Non Sequitur:Volume00 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 01. [A Simple Presence Of A Living Being]

Page.01

Angin berhembus masuk melalui jendela kelas yang masih terbuka, memberikan rasa sejuk -atau lebih tepatnya, dingin- pada seorang anak lelaki yang sedang menyandarkan kepalanya di meja dekat jendela, sambil memandangi langit biru yang tampak kosong, sesekali dihiasi oleh awan-awan kecil yang lewat begitu saja.

Sama seperti kelas 2-D tempat ia berada sekarang, yang telah kosong dan hanya menyisakan dirinya.

Sesekali beberapa murid lain keluar-masuk kelas untuk alasan yang tidak perlu ia pedulikan, namun hanya dia yang terus bertahan di kelas itu, tetap dalam posisi menyandarkan kepala di meja dan mengarahkan wajahnya keluar jendela, sehingga tidak ada yang bisa melihat ekspresi wajahnya untuk menebak apa yang sedang ia pikirkan.


“Walau aku sendirian, aku tidak kesepian.”

“Walau aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak bosan.”

“'Kesepian' dan 'kebosanan' sudah menjadi bagian dari diriku sejak lama.”

Itulah yang saat ini ada di kepala anak laki-laki bernama Nobunaga Shinra itu.


"Ternyata kau memang masih di sini, ya.."

Seorang anak lelaki lain memasuki kelas 2-D, seraya menghampiri Shinra yang belum juga mengangkat kepalanya dari meja.

Hanazawa Shuutarou.

Anak lelaki yang cukup tinggi untuk ukuran anak kelas 2 SMA, dengan tinggi 192cm, dan rambut tersisir rapi ke belakang. Namun yang paling mencolok darinya adalah bekas luka horizontal yang lebar di daerah hidungnya. Siapapun yang melihat penampilannya untuk pertama kali mungkin bakal mengiranya ketua berandalan di sekolah ini, walau jabatan yang ia sandang sebenarnya kebalikan dari predikat menakutkan itu.

"Ada perlu apa ketua OSIS yang seharusnya sedang sibuk mendatangiku ke sini?" tanya Shinra tanpa mengubah posisi kepalanya.

"Cuma ingin ngobrol sebentar denganmu. Boleh?"

"Aku tidak terlihat seperti orang yang sedang sibuk, kan? Bicara saja, telingaku nganggur, kok. Oh, dan kalau kau tidak keberatan, biarkan aku bicara padamu dalam posisi begini saja, ya. Pemandangan langitnya sedang bagus, dan kepalaku rasanya sudah menempel dengan meja," jawab Shinra.

"Yah, yah, terserah kau sajalah," ujar Shuutarou sambil meraih bangku di depan meja Shinra, lalu duduk berhadapan dengan sahabatnya, yang tak dapat ia lihat wajahnya saat ini karena tertutup oleh kedua tangan yang melingkari kepalanya.

"Jadi, ada perlu apa denganku?" tanya Shinra.

Shuutarou menghela nafas sebelum mulai berbicara.

"Shinra, sebenarnya bagaimana perasaanmu saat ini?"

"Perasaan? Hei, aku memang kelihatan seperti sedang melamun, tapi bukan karena hal-hal remeh seperti jatuh cinta pada seseorang, tahu."

"Bukan, bukan itu maksudku.."

"Hm? Jadi apa maksudmu menanyakan soal perasaanku? Oh, tenang saja, aku tidak menyimpan perasaan apa-apa padamu, kok."

"Bukan itu!! ...hhh, kau kira kita ini pasangan gay?"

"Oh, kukira itu maksudmu.." ujar Shinra dengan nada datar, tanpa menunjukkan sedikit pun tanda-tanda bahwa ia berniat memperhatikan lawan bicaranya.

"Yang aku maksud adalah, apa kau tidak apa-apa sendirian dan tidak melakukan apa-apa seperti ini?"

Telinga Shinra bergidik mendengar kata-kata itu.

Walau aku sendirian, aku tidak kesepian.

Walau aku tidak melakukan apa-apa, aku tidak bosan.

'Kesepian' dan 'kebosanan' sudah menjadi bagian dari diriku sejak lama.

Kalimat-kalimat yang baru saja ia pikirkan muncul kembali di kepalanya. Tapi ia merasa tidak perlu memberikan jawaban seperti itu, jadi ia tetap diam dan mendengarkan Shuutarou melanjutkan pembicaraannya.

"Di antara kita berlima, cuma kau yang tidak memiliki kesibukan di luar jam sekolah. Kau tahu, kami semua merasa tidak enak meninggalkanmu sendirian begitu saja, apalagi kelas kita terpisah-pisah begitu masuk kelas 2. Tapi bukan berarti kami tidak memperhatikanmu lagi.. Kita kan sudah berteman sejak kelas 1, jadi kami tidak mau kalau kau merasa ditinggalkan begitu saja."

"Aku tidak merasa begitu, kok."

"Kalau begitu, bisa kau jelaskan kenapa kau begini terus setiap pulang sekolah sejak awal semester baru dimulai?"

"Karena aku tidak punya hal lain untuk dilakukan."

"Tepat sekali. Karenanya, aku sekarang datang ke sini untuk mengajakmu masuk ke sebuah klub, jadi kau juga punya kesibukan sendiri seperti kami."

"Klub apa? Lagipula, memangnya kau senang ya kita punya kesibukan masing-masing sampai terpisah-pisah seperti ini?"

"Yang merasa begitu, sebenarnya cuma kamu, kan?"

Kali ini Shinra mengangkat kepalanya dan menatap Shuutarou setelah mendengar perkataan itu.

"Nah, kata-kataku tepat sasaran kan?", tanya Shuutarou sambil menyunggingkan sebuah senyum kecil di wajahnya.

"Kau meninggalkan pekerjaan OSISmu cuma untuk menjadi agen konsultasiku? Maaf, tapi aku tidak merasa punya masalah dengan keseharian seperti ini."

"Siswa diizinkan untuk tetap berada di sekolah setelah jam sekolah berakhir apabila siswa tersebut memiliki kesibukan yang berhubungan dengan kegiatan kelas, kesiswaan, atau klub. Jangan bilang kau tidak tahu aturan itu."

Shinra menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal mendengar sang ketua OSIS berbicara.

"Selama ini aku membiarkanmu karena kukira kau sedang memikirkan klub yang cocok denganmu, seperti Miroku di klub fotografi, Minami di klub komputer, atau Kouji di klub drama. Punya kesibukan masing-masing kan bukan berarti kami meninggalkanmu, malah kau yang kelihatan seperti menutup diri pada kami."

"Jadi, aku salah kalau tidak punya kesibukan seperti kalian?"

"Bukan salah, hanya saja, kau kelihatan seperti tidak memiliki sesuatu yang ingin kau capai dalam waktu dekat ini. Hidup tanpa tujuan itu tidak baik lho untuk masa depanmu. Makanya, setelah kami berunding berempat, kami menemukan satu klub yang benar-benar cocok denganmu."

"Klub apa?" tanya Shinra malas, karena ia sudah mengucapkan kalimat ini sebelumnya.

Shuutarou pun tersenyum hangat, melihat sahabatnya itu akhirnya menunjukkan sedikit ketertarikan setelah obrolan panjang tadi.

"Klub literatur."

"Ha?"


Page.02

Ruang klub literatur terletak di paling ujung lantai 3 gedung sekolah lama.

