Seven:Volume00 Chapter01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Prolog

Nama :__________

Judul :Cita-citaku


Ketika aku dewasa, aku ingin menguasai dunia.

Aku akan mendapatkan apapun yang aku inginkan.

Es krim, kue, permen, mobil-mobilan, pesawat-pesawatan juga robot-robotan.

Kemanapun aku pergi semuanya akan takut padaku.

Orang-orang yang tak kusukai akan kutaruh di kutub utara.

Orang-orang yang melawan akan kuhancurkan.

Aku akan membangun istana yang megah.

Aku akan mengelilingi dunia.

Prajurit-parjuritku jumlahnya seratus ribu ribu.

Aku juga akan punya naga.

Juga penyihir.

Juga hantu.

Juga monster.

Mereka semua patuh padaku.

Aku akan memulai peperangan.

Mula-mula Xanadu.

Lalu Shangrila.

Kemudian Mu.

Dan Atlantis.

Semua benua akan kukuasi.

Perangnya tak akan lama.

Aku akan menguasai dunia,

(Tugas Mengarang kelas 2 SD, yang tak sempat dikumpulkan, karena tertinggal di rumah.)

BAB 1

Pada awalnya semua baik-baik saja. Tentu saja ada masalah, semua orang mengalaminya, tapi bukan sesuatu yang perlu dibesar-besarkan. Setelah beberapa saat, semuanya akan kembali seperti semula. Hal tersebut mungkin karena dulu ia masih anak-anak dan tinggal di desa yang bisa dibilang cukup terpencil dimana orang-orang hidup dalam kedamaian.

Semuanya mudah. Semuanya sederhana. Semuanya menyenangkan. Dan Tesla sempat berpikir dalam keadaan seperti itulah ia akan menghabiskan sisa hidupnya. Ia terlalu naif.

Kemudian masalah muncul. Masalah yang tak pernah ia duga akan terjadi.

Orang tuanya bercerai.

Lalu sementara sang adik pergi bersama ibunya, ia, mengikuti ayahnya pindah ke kota kelahiran ayahnya. Disana mereka tinggal berdua. Tapi tak lama, Ayahnya yang tiba-tiba menjadi seorang workaholic mendapatkan promosi ke luar negeri.

Saat itu ia mungkin seharusnya pergi bersama ayahnya, maka semuanya tak akan menjadi seperti saat ini.

Tentu saja ia tak melakukannya. Ia memilih menerima tawaran pamannya, adik ayahnya, untuk tinggal bersama keluarga mereka.

Tapi bahkan sampai saat itu, semuanya masih terasa wajar-wajar saja. Ia baru saja lulus sekolah dasar, dan sangat bersemangat masuk ke sekolah menengah. Ia tidak ingin menyombongkan diri, tapi rasanya ia cukup berbakat dalam kegiatan akademik, selain olahraga tentunya.

Lalu semuanya berubah buruk.

Kadang Tesla penasaran bagaimana ia bisa menahan diri dari keinginan untuk segera mengakhiri hidupnya.

Di penghujung tahun pertamanya di Sekolah Menengah, untuk pertama kalinya, orang-orang memanggilnya pecundang, sampah, tak berguna. Tentu saja tidak secara langsung, tapi kadang ekspresi, gerak tubuh, sorot mata, bisa mengungkapkan lebih banyak hal daripada sekedar kata-kata.

Setelah itu tak ada seorangpun yang peduli padanya, hampir. Siswa yang lain membencinya, Tesla berusaha keras agar ia tidak membenci mereka, sementara guru-guru memilih mengabaikannya, toh ia tak banyak membuat masalah.

Dua tahun berikutnya adalah neraka.

Setelah lulus Sekolah menengah, dengan hasil yang, kalau boleh jujur, sebenarnya cukup memuaskan (walaupun tak ada seorangpun yang peduli akan hal itu), Tesla memutuskan pindah ke kota lain, menyewa kamar di sebuah apartemen, dan tinggal seorang diri, memulai dari awal lagi. Bukan hal yang rumit, Ayahnya, yang telah menikah lagi di luar negeri, mengirimkan uang lebih dari cukup setiap bulannya dan Pamannya walaupun enggan akhirnya mengizinkannya pindah. Tesla sebenarnya tak keberatan tinggal bersama pamannya, tapi akhirnya ia muak juga dengan sikap bibi dan sepupunya padanya.

Satu-satunya masalah adalah Tesla belum belajar untuk mengambil pelajaran dari masalah yang pernah ia alami.

Pepatah mengatakan: "Hanya Keledai yang Jatuh Dua Kali di Lubang yang Sama"

Dan Tesla tak pernah lagi memandang rendah seekor keledai.

---

Meskipun kegiatan sekolah dimulai pada pukul 07.30, sekitar pukul lima, Tesla telah terbangun dari tidurnya. Sebuah kebiasaan, karena saat ia masih duduk di sekolah menengah ia mesti sudah berangkat sebelum jam enam, naik angkutan umum, agar tak terlambat. Dan kini, meski dengan bersepeda tak sampai setengah jam ia sudah sampai ke sekolah, Tesla tak pernah berpikir untuk mengubah kebiasaannya.

Bukan masalah suka atau tidak suka, walau sebenarnya, dalam hatinya, Tesla berharap hari ini takkan pernah tiba.

Seandainya es di kutub tiba-tiba saja mencair seluruhnya.

Seandainya muncul lubang pada lapisan ozon di atas kota tempat tinggalnya.

Sendainya sebuah meteor jatuh dan menimpa sekolahnya.

Sendainya dia sakit parah sehingga tak bisa pergi ke sekolah.

Sendainya dia tiba-tiba saja mati.

Tentu saja tak satupun dari hal itu yang terjadi.

Mungkin seharusnya dia mempertimbangkan tawaran ayahnya saat itu:

"Seorang laki-laki takkan lari dari masalah, tapi aku takkan mempermasalahkan kalau kau berubah pikiran dan ikut bersamaku."

Walau rasanya aneh mendengar ayahnya mengatakan hal semacam itu.

Seseorang yang bercerai dengan istri yang telah dinikahi lebih dari sepuluh tahun.

Lalu menjadi workaholic.

Lalu pergi ke luar negeri.

Lalu menikah lagi.

Dengan Janda.

Dan tiba-tiba saja Tesla mendapat seorang adik lagi. Dua atau tiga tahun lebih muda darinya, gadis yang kata ayahnya sangat mirip dengan ibu tiri Tesla, walau dari foto yang ia dapatkan, adik tirinya itu mungkin lebih mirip dengan siapapun yang dulu menjadi suami pertama ibu tiri Tesla.

Tesla pergi ke kamar mandi, mencuci muka, menyikat gigi, minum segelas air, dan ia masih punya cukup waktu untuk sekedar lari pagi. Kebiasaan baru yang ia lakukan setelah masuk ke sekolah atas, paling tidak ketika cuacanya bagus dan ia tidak bangun kesiangan.

Rutenya selalu sama. Keluar dari apartemen, ambil jalan ke kiri, ke arah barat. Pada pertempatan pertama, belok ke kiri, perempatan berikutnya, belok ke kiri, perempatan berikutnya, belok ke kiri, sampai ke taman. Istirahat sejenak. Setelah itu lanjut berlari, pada perempatan berikutnya, belok kanan, perempatan berikutnya, belok ke kiri, perempatan berikutnya, belok ke kiri, dari situ perlambat laju lari, berjalan, terus sampai tiba kembali ke apartemen. Total waktu yang dibutuhkan sekitar 50-an menit. Total jarak yang ditempuh sekitar dua kilometer. Total energi yang digunakan... Untuk yang satu ini Tesla tak pernah menghitungnya, toh berat badannya tetap berada pada interval 47-51 kg, dan dengan tinggi 161 cm rasanya tak ada masalah dengan hal itu.

Terakhir kali Tesla bertemu langsung dengan ayahnya adalah empat bulan yang lalu, ketika lelaki tua itu tanpa bertanya apa-apa mengambil cuti dari pekerjaannya untuk memenuhi panggilan pihak sekolah terkait dengan masalah yang dialami Tesla. Ayahnya tak pernah menceritakan bagaimana pertemuannya dengan dewan guru, ia cuma mengatakan semuanya sudah beres, walau Tesla tetap harus menerima hukumannya. Dan saat itulah Ayahnya memberikan tawaran tersebut.

Tapi bagi Tesla itu lebih mirip sebuah tantangan. Dan ia memilih tetap tinggal sendiri. Hal yang kini sedikit ia sesali.

