Seven:Volume00 Chapter02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Bab 2

"Kenapa kau masih di sini?"

"Hujan."

"Seharusnya kau pergi selagi langit masih mendung."

---

Jika Tesla bangun kesiangan, biasanya hal itu disebabkan karena ia tidur lewat tengah malam, atau karena sakit, atau karena melakukan kegiatan fisik yang sangat melelahkan hari sebelumnya.

Ia tidak sakit. Ia juga tidak melakukan hal-hal yang melelahkan. Tapi setelah apa yang terjadi kemarin, susah bagi Tesla untuk tidur tepat pada waktunya.

Kenapa?

Padahal selama ini ia sering memimpikan hal itu. Ia dan Diva, berdua, di ruang kelas yang kosong. Di tangannya ada sebilah belati, atau revolver, kadang ia tak membawa apa-apa. Diva akan menatapnya, cemas, takut, tapi tahu tak ada yang bisa ia lakukan. Lalu gadis itu akan menangis, meminta maaf, memohon, atau berteriak minta tolong. Tesla tak akan mengatakan apa-apa, ia mungkin akan tersenyum, tak ada seorangpun yang mengganggu. Setelah itu cuma tinggal dia sendiri dan genangan darah di lantai.

Tidak.

Tentu saja ia tidak akan melakukan hal itu. Kecuali jika ia mampu memikirkan cara melakukan hal itu tanpa membuat hidupnya hancur berantakan. Tapi setidaknya ia ingin... ia ingin... ia membenci Diva.

Lalu kenapa?

Tesla menggigit bibir bawahnya. Tak ada waktu untuk memikirkan hal itu. Tidak pagi ini ketika ia bahkan tak punya cukup waktu untuk memasak sarapan dan bekal makan siangnya. Di saat seperti ini, Tesla harus puas sarapan hanya dengan roti plus mentega dan segelas susu.

Terdengar suara garukan di Pintu depan.

"Pagi Socrates," Tesla tersenyum saat menemukan seekor kucing hitam, dengan loreng putih di sebagian kepala dan kaki depannya, sedang meregangkan tubuhnya di depan pintu apartemennya. Cepat-cepat ia kembali ke dapur, mengambil piring kecil dan menuangkan separuh susunya di sana.

Selalu ada waktu untuk berbagi.

Tesla menyempatkan diri membelai kucing itu beberapa saat sebelum ia pergi meninggalkan apartemennya untuk berangkat ke sekolah.

"Aku siap"

"Aku siap"

"Aku siap"

"AKU SIAP !!!"

Tesla tersenyum muram, sambil terus mengayuh pedal sepedanya, sambil mengingatkan dirinya bahwa salah satu tanda ada yang tak beres dengan kondisi mental seseorang adalah ketika orang tersebut mulai berbicara sendirian. Tapi kadang hal itu lumayan berhasil untuk membuat suasana hati lebih gembira.

Kenapa?

Ini buruk. Biar bagaimanapun, kejadian kemarin terus saja Terbayang di kepalanya. Ia merasa seperti sebuah video player rusak yang karena suatu sebab memutar terus menerus salah satu adegan dari kaset yang tengah dimainkannya.

Ia dan Diva, berdua, di ruang kelas yang kosong, menatap hujan yang tak kunjung berhenti, dalam keheningan.

Sementara ada banyak hal yang ingin ia ucapkan.

Sementara ada banyak makian dan umpatan yang ingin ia teriakkan.

Tapi ia tak mengatakan apa-apa.

Waktu seolah berhenti.

Diva tak beranjak dari tempat duduknya, perhatian gadis itu tertuju pada rintik hujan di luar jendela, tapi dari pantulan kaca, Tesla bisa melihat betapa kosong tatapan mata Diva. Ia sungguh penasaran apa yang sedang dipikirkan Diva saat itu.

Sementara itu Tesla pun tak beranjak dari tempatnya berdiri. Tak tahu harus melakukan apa. Tak tahu harus mengatakan apa. Dan sebelum ia sadar, Tesla mendapati dirinya tengah menikmati pemandangan yang berada di hadapannya.

Sesosok gadis memandang ke luar jendela, sementara di luar, awan gelap memenuhi angkasa membentuk pola-pola yang terlihat abstrak namun tetap saja indah. Lalu ada tetes hujan dan kilauan petir. Jauh di horizon lampu-lampu, kendaraan, gedung, berpendar temaram.

Mungkin ia seharusnya membawa kamera.