Mungkin karena lokasinya yang seperti itu, tidak banyak orang yang tahu apa yang dilakukan klub literatur, atau bahkan tidak tahu sama sekali tentang keberadaannya. Ditambah lagi, klub literatur memang satu-satunya klub yang belum memiliki prestasi apapun di sekolah ini, jadi wajar keberadaannya tidak dianggap penting.

Di dalam ruang klub yang kecil itu, seorang anak perempuan sedang duduk di dekat jendela di ujung ruangan sambil membaca sebuah buku tebal yang berjudul 'Katalog Furnitur Murah'.

Ruangan itu sangat sepi. Tidak ada suara berisik apapun yang mengganggu di dalam ataupun dari luar ruangan itu.

Setidaknya, sampai terdengar teriakan seseorang dari lorong lantai 3.


Hanazawa Shuutarou, sang ketua OSIS, sedang menyeret Nobunaga Shinra menuju ruang klub literatur.

"Oi! Lepaskan aku! Ini sih pemaksaan namanya! Apanya yang 'klub yang cocok denganmu'?! Dengar namanya saja baru sekarang!”

Shuutarou menarik kerah belakang seragam Shinra tanpa perlawanan, karena Shinra tidak bisa menjangkau tubuh Shuutarou yang besar itu.

"Sudahlah, jangan malu-malu begitu.. Kau terharu ya karena kami berhasil menemukan klub yang berbeda dari yang lain, selalu tampak sepi, dan tidak punya banyak kegiatan? Benar-benar seperti dirimu, kan? Kujamin kau cocok berada di sini."

"Apanya?! Sialan, kau menyindirku ya? Kalian berempat pasti sudah bersekongkol merencanakan ini!!!"

"Hei, jangan berisik.. Nah, kita sudah sampai."

Mereka berdua kini berada di depan pintu ruang klub literatur. Shuutarou, masih dengan sebelah tangannya memegang kerah belakang seragam Shinra, mengetuk pintu dengan perlahan.

"Permisi? Ada seseorang di dalam? Kami membawa seseorang yang ingin bergabung dengan klub ini."

"Hei! Siapa bilang aku mau?! Lepaskan aku, codet sialan!"

Shuutarou membuka pintu ruang klub, dan mendapati seorang anak perempuan yang sedang membaca sebuah buku tebal. Ia tidak melihat buku apa itu, tapi kelihatannya si perempuan bahkan tidak memperhatikan kedatangan mereka berdua.

"Kau lihat, Shinra? Itulah sosok ideal dari anggota klub literatur. Lihat buku yang dibacanya, pasti itu sebuah novel asing terkenal yang aku saja belum tentu bisa membacanya sampai habis. Dan lebih lagi, dia bisa begitu fokus membacanya, konsentrasinya tidak pecah walau kita berdua ada di sini."

"Aku tidak bisa melihat apa yang kau lihat dalam keadaan begini!!"

Tiba-tiba Shuutarou melempar Shinra masuk ke dalam ruang klub literatur. Ia melayang beberapa saat, kemudian mendarat tepat di depan kaki si anak perempuan itu. Si perempuan yang dari tadi melihat ke arah buku baru menyadari adanya dua orang di hadapannya, dan di saat yang sama, Shuutarou segera menutup pintu ruang klub literatur, kemudian menguncinya.

"AAAAAAAAAAAAAAAAHHH!!"

Shinra segera bangkit dan berteriak, sambil berlari ke arah pintu yang sudah tertutup.

"Bodoh! Kenapa kau mengurung kami di sini?! Keluarkan aku! Akan kubuat kau akan dipecat dari jabatan ketua OSISmu!"

"Anggota klub literatur itu juga pasti punya kunci ruangan ini kan? Mintalah baik-baik padanya, dan bergabunglah dengan klub literatur untuk membalas budi," kata Shuutarou dari balik pintu.

"Ini pemaksaan!" teriak Shinra sambil memukul-mukuli pintu yang tak bisa ia buka itu. Suara Shuutarou tidak terdengar lagi, dan Shinra hanya bisa bertekuk lutut, lemas.

"Ada perlu apa dengan klub literatur?"

Shinra menoleh ke belakang, mendapati sesosok anak perempuan seumurannya, -tidak, ia kelihatan terlalu kecil untuk ukuran anak perempuan seumurannya- dengan rambut panjang sepinggang. Apa dia adik kelas? Kelihatannya Shinra belum pernah melihat perempuan ini selama tahun pertamanya di sekolah.

"Siapa kau? Bisa tolong aku keluar dari sini?"

"Aku bertanya duluan. Jangan membalas pertanyaanku dengan pertanyaan lagi."

Ugh. Benar-benar adik kelas yang sok, pikir Shinra.

"Aku Nobunaga Shinra dari kelas 2-D. Sebenarnya aku tidak punya urusan dengan klub literatur, tapi ketua OSIS itu menyeretku ke sini," ujar Shinra kesal. "Sekarang bisa berikan aku kuncinya?"

"Hue? Kelas 2-D?" tanya perempuan itu.

"Ya, memangnya kenapa?" Shinra balik bertanya.

"Berarti kita teman sekelas, ya. Eh, tadi kau bilang Nobunaga? Nobunaga yang bangkunya dekat jendela itu, ya?"

Shinra mengangguk pelan.

"Namaku Kanata Haruka, kelas 2-D juga. Kau tidak mengenalku, Nobunaga-kun? Yah, di kelas aku memang tidak semenonjol dirimu, sih."

"Hah? Aku? Apa yang menonjol dariku?" tanya Shinra heran.

"Hm... Apa ya? Ada semacam aura aneh yang membuatmu kelihatannya tidak bisa disentuh oleh orang biasa, padahal kau sendiri sebenarnya orang yang cukup biasa, menurutku."

"Apa maksudmu?"

Shinra tidak mengerti apa yang ingin dikatakan anak ini.

"Orang-orang di sekitarmu. Walau kau kelihatannya biasa-biasa saja, tapi kau selalu dikelilingi murid-murid top sekolah ini. Hanazawa Shuutarou, sang ketua OSIS. Siapa yang tidak mengenalnya? Seluruh sekolah ini pasti mengenal sosoknya sekali lihat."

Yah, aku setuju denganmu soal itu, ujar Shinra dalam hati.

"Lalu ada Ichiro Miroku, peringkat satu sekolah selama tiga semester berturut-turut. Kemudian Sasaki Minami, peraih penghargaan nyaris di semua bidang olahraga hanya dalam waktu satu tahun, padahal ia sendiri bukan anggota tetap klub olahraga manapun. Dan terakhir, ada Tsukigami Kouji, siswa tertampan di sekolah ini yang menurut orang-orang wajahnya lebih tampan dari bintang iklan di TV."

Oh.. Jadi karena itu..

"Kau mengerti sekarang? Kau seperti punya kemampuan untuk membuat orang-orang hebat berada di sekelilingmu. Karena itu, kau sendiri kelihatan mencolok di mataku."

"Kau berlebihan. Kami saling kenal di kelas 1 dan kebetulan jadi akrab selama setahun bersekolah di sini. Itu saja."

"Begitukah?"

"Ya, hanya begitu saja kok."

"Hmmm..."

"Sekarang boleh aku keluar dari sini, Kanata-san?'

"Panggil aku Haruka saja. Nobunaga juga tidak terlalu enak untuk diucapkan, menurutku, jadi aku akan memanggilmu dengan Shinra-kun saja."

Hei, hei. Kenapa kau jadi memutuskan seenaknya begitu?

"Shinra-kun."