Kecuali pada hari libur, di daerah tempat tinggal Tesla, tak banyak orang yang keluar rumah di pagi hari untuk berolah raga. Paling tidak setahun ini, pada hari biasa, yang cukup rutin ditemui Tesla ketika ia lari pagi adalah:

  • Tukang Koran.
  • Ibu-ibu dan atau pembantu rumah tangga yang pergi berbelanja.
  • Tukang susu.
  • Ibu-ibu, atau pembantu rumah tangga yang sedang membuang sampah.
  • Tukang sampah.
  • Beberapa pengendara sepeda yang tidak ia kenal..
  • Dan Johan (Anak kelas lima, enam, tahun ini, yang tinggal tak jauh dari apartemen Tesla).
  • Dan John (Anjing jenis xxx peliharaan Johan)
  • Dan Burung-burung.
  • Juga Socrates, Aristoteles, dan Plato (Bukan nama sebenarnya, Bukan Manusia juga)


Diantara semuanya, hanya burung-burung yang hampir pasti berpapasan jalan dengan Tesla tiap kali ia lari pagi.

Pukul enam kurang sedikit, Tesla telah kembali ke apartemennya, basah kuyup oleh keringat dan lumayan kelelahan. Beberapa saat kemudian, setelah minum beberapa gelas air dan memastikan ia tidak lagi berkeringat, Tesla mandi, kemudian berganti pakaian, seragam sekolah yang sudah beberapa bulan tidak pernah keluar dari lemari, lalu mempersiapkan sarapan dan bekal makan siang: omelet plus tumisan sayur.

Tidak bermaksud sombong, tapi sejak tinggal seorang diri, kemampuan memasak Tesla boleh dikatakan cukup meningkat seiring bertambahnya koleksi buku resep makananannya. Ia bahkan bisa membuat beberapa jenis kue.

Pelan-pelan Tesla menghabiskan sarapannya. Masih ada waktu.

Bisa saja es di kutub tiba-tiba saja mencair seluruhnya.

Bisa saja muncul lubang pada lapisan ozon di atas kota tempat tinggalnya.

Bisa saja sebuah meteor jatuh dan menimpa sekolahnya.

Bisa saja dia sakit parah sehingga tak bisa pergi ke sekolah.

Bisa saja dia tiba-tiba saja mati.

Bisa saja... waktunya habis, pukul tujuh kurang lima belas menit, sudah saatnya ia berangkat ke sekolah.

Terakhir kalinya, Tesla memandang dirinya di depan cermin, memastikan penampilannya sudah cukup rapi. Wajahnya muram. Ia mencoba tersenyum, tapi jadinya malah aneh. Setelah menghela napas panjang ia pun tanpa semangat berjalan keluar.

Dua puluh tiga menit kemudian, Tesla sudah memarkir sepeda miliknya di tempat yang disediakan oleh sekolah, sesuai peraturan, para siswa tidak diperkenankan membawa kendaraan bermotor ke sekolah, walaupun salah satu warung di dekat sekolah tak keberatan jika ada siswa yang menitipkan sepeda motor dengan imbalan sewajarnya. Pihak sekolah tentu saja mengetahui hal itu, walau memutuskan tidak akan mengambil tindakan apa-apa selama sang siswa tidak membawa kendaraannya itu ke sekolah.

Peraturan lain yang tidak terlaksana dengan baik adalah larangan untuk membawa alat elektronik yang lebih canggih dari kalkulator. Kini, hanya satu dari sepuluh siswa yang tidak membawa HP, beberapa karena memang tidak memiliki cukup uang sementara lainnya karena tidak merasa hal itu sesuatu yang penting. Tesla sendiri memiliki HP, tapi memilih tidak membawanya ke sekolah, ia membelinya agar bisa dengan mudah mengirim dan menerima pesan pada ayah atau pamannya. Banyak juga siswa yang membawa Notebook ke sekolah, walau yang terakhir sama sekali tak boleh digunakan selama jam pelajaran.

Hari ini tahun ajaran baru di mulai. Semua siswa lama, maupun baru, tampak sibuk, mencari kelas, berbincang-bincang dengan antusias tentang hal-hal yang dilakukan selama liburan, tentang siapa yang menjadi teman sekelas, tentang siapa kira-kira yang akan menjadi wali kelas mereka, tentang kegiatan klub, tentang kisah-kisah asmara dan gosip terbaru (dilakukan para siswi), tentang cewek-cewek yang baru masuk (yang ini dilakukan para siswa), melakukan hal-hal yang menurut Tesla cukup membosankan. Sisi baiknya, tidak ada seorangpun yang memperhatikan Tesla ketika ia menyelinap masuk menuju ruang kelasnya.

Dan menurut surat pemberitahuan yang tertempel di papan pengumuman kelas barunya adalah...

"Sial."

Untuk setiap jenjang kelas, di sekolah Tesla, tersedia tujuh kelas dengan jumlah siswa pada masing-masing kelas antara 25-30 an. Meskipun demikian seperti pada kebanyakan sekolah negeri lainnya, secara umum ada tiga jenis kelas.

Yang pertama disebut kelas unggulan, tempat segala jenis orang-orang yang memiliki prestasi positif di berbagai bidang akademik, olah raga dan seni. Tidak cukup hanya itu, siapapun yang ingin duduk di kelas unggulan, juga mesti memiliki kepribadian baik, setidaknya menurut standar peraturan sekolah. Setiap tahunnya ada satu atau dua kelas unggulan di sekolah Tesla.

Yang kedua adalah kelas biasa, tempat kebanyakan rakyat jelata bertempat tinggal. Dan sesuai namanya, tak ada yang istimewa dari kelas ini.

Yang ketiga mungkin bisa disebut Twilight Zone.

Delapan puluh persen Nilaimu di bawah rata-rata, kau masuk ke Twilight Zone.

Presensimu di bawah batas, kau masuk ke Twilight Zone.

Pernah bermasalah dengan polisi, kau masuk ke Twilight Zone.

Obat-obatan terlarang, kau masuk ke Twilight ZOne.

Pelanggaran Peraturan sekolah level 3, selamat datang ke Twilight Zone.

Tesla tak percaya hal ini, tapi sebelum ia sadar ia sudah berada di depan kelas 7. The Twilight Zone.

Sebelum ada kesalahpahaman, perlu dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan mencolok antara tiap-tiap kelas yang ada. Tak ada kelas yang memiliki fasilitas khusus. Tak ada kelas yang siswanya membayar uang sekolah lebih mahal. Yang berbeda cuma siswa-siswa yang duduk di dalamnya, juga mungkin antusiasme guru-guru yang mengajar di sana.

Sebenarnya Tujuan Utama pembagian kelas (yang tidak resmi) tersebut, lebih kepada fungsi pembentukan lingkungan, Dan untuk Twilight Zone, ke arah fungsi isolasi. Kumpulkan anak-anak yang cerdas dalam satu kelas maka akan didapatkan lingkungan belajar yang optimal, kumpulkan masalah dalam satu kelas maka pengawasan akan lebih mudah dilakukan, terutama untuk mencegah masalah itu menyebar ke tempat lain.

Tesla masuk ke dalam kelas. Biasa-biasa saja. Sungguh. Tak ada satupun siswa yang ia kenal, dan sepertinya tidak ada seorangpun yang mengenalinya, setidaknya untuk saat ini. Mungkin kelas 7 tidak seburuk yang Tesla duga.

Sampai Tesla melihat dua sosok familiar di pojok ruangan.

Seorang siswa dengan perawakan hampir mirip dengannya namun dengan ekspresi wajah sinis dan siswa lain yang mungkin sepuluh cm lebih pendek dari Tesla yang karena bobotnya hampir dua kali lebih berat dari Tesla jadi terlihat lebih pendek dari seharusnya. Tesla melihat mereka dan mereka pun melihatnya.

"Yo!" si gemuk menyeringai sambil melambaikan tangannya, pada tangan yang satunya, ada sebungkus coklat yang sudah setengah dimakan, di atas mejanya, ada setengah lusin coklat yang tinggal bungkusnya.

Tesla balas menyeringai. Meski enggan ia pun berjalan menghampiri kedua siswa tersebut.

"Selamat pagi..." Tesla berpikir sejenak, "Indrasyah. Dan kau juga Piggy." Ia tidak terlalu akrab dengan kedua siswa tersebut tapi bagaimanapun keduanya cukup terkenal. Avis Indrasyah dan Piggy (bukan nama sebenarnya).

"Indra saja," balas siswa berwajah muram, "atau Avis. Kau Tesla kan?"

"Mungkin kau tak tahu tapi sekarang mereka memanggilku Kripto." Sahut siswa gemuk bermata sipit sambil tersenyum dan mengunyah coklat, "lumayan, daripada Piggy."

Tesla menganggukkan kepalanya, "Kripto?"

"Pelesetan dari Klepto," jelas Kripto sambil menghabiskan coklatnya, "kau tahu? Kleptomania? Tapi justru kayak diambil dari Cryptography."

"Oh."

"Nih kau boleh duduk di depanku atau Indra," lanjut Kripto sambil membuka bungkus coklatnya yang kedelapan.

Pilihan sulit. Sejujurnya Tesla lebih memilih duduk sejauh yang ia bisa dari kedua orang itu.

JANGAN MENCARI MASALAH !