Dan kemudian, setelah beberapa saat yang terasa hanya sekejap, tiba-tiba saja, hujan berhenti. Langit berubah kemerahan, sementara di cakrawala, matahari yang tadinya menghilang, sekarang membara.

Diva berdiri.

Gadis itu mengambil tas nya kemudian berjalan melewati Tesla, tanpa sekalipun memandang ke arahnya, atau mengucapkan sepatah kata pun.

Kenapa?

Tesla memutar tubuhnya, entah mengapa ia tak bisa berhenti memperhatikan Diva saat gadis itu berjalan meninggalkannya. Sesaat sebelum meninggalkan ruangan kelas, Deva berhenti melangkah. Gadis itu kemudian berbalik dan, di luar dugaan Tesla, tersenyum padanya.

"Hujan sudah berhenti." kata Diva, suaranya terdengar tenang.

"Ah, ya."

"Kau masih membawa sepeda?"

Tesla menganggukkan kepalanya, sambil bertanya-tanya apa yang sebetulnya sedang terjadi. Kejadian berikutnya tak pernah Tesla bayangkan akan terjadi bahkan dalam mimpi terburuknya selama ini.

Masih menjadi misteri bagaimana para gadis menjaga aroma tubuhnya tetap enak dicium bahkan setelah seharian beraktivitas.

...

Konsentrasi.

Melamun saat berkendara bukan ide bagus. Tesla baru saja hampir menabrak tiang lampu jalan. Setelah menghela napas, Tesla menggelengkan kepalanya cepat-cepat, berharap dengan melakukan hal itu ia bisa mengusir ingatan akan kejadian kemarin.

Tentu saja hal itu tak berhasil.

Mungkin kejadiannya bakal berbeda seandainya tadi ia jadi menabrak tiang lampu jalanana. Konon benturan yang cukup keras di kepala dapat membantu penderita insomnia dan mengacaukan memori seseorang. Benturan yang sama juga berpotensi menimbulkan sakit kepala, gegar otak, kelumpuhan, dan kematian akibat penggumpalan darah dalam otak.

Tesla kembali mengayuh sepeda.

Jika dipikir-pikir, sebenarnya ia tak perlu terburu-buru berangkat ke sekolah. Saat ini pun, matahari masih berada di ufuk timur, dan jalanan masih cukup sepi. Jika mau, ia bisa saja berangkat sedikit lebih siang, memasak sarapan dan bekal makan siang sederhana, bersepeda lebih cepat dan tiba tepat waktunya, mungkin beberapa menit sebelum bel tanda masuk berbunyi.

Tapi itu berarti ia akan terlambat untuk datang lebih pagi. Dan jalanan pasti sudah ramai oleh siswa-siswa lain yang berangkat ke sekolah. Dan itu berarti ia akan bertemu lebih banyak orang. Belum lagi setelah sampai di sekolah, di tempat parkir, di lorong menuju ruang kelas.

Tidak.

Jika memungkinkan Tesla lebih memilih menghindari hal itu.

Lagipula berangkat pagi-pagi lebih nyaman. Matahari belum tinggi. Udaranya masih segar. Dan suasana masih sepi. Ia bahkan bisa mendengar kicau burung-burung.

Semuanya sempurna.

Sekitar empat puluh menit sebelum bel tanda masuk berbunyi, Tesla telah berada di tempat parkir sekolah, selain sepedanya, cuma ada beberapa sepeda lain milik siswa, dan dua sepeda motor milik guru yang piket hari ini.

Tesla mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. Ia bisa mendengar suara dari sendi-sendi di tubuhnya. Rasanya nyaman, walau ada beberapa yang mengatakan hal tersebut sebenarnya kurang baik untuk kesehatan. Bunyi berderak itu sendiri timbul akibat gas yang tadinya berada di celah persendian meninggalkan tempatnya semula, entah kemana, Tesla lupa tentang detilnya.

Tesla berjalan memasuki gedung utama, mengambil buku absensi di ruang tata usaha, juga beberapa potong kapur yang mungkin akan berguna apabila jatah kapur di kelas habis (sebenarnya tanggung jawab siswa yang sedang piket). Setelah itu, ia pun segera menuju ke ruang kelasnya.

Cuaca pagi ini berawan. (Tesla lupa lagi membawa Jas Hujan)

Suhu udara sekitar 29 derajat. (Musim kemarau betulan terlambat datang)

Angin bertiup lumayan kencang. (Hati-hati yang memakai rok pendek)

Dan suasana hati Tesla, meski sedikit gundah, tapi juga lumayan gembira.