"Ng? Ada apa?", tanya Shinra, yang baru menyadari kalau Kanata Haruka sejak tadi memandanginya dengan tatapan antusias.

"Bergabunglah dengan klub literatur!"

"Ha?"


Page.03

"Bagaimana, Shinra? Klub literatur cocok denganmu, kan?"

Hari telah berganti sejak insiden pemaksaan-masuk-klub-literatur oleh Shuutarou. Saat ini, Shinra sedang duduk bersama keempat temannya di kantin sekolah, menikmati makan siang di jam istirahat mereka.

"Secocok codetmu di wajahmu," jawab Shinra datar.

"Kau masih marah soal kemarin? Ayolah, itu kan demi kebaikanmu juga.." ujar Shuutarou dengan nada memelas.

"Benar. Lagipula, kau kan tipe orang yang tidak bisa maju kalau tidak ada gaya yang mendorongmu dari belakang, seperti hukum fisika pada benda diam..."

"Diam, Miroku. Jangan bicara soal pelajaran di luar jam pelajaran. Aku sedang berusaha menikmati makananku, nih.”

Dua temannya yang lain, Ichiro Miroku dan Sasaki Minami, ikut menimpali. Miroku menghela nafas mendengar larangan Minami, yang kini sedang makan dengan lahapnya di samping Shinra, sementara ia, Shuutarou, dan Kouji duduk di bangku yang berseberangan dengan mereka berdua.

"Jadi bagaimana, Shinra? Apa kau akhirnya memutuskan untuk bergabung dengan klub literatur?" tanya si sosok murid tertampan di sekolah ini, Tsukigami Kouji.

"Itu.."

"Waaah! Shinra-kun! Kebetulan sekali!"

Belum sempat menjawab apa-apa, Shinra dikejutkan oleh kemunculan sosok mungil Kanata Haruka, sang anggota klub literatur, yang tiba-tiba saja sudah berada di sebelahnya. Ia membawa sebungkus roti coklat dan kopi kaleng di kedua tangannya.

"Boleh aku makan di sini bersama kau dan teman-temanmu?"

"Silakan saja, kami tidak keberatan kok," jawab Shuutarou. Pertanyaan itu ditujukan untuk Shinra, tapi entah kenapa malah Shuutarou yang menjawab. Haruka pun menaruh roti coklat dan kopi kalengnya di meja, lalu duduk di sebelah Shinra.

"Kanata-san? Ada perlu apa denganku?" tanya Shinra.

"Tidak apa-apa, cuma ingin mengakrabkan diri dengan sesama anggota klub literatur, juga dengan teman-temanmu. Kita kan belum kenal lama, dan aku juga tidak punya banyak teman di kelas, jadi bolehkah aku bergabung di sini?"

"Tentu saja, kami tidak keberatan kok," lagi-lagi Shuutarou yang menjawab.

"Eh? Jadi kau sudah memutuskan untuk bergabung dengan klub literatur?" tanya Minami, yang baru saja menghabiskan 2 mangkuk katsu ramen.

"Kanata-san, tolong jelaskan pada mereka. Aku malas mengatakannya.." pinta Shinra.

"Haruka, Shinra-kun. Kan kemarin sudah kubilang, panggil aku Haruka saja."

"..Haruka-san, tolong jelaskan pada mereka.." Shinra mengoreksi kata-katanya.

"Hm, baiklah. Sebelumnya, perkenalkan semua, namaku Kanata Haruka, teman sekelas Shinra-kun." Haruka memperkenalkan diri sambil sedikit membungkukkan badannya. "Jadi begini, tadinya klub literatur punya lima orang anggota, aku dan empat orang senior. Tapi begitu masuk tahun ajaran baru, keempat seniorku itu sudah lulus dari SMA ini, jadi tinggal aku satu-satunya anggota klub literatur. Dua hari yang lalu, ketua OSIS mendatangi klub literatur dan mengatakan, kalau sampai akhir semester klub literatur tidak bisa mendapatkan minimal tiga orang anggota, maka klub itu akan dibubarkan."

Selain Shinra dan Shuutarou, semuanya terlihat berusaha menyimak cerita Haruka ini.

"Tadinya aku sudah menyerah dan memilih untuk menikmati saja sisa-sisa hariku di ruang klub literatur. Tapi kemarin, tiba-tiba Shinra-kun datang ke ruang klub, dan begitu melihatnya aku langsung merasa bahwa ia akan cocok berada di sini, jadi kuajak saja dia bergabung dengan klub literatur!"

Semuanya menganggukkan kepala tanda setuju, sementara Shinra berusaha tidak mendengarkan dengan fokus pada makan siangnya saja.

"Kenapa ia mau bergabung dengan klub literatur?" tanya Minami, yang kini tengah bersiap menyantap semangkuk katsu ramennya yang ketiga.

Haruka tersenyum lebar mendengar pertanyaan ini. Senyum yang manis untuk wajahnya, tapi Shinra merasa sebal melihatnya.

“Karena kami sudah membuat sebuah janji."

"Janji?"

"Ya. Shinra-kun berjanji akan mencarikan dua orang anggota baru untuk klub literatur sebelum semester ini berakhir, dan sebagai jaminannya, dia akan bergabung sebagai anggota sementara dari klub literatur, jadi setidaknya kami tinggal mencari seorang lagi kalau mau klub ini bertahan sampai akhir tahun. Tidak masalah kan, ketua (OSIS)?" ujar Haruka sambil menghabiskan roti coklatnya.

"Ya, tidak masalah. Selama klub itu punya minimal tiga orang anggota dan ruang klub, serta persetujuan dariku, maka klub itu legal keberadaannya," jelas Shuutarou.

"Tunggu dulu," sela Minami, yang kelihatannya masih penasaran dengan cerita ini. "Kenapa Shinra sampai mau berjanji seperti itu?"

"Ini persekongkolan antara Shuutarou dan Haruka-san. Aku yakin mereka memang sudah merencanakan untuk memasukkanku ke klub literatur dari awal, entah dengan paksaan atau tidak." Kali ini Shinra menjawab langsung pertanyaan Minami. Mendengar perkataan itu, Shuutarou dan Haruka tersedak di saat yang sama. "Benar kan dugaanku?"

"A-aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan Shinra-kun.. Kau kan berjanji begitu karena aku bersedia mengeluarkanmu dari ruangan klub, jadi.."

"Oi, Minami, Miroku, Kouji. Memangnya kalian bertiga berunding dengan Shuutarou dulu sebelum sepakat memilih klub literatur untukku?" Shinra memotong ucapan Haruka yang terbata-bata.

Minami, Miroku, dan Kouji saling bertukar pandang mendengar pertanyaan Shinra. Haruka mulai terlihat gugup, sementara Shuutarou menyeruput kopi kalengnya dengan tenang.

"Uh, sebenarnya sih, kami bertiga memang sempat ngobrol dengan Shuutarou membicarakan klub apa yang cocok denganmu. Tapi tiba-tiba Shuutarou bilang, 'Klub literatur cocok untuk Shinra! Aku pasti akan membuatnya masuk klub itu', lalu meninggalkan pembicaraan kami," jawab Minami.

"Sejujurnya aku juga kaget, dan tidak tahu dari mana Shuutarou punya ide seperti itu," kata Kouji menimpali.

"Nah, Shuutarou, bisa jelaskan ada apa di balik semua ini?" tanya Shinra sambil melipat kedua tangannya. Shuutarou diam sejenak memperhatikan seluruh pandangan teman-temannya kini tertuju padanya, lalu menghela nafas pelan sebelum mulai menjawab.

