Kenapa kita bertemu di sini?” tanyaku, “Apa kantor BPI di Jalan Madiun itu sudah punah?”

“Di sana ada Soebandrio,” kata Kolonel Lubis, “Dan kau tahu sendiri Soebandrio itu Sengkuni.”

Bicara soal Soebandrio aku jadi ingat bahwa orang itu benar-benar penjilat, serakah, dan ceroboh. Gelarnya dokter tapi hobinya mengurusi politik sehingga ia bisa jadi diplomat. Dahulu ia adalah duta besar RI untuk Britania Raya dan Soviet sebelum dipanggil pulang Bung Karno untuk merangkap tiga jabatan : Menteri Luar Negeri, Wakil Perdana Menteri, dan Kepala BPI. Kurang serakah apa coba?

“Soebandrio buat masalah lagi?” tanya Ali.

“Ya, ia memerintahkan penangkapan sejumlah mahasiswa yang mengkritik kabinet dan pemerintah atas tuduhan bertindak sebagai agen imperialis Inggris-Amerika,” jawab Kolonel Bratasena.

“Sinting!” kataku, “Dan Bung Karno membiarkan saja?”

“Bung Karno yang sekarang memang sudah sinting dan kalau itu belum cukup juga ... apa kau sudah dengar kabar Bung Hatta?” tanya Kolonel Lubis.

“Ah, belum. Bagaimana kabar Bung Hatta?” kataku. Mantan wapres itu memang seolah hilang dari peredaran pasca pengunduran dirinya.

“Bung Hatta kini lebih miskin hidupnya daripada menteri-menteri kabinet. Padahal apa itu menteri kabinet? Besar mana jasa mereka pada Indonesia dibanding Bung Hatta? Jatah lauk-pauk untuk Bung Hatta pun tidak lebih besar daripada harga makanan kucing,” ujar Kolonel Bratasena.

Terdengar lagi suara ketukan pintu dan seorang kapten tentara yang wajahnya basah kuyup oleh air hujan masuk dengan terburu-buru.

“Kenapa lama Kapten Waris?” tanya Kolonel Lubis.

“Maaf, saya baru saja dari Jalan Diponegoro, rumah Bung Hatta.”

“Apa kata Bung Hatta soal ini?” mata Kolonel Bratasena membeliak penuh harap.

Kapten Waris duduk setelah menyampirkan topi pet hijaunya, “Saya sendiri tidak mendeksripsikan niat kita secara gamblang, Bapak-Bapak. Hanya sedikit menyindir dengan mengatakan ‘ Apa Bung Hatta setuju kalau Bung Karno didemo sampai turun?’.”

“Dan?” kembali Kolonel Bratasena bertanya.

“Secara implisit beliau menolak gagasan itu. Bahkan setelah diboikot tidak boleh mengajar di Lemhanas dan koran yang berlangganan artikelnya dibredel masih saja Bung satu itu setia pada Bung Karno.”

“Saya dengar Bung Karno sendiri juga masih hormat pada Bung Hatta,” kata Ali.

“Iya, hormat kalau bertemu langsung. Di balik layar? Bung Syahrir saja bisa dijadikan tahanan rumah seperti itu, masih untung Bung Hatta bisa bebas ke mana-mana,” ujar Kolonel Lubis geram. Ia pasti sakit hati sekali karena setelah diturunkan paksa dari jabatan Kepala Staff Angkatan Darat, ia bergabung dengan pemberontak di Sumatra dan dipenjara oleh Bung Karno.

“Bicara soal menteri,” Harun menyodorkan pada kami segepok kertas tebal berisikan laporan keuangan, “Jusuf Muda Dalam – menteri urusan Bank Sentral – semakin bertingkah saja.”

Jusuf Muda Dalam adalah mantan Kepala BNI sebelum diangkat menjadi Menteri Urusan Bank Sentral. Tapi semua yang punya akses ke para petinggi juga tahu kalau menteri muda itu korupsinya tidak main-main, jumlah istrinya pun fantastis: delapan orang – bolehlah diadu dengan Bung Karno.

