SMA Tarung Semesta:Volume01 03

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 3

Ada sebuah buku yang mengatakan, bahwa semua manusia itu terlahir dengan sepasang sayap mungil di punggungnya. Tapi hanya orang-orang yang punya keyakinan kuatlah yang bisa melihat sayap-sayap ajaib itu.

Dan aku percaya itu.

Pagi itu aku berlari-lari kecil di halaman sekolah sembari memeluk sebuah buku berjudul Sayap-Sayap Pelangi. Suasana sekolah masih sepi. Belum banyak siswa-siswi yang datang karena saat itu baru pukul 8 pagi. Sedangkan jam pelajaran pertama dimulai pukul 8.45.

Menikmati udara segar pagi hari dan hangatnya mentari, aku pun bersenandung pelan. Terasa damai sekali.

Namun semua kedamaian itu lenyap seketika saat salah satu jendela di lantai dua, letak kelas N2 berada, dibuka tiba-tiba. Wajah cantik (tapi aku yakin dia itu laki-laki!) berambut merah menyembul dari balik jendela itu. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan keras.

Kemudian dia mengambil ancang-ancang bersiap melompat.

"Ah!? TUNG—!!"

"I BELIEVE I CAN FLY~~!!"

Dan setelahnya suara debuman keras memaksaku untuk menutup telinga. Debu beterbangan di sekitar tubuh malang yang kini terkapar tak sadarkan diri dengan senyum damai menghias wajahnya.

                                  * * *

"Kakak baik-baik saja?"

Pemuda (cantik) berambut merah di hadapanku ini mengerjap berkali-kali dan meringis. Ia bangkit perlahan kemudian menatap sekelilingnya dengan bingung.

"Di mana ini? Apa yang terjadi?"

Sejujurnya aku agak takut berbicara dengan orang asing. Eh, tidak, dia tidak begitu asing. Aku tahu kalau dia salah satu seniorku, namanya Crimson. Dia cukup terkenal. Bukan, bukan karena wajahnya yang cantik seperti perempuan, tapi karena tingkah anehnya. Dia seringkali tiba-tiba melompat dari jendela sambil merentangkan tangan dan berteriak, "I BELIEVE I CAN FLY~~!".

Tadinya kukira itu hanya gosip.

"Siapa kau?"

Crimson bertanya lagi. Tapi karena takut, aku malah tidak menjawab sama sekali. Justru buku yang kubawa sejak tadi semakin erat kupeluk.

"Dan ... siapa aku?"

...eh?

Aku melongo menatap Crimson yang menatapku seperti orang bodoh. Matanya kelihatan sayu dan tampak seolah kehilangan cahaya kehidupan.

Tanpa sadar aku menjatuhkan buku dalam pelukanku.

"Kakak amnesia?!"

"Oh, jadi namaku Amnesia?"

Tiba-tiba suara bel pertanda dimulainya jam pelajaran pertama berbunyi nyaring. Dengan panik kuambil buku Sayap-Sayap Pelangi yang terjatuh tadi, dan bersiap meninggalkan situasi tidak menguntungkan ini.

Namun tanganku mendadak digenggam dengan erat, menahanku melangkah lebih jauh. Aku menoleh dan mendapati Crimson menatapku dengan serius.

"A—apa?"

"Aku ingat semuanya."

"Eh?"

Crimson memintaku duduk kembali, yang dengan terpaksa kuturuti. Dia memperbaiki posisi duduk agar menghadap ke arahku. Tatapan seriusnya tidak berubah.

"Kau ... percaya kalau manusia itu sebenarnya punya sayap?"

Pertanyaan itu sontak membuatku memeluk kembali buku di tanganku. Kata-kata itu mengingatkanku pada lembar pertama buku ini.

"Aku sering bermimpi," lanjut Crimson, "aku berada di sebuah kastil penuh api ... mungkin sedang terbakar. Api di mana-mana ...,"

Aku hanya diam mendengarkan penuturan Crimson. Entah mengapa aku ... merasa aneh.

"Dan sayap. Aku punya sayap. Sayap api. Dan aku bisa terbang! Sungguh!"

Aku tidak tahu harus menanggapinya bagaimana. Crimson mencengkram rambutnya seolah ia sendiri tidak yakin dengan apa yang dikatakannya. Atau mungkin dia merasa bahwa dirinya sudah tidak waras.

"...Dee percaya."

Tanpa sadar kata-kata itu meluncur dari mulutku. Crimson sontak menatapku tak percaya. Terlihat jelas olehku ada binar harapan yang memancar di matanya.

"Sungguh??"

Aku mengangguk pelan.