"OK, kau menang, Shinra. Hebat, kau bisa membuat hipotesa seperti itu."

"Tentu saja, sikap memaksamu yang berlebihan kemarin itu mencurigakan sekali, tahu."

"Hahaha, iya ya.. Yah, singkatnya, aku punya hutang budi pada Haruka-san, jadi aku sepakat membantunya mencarikan anggota untuk klub literatur. Karena aku sibuk dengan urusan OSIS dan semua selain Shinra punya kegiatan klub masing-masing, jadi kandidat yang bisa kutawarkan cuma Shinra, kan?"

Shuutarou berhenti sebentar, kemudian melanjutkan perkataannya.

"Jujur saja Shinra, apa kau keberatan? Aku memilihmu karena aku dekat dan kenal denganmu. Aku tidak bisa mengajukan sembarang orang pada Haruka-san, kan? Percuma saja aku menawarkan orang sebanyak apapun kalau tidak ada satupun yang berminat dari awal. Lagipula, kau cuma perlu memiliki status sebagai anggota klub, di luar itu, aku tidak keberatan apapun yang kau lakukan, selama itu di ruang klub dan bukan di kelas. Tidak masalah, kan?"

Kini pandangan semuanya beralih ke Shinra, yang sedang mencerna kata-kata Shuutarou.

Memang tidak ada salahnya sih, pikir Shira. Yah, mungkin sesekali tidak ada salahnya mencoba sesuatu yang baru. Toh kehidupan sehari-hariku tidak akan berubah hanya dengan mengikuti sebuah klub.

"Baiklah," Shinra menjawab dengan pelan. "Dengan satu syarat."

"Apa itu?' tanya Shuutarou.

Shinra menatap semua teman-temannya satu-persatu, lalu menjawab,

"Aku ingin kalian semua juga berada di klub itu bersamaku."

"Haaaa?"


Page.04

Nobunaga Shinra selalu menganggap bahwa dirinya tidak istimewa.

Meski ia selalu bisa melakukan segala hal yang umumnya bisa dilakukan orang lain, namun dari sekian banyak hal yang mampu ia lakukan, tidak ada satupun yang membuatnya ahli dalam satu bidang. Singkat kata, ia tidak pernah merasa memiliki suatu keahlian khusus.

Hal inilah yang menarik perhatian Hanazawa Shuutarou di awal tahun mereka di SMA Nishi. Entah sejak kapan, Shuutarou menyadari bahwa Shinra adalah personifikasi dari Jack of all trades, master of none, sebuah idiom yang secara kebetulan baru saja ia kenal di pelajaran Bahasa Inggris. Karenanya, ia sangat tertarik untuk membuat Shinra memiliki suatu kemampuan yang tidak bisa dikuasai oleh seseorang pada umunya, walau ia belum memikirkan kemampuan apa itu.

Sejak awal masuk SMA, Shinra tidak ingin menjadi orang yang menonjol. Namun sejak Shuutarou tertarik dengannya, mau tak mau ia jadi dikenal banyak orang karena keberadaan Shuutarou yang selalu dekat dengannya. Apalagi sejak Shuutarou juga mengajaknya untuk berkenalan dengan Sasaki Minami, Ichiro Miroku, dan Tsukigami Kouji. Awalnya mereka berlima berkenalan satu sama lain hanya karena suatu tugas kelompok, namun lama-kelamaan, mereka berlima menjadi akrab selama tahun pertama mereka di SMA. Shinra selalu bisa mengingat dengan jelas bagaimana keempat sahabatnya itu mencapai apa yang telah mereka dapat saat ini.

Hanazawa Shuutarou adalah orang yang ambisius. Sejak awal mengenalnya, Shinra jadi sedikit merasa menyesal karena kehidupan SMA yang ia harapkan jadi tidak bisa terwujud karena keberadaan orang ini. Shuutarou sangat ingin memiliki kendali penuh atas segala hal, termasuk sekolah ini, walau tidak sampai ke konteks 'menguasai'. Hal inilah yang menjadi motivasi baginya untuk menjadi ketua OSIS. Ia bahkan sempat mengajak Shinra untuk menjadi wakilnya, namun yang bersangkutan jelas menolak dengan alasan tidak ingin menjadi orang yang menonjol. Akhirnya, setelah melalui banyak hal, Shuutarou berhasil terpilih sebagai ketua OSIS. Hal ini membuatnya semakin terkenal di mata dan telinga semua orang-orang di sekolah, dan semakin membuat Shinra merasa tidak nyaman karenanya.

Sasaki Minami, walaupun ia seorang perempuan, tapi siapapun yang melihat penampilannya di luar seragam sekolah pasti akan mengira kalau dia adalah laki-laki. Wajahnya tidak kasar karena olahraga, tapi lebih terlihat maskulin alih-alih feminim, ditambah lagi dengan potongan rambut pendeknya. Dan di saat perempuan lain lebih terobsesi pada artis, fashion, atau masalah cinta, Minami justru hanya terobsesi pada satu hal: olahraga. Ketika Shuutarou menceritakan soal keunikan Shinra padanya, ia jadi tertantang untuk melakukan hal yang sama: mencoba semua bidang olahraga yang mampu ia kuasai. Hasilnya sangat mengejutkan; ia tidak hanya bisa melakukan berbagai macam olahraga dengan baik, ia juga disertakan ke berbagai macam perlombaan oleh sekolah, yang ajaibnya nyaris semua berhasil ia menangkan.

Namun bagi Shinra, yang lebih aneh adalah fakta bahwa Minami selalu langsung merasa bosan dengan olahraga yang berhasil ia kuasai. Karena itulah, ia menolak semua tawaran dari klub olahraga. Ketika ia merasa tidak ada lagi olahraga yang belum ia kuasai, Shinra memberi saran agar ia mencoba satu bidang olahraga yang belum pernah ia coba: catur. Hal ini berhasil membuat Minami bertahan pada satu bidang olahraga saja, karena ia tak pernah bisa menang dalam bermain catur. Sayangnya, tidak ada klub catur di sekolah, dan teman-temannya tidak mungkin menemaninya bermain catur tiap waktu. Akhirnya, lagi-lagi atas saran Shinra, ia malah bergabung dengan klub komputer, dengan alasan agar dapat bermain catur kapan saja. Satu hal yang benar-benar mengejutkan seluruh klub olahraga di sekolah.

Ichiro Miroku tidak memiliki tampang seorang 'siswa teladan' seperti yang Shinra bayangkan saat pertama kali mendengar tentang dirinya; ia tidak memakai kacamata, tidak berpenampilan rapi, dan rambutnya jelas tidak tersisir. Tapi dengan adanya contoh seperti Shuutarou dan Minami, Shinra tidak lagi merasa heran kalau penampilan luar orang ini tidak menggambarkan seperti apa ia sebenarnya. Miroku tidak pernah terlihat belajar selain ketika memang jam pelajaran. Walaupun kalau bicara ia memang terdengar seperti orang yang berpengetahuan luas, ia tidak punya hobi membaca atau semacamnya. Hobinya, di luar jam pelajaran atau di saat berkumpul dengan Shinra dan yang lainnya, adalah mendekati cewek manapun yang kebetulan ada di dekatnya dan menurutnya menarik.