Itu benar, tapi di saat seperti ini, Tesla tidak punya banyak pilihan, lagi pula setidaknya ia telah mengenal kedua siswa itu, terlepas dari betapa buruk reputasi mereka berdua.

Sepanjang pengetahuan Tesla, Indra setidaknya telah berurusan dua kali dengan kepolisian, keduanya karena perkelahian, yang terakhir sampai mematahkan lengan lawannya dan sukses membuatnya di hukum skorsing oleh pihak sekolah. Masih ada desas desus lain yang tidak bisa dipastikan kebenarannya, tapi berhasil membuat Indra terkenal sebagai siswa bermasalah. Banyak juga yang bilang salah satu penyebabnya adalah masalah ekonomi dalam keluarganya. Aneh juga bagaimana Indra bisa sampai masuk ke sekolah ini, yang bisa dibilang salah satu sekolah negri terbaik di wilayah tersebut.

Sementara itu Kripto, yang dulu dikenal dengan nama Piggy. Sebenarnya tidak cukup bermasalah, atau begitulah yang Tesla ketahui. Yah cuma ada desas-desus bahwa Kripto punya hobi mengambil tanpa izin barang-barang milik siswa lain. Selain itu, di kalangan para siswi, Piggy terkenal cukup jorok, dan rakus, dan bau, dan sedikit mesum, yang terakhir lebih karena sentimen negatif para siswi dan juga karena dia seorang otaku (terlihat dari konten dalam notebook yang biasa dibawanya). Meski demikian hal itu tetap saja tidak menjelaskan kenapa Kripto bisa sekelas dengan Tesla dan Indra.

Tesla memilih duduk di depan Indra. "Jadi kenapa kau disini?" tanyanya pada Kripto.

Kripto kembali menyeringai, kedua matanya jadi terlihat lebih sepit dari biasanya. "Aku mencuri... uhh menemukan soal dan kunci jawaban untuk Ujian Umum."

"Dia membobol bank data sekolah," jelas Indra.

"Cuma iseng," sanggah Kripto, sekali lagi ia mengambil sebungkus coklat dari tasnya, membuat Tesla bertanya-tanya berapa banyak coklat yang ia bawa dalam tasnya, "Keamanan jaringan di sini payah, siapapun bisa membobolnya."

"Kau ketahuan?" tanya Tesla lagi.

"Begitulah." Kripto mengangkat bahunya.

Di kemudian hari. Tesla akhirnya tahu hal itu terjadi karena kebodohan Kripto sendiri. Siapapun bakal curiga jika seorang mendapatkan nilai sempurna di semua mata ujian. Dan bakal lebih curiga lagi, jika jawaban untuk soal essay sama persis dengan apa yang tertulis di kunci jawaban. Sebagai Hukuman, selain skorsing, Kripto juga dilarang membawa Notebook, juga menyentuh komputer, di lingkungan sekolah.

"Aku sudah mendengar kasusmu dari Piggy, apa benar kau melakukannya?" Indra bertanya pada Tesla.

"Tidak, tapi kuduga kalian tidak akan percaya."

Indra cuma tersenyum sinis sambil mengangkat bahu. Kripto bersendawa keras, mengundang perhatian beberapa orang siswa di sekitarnya, lalu berdiri, memunguti bungkus coklat kosong di mejanya, lalu membuangnya ke tempat sampah di pojok ruangan. Ketika ia kembali ia bertanya, "Ada yang bawa camilan?"

Tesla dan Indra menarik napas bersamaan. Aneh juga, Sebelumnya Tesla tak membayangkan dirinya bisa berbincang-bincang dengan Indra dan Kripto, namun kini keduanya ternyata tak jauh berbeda dari siswa pada umumnya.

Tepat saat itu, seorang siswa, yang mungkin sedang berkejar-kejaran dengan temannya tanpa sengaja menjatuhkan tas Tesla.

"Ah"

"Maaf," kata siswa itu sambil tertawa. Tapi sebelum ia kembali pada kesibukannya, Indra dengan sigap meraih kerah baju siswa tersebut.

"A-apa...?" tanya sang siswa panik. Meski ia lebih tinggi dari Indra, ia terlihat ketakutan. Jelas saja, Tesla saja gentar melihat ekspresi Indra waktu itu.

"Ambil!" seru Indra. Dalam sekejap kelas yang tadinya ramai jadi sunyi. semua mata tertuju ke pojok ruangan.

"Huh?" sang siswa tampak bingung.

"Kau menjatuhkan tas temanku!"

Tesla menundukkan kepalanya sambil memegang dahinya, ia tak ingat setuju menjadi teman Indra. Siswa itu, ketakutan, meletakkan kembali tas Tesla di atas meja, lalu terbata-bata meminta maaf lagi, sebelum pergi sambil memgangi lehernya.

"Sigh," Indra mengeluh, "dasar tak tahu sopan santun."

Tesla memandang berkeliling, tapi setiap anak yang bertatapan dengannya dengan segera mengalihkan pandangan sambil berpura-pura tidak melihat kejadian sebelumnya, kelas kembali ramai, walau kini suasananya jadi sedikit suram. Tesla berani bertaruh mereka semua pasti sedang membicarakan dirinya, Indra dan Kripto. Gerombolan bermasalah.

"Bagaimanapun," kata Kripto beberapa saat kemudian, "Karena nasib kita tak jauh berbeda, kurasa tidak ada salahnya kita saling membantu."

"Selama kau tidak membuat masalah," jawab Indra.

"Kita bertiga?" tanya Tesla yang kini lebih tidak bersemangat dari sebelumnya.

"Berempat sebenarnya."

"Berempat?"

Kripto menyebut nama seseorang. Indra dan Tesla berpandangan. "Siapa?" tanya Tesla lagi.

Kripto mengulangi ucapannya.

"..."

"Jangan khawatir, dia memang gak terkenal kok," Kripto menerangkan, kali ini sambil mengunyah permen karet, "Presensinya lebih parah dari lubang ozon. Dalam sebulan, tak sampai sepuluh hari ia masuk, paling cuma untuk mengumpulkan tugas dan ikut ujian."

"Apa dia... sakit?" Indra tampak penasaran.

"Izinnya begitu, tapi dia lumayan aktif di Forum dan Online Game. Beneran gak ada yang bawa camilan?"


"Ngomong-ngomong apa kau yakin kita di kelas tujuh?" Tesla yang baru kali ini duduk di kelas tujuh bertanya.

"Kenapa? Kita ada di sini kan?"

"Kukira kelas tujuh cuma untuk, yaa, siswa-siswa seperti kau dan aku."

"Jangan tertipu penampilan," Kripto mengambil beberapa lembar kertas dari dalam tasnya, lalu memeriksanya. Sepintas Tesla bisa melihat ada fotonya di salah satu lembaran kertas itu. Firasatnya buruk.

"Hmm, kau lihat gadis berkacamata itu?"

"Ya."

"Narkotika. Bukan pecandu sih, maksudku belum sampai benar-benar kecanduan parah, err kayaknya dia dirawat di semacam tempat rehabilitasi, sudah sembuh mungkin, percaya atau tidak dia setahun lebih tua darimu. Lalu tiga siswa itu, yang rambutnya di semir, dia sejenis dengan Indra, cuman kalau melihat catatannya sebenarnya dia lumayan pengecut, yang dua lagi pengikutnya, ketiganya orang kaya. Selain itu... emmm" Kripto membuka-buka lembaran berkas yang dibawanya. "Yah memang sih kebanyakan karena menempati urutan terbawah pada saat ujian masuk."

"Berkas itu..." Tesla berdoa dalam hati semoga dugaannya salah.

Kripto tersenyum bangga.

Indra tidak. "Dia membobol bank data," bisiknya.

"Lagi?"

"Tapi dari dinas pendidikan kota," sahut Kripto pelan. "Aku tidak melanggar peraturan sekolah kan?"

Tidak. Tentu saja tidak.

---

Pukul setengah delapan bel tanda masuk berbunyi. Sepuluh menit kemudian, terdengar pengumuman agar semua siswa berkumpul di aula. Seperti biasa, Pidato kepala sekolah menyambut tahun ajaran baru.

Tesla menarik napas panjang. Perutnya terasa mual. Ia benar-benar tak ingin mengikuti acara tersebut. Bukan karena ia tak suka mendengar pidato kepala sekolah yang memang cukup standar dan membosankan, tapi lebih karena itu berarti ia akan bertemu dengan banyak orang, dan dua pertiga diantaranya adalah siswa yang kemungkinan besar mengenalnya.

Tesla menunggu 'teman barunya', ia yakin kedua orang itu pasti juga tak terlalu tertarik dengan pidato kepala sekolah. Kali ini ia tak keberatan seandainya diajak membolos.

Tapi kedua temannya, meski tidak terlihat antusias, malah berdiri kemudian mengajaknya untuk bergegas ke aula.

"Kalian beneran mau ikut upacara pembukaan?"

"Mengapa tidak," jawab Indra.