"Semua manusia itu terlahir dengan sepasang sayap mungil di punggungnya. Tapi hanya orang-orang yang punya keyakinan kuatlah yang bisa melihat sayap-sayap ajaib itu," ujarku mengutip kata-kata yang ada di dalam buku Sayap-Sayap Pelangi. "Dee juga sering bermimpi, um ... tidak, Dee merasa itu nyata. Mungkin kilasan kehidupan sebelumnya? Dee melihat diri sendiri ... memiliki sayap. Sepasang sayap peri yang indah. Dan Dee melihat banyak orang lain. Ada Fia, Fivi, Zein, beberapa orang lain yang tidak begitu jelas namun Dee yakin sangat mengenal mereka, dan—"

—Tuan Ksatria.

"Kau kenapa?"

"T-tidak apa-apa ..."

Tenggorokanku tercekat. Rasa sesak itu muncul lagi. Aku tidak mengerti. Kilasan-kilasan itu mendadak memenuhi kepalaku. Yang bisa kusimpulkan hanyalah satu:

Pertarungan.

Pertarungan di mana-mana. Aku tidak mengerti. Aku merasa hal itu benar-benar pernah terjadi. Tapi aku tidak yakin.

"Oh? Rupanya kau sudah sadar? Jam pelajaran pertama sudah dimulai sejak tadi, loh~"

Aku dan Crimson sontak menoleh ke sumber suara. Seorang siswa dengan rambut pirang dan senyum yang mengembang berdiri di ambang pintu ruang kesehatan.

Anak itu berjalan menghampiri kami seraya menatapku dengan lekat, seolah sedang menganalisa diriku.

"Diddordeb dari kelas H ya?"

Aku refleks mengangguk. Siapa orang ini?

"Ah~ jadi benar, ya? Aku Fort. Fort Maxwell, kelas N2," ujarnya seolah membaca pikiranku. "Terima kasih sudah menjaga Crimson hari ini. Dia memang sering seperti itu. Maaf, ya? Dia tidak merepotkanmu sama sekali, kan?"

Aku menggeleng.

"Siapa kau?" tanya Crimson.

Fort mengalihkan pandangannya pada Crimson, yang entah mengapa menatap penuh curiga pada anak berambut pirang ini.

"Panitia Battle of Realms Nominate."

Panitia ... apa?

Crimson mengernyit. Senyum Fort justru semakin mengembang. Lebih mirip seperti ... menyeringai?

"Dan kau, Crimson Firestone. ...Atau bisa kubilang Yang Mulia Pangeran Crimson Firestone? Semua yang kau ceritakan pada nona ini adalah benar."

Crimson terbelalak. Aku hanya melongo.

"Oh, dan kau memang punya sayap. Mungkin kau tidak sadar, tapi kadang-kadang aku melihat sayap api itu muncul tiba-tiba di punggungmu. Jadi yah, kau seharusnya memang bisa terbang."

Tatapan Crimson mendadak kosong. Seolah jiwanya melayang entah ke mana.

"Mungkin dengan sedikit latihan kau bisa mendapatkan kembali kemampuan terbangmu itu, dan tentu saja sayap api kerenmu juga."

Crimson sontak melompat dari tempat tidur, membuatku terlonjak kaget. Wajahnya terlihat begitu bersemangat. Dan tanpa ba bi bu, ia langsung berlari meninggalkan ruang kesehatan. Derap larinya terdengar menggema di sepanjang koridor (sempat kudengar suara Pak Blackz menegurnya dengan kesal). Dan berikutnya ... hanya terdengar suara teriakan "I believe I can Fly~~!!" disusul dengan suara berdebum yang keras.

Aku hanya bisa meringis membayangkan semua itu.

Fort menoleh padaku dan menunjukkan seringaian puas yang membuatku bergidik ngeri.

"Bukankah anak itu mudah sekali dibodohi?"

Sesaat kemudian senyum ramah Fort kembali menghiasi wajahnya.

"Ja—jadi yang tadi itu ... semuanya bohong?"

"Tentu saja~ Hahaha. Tidak kusangka kau juga menanggapinya dengan serius."

Aku cemberut. Apa salahnya mempercayai semua itu? Lagi pula mimpi-mimpi yang kualami, juga Crimson, terasa begitu nyata.

"Kembalilah ke kelas. Tidak baik loh sering-sering bolos jam pelajaran~"

Aku tersentak. Benar juga. Sebentar lagi jam pelajaran pertama berakhir. Aku harus bergegas!

"Ah, ngomong-ngomong,"

Langkahku terhenti. Aku pun menoleh pada Fort.

"Diddordeb, kan? Si Gadis Peri. Kau memang bisa terbang, loh. Seharusnya sih begitu. Sering-seringlah latihan, oke?"

Dan hal terakhir yang kuingat darinya hanyalah seringaian samar yang membuatku curiga.