Shinra sudah tahu alasan sebenarnya mengapa ia masuk klub fotografi: agar bisa meminjam kamera klub untuk mengambil foto semua perempuan yang ia kenal. Pola pendekatannya selalu sama; diawali dengan menanyakan nama dan diakhiri dengan meminta foto. Tapi Miroku tidak pernah berani melakukan itu sendiri, jadi ia selalu mengajak Shinra saat ingin melakukannya. Alasannya, agar ia tidak dicurigai sebagai orang mesum kalau sendirian, dan karena dibanding dengan Shuutarou, Minami atau Kouji, ia merasa tidak segan dengan Shinra, dan Shinra tidak terlihat mencolok dibanding yang lain. Karena hobi inilah, walaupun nilai-nilai pelarannya bisa dibilang selalu tanpa cela, ia tidak pernah mau mengikuti lomba-lomba yang ditawarkan oleh pihak sekolah, karena menurutnya cuma akan menyita waktu dan perhatiannya.

Tsukigami Kouji adalah pribadi yang paling menarik bagi Shinra di antara yang lainnya. Ia ramah, bersahabat, mudah diajak bicara, dan selalu bisa menjadi pendengar yang baik. Menurut Shinra, ia terkenal bukan hanya karena tampangnya saja, tapi karena ada perasaan segar tiap kali melihat wajahnya atau berbicara padanya. Berbeda dengan 3 orang sebelumnya, entah kenapa Shinra tidak merasa keberatan dengan keberadaan 'orang mencolok' yang satu ini.

Satu-satunya hal yang membuat Shinra terkadang merasa tidak enak dengannya adalah, saat ia meminta Shinra untuk menemaninya menolak pernyataan cinta dari anak-anak perempuan di sekolah. Persamaan Kouji dan Miroku adalah, mereka senang meminta Shinra untuk menemani mereka di saat-saat yang menurut Shinra sifatnya pribadi, sedangkan perbedaannya adalah, Miroku senang mendekati perempuan, sementara Kouji selalu saja didatangi oleh perempuan. Menurutnya, ia tidak mau kalau harus jadi milik seseorang, karena dengan begitu waktu dan perhatiannya tidak bisa dihabiskan untuk banyak orang lain yang mungkin punya keperluan dengannya. Atas dasar pemikiran itu pulalah, ia masuk ke klub drama, dengan alasan agar orang-orang yang hanya ingin melihatnya bisa melihatnya kapan saja. Bagi Shinra, hanya inilah satu-satunya keanehan Kouji.

Di antara semua teman-temannya itu, Shinra merasa hanya dirinya yang tidak istimewa.

Hanya dia yang tidak punya warna.

Dan ia sadar, bahwa teman-temannya sekalipun tidak akan bisa memberikan warna padanya.


"Aku kaget sekali ketika kau bilang begitu kemarin. Kukira kau meminta kami semua untuk keluar dari klub masing-masing untuk menemanimu di klub literatur itu," ujar Minami kepada Shinra yang sedang berjalan di sebelahnya. "Memangnya kenapa kau memerlukan kami juga?"

Shinra dan Minami sedang berangkat menuju ke sekolah mereka. Kebetulan rumah mereka searah, jadi mereka selalu berangkat dan pulang bersama sejak saling kenal di kelas 1.

"Adaptasi. Mungkin setelah beberapa hari, aku baru akan terbiasa di klub itu. Hanya sampai kami mendapatkan seorang anggota lagi kok. Tidak apa-apa kan?"

Sebenarnya, alasan Shinra tidak hanya itu. Ia tak pernah merasa keberatan walau harus sendirian. Hanya saja, ia nyaris tidak pernah meminta sesuatu kepada teman-temannya. Jadi kali ini, ia ingin mencoba untuk melihat kesanggupan mereka apabila Shinra yang memerlukan mereka, bukan seperti biasanya.

"Yah, buatku sih tidak masalah. Yang lain juga kelihatannya setuju-setuju saja," jawab Minami enteng.

"Terima kasih."


"Sudah ya, sampai ketemu lagi saat istirahat nanti!"

Minami berlari menuju kelasnya sambil melambaikan tangan pada Shinra. Shinra pun membalasnya sambil tersenyum kecil. Segera setelah Minami hilang dari pandangan, Shinra pun masuk ke kelasnya. Seperti biasanya, kelas selalu ribut sebelum guru datang. Namun entah kenapa, Shinra merasa kelasnya hari ini lebih ribut dari yang biasanya.

"Sudah dengar? Katanya bakal ada murid baru di kelas kita!"

"Yang benar? Tapi ini kan sudah tengah semester 1 kelas 2?"

"Benar, pasti dia punya masalah sehingga pindah di tengah tahun begini."

"Laki-laki atau perempuan?"

"Perempuan. Kelihatannya dari luar negeri!"

"Heee..."

Murid baru. Perempuan. Orang asing. Mendengar kata-kata itu, Shinra mengerti kenapa kelasnya jadi ribut membicarakannya. Informasi memang cepat sekali menyebarnya bila melalui perantara mulut ke mulut. Ia tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti itu, toh hidupnya sudah cukup terganggu dengan keberadaan teman-temannya, walau bukan berarti ia tidak menyukai mereka. Karena malas mendengar kelanjutan pembicaraan itu, ia menyandarkan kepalanya di meja seperti biasanya, dan menatap langit.

Hari ini, langit sangat berawan, walau cuacanya masih bisa dibilang cerah.

Bel tanda masuk pun berbunyi. Para murid kelas 2-D segera duduk di bangkunya masing-masing. Sesaat setelahnya, wali kelas mereka memasuki ruangan kelas. Setelah para murid memberi salam, sang guru menaruh tangannya di meja guru, sambil mengumumkan hal yang ditunggu-tunggu oleh seisi kelas, kecuali Shinra.

"Ehem.. Hari ini, kelas kita kedatangan murid baru. Mungkin ia akan sedikit mengalami kesulitan untuk berbaur dengan kalian di sini, jadi mohon kerjasamanya agar ia bisa merasa nyaman selama berada di sini. Nah, kau boleh masuk sekarang."

Pintu pun terbuka, memperlihatkan sosok sang murid baru yang melangkah masuk ke depan kelas.

Sesosok perempuan asing, dengan wajah berseri-seri dan rambut merah menyala yang tergerai berantakan, berdiri di depan kelas sambil mengarahkan pandangannya ke seisi kelas. Terdengar suara-suara para murid kelas 2-D yang berbisik-bisik melihat penampilan si murid baru yang sangat mencolok itu, namun kelihatannya ia tidak menghiraukannya. Matanya terlihat sibuk mencari-cari, hingga akhirnya matanya tertuju ke satu arah.

Meja Shinra.

"Ya, kau boleh memperkenalkan dirimu sekarang..."

Ia tidak mendengar perkataan sang guru. Segera setelah menemukan sosok Shinra (yang kepalanya masih menempel di meja dengan wajah menghadap ke jendela), ia langsung berjalan menuju ke arahnya. Seisi kelas pun terkejut melihatnya, apalagi saat ia berhenti di samping Shinra dan langsung mengangkat kepala Shinra dari meja.

Ia memutar kepala Shinra sehingga wajah mereka berhadapan.

"Shinra!" teriaknya kegirangan. "Aku pulang!"

"Haaa?"


Page.05

"Jadi, bisa kau beritahu kami siapa perempuan di sampingmu itu?"

"Hanya dalam waktu dua hari, anggota kita sudah bertambah dua orang... Shinra, kau memang hebat!"

"Diam, Shuutarou. Lagipula, anggota apa yang kau maksud?"

"Beritahu aku namanya!"

"Ajak dia masuk ke klub literatur, Shinra-kun!"