"Yang penting ada camilannya" sahut Kripto.

Tesla menarik napas panjang, kemudian dengan berat hati berjalan di belakang kedua temannya itu, berusaha sedapat mungkin tidak menarik perhatian.

Di luar kelas, sepasang mata menatap Tesla dari kejauhan.

Jangan pedulikan.

Lalu sepasang mata lagi.

Jangan pedulikan.

Semakin mendekati aula, semakin banyak orang, semakin banyak mata yang menatap Tesla.

Jangan pedulikan.

Bisik-bisik.

Pecundang.

Mereka masih mengingatnya.

Tentu saja.

Tapi itu bukan salahnya.

Bisik-bisik.

Seringai.

Jangan pedulikan.

Mata. Menatap tajam. Mencemooh.

Tak tahu malu.

Jangan pedulikan.

Apa yang dilakukannya?

Tak punya harga diri.

Kalau aku jadi dia, aku mungkin akan bunuh diri.

Atau setidaknya berhenti sekolah.

Pecundang.

Tertawa.

Sinis.

Sampah.

"Kau baik-baik saja?" Indra menyentuh dahi Tesla, "Kau tak enak badan?"

"Belum sarapan?" tanya Kripto, "Wajahmu pucat, mau kutemani ke kafetaria? tapi sepertinya mereka belum buka."

"Ah..." Tesla mencoba tersenyum, perutnya mual, "Tak apa."

Mereka akhirnya tiba di Aula. Siswa-siswa yang lain telah berkumpul di sana. Tesla memandang gugup ke sekeliling. Beberapa anak yang ia kenal memandangnya di antara kerumunan, salah seorang berbisik pada temannya, mereka tertawa lalu memalingkan muka.

Perutnya mual.

"Ayo," Indra menariknya ke salah satu bangku di deretan belakang, "Kita duduk di sini saja. Kalau kau bosan, tidur saja."

Semakin banyak siswa yang datang. Dalam sekejap, seluruh tempat duduk penuh terisi. Suasana berubah riuh saat masing-masing siswa sibuk berbicara.

Tesla menundukkan wajahnya. Keringat dingin mulai muncul di punggungnya. Ia ingin menutup telinganya. Ia ingin pergi dari tempat ini.

Mereka membicarakannya.

Mereka mencelanya.

Mereka menertawakannya.

Sial.

Sial.

Sial.

"Hei, kau yakin tak apa-apa?" Indra yang duduk di sebelah kirinya tampak khawatir, "Kau menggigil."

Kripto melepas jaket kumal yang dikenakannya lalu menyerahkannya pada Tesla, "Pakailah."

Tesla mencoba tersenyum. Tidak, terima kasih. Tapi Kripto memaksa. Tesla mengenakan jaket itu. Kumal memang, tapi tidak sebau yang ia kira. Dan perasaannya jadi sedikit lebih baik. Ruangan Aula memang ber-AC dan dalam acara-acara seperti ini dinyalakan sedingin-dinginnya. Ya. Mungkin tadi memang karena AC.

Dewan Guru naik ke panggung.

Suasana berubah hening saat Herman Wijaya sang kepala sekolah berdiri di atas podium. Meskipun sudah berusia empat puluhan tahun, lelaki yang juga menjadi salah satu guru matematika itu masih tampak gagah. Selain itu, ia juga, caranya mengajar, membuat pelajaran matematika jadi menyenangkan. Tak heran kalau ia cukup populer dikalangan para siswa (apalagi para siswi). Satu-satunya kekurangannya ialah entah mengapa ia tak terlalu pandai berpidato. Jadi setiap kali berpidato, Pak Herman selalu membawa teks pidato, yang sayangnya tak pernah kurang dari dua halaman folio, bolak-balik, dan diketik menggunakan font Arial Narrow berukuran 8pt. Kalau melihat kontennya, tak salah lagi, naskah pidato itu ditulis oleh Bu EYD (baca: Aidi atau Eidi; bukan nama sebenarnya), guru Bahasa yang juga menjabat menjadi wakil kepala sekolah.

Dan sama seperti sebelum-sebelumnya isi pidato kepala sekolah dapat di rangkum dalam beberapa kata: Baku, Formal, Panjang Lebar, dan Tanpa Cacat dalam struktur kalimat, ejaan, maupun tanda baca. Mendengarnya saja sudah melelahkan, Tesla lumayan kagum bagaimana Pak Herman bisa tahan membacanya. Tapi rupanya itu belum cukup membuat Bu EYD puas, beberapa kali Tesla melihat bagaimana guru muda itu (yang terlepas dari attitudenya yang parah sebenarnya menjadi favorit cukup banyak siswa, karena beliau masih belum menikah dan , Tesla pun mengakui, lumayan manis) mengerutkan keningnya saat pak Herman terbalik membaca è dengan ê.

Rekor Tesla mendengarkan pidato Pak Herman adalah dua belas menit lebih empat puluh tiga detik. Tapi kali ini, setelah paragraf kedua Tesla sudah menguap lebar. Indra di luar dugaan mendengarkan dengan sungguh-sungguh, sementara Kripto sudah lama mendengkur pelan. Siswa-siswa lain, dengan kreativitas yang dimiliki orang-orang bosan, menemukan kesibukan mereka sendiri:

  • Tidur.
  • Berbisik-bisik dengan tetangganya.
  • Main Game di HP.
  • Mengutak-ngatik Rubik Cube.
  • Membaca Light Novel.
  • Mengulum permen.
  • Mengunyah Permen karet.
  • Mengupil, setelah itu tanpa rasa bersalah mengusapkannya di bawah bangku.
  • Memainkan Ludah, membuat semacam gelembung.
  • Kegiatan lain yang beberapa diantaranya tidak terlalu etis jika dituliskan.

Tesla sendiri akhirnya memutuskan mengikuti jejak Kripto, menyandarkan tubuhnya, lalu memjamkan kedua matanya. Tapi ia tak bisa benar-benar tertidur. Hanya membiarkan khayalan berkeliaran kesana kemari, hingga akhirnya kahyalan tersebut membawanya kembali ke masa ketika ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Masa dimana hampir segalanya Indah, Murni, dan Menyenangkan.

Sekitar dua puluh menit kemudian gemuruh tepukan tangan membangunkan Tesla dari lamunannya. Para siswa tampak bersemangat, jelas bukan karena isi pidatonya, lebih karena pidato Pak Herman AKHIRNYA selesai juga. Selain itu juga karena sekarang saatnya pembagian makanan kecil.

"Berikutnya," lanjut sang pembawa acara, "Sambutan dari perwakilan Siswa, yang akan dibacakan oleh murid teladan tahun lalu, Diva Camilia.

Tepuk tangan lagi. Lebih meriah. Beberapa siswa bahkan bersiut keras.

Tesla langsung duduk tegak.

Tak salah lagi, yang sekarang berdiri di atas podium adalah Diva yang Tesla kenal. Jangkung, Atletis, Rambut Hitam legam yang hampir selalu dikuncir ekor kuda, senyum yang membuat kebanyakan orang yang melihatnya jadi ikut tersenyum, sebenarnya penampilan gadis itu biasa-biasa saja, jauh dari kesan cantik ataupun manis, tapi dari sikap, cara berbicara, kepribadian, tak banyak gadis yang tampak seanggun Diva. Setidaknya begitulah pendapat Tesla sampai beberapa bulan yang lalu.

Gadis itu memjamkan mata kemudian menarik napas panjang, hal yang berdasarkan pengamatan Tesla selalu ia lakukan sebelum berbicara di hadapan banyak orang, dan ketika ia membuka mata kata-kata pun mengalir dengan lancar dari kedua bibirnya yang mungil.

Semua orang memperhatikan.

Suaranya merdu.

Bagi Tesla sendiri, suara Diva bagai Candu. Ia hampir bisa merasakannya. Lalu ia pun tersenyum, menikmati ketika kata-kata berubah menjadi bilah pisau kemudian menikam hatinya.

Tepuk tangan lagi.

Lebih meriah.

Tesla menghela napas, masih tak bisa menahan diri untuk tersenyum, walau kini senyumannya lebih mirip sebuah seringai. Ketika Diva turun dari panggung, Tesla menatapnya tajam lalu menunggu.

Dan pandangan mereka pun bertemu.

Senyuman Tesla makin lebar ketika melihat ekspresi Diva sesaat sebelum gadis itu memalingkan wajahnya.

---

Kembali ke ruang kelas, Avis dan Kripto cuma bisa menatap heran menyaksikan bagaimana mood Tesla berubah drastis. Tapi keduanya memilih diam sementara Tesla menggumamkan semacam lagu yang jelas tidak cukup populer sehingga tak ada yang benar-benar yakin apa yang sebenarnya tengah dinyanyikan Tesla.

Tesla memang sedang Gembira.

Tapi tak lama.

