Iluminasi Angan:Volume01 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

1st Story

Namaku Sam. Umurku sepuluh tahun. Dan aku suka berada di dalam kamarku yang gelap ini.

Sumber cahaya satu-satunya yang ada hanyalah layar komputer yang menyala. Hobiku menjelajah internet. Kadang main game online. Kadang menonton film. Kadang sekedar mendengarkan lagu.

Makanan selalu tersedia untukku. Mie instan, sih. Tapi cukup bagiku. Ayah juga tak pernah memarahiku. Bahkan dia lah yang selalu membawakanku makanan, begitu juga yang memasangkan komputer.

Aku sama sekali tak punya keinginan untuk keluar dari surgaku ini.

Saat ini, aku tengah bermain Sword Card Online, permainan berbasis internet dengan pemain yang masif. Cukup menarik. Aku bisa memainkannya selama dua belas jam sehari. Sampai terkadang lupa makan malam…

“…”

…Ngomong-ngomong, sekarang waktunya makan apa?

Aku bukannya penasaran. Bukan juga ingin menengok keluar. Hanya saja sudah menjadi kebiasanku—tidak, bahkan kurasa Ayah sering membuka gorden untuk mengecek apakah hari sudah petang atau masih terang. Tanpa berpikir untuk melihat jam terlebih dulu.

Dan kali ini aku tak sengaja melakukannya—sungguh, aku serius. Aku bahkan membenci cahaya matahari yang tiba-tiba menyilaukanku ini. Mana mungkin aku bohong?

Hmmm, jadi sekarang masih siang ya? Atau pagi? Yang jelas aku belum sarapan.

Setelah aku mengembalikan karakterku ke kota, aku beranjak dari sofa kesayanganku. Mencoba mencari makanan yang masih tersisa. Bahaya kalau aku meninggalkan karakterku sendiri di hutan. Bisa-bisa dia dibunuh oleh monster.

“…”

Kenapa tidak ada?

Plastik yang biasanya berisi mie instan rasa sup tomat pedas kali ini kosong. Apa aku salah plastik?

Masih tidak ada. Semuanya sampah, dan aku bukan pemakan sampah. Lalu aku harus makan apa?

Walaupun aku sering bermain game, tapi aku pasti makan. Tidak, lebih tepatnya aku harus makan. Kalau aku tidak makan, aku akan lapar. Lama-lama aku bisa mati. Kalau aku mati aku tak akan bisa bermain lagi, kan?

Itulah kenapa aku merasa kecewa sekarang.

Aku merasa terancam. Tak ada makanan. Istilahnya No Food, No Game. Ahahah, biacara apa aku ini?

Apa boleh buat, mungkin aku harus menunggu Ayah kembali. Saatnya kembali bermain.

“…”

Ya ampun, bodohnya diriku. Ayah kan pulangnya sore!

Aku tak mungkin menunggunya selama beberapa jam dengan perut keroncongan. Kalau lapar, biasanya aku pusing dan karakterku akan mati karena aku tidak bisa berkonsentrasi.

Apakah ada solusi lain?

“…Ah!”

Lagi-lagi, aku—sungguh tak sengaja—mengintip dari balik gorden.

Tanganku selalu bekerja lebih cepat, refleks, mencari cara untuk bisa mendapatkan makanan.

Karenanya aku menengok keluar. Melihat penjual roti coklat di luar sana. Dia sedang melayani seorang anak cewek yang kurasa seumuranku. Oh, dia membeli roti bakar.

Setelah melipat sebuah roti tipis yang sudah dioles dengan coklat Nubella—merk terkenal yang sering disebut di internet—penjual itu membakar roti tersebut menggunakan mentega. Baunya tercium sampai kamarku. Gurihnya menyengat hidung, manisnya membuat air liurku keluar.

Kelihatannya enak sekali.

“?”

Ah, sial! Cewek itu melihatku!