Oi, oi. Bisa berhenti membombardirku dengan pertanyaan tidak? Aku perlu ruang untuk bicara..

"Aku teman masa kecil Shinra. Namaku Nana Sylvetta. Salam kenal semuanya!"

Tidak ada yang menyuruhmu bicara!!

Nobunaga Shinra benar-benar kehilangan kata-kata.


Ia tidak ingat sejak kapan, tapi rasanya sejak dulu, ia memang tidak ingin menjadi seseorang yang menonjol.

Alasannya sederhana; ia bukannya ingin menjadi orang yang antisosial atau sendirian di dunia ini. Hanya saja, ia tidak ingin orang-orang jadi mengharapkan sesuatu darinya apabila ia terlihat menonjol, atau dengan kata lain, berbeda dari orang lain.

Ia tidak punya apapun, dan tidak bisa melakukan banyak hal untuk orang lain.

Ia selalu merasa terbatas atas dirinya sendiri.

Ia tidak istimewa.

Karenanya, ia merasa orang-orang tak perlu terlalu banyak memberikan perhatian mereka pada dirinya.

Karena ia tak akan bisa membalas perhatian mereka.

Setidaknya, hal itulah yang tetap berusaha dipertahankan oleh Shinra di kepalanya.

Sampai murid pindahan ini muncul dan mengekornya hingga saat ini.

"Shinra, kamu kenapa sih? Kamu benar-benar kehilangan kata-kata setelah lama tidak melihatku, ya? Aku banyak berubah, kan?"

Shinra hanya diam dan meneguk susu kalengnya.

"Nana-chan, bergabunglah dengan anggota klub literatur!" pinta Haruka dengan suara menggebu-gebu.

Kau itu tidak bisa lihat waktu dan tempat ya?

"Apa Shinra juga ada di klub itu?"

"Ya."

"Kalau begitu aku ikut!"

"!!!!!"

Shinra menyemburkan susu yang ia minum karena kaget.

Di seberang tempat ia duduk, Shuutarou, yang kini basah akibat semburan Shinra, hanya diam sambil menyeka wajahnya dengan saputangan. Segera setelahnya, ia meneguk kopi kalengnya, dan balas menyemburnya ke arah Shinra.

"Oi! Apa-apaan kau, Shuutarou?!"

"Harusnya aku yang bertanya begitu!"

"Diam, kalian berdua!"

Sesaat setelah bunyi *DUGH* yang cukup keras, wajah Shinra dan Shuutarou kini terbenam di atas meja. Minami baru saja memukul mereka berdua di kepala, dan kini tengah bersiap untuk menyantap makan siangnya. Tanpa mempedulikan Shinra dan Shuutarou, yang lain melanjutkan pembicaraan mereka.

"Bisa ceritakan pada kami bagaimana hubunganmu dengan Shinra, Sylvetta-san?" Kali ini Kouji juga menunjukkan sedikit ketertarikan, setelah dua orang sekaligus masuk ke dalam lingkaran kehidupan sehari-hari mereka dalam waktu dua hari berturut-turut.

"Ok. Aku mengenalnya sejak kami berumur empat tahun. Saat itu, aku mendekatinya karena dia terlihat berbeda, seperti terpisah dari dunia anak-anak yang lain. Lalu kami jadi akrab, dan berteman hingga kelas 5 SD. Setelahnya, aku pindah ke Amerika, namun karena bosan, aku kembali lagi ke sini! Begitulah!"

Yang lain hanya bisa berkomentar 'Heee...', sementara Shinra bangkit dari tempat duduknya dan beranjak pergi.

"Shinra? Mau ke mana?" tanya Nana.

"Toilet."


Shinra menghela nafas panjang begitu sampai di dalam toilet.

Cuma toilet satu-satunya tempat yang ada di pikiran Shinra, karena ia tahu Nana tidak akan mengikutinya ke sini.

Walaupun ia sedikit merasa bersalah meninggalkan Nana yang sudah lama tak bertemu dengannya begitu saja, tapi ia yakin, Nana akan lebih mudah berbaur dengan teman-temannya tanpa kehadiran dirinya.

Sekarang lengkap sudah. Tidak cukup dengan empat orang itu, seseorang yang baru dan lama juga ambil bagian dalam kehidupanku.

Tidak, Shinra berpikir seperti itu bukan membenci mereka.

Hanya saja, ia merasa akan lebih banyak direpotkan lagi dalam beberapa waktu ke depan.

Tetapi yang benar-benar membuatnya perlu waktu sendiri untuk menenangkan dirinya adalah kehadiran seseorang yang sudah lama nyaris ia lupakan.

Nana Sylvetta.

Seseorang yang tak ingin ia lupakan, tapi juga tak ingin ia hadirkan dalam kehidupan sehari-harinya.

Kalau aku akan mati, apa yang akan kau lakukan?

Pertanyaan itu masih terngiang di telinga Shinra.

Aku tidak tahu.

Aku tidak tahu.

Aku tidak mau tahu.

Aku...

"Shinra?"

Shinra tersadar dari lamunannya, dan menatap orang yang baru saja memanggil namanya --Shuutarou.

"Raut mukamu berubah sejak kedatangan anak itu. Ada masalah apa kau dengannya?" tanya Shuutarou dengan wajah khawatir.

Shinra, yang menyadari hal ini, berusaha untuk tidak terlihat kacau di depan Shuutarou.

"..tidak, tidak apa-apa.. Aku hanya belum sarapan dari tadi pagi, dan saat makan siang ini, kau malah menyemburkan kopi padaku. Nafsu makanku jadi hilang, digantikan oleh rasa mual karena kopi yang bercampur dengan bau mulutmu."

"Hei! Bau susu lebih tidak enak, tahu! Apalagi, kau yang mulai duluan!”

Shinra hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya.

"Bersihkan badanmu. Kita tidak akan bisa masuk kelas dengan keadaan begini. Kalau tidak salah, di ruang OSIS ada seragam para senior yang sudah lulus yang tidak terpakai. Setelah ini, ayo kita ke sana."

"Yang lain bagaimana?"

"Tadi aku sudah bilang untuk bertemu lagi di ruang klub literatur setelah pulang sekolah. Yah, sebenarnya aku, Minami, Miroku, dan Kouji sudah tidak perlu lagi menemanimu karena anggota ketiganya sudah ada kan? Tapi aku merasa seperti berhutang kalau tidak mampir sekali. Lagipula, yang lain juga kelihatannya tidak keberatan kalau ruang klub itu menjadi tempat alternatif kita untuk bekumpul selain pada jam istirahat."

"Bicaramu seperti kita ini sebuah organisasi rahasia saja."

"Hahahaha," Shuutarou tertawa lepas mendengar komentar Shinra.

Setelah membasuh muka dan sebagian badan mereka, Shuutarou dan Shinra berjalan menuju ruang OSIS.

"Hei," ujar Shinra memulai kembali pembicaraan. "Sebenarnya, aku tidak terlalu tahu apa yang dilakukan oleh klub literatur. Jadi...apa yang nanti akan kulakukan?"

"Hmm.. Sebenarnya menurutku kau tidak perlu menganggap klub itu isinya kegiatan-kegiatan yang sifatnya formal saja. Toh tujuan adanya klub itu sebenarnya agar kita menikmati kehidupan sekolah kita, kan?'

"Menikmati?"

"Ng, yah, aku memang tidak mengikuti klub apapun sih, tapi mungkin mulai sekarang aku akan mengisi waktu luangku di klub literatur juga. Setahuku klub literatur itu aktivitasnya hanya membaca atau menulis sesuatu kan? Mungkin tidak masalah juga kalau aku jadi anggota tidak tetap, ya. Hahahaha."