Beberapa menit kemudian, bukan hanya suasana hatinya yang berubah suram. Di belaknagnya, Indra dan Kripto pun memasang tampang yang mirip ekspresi seseorang yang sedang sakit maag ketika dipaksa menghabiskan segelas besar jus duren.

"Selamat pagi, Anak-anak."

Yang masuk ke dalam kelas adalah seorang wanita yang kalau melihat penampilannya mungkin baru berusia di awal tiga puluhan. Wanita itu mengenakan blus berwarna biru muda dan bawahan yang serasi. Rambut sang wanita bergelombang dan mungkin sepanjang bahi kalau tidak sedang disanggul (atau apapun istilahnya untuk gaya rambut semacam itu). Di tangannya ada buku tebal yang mungkin beratnya lebih dari satu kilogram. Sepatunya yang berhak rendah berbunyi tap tap tap ketika ia berjalan.

Wanita itu berhenti di depan kelas. Berkacak pinggang dengan satu tangan, kemudian mengetuk-ngetukkan kaki kanannya di lantai, menimbulkan bunyi tap tap pendek yang memaksa seluruh siswa di kelas menghentikan kegiatannya dan kembali ke tempat duduknya masing-masing.

Lalu setelah memastikan tak ada satupun siswa yang melakukan hal lain, kecuali menarik dan menghembuskan napas perlahan dengan ekspresi tegang seolah khawatir hal itu bisa menimbulkan keributan, Wanita itu mengambil kapur kemudian menuliskan namanya di papan tulis. Tulisannya bagus walau kebanyakan siswa yang terbiasa menulis dengan tulisan tidak bersambung terpaksa menduga-duga apakah huruf yang terlihat mirip huruf o di papan sebenarnya adalah huruf a atau memang huruf o.

"Begitulah," kata wanita itu setelah memperkenalkan diri (ternyata huruf yang mirip huruf o itu benar-benar huruf o), "mulai sekarang sampai setahun ke depan sayalah yang akan menjabat sebagai wali kelas di kelas ini. Meski saya sendiri ragu, saya berharap semoga kita bisa bekerja sama dengan baik. Apa ada pertanyaan?"

Tak ada pertanyaan. Atau lebih tepatnya tidak ada yang benar-benar tahu apa yang sebaiknya mereka katakan.

Wanita itu tersenyum puas. Ia lalu duduk di bangku guru di pojok depan ruangan. "Mula-mula," katanya lagi, tetap dalam nada sinis, "ada baiknya masing-masing dari kalian memperkenalkan diri di depan kelas."

Maka satu persatu siswa, di mulai dari deretan tedepan, bergantian maju ke depan kelas memperkenalkan diri mereka masing-masing. Pada awalnya, acara perkenalan diri itu terkesan kaku, mungkin karena masih terpengaruh kejadian sebelumnya, tapi setelah melihat bahwa wali kelas mereka tidak benar-benar peduli atau memperhatikan mereka, keceriaan perlahan muncul kembali ketika beberapa siswa dengan berani menggunakan humor saat memperkenalkan diri mereka. Setelah itu ketegangan pun mencair dan setiap siswa, kebanyakan, berusaha memperkenalkan diri sedemikian sehingga dapat meninggalkan kesan yang mendalam walau pada akhirnya malah memancing tawa teman-teman mereka yang lain.

Tesla sendiri meski tidak begitu bersemangat berusaha ikut serta menikmati suasana sambil menunggu gilirannya tiba. Untungnya bukan cuma dia yang merasa seperti itu. Entah dengan Indra dan Kripto tapi beberapa siswa tampaknya juga tidak benar-benar ingin maju memperkenalkan diri di depan kelas.

Gadis berkaca mata yang rambutnya dikepang dua (benar-benar gaya rambut tempo dulu) misalnya. Gadis yang berdasarkan info dari kripto pernah terlibat dengan obat-obatan terlarang itu memperkenalkan diri dengan suara yang nyaris tak terdengar, itu pun sambil menundukkan kepala. Beberapa berseru mereka tidak jelas mendengarnya tapi sang gadis tak peduli, beberapa saat kemudian ia bergegas kembali duduk di bangkunya. Tesla penasaran apakah swater lengan panjang yang dikenakan gadis itu untuk menyembunyikan bekas luka di pergelangan tangan yang biasa dimiliki para pecandu.

Nama gadis itu Riris Dwi Purnama.

Lalu pemuda yang rambutnya di semir. Setelah dengan arogan menyebutkan nama lengkapnya yang lumayan panjang, pemuda itu lalu berkata, "Kalian boleh memanggilku Al." Sudah, setelah itu ia kembali ke tempat duduknya tanpa menyebutkan informasi lainnya. Tesla tak peduli, ia tahu dimana Al tinggal, kapan dia lahir, siapa orang tuanya dan informasi-informasi penting lainnya.

Satu-satunya siswa yang mendapat komentar dari sang wali kelas adalah Mario Piazzi. Itu karena siswa berambut keriting tersebut memiliki logat yang terdengar aneh ketika memperkenalkan dirinya. Tak mengherankan, karena sampai beberapa tahun lalu Mario masih tinggal bersama keluarga ibunya di luar negri. Mendengar hal itu, tiba-tiba saja Tesla teringat pada ayahnya.

Soal komentar, wali kelas mereka cuma bilang, "Perbaiki ejaanmu."

Beberapa siswa kemudian, akhirnya tiba giliran Tesla memperkenalkan diri, dan walaupun kakinya terasa seolah dari terbuat campuran semen dan kerikil ia pun akhirnya melangkah maju ke depan kelas. Mungkin cuma perasaannya saja, tapi tampaknya suasana kembali tegang ketika ia berbicara (hal yang sama juga terjadi saat Indra dan Kripto memperkenalkan diri mereka). Selain itu saat ia kembali ke tempat duduknya, Tesla bisa melihat bagaimana sang wali kelas tersenyum (atau paling tidak Tesla berharap itu sebuah senyuman) sambil memandang ke arah Tesla.

Perkenalan siswa selesai.

Wali kelas mereka melihat jam tangannya, menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti "sudah terlambat" lalu berdiri. "Sekian untuk perkenalan." katanya, dan suasana kembali hening, "Berikutnya, untuk jabatan ketua kelas, saya memilih Tesla."

Itu pasti gurauan, lelucon, pikir Tesla.

Tapi sayangnya tidak.

Dan bukan dia saja yang tidak setju. Al, siswa yang rambutnya disemir, mengangkat tangannya, lalu sebelum ia dipersilakan berbicara langsung berseru (Tesla lumayan kagum pada keberaniannya).

"Menurutku itu tidak adil, bukankah seharusnya kita memilih ketua kelas kita sendiri secara demokratis," katanya, "Lagi pula siapa dia? Sampai anda bisa seenaknya memilihnya menjadi ketua kelas."

Ramai lagi. Para siswa kembali berbisik satu sama lain menyatakan persetujuan mereka dengan pendapat Al.

Tesla sebenarnya agak tersinggung, tapi disisi lain ia berharap hal itu akan membuat wali kelas mereka berubah pikiran

Tapi sayangnya tidak.

"Yang pertama," kata wali kelas mereka, "Demokrasi hanya berhasil apabila sebagian besar populasi adalah orang-orang yang memiliki cukup kebijaksanaan dan saya rasa kita bisa sepakat bahwa hal itu tidak terpenuhi di kelas ini walau faktanya hal yang sama terjadi dalam lingkup yang lebih luas. Yang kedua, saya tidak yakin ada di antara kalian yang lebih berkompeten untuk menjabat sebagai ketua kelas dibandingkan Tesla. Tapi jika hal ini bisa membuat kalian gembira, kalian boleh memilih, secara demokratis, siapa yang akan menjadi wakil ketua kelas di kelas ini."

"APA HAL INI SUDAH JELAS ?"

Cara wali kelas mereka mengucapkan hal ini, berhasil membuat suasana kelas kembali tenang dan Al yang sebelumnya tampak akan mengangkat tangan lagi mengurungnkan niatnya.

"Baiklah," wali kelas mereka kembali tersenyum, "saya rasa sudah cukup untuk hari pertama. Kalian boleh langsung pulang, jika kalian mau, tapi saya sarankan bagi kalian untuk menyempatkan diri mengunjungi klub-klub yang ada. Dan Tesla," Tesla langsung berdiri mendengar namanya disebut, "sebelum kau pulang, silakan datang menghadap ke ruang guru, ada beberapa hal yang perlu saya bicarakan denganmu terkait jabatanmu sebagai ketua kelas. Selamat siang."

Begitu saja wali kelas mereka berjalan meninggalkan ruang kelas.

Kelas kembali ramai.

Tesla dengan enggan maju ke depan kelas. Ia mengetuk-ngetuk papan tulis untuk mendapat perhatian teman-teman sekelasnya.

"Perhatian!" serunya.

Tapi siswa-siswa tak peduli. Mereka terus bicara, terutama tentang wali kelas mereka dan ungkapan kekecewaan pada keputusannya. Tidak adil. Tirani. Dan Tesla beanr-benar ingin memberitahu bahwa seandainya bisa ia pun tak ingin menjabat sebagai ketua kelas.