Dengan cepat, aku langsung menutup gorden dan bersembunyi di bawah meja. Tak lupa aku menarik kursi untuk lebih menyembunyikanku lagi.

Dia melihatku, kan? Dia memang melihatku, kan? Dia pasti melihatku. Ya, mata kami tadi bertemu. Aku yakin tadi tidak salah lihat!

“Ah…”

Apa yang aku lakukan?

Aku kan sudah menutup gorden. Kenapa aku harus bersembunyi di bawah meja? Benar-benar bodoh. Dia kan tak mungkin bisa melihatku dari—

“Permisi!”

“—Aduh!”

Terkejut mendengar ketukan pintu yang diiringi dengan teriakan itu, aku mendadak berdiri dan kepalaku membentur meja. Lalu tersungkur di lantai seraya mengusapnya seolah hanya dengan itu aku masih bisa sadarkan diri.

Sakit sekali! Kepalaku pasti benjol dan warnanya merah!

“Permisi! Ada orang, kan? Aku dengar ada suara ‘aduh’ tadi.”

Dan sialnya, dia mendengarku. Ah, suara itu… suara cewek? Jangan-jangan—

“Permisi! Aku tahu ada orang di dalam.”

—cewek yang beli roti tadi!

Mengintip dari lubang pintu, aku melihat dia juga melakukan hal yang sama. Seolah dirinya mampu melihatku. Hei, bahkan tingginya saja tak sampai! Apa dia bodoh?

Tapi apa yang harus kulakukan? Apa lebih baik aku pura-pura saja?

“Me-Meong~” suaraku mencoba menirukan kucing.

“Ah, kucing ya ternyata,” respon cewek kecil berambut ekor kuda itu. “Tapi aneh juga. Apa kucing bisa mengaduh?”

Terima saja tipuanku dan lekas pergi dari sini! Kamu tak perlu berpikir sambil meletakkan telunjuk di pipi seperti itu juga kali!

“Umm… ya sudahlah. Mungkin memang kucing.”

Lalu aku mendengar langkah kakinya terdengar menjauh. Dia sudah pergi kan? Aku harus memastikan dia sudah pergi!

“Ba!”

“Wah!”

Saat aku mengintip, tiba-tiba dia muncul dari bawah dan melompat. Menunjukkan wajahnya yang dijelekkan pada lubang pintu. Membuatku kaget dan tak sengaja berteriak. Aku terjatuh dengan bunyi berisik karena aku menduduki tas plastik.

“Nah kan, ada orang di dalam! Buka dong!”

Anak ini benar-benar keras kepala… dan juga iseng sekali.

Aku hanya bisa menggaruk kepala dan menghela napas. Lalu membuka pintu dan menghadapi matahari—bukan, tetapi cewek pendek yang masih mengenakan baju sekolah itu.

Dari dahinya mengalir keringat, karena panas terik kurasa. Matanya begitu bulat hingga aku sempat mengiranya sebagai kelereng. Dengan sedikit membentak, aku berkata. “Ada apa?!”

Tapi dia sama sekali tidak takut.

Tunggu, apa iya dia tahu apa itu ‘takut’?

Dari awal, anak ini tiba-tiba mengetuk pintu rumah dan memaksaku keluar. Dia berkacak pinggang dengan dada yang dibusungkan. Napasnya memburu, kemudian membalas dengan mantap.

“Akhirnya kamu keluar juga!” Sebelum kemudian mengulurkan tangannya padaku. “Ini! Kamu mau ini, kan? Ambil!”

“… Ha?”

Aku terlongong dibuatnya. Tangan kecil itu membawa sesuatu berwarna putih. Plastik kurasa. Dan dari dalamnya mengeluarkan wangi yang membuat air liurku kembali keluar.

Ah, ini pasti roti bakar.

“Aku kasih ini. Kamu lapar, kan?” katanya.

“Kenapa kamu kasih aku makananmu?”