"Kenapa tidak dari awal saja kau bilang begitu?"

"Kan sudah kubilang, aku ingin melihat apa kau punya kemauan untuk bergerak atas kehendakmu sendiri atau tidak."

"Hhhh.. Kalau begitu, kau tidak perlu sampai menyeretku segala, kan?'

"Sudahlah, tidak usah dibahas lagi."

"Iya, iya.."

Shinra dan Shuutarou sudah berada di dekat ruang OSIS. Masih ada 10 menit lagi bel masuk berbunyi, namun kelihatannya koridor menuju ruang OSIS tampak sepi-sepi saja. Kelihatannya hari ini para anggota OSIS sedang tidak ada kegiatan penting, sehingga ruang OSIS pun tampaknya kosong. Shuutarou membuka pintu ruangan itu dan langsung mengacak-acak sebuah kardus, kemudian melempar sebuah seragam kepada Shinra.

"Sial, seragam seukuranku masih ada tidak ya?"

"Pakai saja yang lebih kecil sedikit. Badan sebesarmu, siapa lagi yang punya di sekolah ini?" kata Shinra sambil memakai seragamnya.

"Hei, bukan salahku aku jadi Tokyo Tower seperti ini kan? Peminum susu sepertimu mana mungkin tahu perasaanku yang selalu harus memandang rendah orang lain?"

Sebenarnya, ucapan 'memandang rendah' itu adalah kalimat yang ambigu.

Shinra hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat Shuutarou yang masih sibuk mencari seragam untuknya.

"Aku duluan, ya."

"Ya, sampai ketemu lagi pulang sekolah nanti."

Shinra pun melangkah keluar dari ruang OSIS. Dari jendela di koridor, ia dapat melihat awan lebat berkumpul di tengah langit.

Sepertinya sebentar lagi akan turun hujan.

Sambil berpikir bahwa kelihatannya ia memang harus ke klub literatur pulang sekolah nanti, Shinra menuruni anak tangga menuju ruang kelasnya.

Namun, ia segera berhenti ketika melihat seseorang berdiri di tengah anak tangga.

"Shinra," orang itu berkata. "Ada yang ingin kubicarakan denganmu"


Page.06.A Side

Shinra memandangi sosok Sasaki Minami, yang kini berdiri di tengah anak tangga.

"Ada perlu apa, Minami?"

Minami terlihat salah tingkah ketika Shinra mendekatinya. Sesekali ia menatap Shinra, lalu kemudian menunduk ke bawah. Baru kali ini Shinra melihat Minami bertingkah laku aneh seperti ini. Bahkan, wajahnya terlihat sedikit memerah.

"Oi, kau sakit?"

"Oh.. Tidak! Aku tidak apa-apa! Ma-maaf, aku cuma melamun sebentar tadi, hehehe.."

Kau memanggilku untuk bicara denganmu, tapi kau malah melamun?

"Shinra.."

Minami, yang kelihatannya sudah sedikit tenang dibandingkan sebelumnya, mulai berbicara kembali.

"Sebenarnya, murid baru itu siapa?"

"Maksudmu Nana? Ia cuma temanku sejak kecil, kok."

"Be..benarkah cuma itu?"

Wajah Minami memerah lagi ketika menanyakan ini.

"Ya, cuma itu. Kenapa? Kau menyangka kami berpacaran atau semacamnya?"

"Ti-tidak.. Aku cuma ingin tahu saja.."

"Begitukah?"

"Iya.."

Bersamaan dengan jawaban Minami, bel masuk pun berbunyi.

"Kalau begitu, sampai bertemu lagi sepulang sekolah nanti."

Seperti biasa, Minami berlari meninggalkan Shinra sambil melambaikan tangan, sementara Shinra membalasnya sambil tersenyum kecil.

Shinra pun berjalan menuju ke arah kelasnya, kelas 2-D.


Page.06.B Side

Shinra memandangi sosok Ichiro Miroku, yang kini berdiri di tengah anak tangga.

"Shinra."

Shinra tak perlu mendengar apa yang akan dikatakan orang ini. Ia sudah tahu hanya dengan melihat ekspresi di wajah Miroku.

"Nana Sylvetta itu teman dekatmu kan? Tolong perkenalkan aku dengannya! Aku ingin mengambil foto dirinya!"

Tuh, kan, batin Shinra dalam hati.

"Bukannya dia sudah memperkenalkan diri tadi? Memangnya kau tidak memperkenalkan dirimu padanya?"

"Ng.. Sebenarnya sih sudah, karena Kouji dan yang lain juga memperkenalkan diri tadi.."

Sosok murid terpintar di sekolah in, kini sama sekali tidak terlihat wibawanya. Yang terlihat darinya hanyalah kecanggungan, seperti seorang anak TK yang baru pertama kali masuk ke sekolah.

Tapi, ini bukan pemandangan baru bagi Shinra.

"Shinra, tolong bantu aku agar dia mengizinkanku untuk memfotonya.."

"Fetish-mu terhadap ‘perempuan dalam foto’ memang aneh."

"Terserah apa katamu.. Tolong, ya?" ujar Miroku dengan wajah memohon.

"Kenapa aku harus?"

"Kumohon!"

Kali ini, Miroku bersujud di depan Shinra. Benar-benar lelaki tanpa harga diri.

"...Miroku, bukannya aku tak mau membantumu. Tapi, untuk sekali ini saja, cobalah mengumpulkan keberanianmu untuk memintanya sendiri. Ini kan tidak seperti kau mengajaknya berkencan atau semacamnya.."

Kali ini, Shinra mencoba untuk menolaknya dengan halus.

Bel tanda masuk pun berbunyi.

"Sudah ya, aku duluan. Kalau kau sudah mencoba untuk memintanya sendiri, silakan minta bantuanku lagi," kata Shinra sambil meninggalkan Miroku, yang masih dalam keadaan bersujud.

Shinra pun berjalan menuju ke arah kelasnya, kelas 2-D


Page.06.C Side

Shinra memandangi sosok Tsukigami Kouji, yang kini berdiri di tengah anak tangga.

"Ada apa, Kouji?"

"Ah, tidak.. Hanya saja, kau kelihatan tidak seperti biasanya di dekat Sylvetta-san tadi. Ada masalah apa kau dengannya?"

Sesaat, kepala Shinra rasanya berputar mendengar kalimat itu.

Kalimat yang sama dengan yang diucapkan oleh Shuutarou di toilet tadi.

"Kalau kau ada masalah dengannya, biarkan kami membantumu.. Aku tidak ingin melihat seseorang di antara kita kehilangan moodnya saat kita sedang bersama-sama."

Kouji, kau baik sekali. Seandainya aku perempuan, mungkin aku sudah suka kepadamu sejak dulu.

Itulah yang ada di pikiran Shinra, namun tentu saja tidak ia ucapkan di depan Kouji.

"..tidak, tidak apa-apa.. Aku hanya belum sarapan dari tadi pagi, dan saat makan siang ini, Shuutarou malah menyemburkan kopi padaku. Nafsu makanku jadi hilang, digantikan oleh rasa mual karena kopi yang bercampur dengan bau mulutnya. Itu sebabnya aku terlihat seperti tidak enak badan tadi."

Entah mengapa, Shinra juga menjawab dengan kalimat yang sama dengan ia ucapkan di toilet tadi.

"Benarkah?"

"Benar, hanya itu saja kok."