“Urusan Malaysia juga belum selesai,” aku menambahkan, “Kalau begini terus bisa-bisa rakyat mati kelaparan lebih dulu sebelum kita menang perang – kalau kita bisa menang.”

Semua yang hadir menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum Kolonel Lubis memukul meja, “Dengar! Kita tidak boleh diam saja. Mengingat kondisinya sudah sangat parah, kita harus bertindak. Soekarno harus turun! Dipaksa turun kalau perlu!”

“Apa rencana kita Kolonel?” tanyaku, “Ahmad Yani ada di belakang Soekarno. Kalau kita melawan, alamat kita masuk penjara dan anak-istri kita bakal jatuh miskin.”

“Karena itulah,” Kolonel Bratasena berdehem sejenak, “Kolonel Lubis merencanakan strategi dua arah.”

“Dua arah?” dahi Harun kembali mengernyit.

“Nasution akan bergerak dalam bidang politiknya, tapi kita sendiri harus menjalankan rencana balik layar kita,” ucap mantan kepala Badan Rahasia itu. Dalam hati aku mencium gelagat yang tidak beres. Jendral A.H. Nasution dan Kolonel Zulkifli Lubis bersatu untuk satu tujuan? Dua rival yang masih sepupu ini bersatu? Dunia pasti sudah menjelang kiamat.

“Apa yang Kolonel minta dari kami?” tanya Ali.

“Kalian semua adalah bagian dari DAKARA, divisi intel pengurus masalah supranatural kan? Saya rasa mengatasi masalah supranatural macam ini bukan masalah besar bagi kalian kan?”

“Ya Pak,” aku, Ali, Waris dan Harun mengangguk.

Aku mulai tidak suka arah pembicaraan ini. Bicara soal supranatural, Soekarno memang dilindungi oleh segerombolan makhluk supranatural yang biasa disebut jin, khodam, atau danyangan. Tapi yang paling menyebalkan dia juga memiliki setidaknya dua Kalingga – makhluk supranatural kelas atas yang sulit ditaklukkan oleh sekelompok dukun berpengalaman sekalipun.

“Kita akan menyerbu istana negara pada saat Bung Karno sedang dalam hari naasnya,” ujar Kolonel Bratasena, “Pada saat itu kita pastikan saja bini-bini Bung Karno tidak ada di istana dan,” mulut sang kolonel tersenyum, “Kita kirim gadis-gadis penari Bali ke Istana Negara biar dia terlena. Lalu kalian ... ambil dan tukar tongkat komando Bung Karno dengan replikanya. Setelah itu bawa tongkat itu keluar dari Jakarta dan hancurkan!”

“Kapan itu?” tanyaku.

Harun tampak mencoret-coret sesuatu di buku notesnya sebelum berujar, “Sebaiknya kita ke sana 17 September, Kamis Pahing. Itu adalah hari naas Bung Karno, di saat itu kekuatan Bung Karno akan melemah. Kalingganya tak akan muncul kita hanya harus ...,” ia tidak berkata-kata lagi, hanya mengedikkan bahu.

“Ya,” aku mengangguk, “melawan 200 khodam penjaga Istana Negara. Apa sulitnya ya?”

Yang hadir di sana hanya tersenyum-senyum getir.


12 September 1964

Harun dan aku datang ke istana untuk memeriksa medan dengan menyaru sebagai utusan Kolonel Bratasena untuk mengantar setidaknya 50 pot tanaman bougenville, kembang sepatu, dan anggrek untuk menghias istana. Segalanya tampak wajar dan lancar, kecuali Letkol Untung bin Samsuri yang dengan sok dan berlagak memeriksa pot itu satu per satu, “Tidak ada racun di sini kan?”

“Tidak Pak,” jawabku, “semua tanaman ini bebas dari racun.”