“Karena kamu lapar. Masa gitu aja tanya, sih?!”

“A-Aku memang lapar. Tapi ini kan makananmu. Kenapa dikasih ke aku?!”

Apa dia bodoh?

“Ih, bandel banget ini anak!”

“Kamu yang bandel, dasar boncel!”

“Bo-boncel? Kamu ngatain aku apa tadi?!”

“Boncel! Dasar cebol!” ulangku penuh emosi.

“Uuuhh!”

Kami saling mengepalkan tangan dan beradu pandang. Bisa kulihat cewek itu menggigit bibir seolah menahan diri untuk tidak menonjokku.

Aku sendiri hanya menggertak saja.

Aku sama sekali tidak pandai berkelahi. Untung dia cewek. Jadi aku bisa sedikit tampak galak tanpa memukulnya.

Kalau dia cowok, pasti sekarang aku sudah bonyok.

Tapi entah Tuhan sedang ingin membuatku malu atau perutku sudah tak bisa diajak kompromi. Yang jelas, bunyi keroncongan menengahi pertikaian kami.

Bisa kurasakan wajahku perlahan semakin hangat.

“Tuh, kan! Kamu beneran lapar!”

“…I-Iya, aku lapar.”

Tanpa berkata lagi, cewek itu melemparkan tas plastiknya padaku. Aku cukup kesulitan menangkapnya, tapi untung saja tidak jadi jatuh. Karenanya aku hendak mengeluh. Namun ternyata, cewek itu sudah keluar dari pagar rumah.

Membelakangiku, dia mengangkat dagu seraya sedikit menoleh. Melirikku dan berkata.

“Aku Likia! Siapa namamu?”

Sejenak, aku terpana melihatnya.

… Malaikat, kah?

Apa lehernya baik-baik sa—ma-maksudku, kalau dipikir-pikir wajahnya manis juga.

Rambut ekor kudanya yang mengayun pelan menyebarkan wangi jeruk yang bahkan mampu mengimbangi roti coklat yang kubawa ini. Lehernya sangat putih, dengan bulir keringat yang meluncur disana.

Lalu dia mengerutkan alis, membuatku tersadar kalau aku belum menjawab pertanyaannya.

“Na-Namaku Sam!” seruku tanpa bisa memikirkan kalimat lanjutan lain.

Dia tersenyum.

“Oh, Sam ya? Kalau begitu, salam kenal!”

Ya, aku hanya terdiam. Berdiri tanpa suara. Membalas lambaian tangan cewek itu—Likia—yang tak lama kemudian menghilang dari pandanganku. Berpeluh keringat karena panasnya terik matahari.

Terbungkam oleh pesonanya.

Berpikir, berangan-angan, berharap, kalau dia datang lagi besok.


Dan semuanya terkabul bak keajaiban, aku sendiri kaget dibuatnya.

Likia tiap hari akan selalu membeli roti bakar dan mengetuk pintu rumah. Dia akan selalu menggangguku bermain dan berbicara akan banyak hal.

Mulai dari betapa luasnya pantai, betapa besarnya pesawat, betapa panjangnya kereta, dan betapa tingginya gedung pencakar langit. Aku hanya bisa tersenyum masam tiap kali mendengarnya bercerita.

Kenapa?

Mudah saja, itu karena aku tidak keluar dari rumah.

“Aku masih heran kenapa kamu suka banget disini. Di luar banyak hal menarik, loh!”

“Bi-Biarin! Bukan urusanmu juga, kan?!”

“Tapi aku pengen main di luar sama kamu…” ujarnya tampak jujur, dengan wajah memelas.

Aku tak ingat sejak kapan Likia selalu menempel padaku seperti ini. Bahkan aku tak merasa ingin mengingatnya. Yang terpenting saat ini, dia bersamaku.

Meski dia sering mengeluh. Meski dia jahil. Meski dia selalu mengejekku.