Dalam hati, Tesla berharap semoga sisa harinya pun berlalu dalam kedamaian.

Ketika Tesla tiba di ruang kelasnya, beberapa orang siswa rupanya telah hadir lebih dahulu, sebagian berbincang-bincang, sebagian duduk sendiri, sebagian lainnya, para petugas piket, tampak (sok) sibuk membersihkan kelas. Tempat duduk di pojok masih kosong. Indra dan Kripto sepertinya belum datang.

Begitu Tesla masuk ke dalam ruang kelas, suasana menjadi hening.

Padahal baru saja ia berharap semoga sisa harinya berlalu dalam kedamaian.

Seluruh siswa di kelas menatapnya, beberapa dengan tatapan penasaran, kebanyakan dengan pandangan sinis dan mencemooh.

Bukan hal yang mengejutkan sih.

Tesla tahu, cepat atau lambat, siswa-siswa di kelasnya akan mengetahui kisah itu. Tapi ia tak menduga efeknya akan terasa secepat ini. Untuk sesaat Tesla penasaran, apa yang akan dilakukan siswa-siswa itu setelah ini.

Tidak ada.

Mereka tak akan melakukan apapun padanya, setidaknya untuk saat ini. Adalah naluri manusia untuk menghindari masalah.

Mereka mungkin cuma akan menganggapnya tidak ada, pura-pura tak peduli, dan kalau ia beruntung mereka akan sungguh-sungguh tidak peduli.

Hal yang aneh dari manusia adalah banyak dari mereka yang, disadari atau tidak, cukup gembira apabila menemukan seseorang yang 'lebih rendah' dari mereka. Itu selalu berhasil membuat hidup terasa lebih nyaman.

Tapi setidaknya Tesla belum pernah berurusan dengan siswa di kelasnya, walau dengan jabatannya sebagai ketua kelas, itu tinggal tunggu waktu saja.

Tapi ada orang-orang yang dulu pernah berurusan dengannya. Beberapa pernah menyukainya, sebagai seorang teman. Beberapa dulu jelas-jelas tidak menyukainya. Tapi saat ini ia tahu kebanyakan siswa, yang dulu ia kenal atau pernah mengenalnya, menganggap dirinya tak lebih baik dari sampah yang tidak bisa di daur ulang.

Tak mengherankan. Ia pun pasti juga akan membenci dirinya sendiri seandainya ia benar-benar melakukan hal itu.

Tesla menelan ludahnya. Ia tak pernah benar-benar siap menghadapi apa yang oleh pakar antropologi disebut sanksi sosial, karena hal tersebut sama sekali tak memiliki batas yang jelas. Seorang pencuri yang tertangkap basah mungkin cuma akan diarak keliling perumahan, sambil dicaci maki dan dilempari kotoran, tapi beberapa yang kurang beruntung harus cukup puas menderita beberapa lama sebelum kematian menjemput saat warga membakarnya hidup-hidup. Terlepas dari semua itu, komunitas selalu mempunyai cara untuk membuat orang yang dikenai sanksi menderita, lebih dari apa yang dapat dilakukan aparat hukum di penjara.

Sudah dimulai.

Di permukaan papan tulis, ditulis menggunakan kapur berwarna merah, dengan huruf kapital, dapat terbaca dengan jelas sebuah kata yang tak salah lagi ditujukan untuk Tesla:

PEMBUNUH

---

Tulisan itu masih ada di papan tulis sampai guru yang mengajar pada jam pertama tiba di kelas. Guru tersebut memandanginya sekilas, menoleh ke belakang, menatap para siswa dengan pandangan menyelidik, menghela napas, menggelengkan kepalanya, lalu menghapusnya begitu saja. Setelah itu tanpa banyak bicara ia memulai pelajaran. Dari antusiasmenya saat mengajar, Tesla menduga guru tersebut kalah undian dalam rapat ketika memutuskan siapa-siapa saja yang mendapat jadwal mengajar di kelas tujuh.

Reaksi pertama Kripto ketika membaca tulisan di papan tadi adalah tertawa kecil seolah itu adalah hal yang lucu. Ia lalu menghampiri Tesla, kemudian menepuk pundak Tesla tanpa berkata apa-apa. Dan seperti biasa Kripto memulai paginya dengan menghabiskan delapan bungkus coklat batangan.