"Perhatian!" serunya lagi.

Masih ramai.

Dan.

BAAAMMMMMMM

Suasana hening.

Tesla memandang Indra yang duduk di belakang sambil menganggukkan kepala tanda terima kasih.

"Mohon perhatiannya, sebentar," katanya lagi.

"Terlepas dari apa yang telah terjadi," lanjut Tesla, "Aku adalah ketua kelas dan meski kalian tidak suka tak ada yang bisa dilakukan mengenai hal itu."

"Kita bisa protes," sahut seorang siswa.

Tesla diam sejenak. "Tidak kusarankan. Mungkin kalian belum tahu, tapi sekali beliau memutuskan sesuatu hampir mustahil hal itu berubah."

"Kita bisa lapor kepala sekolah." sambung siswa lain diikuti angggukan setuju teman-temannya.

"Silakan, kalau kalian mau mencobanya," Kali ini Kripto yang bicara, "tapi memangnya kenapa sih kalau Tesla yang jadi ketua kelas, atau kalian punya pilihan lain."

"Bagaimana kalau Al," jawab si siswa.

"Kau mau jadi ketua kelas Al?" tanya Kripto.

Al mengerutkan keningnya, lalu menggelengkan kepala, "Tidak juga, itu bakal merepotkan. Yah kalau kupikir lagi, sebenarnya aku tak peduli siapa yang jadi ketua kelas."

"Ada yang lain?" tanya Kripto lagi. "Tidak ada? Kalau begitu kuusulkan bagaiamana kalau sekarang kita memilih wakil ketua kelas saja."

Tak lama kemudian, dipimpin oleh Tesla (dengan tidak begitu antusias), pemilihan wakil ketua kelas berlangsung dengan relatif damai. Dan karena Al menolak jadi wakil ketua (alih-alih ia malah pulang duluan), Mario lah yang terpilih menjadi wakil ketua kelas.

Karena logatnya dan dia dari luar negri (balsteran).

Dan sekali lagi, kedamaian pun kembali ke kelas 1-7

---

Jam sebelas lewat dua puluh tiga menit. Karena tidak tahu harus melakukan apa, Tesla kembali ke ruangan kelas. Di sana beberapa siswa menyapanya dan sekali lagi mereka saling memperkenalkan diri.

"Tak keberatan kalau ku panggil ketua?"

Tesla menggelengkan kepala, terserah mereka menyebutnya apa, toh mungkin ia takkan lama menjabat sebagai ketua kelas. Setelah berbincang-bincang sejenak, Tesla pun kembali ke tempat duduknya.

"Kau belum pulang? Gimana tadi pertemuannya?"

Tesla mengangkat bahu, "Belum, tadi Bu EYD sedang sibuk, aku disuruh kembali nanti setelah jam isitirahat siang."

"Hmm Masih satu jam lagi kalau begitu, lebih," kata Kripto, tapi perhatian pemuda gemuk itu lebih tertuju pada menu makan siang dihadapannya: Beberapa bungkus sandwich, dari berbagai jenis, yang dijual di kafetaria di sekolah mereka.

"Dimana Indra?" tanya Tesla, juga sambil mengeluarkan bekal makan siangnya.

"Sudah Pulang, huh kau bawa bekal dari rumah?" Kripto berhenti mengunyah sandwichnya, ia tampak tertarik dengan bekal makan siang yang dibawa Tesla.

"... Err mau tukar?"

"Serius?" seru Kripto, matanya yang sipit sesaat terbuka lebar, Tesla tergelak, wajah Kripto saat itu terlihat sangat lucu. "Nih," lanjut Kripto sambil menyerhakan beberapa bungkus sandwich pada Tesla, "Kau boleh mengambil tiga.. empat potong sandwichku, kau tak keberatan yang isinya udang?"

Tesla menyerahkan bekal makan siangnya dan menerima sandwich pemberian Kripto walau ia tak yakin bisa menghabiskan keempatnya.

"Ohh ini lezat," seru Kripto lagi, "kau beruntung ada yang membuatkan bekal makan siang."

"Aku membuatnya sendiri kok," Tesla meringis saat menggigit sandwich isi udang, tiba-tiba ia jadi ingin tahu kapan udang-udang itu di tangkap. Setelah gigitan pertama, ia cepat-cepat menyingkirkannya tanpa sepengetahuan Kripto, lalu membuka sandwich daging yang dulu memang biasa ia beli kalau sedang tidak membawa bekal.

"Kau membuatnya sendiri? Aku tak tahu kau bisa masak, tapi... ini lezat sekali."

"Uhh terima kasih."

"sayang sekali masih ada yang kurang..." keluh Kripto sambil memasang mimik sedih.

"Kurang?" Tesla mengangkat alisnya, ia tak tahu ada yang kurang dari bekal buatannya.

"Kurang banyak," jawab Kripto sambil nyengir.

Mereka berdua kembali menikmati makan siang mereka. Tesla mengembalikan salah satu sandwich Kripto karena temannya itu tampak masih lapar.

"Tadi terima kasih," kata Tesla sambil menghabiskan potongan sandwich terakhirnya.

"Untuk apa? Justru aku yang harus berterima kasih kau mau bertukar bekal makan siang."

"Bukan, maksudku sebelumnya, tentang masalah ketua kelas."

"Oh itu, Bu EYD memang keterlaluan, tapi kurasa beliau punya maksud tertentu." jawab Kripto sambil mengangguk-angukkan kepalanya.

"Kau yakin?"

"Beliau dulu wali kelasku, tahun lalu, kelas 1-6. Yah waktu itu... hmm beliau lah yang datang ke rumah, yah orang tuaku marah dan aku hampir pindah ke sekolah lain, yah entah bagaimana beliau bisa membujuk keduanya sehingga aku tak jadi dipindahkan."

"Jadi kau lebih memilih tinggal kelas?"

Kripto mengangkat bahu, "aku suka di sini. Dekat dari rumah, dan menu di kafetarianya lezat. Lagipula itu memang salahku kok. Menurutku bukan masalah kalau kita dihukum apabila kita bersalah."

Ketika Kripto mengatakan hal itu, Tesla entah mengapa merasakan rasa sakit di hatinya. Tapi ia tak mengatakan apa-apa.

"Hulo, ketua! Boleh gabung?" Mario, sang wakil ketua kelas, sekaligus blasteran kelas 1-7, datang menghampiri Tesla dan Kripto.

"Hulo juga Mario," jawab Kripto, "sayang sekali kami baru selesai makan siang."

Mario tersenyum, "Baru beli roti beberapa dari kafetaria, Kripto mau? Ketua?"

Tesla dan kripto mengeleng dan menganggukkan kepala mereka bersamaan. Tesla sudah kenyang, Kripto belum.

"Begini," lanjut Mario, "punya ide bagus. Pesta, makan-makan, semua siswa, berkenalan biar akrab."

"Oh dimana?" tanya Tesla.

"Di sini, di kelas, tapi izin dulu."

"Apa anak-anak yang lain setuju?"

"Belum beritahu, ngomong dulu sama ketua, besok baru beritahu," jawab Mario.

"Aku sih setuju saja," timpal Kripto.

"Ya sudah, akan kuberitahukan Bu EYD, nanti, tapi mungkin kita baru bisa mengadakannya sabtu besok, itu, kalau diizinkan."

"Sip," kata Mario dan Kripto bersamaan.

"Ah ketua," beberapa siswi yang masih tinggal di kelas menghampiri Tesla. Mereka rupanya tanpa sengaja mendengar pembicaraan Tesla dan Mario.

"Benar mau ada pesta kelas?"

"Belum tahu, aku harus tanya Bu EYD dulu."

"Bu EYD?"

"Wali kelas kita," Kripto menjelaskan, "begitulah ia biasa di panggil, tapi sebaiknya jangan sampai yang bersangkutan mendnegarnya langsung."

Siswi-siswi itu tertawa cekikikan.

Siswi yang bernama Lintang mengajukan diri untuk menjadi koordinator pesta. Katanya dia suka sekali dengan acara-acara semacam ini. Dan dia punya ide-ide bagus agar pestanya jadi meriah.

Tesla cuma tersenyum getir dan berkata dia akan mempertimbangkan hal itu. Ia berharap siswi-siswi itu segera meninggalkannya tapi sepertinya mereka masih ingin berbicara panjang lebar dengannya.

Dia tak punya pilihan. Jadi sambil berpura-pura tertarik, Tesla meladeni pembicaraan siswi-siswi tersebut, yang setelah beberapa saat sepakat bahwa Tesla memang cocok jadi ketua kelas. Pada saat yang sama, Tesla jadi tak heran bagaimana mereka bisa ditempatkan di kelas tujuh. Tapi ya, rasanya kebanyakan siswi memang seperti itu.