Tapi bukti kehadirannya setiap hari di kamar ini, bagiku sudah lebih dari cukup. Atau…

“Ayo ke taman!”

…aku harap selamanya begitu.

Tiba-tiba Likia berseru demikian. Ini bukanlah yang pertama. Dia hampir selalu mengajakku keluar rumah tetapi aku tolak terus.

Alasannya?

Aku tak tahan berada di luar rumah.

Rasanya seperti tersesat, meski aku bersama banyak orang. Bahkan aku akan merasa asing, berada di dunia yang belum pernah kupijaki. Aku tak menyukai itu. Apapun jadi tampak kabur di mataku. Lalu aku tak mengenali siapapun, bahkan Ayah. Aku hanya bisa melihat jalan yang berjarak beberapa langkah saja. Sisanya putih. Seolah dunia meninggalkanku sendiri dalam keasingan.

Mungkin itu semua berkat ibuku. Yang meninggalkanku begitu saja di tengah keramaian.

“Jaga dirimu baik-baik ya, Nak,” adalah pesan terakhirnya.

Aku bahkan tak tahu apa yang harus kujaga, terlebih bagaimana caranya. Aku hanya bisa menangis, dan mencoba mengejarnya. Tapi percuma, saat itu aku masih berumur dua tahun. Sekali saja terjatuh, ibu sudah tak tampak lagi di pandanganku.

Heheh… bagaimana mungkin tampak? Mataku dibanjiri air.

Semua tampak kabur.

Aku tidak bisa melihat dengan jelas wajah seorang satpam yang menolongku. Aku tak bisa mendengar pertanyaannya di tengah tangis dan keramaian. Aku tak mampu memandang apapun dengan jelas.

Itulah mengapa, aku tidak ingin keluar rumah.

Aku sudah berulang kali menjelaskan semua itu pada Likia. Dan selalu tak dia pedulikan.

“Nggak!”

Karena itu aku menolaknya lagi, membuat air matanya keluar. Kenapa sekarang dia menangis?

“Sam bodoh! Aku kan… aku kan cuma mau… di hari spesial…” kata Likia sedikit tersendat, sebelum kemudian berteriak. “Pokoknya Sam bodoh!”

“A-Apa maksudmu?!”

Tak menjawabku, Likia berlari keluar rumah dan menghilang diterpa dunia. Hanya jejak air matanya saja yang mampu kulihat. Sisanya adalah kehampaan, di mana aku tak bisa mengejarnya.

Tapi, kenapa dia sampai sebegitunya menangis? Hari spesial apa yang dia maksud? Dasar cengeng!

Aku sudah terlanjur jengkel. Berusaha mengalihkan pikiran, aku kembali melanjutkan bermain game.

Ya, inilah aku. Inilah diriku, siapa aku, tempatku berada. Dunia luar tak cocok denganku. Aku tak peduli kalau tidak bisa melihat kereta, pesawat, gedung, atau bahkan gunung. Toh di internet banyak gambar yang bisa kunikmati.

Semua pemandangan itu ada disini, dalam surga kamarku.


—Namun semuanya terasa semu ketika malam datang, dan Ayah membawakanku kue ulang tahun.

Saat itu juga aku tersadar, apa maksud dari ‘hari spesial’ yang dikatakan Likia.

Tidak… seharusnya aku segera menyadari ini, sebelum semuanya terlambat.


Aku mulai khawatir ketika esoknya, Likia tidak lagi datang ke rumah.

Apa dia marah? Dia pasti marah, kan? Ya, dia seharusnya marah. Sudah pasti dia marah. Aku yakin dia marah.

Aku bisa membayangkan dia berdiri sendiri di taman kota. Menungguku dengan sabar seraya menyembunyikan kado ulang tahun untukku. Ketika aku datang, awalnya dia akan cemberut. Lalu tersenyum, dan memberikan sesuatu yang spesial di hari itu.

Tapi aku tidak melakukannya, dan kini menunggunya datang ke rumah. Kembali padaku.