“Kalian tidak menaburkan bubuk kuman TBC atau semacamnya kan?” ia kembali bertanya, matanya nyalang dan melotot. Dipadu dengan garis-garis wajahnya yang kukuh dan keras, banyak orang pasti ‘keder’ ketika berhadapan dengan Komandan Cakrabirawa ini. Dua sosok hitam terlihat mengintip di balik tubuhnya, sosok yang menjadi manifestasi kekuatan gaib Sang Letkol.

“Tidak Pak,” kembali aku menjawab.

“Bagus! Karena kalau sampai terjadi apa-apa dengan Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi setelah bersentuhan dengan tanaman ini,” ia menudingkan jarinya ke arahku dan Harun, “sampai ke ujung dunia pun aku kejar kalian.”

Aku dan Harun hanya membalas perkatannya dengan senyuman dan sikap hormat sebelum kami menaiki mobil tepak yang kami pakai untuk mengantar bunga tadi dan melaju pergi dari Istana.

“Apa dia tahu kalau tanah yang dipakai di pot-pot tadi berasal dari kuburan dan serpihan tulang-belulang orang yang mati tidak wajar?” tanya Harun, tampaknya ia sedikit ngeri pada Letkol Untung.

Aku tidak bisa menyalahkan kekhawatiran Harun. Meski Letkol Untung tidak pernah bergabung dengan DAKARA – divisi pengurus masalah supranatural di bawah Kementrian Pertahanan, bukan mustahil Bung Besar keceplosan soal keberadaan kami kepada Letkol banyak lagak yang satu itu.

“Apa tanah kuburan dan serpihan tulang itu bakal efektif untuk melemahkan penjaga-penjaga gaib Istana?” aku balas bertanya.

“Pasti efektif,” ujarnya yakin sebelum bertanya, “Ngomong-ngomong ... soal denah.”

Aku meminggirkan mobil dan mengambil sebuah buku notes dan pensil lalu mulai menggambar denah Istana untuk rencana penyusupan kami.

16 September 1964

Hari sudah beranjak malam dan Harun tampak tengah sibuk bersila di depan sebuah pedupaan yang menguarkan asap putih tebal. Sejumlah besar kembang dari aneka jenis – yang ia sebut kembang setaman – tampak berjajar di sekeliling Harun dalam wadah-wadah rotan. Mulutnya berkomat-kamit sambil sesekali menambahkan bubuk dupa ke bara api yang tengah menyala, membuat aroma dupa semakin terasa di ruangan itu.

Tangannya yang semula terkatup kini ia letakkan di lututnya dan tubuhnya pun mulai miring ke kiri dan ke kanan selama beberapa puluh menit. Setelah itu ia membuka matanya dan menatapku dalam-dalam, “Tengah malam ini kita sudah boleh menyerang,” ujarnya sembari tersengal-sengal.

Jadilah malam itu aku dan Ali melaju ke Istana Presiden sementara Waris kembali pada tugasnya sebagai Cakrabirawa, berjaga-jaga sebagai bala bantuan jikalau kami memerlukannya.

Sesampainya kami di sana sudah ada pesta dan kehebohan besar. Baik di dalam maupun di luar istana. Di dalam istana kami bisa mendengar irama gamelan Bali yang rancak dan tawa beberapa orang menteri kabinet termasuk Bung Karno sendiri, dan di luar sana ... aneka jenis arwah penasaran, buta – raksasa, gendruwo, kuntilanak, dan khodam-khodam dari aliran hitam sedang berusaha merangsek ke dalam istana. Dua ratus khodam penjaga istana pun tak tinggal diam. Mereka keluar dan bertarung melawan penyerbu-penyerbu itu. Meski jumlah penyerbu itu sampai ratusan atau bahkan ribuan, tampaknya dua ratus penjaga itu masih bisa bertahan.

“Sekarang masalah kita satu, Tam,” Ali menepuk pundakku dan menatapku dengan tatapan khawatir.

Aku mengangguk, “Ya, kita harus menyusup tanpa ketahuan Letkol Untung.”

“Kalau ketahuan,” kata Ali sekali lagi, “Orang itu bisa mematahkan lehermu dengan sekali sergap saja!”