Itu karena mereka belum tahu, pikir Tesla. Tapi ia tak merasa perlu menceritakannya sendiri, toh sebentar lagi mereka akan tahu, entah dari siapa, dan setelah itu ia bakal mundur dari jabatan ketua kelas. Mungkin Mario yang akan menggantikannya.

"Oh ya kau tahu Riris?" tanya Lintang, Tesla sampai tak habis pikir bagaimana cewek-cewek ini bisa terus berbicara, "Menurutku dia aneh." Teman-temannya yang lain menganggukkan kepalanya, lalu berebut bercerita.

Bahwa Riris terlalu pendiam.

Bahwa gayanya keinggalan zaman.

Bahwa ia terlalu kurus.

Bahwa kaca matanya norak.

Sudah cukup.

"Maafkan aku sebelumnya, tapi kupikir tak baik membicarakan orang lain sebelum kalian benar-benar mengenalnya," Tesla mengatakannya sedingin yang ia bisa. Dan siswi-siswi itu langsung terdiam.

"Kau benar," Lintang buru-buru berdiri, "Uu maafkan kami. Aaah ya kami ada rencana mau melihat-lihat klub, ya kan? Kami permisi dulu. Sampai jumpa besok. UU ditunggu kelanjutan rencana pestanya."

"Dasar cewek." keluh Tesla. Mario dan Kripto mengangguk-anggukkan kepalanya setuju.

"Baiklah, aku harus ketemu Bu EYD, sampai jumpa." Tesla mengambil tasnya lalu berjalan keluar.

Berbeda dengan sekolah-sekolah kebanyakan yang masih menganut gaya klasik bangunan model U, sekolah Tesla terdiri dari empat gedung utama. Gedung yang paling besar dan tinggi, berlantai tiga, adalah gedung tempat kelas-kelas berada. Gedung terbesar kedua, di seberang gedung utama, memiliki dua lantai, di sanalah letak ruang musik dan berbagai laboratorium, di sana pula kebanyakan klub mendapatkan ruangan untuk aktivitasnya.

Dua gedung lain, terletak tak jauh dari gedung utama di sebelah kiri dan kanan memiliki ukuran yang hampir serupa. Yang pertama adalah ruang aula sekaligus lapangan untuk olahraga indoor. Yang satu lagi adalah perpustakaan. Di sebelah perpustakaan ada tempat parkir sementara tak jauh dari aula terdapat kolam renang berukuran sedang milik sekolah. Di bagian tengah, di antara keempat gedung, adalah lapangan olahraga.

Ngomong-ngomong, Di gedung utama lah terletak Ruang Guru, tepatnya di lantai 1, di bagian tengah, dekat dengan pintu masuk utama.

Tesla berjalan perlahan sambil menundukkan kepala, walau seharusnya tak perlu begitu, karena di lantai 1 cuma ada ruang kelas 1, dan saat itu kebanyakan siswa telah meninggalkan sekolah atau sibuk dengan kegiatan klubnya masing-masing. Tetap saja Tesla tidak nyaman, selalu ada kemungkingkan ia bertemu dengan orang-orang yang tidak ingin ia temui.

Di ruang guru sendiri, saat itu, cuma tinggal beberapa guru yang belum meninggalkan sekolah. Ketika Tesla masuk, semua mata tertuju ke arahnya, ia mengucapkan salam sesopan yang ia bisa dan sesaat kemudian perhatian para guru itu kembali kepada kesibukan mereka masing-masing.

"Selamat siang, Tesla," seorang guru laki-laki menyapanya. Tesla jelas mengenalnya, lelaki brewok berusia empat puluhan itu dulu adalah wali kelasnya. Beliau juga mengajar matematika, sama seperti kepala sekolah, hanya saja kurang begitu populer. Mungkin karena suara beliau yang terdengar seperti orang marah-marah ketika sedang mengajar.

"Siang Pak Tik," balas Tesla. Karena dulu ia juga menjabat menjadi ketua kelas, mau tak mau ia jadi lumayan akrab dengan mantan wali kelasnya itu. Di sisi lain, Pak Tik pun tampaknya menyukai Tesla, hal itu, selain karena Tesla adalah ketua kelas saat itu, juga karena Tesla lumayan aktif bertanya dalam pelajaran matematika, di saat pada umumnya kebanyakan siswa lain memilih diam seribu bahasa.

"Senang bisa ketemu lagi," Pak Tik menjabat tangan Tesla, "Katanya kau jadi ketua kelas lagi ya. Sayang kau masuk ke kelas tujuh."

Saat itu terdengar suara batuk yang jelas di buat-buat. Di depan ruangannya (kepala sekolah dan wakilnya punya ruangan sendiri) Bu EYD berdiri, bersedekap, sambil memandang tidak sabar ke arah Tesla dan Pak Tik.

Pak Tik mengangkat alis sambil tersenyum muram, yang dengan mudah di artikan Tesla: "Tuh, wali kelasmu memanggil, nasibmu kurang baik, tapi bertahanlah." Tesla balas tersenyum muram sambil menganggukkan kepalanya. Ia lalu berjalan mengikuti Bu EYD masuk ke ruangannya.

Jika diingat-ingat, ini pertama kalinya Tesla masuk ke ruang wakil kepala sekolah. Dan sampai beberapa saat yang lalu ia mengira ruangan kepala sekolah adalah ruangan yang paling membosankan, penuh dengan dokumen, berkas, trophy, dan didesain sedemikian sehingga menimbulkan kesan mengancam.

Tapi berhubung biar bagaimanapun Bu EYD seorang wanita, Tesla selalu menyangka bahwa ruangannya bakal sedikit banyak memiliki kesan feminis. Sekarang kalau dipikir-pikir satu-satunya hal yang feminis di ruangan itu adalah Bu EYD, itupun tidak terlalu.

Ruangan itu kecil, mungkin tak sampai separuh dari ruangan kepala sekolah. Dindingnya di cat warna krem gelap, polos tanpa jam dinding, lukisan, foto, bahkan kalendar. Di sebelah kiri dan kanan ada dua lemari besar yang berisi berbagai macam berkas dan dokumen, dan (di luar dugaan) buku-buku tebal karya sastra klasik, beberapa diantaranya novel yang berhasil memenangkan nobel, tak satupun yang bertema romantis.

Setelah beberapa saat, Tesla akhirnya sadar bahwa Bu EYD sedang menunggunya berbicara terlebih dahulu, wanita satu ini benar-benar punya attitude parah, Tesla heran bagaimana dulu Bu EYD bisa diterima menjadi guru.

Tapi tak ada gunanya mencari masalah.

"..."

Tapi sulit membuka percakapan dalam situasi seperti ini.

"Saya tak tahu ibu juga membaca novel," kata Tesla dengan putus asa. Toh ia tak mungkin mengucapkan "Cuacanya bagus hari ini" atau "Penampilan ibu menarik".

Bu EYD mentapanya tajam dengan pandangan kasihan. "Sekarang kau tahu."

"..."

"Duduklah," kata Bu EYD. Akhrnya, Tesla mengira wali kelasnya itu bakal membiarkannya berdiri terus.

"Jadi... apa yang ingin ibu bicarakan dengan saya?" Sial, pikir Tesla, setelah menyadari bahwa kalimat ini lebih cocok dijadikan pembuka percakapan.

"Beberapa hal," jawab Bu EYD, "Yang pertama terkait dengan statusmu sebagai ketua kelas. Apa kau tahu tugas ketua kelas?"

Memimpin rapat yang pasti akan diakhiri dengan pemungutan suara.

Menjadi mandor kalau ada even yang harus dikerjakan oleh siswa sekelas.

Memastikan kelas tidak kacau saat ada guru yang tidak hadir.

Tukang mengumpulkan dan membagikan buku atau lembar ujian atau berbagai jenis formulir.

Siswa yang paling besar kemungkinannya untuk dimintai tolong ketika guru perlu sesuatu.

Tesla dengan ragu-ragu menganggukkan kepalanya.

Bu EYD menyebutkan nama seseorang, "Kau mengenalnya?"

Tesla ingat pembicaraannya dengan Kripto pagi tadi lalu ia kembali menganggukkan kepalanya. "Ah, tidak terlalu sebenarnya, tapi saya sudah mendengar tentangnya."

Bu EYD menganggukkan kepala, "Baguslah. Jadi saya tak perlu susah payah menjelaskannya."

"Lalu?" Tesla masih tak yakin apa yang diinginkan Bu EYD darinya.

"Entah bagaimana caranya, dalam minggu ini saya ingin bertemu dengannya."

"Lalu?" Tesla berani bertaruh saat ini tampangnya pasti terlihat bodoh, tapi sungguh, ia benar-benar masih tak tahu apa hubungan hal itu dengannya.

Bu EYD mengeluh, "Itu tugasmu, sebagai ketua kelas, untuk membawanya menghadap kemari."

"Hah?" Tesla tak bisa menahan diri, "Kenapa aku? Kami bahkan belum pernah bertemu sebelumnya."