Sementara itu, Indra cuma mengangkat alisnya. Ia lalu melangkah menuju tempat duduknya di belakang Tesla. "Sudah dimulai rupanya," komentarnya singkat. Yang dijawab Tesla dengan anggukan yang sama singkatnya.

Mario adalah satu-satunya siswa yang punya keinginan untuk menghapus tulisan itu. Ketika ia maju ke depan kelas dan mengambil penghapus, hampir semua siswa memandangnya tajam, dan akhirnya sambil menggumamkan sesuatu yang tidak jelas ia kembali ke tempat duduknya di hadapan Tesla. Di sana ia membalikkan badan, membuka mulutnya, mencoba mengatakan sesuatu pada Tesla, tapi entah mengapa kemudian mengurungkannya dan sekali lagi menggumamkan sesuatu, sepertinya menggunakan bahasa ibunya.

Tesla sendiri tak yakin harus menunjukkan ekspresi seperti apa, karena eksperesi macam apapun tampaknya cuma akan memperkuat persepsi negatif siswa yang lain pada dirinya.

Jika ia menunjukkan wajah muram, sedih, kecewa, orang-orang akan menganggap bahwa dirinya memang bersalah dan tak punya cukup keberanian untuk mengakui hal tersebtu.

Jika ia tak menunjukkan ekspresi apapun, orang-orang akan menganggap dirinya tak tahu malu, penjahat yang sudah sering melakukan tindak kriminal dan menerima hukuman sehingga akhirnya jadi terbiasa.

Dan jika ia tersenyum, orang-orang akan meletakkannya di jajaran yang sama dengan Hannibal Lecter, (beberapa nama psikopat), dan kumpulan psikopat lainnya.

Apabila Stigma Negatif telah terbentuk, segala tanda yang muncul cuma akan memperkuat persepsi tersebut.

Sampai jam istirahat pertama, Tesla benar-benar tak bisa berkonsentrasi pada pelajaran yang diberikan para guru di depan kelas. Terlepas dari ketidak-antusiasan para guru yang mengajar, Tesla merasa tidak nyaman berada di dalam kelas tersebut. Ia seolah bisa merasakan belasan pasang mata bergantian menatap ke arahnya. Ia juga seolah bisa mendengar apa yang tengah dipikirkan siswa-siswa lain di dalam kelas.

Pecundang.

Benar-benar di luar perkiraan.

Sampah.

Mengecewakan duduk sekelas dengan orang semacam itu.

Tak tahu malu.

Dan ia yang menjadi ketua kelas.

Pengecut.

Aku mungkin lebih memilih bunuh diri.

Kau baca tadi?

PEMBUNUH

Tesla sungguh ingin menerangkan bahwa seandainya ia benar-benar bersalah sekalipun, ia sama sekali bukan seorang pembunuh, setidaknya tidak secara langsung. Kau tak bisa menyalahkan orang lain apabila seseorang membunuh dirinya sendiri. Tapi tentu saja ia tidak mungkin mengatakan hal tersebut, tanpa membuat dirinya lebih dibenci.

Yang lebih buruk adalah relativitas waktu. Dalam kondisi yang tidak menyenangkan, waktu seolah melambat. Berkali-kali Tesla melihat jam dinding di atas papan tulis dan bertanya-tanya apakah benda itu tidak rusak.

Namun pada akhirnya bel tanda istirahat pun berbunyi juga.

Tesla menarik napas panjang lalu menyelonjorkan tubuhnya di atas meja. Ia lelah. Rasanya ingin mati saja. Satu-satunya hal yang ia inginkan adalah berada di dalam kamar apartemennya yang nyaman dan mengunci pintu rapat-rapat. Ia mungkin takkan pernah keluar dari kamar lagi.

Untunglah ia tak begitu mengenal akrab siswa-siswa di kelasnya, sehingga walaupun tak nyaman kondisinya bisa dibilang cukup baik-baik saja. Jika kondisinya tetap seperti ini, Mungkin ia bisa bertahan hidup.

Kripto pergi ke kafetaria. Indra memilih meminjam buku catatan Tesla, kemudian membandingkannya dengan buku catatan miliknya, sambil sesekali menanyakan sesuatu yang dianggapnya kurang jelas. Tesla cuma berharap bel tanda pulang segera berbunyi.

"Hulo, Ketua, Avis!"

"Hulo juga Mario," jawab Indra tanpa mengalihkan perhatiannya dari buku catatan miliknya.