“Maka akan aku buat dia tidak bisa mendekati leherku.”

Nama Untung bin Syamsuri di masaku adalah nama seorang bintang. Lulusan terbaik Akademi Militer bersama-sama dengan Benny Moerdani, terlibat dalam berbagai aksi penumpasan pemberontakan, serta perebutan Irian Barat, karir Letkol Untung melejit hingga akhirnya mencapai posisi komandan Cakrabirawa – pasukan pengawal presiden. Dan sebagaimana lazimnya seorang yang kaya mendadak – kere munggah bale, orang Jawa bilang – Untung pun kini jadi besar kepala, berlagak sok kuasa. Walau harus diakui kemampuan militernya hebat dan kemampuan supranaturalnya tampaknya tak bisa dianggap remeh.

Aku dan Ali mengendap-endap masuk ke dalam halaman istana. Wajah kami telah kami lumuri arang dan kami tutupi saputangan hitam. Bergerak di antara rerimbunan tanaman yang tak tersorot cahaya, kami akhirnya berhasil memasuki istana melalui pintu belakang. Ali dengan cepat mengeluarkan dua buah kawat logam dan mempraktekkan keahlian ‘maling’nya dengan memasukkan dua kawat itu ke dalam lubang kunci. Tak sampai satu menit pintu pun berhasil terbuka dan kami masuk.

Suasana tampak sepi jika dilihat dengan mata telanjang. Tapi di mata kami ada sosok-sosok berpakaian bak seorang jawara dari masa silam tengah berkeliaran di ruang tamu ini. Jumlahnya lima sosok dan melihat ada orang asing masuk wilayah mereka, mereka pun langsung waspada. Seorang dari mereka bahkan sudah menarik kerisnya.

“Urus ini ya, Li?” aku menepuk bahu Ali lalu lari meninggalkan rekanku itu bersama kelima sosok itu. Satu sosok mengejarku namun aku segera memanggil sosok khodamku sendiri, “Jayabinangun!” satu sosok lelaki bersarung merah dan berbaju sorjan merah pula, keluar dari punggungku dan menghadang si pendekar keris. Keributan pun langsung pecah tapi aku tak menghiraukannya dan tetap berlari pelan menuju ruang tidur Bung Karno.

Ada untungnya juga Bu Fatmawati menolak tinggal lagi di tempat ini pasca Bung Karno menikahi janda genit asal Malang bernama Hartini itu. Jadinya aku tak perlu bertemu Guntur dan saudari-saudarinya ketika aku menyusup.

Semuanya tampak lancar sampai Waris tiba-tiba mengirim pesan batin kepadaku, Letkol Untung dan dua Cakrabirawa memeriksa ruang tidur Bung Karno!

“Ladramungkung!” aku memanggil khodam keduaku, seorang wanita berpakaian dan berselendang serba kuning. Aku tunjuk arah tempat di mana Cakrabirawa mungkin tiba dan Ladramungkung pun melayang menembus pintu kuning yang kutunjuk dan segera saja terdengar suara gaduh. Sosok Ladramungkung tiba-tiba saja terlempar kembali dan masuk ke dalam diriku. Suatu pertanda bahwa setidaknya satu Cakrabirawa selamat dari serangan ilmu sirep – ilmu yang memaksa orang untuk tidur – Ladramungkung. Hebat dan aku sudah bisa mengira siapa dia.

“Berhenti!” seorang prajurit berbaret merah berdiri di hadapanku sambil menodongkan pistol dan prajurit itu tak lain adalah Letkol Untung.

Pak. Aku mengirim pesan batin pada Kolonel Bratasena. Tolong keraskan musiknya biar Bung Karno dan Cakrabirawa lain tidak dengar.