Dan untuk kesekian kalinya Bu EYD menatap Tesla dengan tatapan kasihan, "Yang pertama karena kau ketua kelas. Yang kedua..." Bu EYD tidak meneruskan kalimatnya. Ia cuma mengulurkan selembar kertas pada Tesla. Isinya biodata seseorang, dan setelah membaca tulisan yang tertera pada bagian yang telah dilingkari dengan spidol merah, Tesla bisa merasakan sisa semangatnya yang tinggal sedikit menguap entah kemana.

"Ini... aku baru tahu..." jawab Tesla kemudian.

"Sekarang kau tahu." sahut Bu EYD.

"Anu, begini," sekarang saatnya, DO or Die, "Bisakah ibu mempertimbangkan lagi, tentang penunjukanku sebagai ketua kelas?"

"Tidak."

"Bagaimana kalau kubilang aku tak setuju?" tanya Tesla putus asa.

"Sebaiknya jangan."

"Kenapa aku?"

Bu EYD cuma tersenyum (Tesla pernah melihat senyuman itu di sebuah film: Seorang tokoh tersenyum pada tokoh lainnya, dan beberapa menit kemudian, tokoh yang disenyumi, otaknya, telah terhidang di atas meja, dalam bentuk potongan-potongan kecil).

"Lalu masalah yang kedua," lanjut Bu EYD, kali ini dengan nada serius yang membuat bulu kuduk Tesla merinding.

"Y-ya?"

"Saya menginginkan kerja samamu."

"Kerja sama?"

"Informasi. Saya ingin kau mengumpulkan informasi."

"Informasi apa?"

Untuk pertama kalinya Bu EYD menghela napas, ia terlihat lelah, dan mau tak mau Tesla jadi bersimpati dengan wanita itu.

"Apa saja. Desas-desus, gosip, rumor, hal-hal yang tidak biasa. Apapun yang kau dengar dan kau lihat dan membuatmu tertarik atau penasaran."

Tesla baru saja akan membuka mulutnya ketika Bu EYD memotong, "Kau tak perlu tahu. Apa kau paham? Kau hanya perlu bercerita, atau menjawab pertanyaan."

"Baiklah," jawab Tesla, apapun asal Ibu senang.

"Bagus. Lalu yang ketiga," Bu EYD mengulurkan selembar surat pada Tesla, "dari ibumu."

Wajah Tesla menegang saat mendengarnya. Dengan ragu ia mengambil surat itu. "Bagaimana... ?"

"Ibumu adalah kawan lama saya, dulu sekali, sebelum ia menikah dengan ayahmu. Kami berkenalan di universitas."

"..."

"Dan kalau kau tidak membuat masalah, mungkin saya tak akan pernah berhubungan dengannya lagi."

"Ibu yang menghubunginya?" Tesla berusaha agar amarahnya tidak meledak.

"Tak perlu emosi. Bagaimanapun dia adalah ibumu. Terlepas dari itu, saya tidak akan ikut campur dengan masalah kalian berdua. Meskipun, tentu saja, saya punya pendapat sendiri mengenai hal itu."

"..."

Dalam hatinya Telsa mencoba menemukan kata makian yang tepat untuk Bu EYD tapi sebelum ia berhasil menemukannya, Wali kelasnya itu memegang lengannya.

Ah tangan Bu EYD terasa sangat dingin.

"Dengar." kata Bu EYD sambil menatapanya dalam-dalam, "Meskipun saya masih berpendapat bahwa tidak ada yang salah mengenai apa yang telah saya perbuat, tapi jika hal itu membuatmu kesal, tolong maafkan saya."

"..."

Itu Curang.

"Itu Saja. Kau boleh pergi." kata Bu EYD beberapa saat kemudian.

Tesla berdiri dengan canggung, "Permisi... dan terima kasih sudah memberikan surat ini padaku. Maaf, ibuku telah merepotkan anda."

Bu EYD tersenyum (kali ini senyuman biasa), "Tak masalah. Sampai ketemu senin depan."

Tesla berbalik, namun ketika dia akan keluar dari ruangan, Bu EYD tiba-tiba saja sudah berada di belakangnya, memegang pundaknya, lalu berbisik.

"Jangan berurusan dengan Diva."

---

Tesla tak yakin berapa lama dia berada di ruang guru namun saat ia keluar ruangan, sekolah sudah sepi, dan langit yang tadinya muram nyaris gelap gulita akibat mendung yang menggantung.

Padahal seharusnya sekarang awal musim kemarau.

Polusi.

Lubang di Ozon.

Efek rumah kaca.

Pemanasan Global.

Perubahan iklim.

Bumi memang sudah sekarat.

Baru saja Tesla meninggalkan gedung utama sekolah, hujan turun. Deras. Membuat Tesla terpaksa mengurungkan niatnya untuk langsung pulang. Ia lupa membawa payung. Dan setelah dipikir-pikir, payung memang kurang berguna jika hujannya sederas ini. Belum lagi ia naik sepeda. Jas Hujan mungkin lebih berguna.

Apa yang bisa ia lakukan?

Menunggu.

Bosan.

Lalu muncul sebuah ide yang kelihatannya bagus. Mumpung kelihatannya sekolah sudah nyaris kosong, tak ada salahnya ia berkeliling melihat-lihat ruangan kelas lain. Bukankah seharusnya saat ini ia lebih banyak menghabiskan waktunya di lantai dua. Maka Tesla pun berbalik, menyusuri lorong dan menaiki tangga menuju lantai dua.

Aneh.

Padahal tak banyak perbedaan antara ruangan kelas yang ada, tapi kesannya berbeda. Untuk sesaat Tesla membayangkan: bagaimana seandainya ia tak pernah mendapatkan masalah, bagaimana seandaianya ia tak terlibat dalam kepanitian itu, bagaimana seandainya ia tak pernah mengenal Diva.

Rasanya menyakitkan.

Tesla terus berjalan melewati kelas 2-1

2-2

2-3

2-4

2-5

2-6

2-7

Di sana Tesla berhenti. Dari jendela ia bisa melihat dua sosok yang tampaknya sedang berbincang-bincang. Seorang laki-laki dan seorang perempuan.

Ah dan ia mengenali keduanya.

Tapi bagaimana bisa mereka berada di kelas tujuh. Tidak. Mereka pasti tak sengaja memilih ruang 2-7 untuk berbincang-bincang. Tesla tak bisa mendengar pembicaraan kedua orang itu, tapi pastinya lumayan serius. Si perempuan menangis. Si laki-laki menggelengkan kepalanya, tampak menyesali sesuatu, lalu menghampiri si perempuan dan memeluknya.

Menjijikkan.

Tesla tak berminat melihat kelanjutan drama itu, yang pasti kedua orang itu bakal dapat masalah apabila terpergok petugas sekolah yang sedang berkeliling.

Jauhi Masalah.

Hujan masih turun. Tak ada salahnya naik ke lantai tiga.

Tapi sesampainya di sana Tesla langsung menyesal.

Saat itu belum petang, tapi suasana di lantai tiga sudah seperti setting novel misteri yang pernah Tesla baca. Sunyi dan Suram. Tesla bahkan bisa mendengar tarikan napasnya sendiri. Di luar sesekali petir menyambar.

Terus atau berhenti.

Terus atau berhenti.

Terdengar langkah kaki. Sungguh menakjubkan bagaimana kegelapan bisa mempengaruhi hati manusia. Langkah kaki itu makin kencang. Dan ketika Tesla berhenti berjalan suara langkah kaki itu pun ikut berhenti.

Tentu saja itu suara langkah kaki Tesla sendiri.

3-1

Tak ada yang perlu ditakuti.

3-2

Lalu kenapa kalau suasananya menyeramkan.

3-3

Hanya pengecut yang melarikan diri.

3-4

Tapi dalam kenyataan lebih baik jadi pengecut daripada celaka.

3-5

Dan suasananya memang agak tak biasa.

3-6

Tentu saja ada yang perlu di takuti.

3-7

Seharusnya tak ada seorangpun, tapi di dalam ruang kelas 3-7 tampak seorang gadis duduk di bangku dekat jendela sedang memandangi hujan dalam diam. Dan mendengar langkah kaki Tesla, Gdis itu pun menoleh.

Gadis itu melihat Tesla.

Tesla pun melihatnya.

Jauhi masalah.

Terus atau berhenti.

Tesla menarik napas panjang. Setenang mungkin, ia berjalan, membuka pintu dan melangkah masuk ke dalam ruang kelas 3-7.

Gadis itu menatapnya muram tapi tidak mengatakan apa-apa.

Tesla juga tak tahu mengapa ia melakukan hal itu, mungkin ia memang ditakdirkan untuk selalu mendapatkan masalah. Dan ia baru ingat bahwa ia lupa membicarakan pesta kelas dengan Bu EYD

"Selamat siang, Diva," kata Tesla menyapa sang gadis.

---

End of Chapter 1