Tesla mengangkat wajahnya, memandang Mario, menarik napas panjang, lalu kembali menelungkupkan wajahnya di atas meja. Tak perlu ikut les bagaimana membaca bahasa tubuh untuk menterjemahkan hal tersebut. Secara kasar apa yang dilakukan Tesla barusan dapat diartikan: "Oh kau, ada perlu apa? Tidak, tak usah teruskan, aku tak peduli, jangan pedulikan aku."

Tapi mungkin karena Mario seorang blasteran ia tampaknya tak menegrti isyarat yang diberikan Tesla tadi. Ia duduk begitu saja di bangku sebelah Tesla lalu mengeluarkan bekal makan siang yang baru saja ia dapatkan dari kafetaria: Kari Ayam Extra pedas dan susu kambing, benar-benar perpaduan yang unik.

"Ketua tidak makan siang?"

Tesla mengerang, mengeluarkan semacam suara tak jelas, yang secara universal dapat diartikan: "Tidak", "Mungkin Nanti", atau "Apa urusanmu?"

Mario tersenyum getir lalu mulai makan. Tapi setelah sendokan kedua, ia kembali bertanya pada Tesla, "Ketua baik-baik saja?"

Tesla tak menjawab, tapi hal itu pun bisa dengan mudah diartikan, "Seperti yang kau lihat, Bung. Aku 'baik-baik' saja."

"Menurutku hal itu keterlaluan."

Tesla menyerah, ia mengangkat kepalanya, lalu duduk dengan tegak. Saat itu Kripto telah kembali ke dalam kelas dengan satu kantong pelastik berukuran sedang penuh dengan makanan. Di luar dugaan, dia mengangsurkan pada Indra dan Tesla, masing-masing, sekaleng minuman kaleng.

"Thanks, Piggy," kata Indra.

"Terima kasih Kripto," sahut Tesla tidak bersemangat. Ia segera membuka minuman kaleng itu dan meneguk isinya. Rasanya mengerikan, seperti susu yang sudah kadaluarsa, yah ia memang tak terlalu suka dengan susu fermentasi, tapi hal itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

"Kau tak bawa bekal?"

"Tidak, Kripto, aku kesiangan pagi ini."

"Sayang sekali, kupikir kita bisa tukar makan siang lagi." Kripto meraih sebungkus sandwich dari dalam kantung belanjaannya. Tesla baru berpikir bocah gemuk itu akan menawarkannya pada Indra dan dirinya, seperti barusan, ketika Kripto dengan tenang membuka bungkusnya lalu memasukkannya ke dalam mulutnya.

"..." Mario, entah kenapa, menunjukkan ekspresi tidak senang, tapi ia tak mengatakan apa-apa dan kembali menghabiskan kari ayam ekstra pedas miliknya. Tak berapa lama kemudian, setelah meneguk tetes terakhir susu kambingnya, Mario bertanya pada Tesla, "Ketua akan melakukan apa?"

"Apa?" Tesla balik bertanya.

Kripto menyeruput susu fermentasi rasa wortel kalengannya, lalu menganggukkan kepalanya setuju. "Ya, apa yang akan kau lakukan?"

"Apa?" tanya Tesla lagi, ia merasa sepertinya ia tidak berada di gelombang yang sama dengan kedua anak tersebut.

Indra menutup bukunya, lalu menatap Tesla dengan tatapan yang... (sejak kapan Indra meniru Bu EYD?). "Maksud mereka, apa yang akan kau lakukan terkait tulisan tadi pagi?"

Tesla mengangkat bahu kemudian balik bertanya, "Menurut kalian apa yang bisa kulakukan?"

"Lapor guru?"

Seperti yang sudah diduga, saran sekonyol itu cuma mungkin keluar dari mulut Mario. Kali ini bukan hanya Tesla yang memandangi bocah keriting itu dengan tatapan kasihan, Indra dan Kripto pun menarik napas panjang, dan pembicaraan itupun berakhir begitu saja.

"Sebenarnya apa sih yang terjadi?"

Beberapa saat kemudian Mario kembali bertanya, entah pada siapa. Dan Kripto pun dengan senang hati menjelaskan.

"Begitulah, kisah yang beredar, meski mungkin kau bakal dapat versi yang berbeda jika berhasil membuat Tesla buka mulut."

"Tidak, terima kasih," jawab Tesla sambil kembali menselonjorkan tubuhnya di atas meja.

...