Dua hari terlewat, tak ada suara langkah kaki ringan lagi yang selalu mengusikku.

Lima hari terlewat, tak ada lagi yang membeli roti bakar di depan rumah dan memberikannya padaku.

Dua minggu terlewat, tidak ada lagi dia—Likia—seseorang yang sebulan penuh menemani hari-hari sendiriku.

Karena semua yang kubayangkan, ternyata hanyalah imajinasi belaka.


“Apa benar ini rumahnya Sam?”

Saat aku mendengar ketukan pintu—berharap Likia lah yang ada di baliknya—aku malah berhadapan dengan seorang pria paruh baya yang membawa kantong plastik, bertanya demikian.

Aku hanya bisa mengangguk dalam kebingungan. Namun hanya sesaat saja setelah dia—

“Saya Ayah Likia. Maaf datang terlambat. Tapi aku mohon terima ini. Sepertinya Likia ingin menghadiahkan ini untukmu.”

—memberikanku sebuah kado yang sedikit penyok dan tampak kusam.

Aku menerimanya, dengan kepala dipenuhi oleh pertanyaan.

Mengapa?

“Kalau begitu, saya pamit dulu. Terima kasih sudah menjadi teman anak saya selama ini.”

Mengapa?

Mengapa dia berkata seperti itu?

Mengapa dia yang memberikan hadiah untukku?

Mengapa Likia tidak memberikannya padaku langsung?

Mengapa…

“…Mengapa Likia ngga datang lagi ke sini?” adalah yang akhirnya keluar dari mulutku.

Aku menatap lurus mata pria paruh baya itu, berharap mendapatkan jawaban yang memuaskan.

—Meski aku tahu jawabannya.

Dia tampak kebingungan, menggaruk kepala. Lalu menghapus keringat. Wajahnya memucat, seolah tak mengerti harus berkata apa. —Meski aku tahu jawabannya.

Hingga pada akhirnya dia berkata bahwa Likia mengalami kecelakaan dan meninggal di tempat. Aku yang tak bisa menerimanya hanya berteriak histeris dan mengusirnya. Menyangkal semua dari apa yang ayahnya katakan.

—Meski aku tahu… kenyataannya.


Sangat berat bagiku menerima realita.

Aku tak tahu harus berbuat apa untuk bisa mengembalikan keseharian bersama Likia. Aku tak tahu harus berbuat apa agar bisa meminta maaf pada Likia. Aku tak tahu harus berbuat apa supaya sanggup menjalani lagi kehidupan yang selalu kusebut sebagai ‘surga’ itu.

Ah… tidak. Mustahil. Apa yang aku harapkan?

Keseharianku sudah tercemar oleh Likia. Aku lupa bagaimana rasanya menghabiskan hari sendirian. Aku tak sanggup terdiam lama tanpa candaan dan ejekannya. Aku tak mampu lagi melakukan semua hal yang pernah kujalani bersamanya.

Tanpa kusadari, aku sudah berhenti bermain game.

Tanpa kusadari, aku sudah berhenti berdiam diri di dalam rumah.

Tanpa kusadari…

“…”

…aku sudah berdiri di taman kota.

Semua tampak jelas kembali di mataku. Putihnya dunia mulai terhapus oleh keputusasaanku. Menyerpih, dan menampakkan ‘keindahan’ yang selalu dipamerkan oleh Likia. Beratnya langkahku sudah berubah menjadi rasa ingin tahu.

… Ya.

Aku ingin tahu, seperti apa perasaan Likia saat menungguku sendirian disini.

Aku ingin tahu, pemandangan apa yang dia lihat ketika kedinginan berdiri sendirian disini.

Aku ingin tahu, apa yang dia harapkan, apa yang dia bayangkan, tentang hari spesial yang dia tujukan padaku.


Aku ingin… mengetahui semua yang Likia ingin aku rasakan.