Letkol Untung menembakkan pistolnya namun sebelum peluru itu sempat mengenaiku, aku sudah lemparkan satu jambangan ke kepalanya lalu aku menerjang dan memukul pergelangan tangannya sampai pistol itu jatuh dan masuk ke dalam kolong meja. Kepalan tanganku sudah hampir mengenai kepalanya ketika ia berguling dan berkelit, otot-otot tangannya bergemeretak, aura hitam berkumpul di kedua tangannya. Aku tahu bahwa ia tengah menyalurkan seluruh energinya untuk sebuah pukulan tenaga dalam yang mampu memecahkan kepala orang dengan sekali pukul. Aku pun bersiap, kualirkan tenaga dalamku ke seluruh permukaan tubuhku dan kupersiapkan satu jurus jitu untuk melawan orang ini.

Letkol Untung mulai menyerang dengan membabi-buta. Tapi tak satupun pukulannya yang mengenaiku. Setelah berkali-kali gagal terus mengenaiku, matanya mulai menatapku tegang, “Apa itu? Ilmu macam apa itu?”

Aku tak akan memberitahunya bahwa aku gunakan Lembu Sekilan – ilmu kuno yang membuat penggunanya takkan bisa dipukul siapapun. Alih-alih menjawab pertanyaannya, kembali kukonsentrasikan energiku, kali ini di tangan kiriku dan kulancarkan satu serangan pamungkas ke dada si Letkol.

Si Letkol cukup tanggap dengan segera menyilangkan tangannya di dada, tapi sayangnya tujuan pukulanku sebenarnya bukan di sana. Aku mengarahkan pukulanku ke perutnya, bagian tubuhnya yang tidak sempat ia lindungi dan segera saja si Letkol terhempas ke belakang, menghantam tembok di mana beberapa lukisan tergantung.

“Ladramungkung!” aku kembali memanggil khodamku dan segera saja Ladramungkung menghembuskan nafas penidurnya yang legendaris itu ke wajah Letkol Untung. Letkol banyak lagak itu tak sempat bereaksi banyak. Segera saja ia jatuh tertidur seperti halnya anak-anak buahnya yang lain.

Letkol Untung sudah beres, Waris! Bisa karang-karang alasan atas ketidakhadirannya?

Beres, Tam. Cepat masuk dan ambil tongkatnya!

Sekarang giliranku jadi maling, dengan mengutak-atik lubang kunci kamar Bung Karno akhirnya aku bisa masuk ke dalamnya. Di sana, di sebuah meja rotan yang terletak di samping tempat tidur aku temukan sebuah tongkat komando sepanjang 60 cm yang biasa dibawa Bung Karno ke manapun ia pergi.

Kugenggam tongkat itu dengan tangan kananku lalu kumasukkan ke dalam ranselku. Kemudian kutarik keluar tongkat replika yang telah dipesan oleh DAKARA dan kutempatkan di atas meja itu. Ketika aku keluar lagi, kutatapi sosok Letkol Untung yang masih terkapar tak sadarkan diri di depan kamar Yang Mulia Pemimpin Besar Revolusi selama beberapa saat sebelum aku keluar menemui Ali yang sudah menghancurkan lima khodam penjaga tadi, menarik kembali Jayabinangun - khodam pria bersorjan merah milikku ke dalam tubuhku dan pergi dari sana.

Banyak orang percaya bahwa tongkat komando Bung Karno itu bertuah, bahwa dengan memegang benda itu Bung Karno jadi punya kekuatan bak manusia setengah dewa, bahwa siapapun yang bisa mendapatkan tongkat Bung Karno akan menjadi raja Nusantara berikutnya. Mitos-mitos itu ada benarnya sebab di mata kami yang bisa melihat apa yang tak terlihat, ada semacam cahaya emas bersemayam dalam tongkat ini, cahaya yang kami sebut Wahyu Cakraningrat atau Wahyu Keprabon, siapa yang menyimpan energi ini akan menjadi pemimpin dan yang lebih mengerikan adalah ... mereka bisa memerintah setiap makhluk astral yang mereka temui dengan sekali perintah – persis legenda tentang Nabi Sulaiman.

Tapi mereka yang bergelut di dunia supranatural juga paham bahwa Cakraningrat tak selamanya bertengger pada satu orang semasa hidupnya dan hal itulah yang telah dilanggar Bung Karno. Ia tidak mau lengser, ia ingin jadi presiden RI seumur hidup, karena itulah ia menyimpan paksa Cakraningrat dalam tongkat komandonya, ia tak membiarkan wahyu itu mencari penerusnya dan itu tak boleh dibiarkan!

Kini setelah kami mendapatkan tongkat ini, kami mendapat masalah baru : tongkat itu tidak bisa dihancurkan semudah itu. Harun mencoba membakarnya tapi tongkat itu tetap utuh, Ali meletakkan sepuluh batang dinamit di atas tongkat itu dan hebatnya ... meskipun suara ledakan dinamit itu terdengar sampai radius 4 km, tetap saja tongkat itu utuh. DAKARA pun harus putar otak lagi untuk menyingkirkan tongkat ini sebelum Bung Karno menyadari keberadaan tongkatnya di tangan kami.

Lalu Waris menyarankan untuk melarungnya ke Laut Selatan dan usul itu pun disetujui oleh semua petinggi DAKARA. Urusan melarung itu lalu menjadi tugasku dan itulah yang kulakukan. Seminggu kemudian aku melarung tongkat itu di sebuah rakit, di tepi Pantai Parangtritis sambil berucap, “Ibu Ratu Pantai Selatan, berkenanlah menerima dan melepaskan kembali wahyu Cakraningrat yang didekap paksa oleh Soekarno.”

Ketika rakit itu telah mencapai tengah laut, ombak yang bergelung segera menelan rakit itu dan dengan itu pula tugasku selesai.


10 Januari 1966

“Sudah dengarkah kamu soal Pemimpin Besar Revolusi kita?” tanya Kolonel Lubis yang sudah dibebaskan dari tahanan.

“Belum, kenapa Kolonel?” aku balik bertanya.

“Bung Karno tadi marah-marah di Istana Negara.”

“Bung Karno itu selalu marah, Kolonel. Kapan dia tidak marah? Ada Belanda datang dia marah, Belanda pergi dia marah, kekuasaannya dibatasi dengan adanya Perdana Menteri dia marah, dan terakhir ... ,” kata-kataku dipotong oleh Ali.

“Dia tadi marah karena demonstran-demonstran bawa spanduk bertuliskan ‘STOP IMPOR ISTRI!’ dan ‘HARTINI LONTE AGUNG ISTANA!’.”

“Wow,” kata-kata yang terakhir itu benar-benar mengejutkanku, “mahasiswa-mahasiswa itu benar-benar punya nyali.”

“Sebenarnya sih bukan mahasiswa yang nulis soal ‘LONTE ISTANA’ itu. Itu sih tulisannya Guntur,” ujar Waris.

“Hoo, anaknya pun sekarang berbalik melawannya ya?” kataku.

“Kejatuhan Soekarno sudah dekat,” kata Kolonel Lubis sekali lagi. Senyumnya mengembang lebar dan kami pun turut berlaku demikian.

Pada tanggal 22 Februari 1967, MPRS yang diketuai Jendral A.H. Nasution mengangkat Jendral Soeharto sebagai pejabat presiden dan pada tanggal 27 Maret 1968, Soeharto resmi menggantikan Soekarno. Nasib Presiden Pertama sekaligus pendiri DAKARA itu berakhir sebagai tahanan rumah, sama seperti yang telah ia lakukan pada Sutan Syahrir. Ironis, tapi anehnya aku bangga pada apa yang telah kami lakukan. Bahkan aku menertawakan nasib Soekarno saat itu. Sampai datanglah masa penyesalan di hari tuaku, ketika menyaksikan Soeharto mengulangi kesalahan yang sama dengan pendahulunya. Soeharto turut menahan paksa Cakraningrat dalam suatu tempat dan butuh waktu tahunan bagi DAKARA untuk mendapatkan lokasinya dan menghancurkannya. Enam bulan setelah Cakraningrat lepas kembali ke semesta, gelombang demonstrasi mahasiswa sukses memaksa Jendral tua itu untuk lengser dari tahtanya.


TAMAT