"Syukurlah... Kukira kau berusaha menghindarinya karena ada masalah dengannya. Kau tahu, sejak kau dan Shuutarou pergi, ia tak henti-hentinya membicarakan tentang dirimu."

"Eh?"

"Benar, aku tidak bohong. Kelihatannya ia orang yang baik, karena begitu perhatian padamu walau tidak bertemu denganmu sejak lama. Karena itu, aku tidak mau kalau orang baik seperti kalian sampai bertengkar."

Kau sendiri juga orang yang baik sekali, kok.

"Terima kasih, Kouji. Kami tidak seperti itu kok, tenang saja."

Bersamaan dengan perkataan Shinra, bel tanda masuk pun berbunyi.

"Sudah ya. Oh ya, tolong bantu Shuutarou di atas. Kelihatannya ia belum menemukan seragam untuk mengganti seragamnya yang basah tadi."

"Oh, baiklah."

Kouji pun menaiki tangga menuju ke ruang OSIS, sementara Shinra turun dan berjalan menuju ke arah kelasnya, kelas 2-D


Page.06

Shinra memandangi sosok Nana Sylvetta, yang kini berdiri di tengah anak tangga.

"Nana.."

"Shinra, aku akan langsung saja. Apa kamu berusaha menghindariku seharian ini?"

"Eh? Aku tidak berniat begitu."

"Kalau begitu tunjukkan sedikit rasa rindumu padaku, dong!" ujar Nana seraya langsung memeluk Shinra.

"Umpf! Oi, Nana! Kita bukan anak kecil lagi! Bahaya kalau seseorang melihat kita seperti ini!"

Nana pun melepaskan pelukannya, namun kedua tangannya masih bertahan di pundak Shinra.

"Bahaya? Kenapa?"

"Apa kau mengenal kata 'senonoh' di Amerika? Di sekolah ini...tidak, di negara ini, makna 'liberal' tidak seperti di Amerika, tahu!"

Kali ini, Nana melepas kedua tangannya dari pundak Shinra.

"Uuuuh.. Shinra jadi dingin setelah kita lama tidak bertemu.."

"Rasanya tidak ada yang berubah dari diriku selama 5 tahun ini selain fisik. Bicara soal fisik, sejak kapan rambutmu jadi merah begitu? Rasanya dulu rambutmu warnanya lebih gelap."

"Tapi warnanya tetap sama kan? Jadi tidak masalah, dong."

"Ya, ya. Sesukamu sajalah."

Shinra berhenti berkomentar sambil berusaha mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Suasana tiba-tiba menjadi hening untuk beberapa saat.

"Hei, Shinra."

"Ng?"

"Masih ingat pertanyaanku dulu?"

"Jangan tanyakan lagi."

"Berarti, kau masih ingat, ya.."

"......."

"......."

Hening lagi.

Kali ini, 'pertanyaan' yang dulu sekali pernah ditanyakan oleh Nana menjadi sangat jelas di kepala Shinra.

Seakan-akan, hari ini kembali ke hari itu.

[Hari itu].

"Tolong, jangan tanyakan itu lagi, Nana.."

Shinra tidak ingin apapun mengusik kepalanya saat ini. Ia tidak mau mengingat apapun, juga tidak mau memikirkan apapun lagi untuk saat ini.

Bel masuk sudah berbunyi dari tadi, namun mereka berdua masih tenggelam dalam keheningan, seolah dunia luar tidak mampu memberikan suara kepada mereka. Keheningan itu, akhirnya dipecahkan oleh satu kata.

"Maaf."


Page.07

Bel tanda sekolah telah usai pun berbunyi.

Seperti biasa, bel tersebut bagai sinyal bagi semua murid di sekolah ini untuk meninggalkan bangku masing-masing.

Mereka yang menikmati masa muda mereka tentu tidak ingin berlama-lama terpaku di bangku tempat mereka menghabiskan waktu untuk belajar selama seperempat hari. Banyak hal lain yang bisa dilakukan setelah pulang sekolah, seperti berkumpul bersama teman-teman untuk pergi bermain ke suatu tempat, ataupun mengikuti kegiatan klub.

Namun, kedua hal tersebut tidak ada hubungannya dengan Nobunaga Shinra.

Tidak seperti kebanyakan murid lainnya yang telah meninggalkan bangku mereka masing-masing, kepala Shinra masih menempel di mejanya, dengan wajah menghadap ke jendela sehingga tak ada yang bisa melihat ekspresi apa yang sedang ia tunjukkan saat ini.

“Bangun, Shinra! Kebiasaanmu tidur di jam pelajaran terakhir belum sembuh juga ya?”

Sang murid pindahan, Nana Sylvetta, menghampiri bangku tempat Shinra duduk dan mengguncang pundak Shinra dengan penuh semangat. Melihat tidak ada reaksi balasan dari orang tersebut, Nana pun mengambil sebuah botol air mineral dari tasnya dan menumpahkan isinya ke kepala Shinra.

“Gyaaaaa!!!”

Shinra segera terbangun dari tidurnya dan mendadak berdiri, namun entah kenapa ia kehilangan keseimbangan dan bunyi *DUGH* pun terdengar saat kepalanya jatuh ke lantai.

“Sakit! Kepalaku sakit!”

Rupanya kakinya terpeleset saat bangun tadi. Pelaku yang memicu semua kejadian tersebut tidak menunjukkan rasa bersalah sama sekali dan malah tersenyum melihat Shinra berguling-guling di lantai yang basah sambil memegangi kepalanya.

“Sylvetta-san, jangan menambah pekerjaan kami yang piket hari ini, dong..” ujar seorang siswi yang tengah membawa ember berisi kain pel.

“Ehehe, maaf, maaf.. Lain kali aku akan lebih berhati-hati..”

“SEHARUSNYA KAU MINTA MAAF PADAKU! AKU KORBAN DI SINI!”

Shinra bangkit dan melangkah menuju Nana, namun terpeleset untuk kedua kalinya (kali ini wajahnya yang membentur lantai). Seisi kelas yang melihat kejadian itu tertawa bercampur iba melihat Shinra yang tidak berdaya terkapar di lantai.

“NA-NA..”

Kelihatannya Shinra geram sekali dengan apa yang menimpanya saat ini. Nana yang melihat tanda-tanda bahaya dari Shinra mengambil langkah mundur sambil tetap memegangi botol air mineral yang kini telah kosong.

“Shinra-kun, Nana-chan~! Ayo pergi ke ruang klub~! Anggota baru tidak boleh telat lho~!”

Terdengar suara dari sang anggota klub literatur bertubuh mungil, Kanata Haruka, yang memanggil mereka berdua dari luar kelas. Tampaknya ia sudah tidak sabar untuk segera pergi ke ruang klub dengan dua (calon) anggota barunya tersebut. Namun, kedua orang yang ia panggil tampaknya tidak mendengarkan.

Prepare yourself!!!!!!!” teriak Shinra seraya melompat ke arah Nana. Entah kenapa, ia berteriak dalam bahasa Inggris.

Nana bergerak mundur untuk menghindari Shinra.

Di saat yang sama, tanpa sengaja botol yang ia pegang terlepas dari genggamannya dan menggelinding di lantai.

Tepat ke arah kaki Shinra mendarat.

Shinra pun jatuh ke lantai untuk yang ketiga kalinya.


SMA Nishi memiliki total tiga gedung. Gedung utama difungsikan untuk semua kegiatan hal akademis, di mana kelas, ruang guru, laboratorium, dan perpustakaan berada di sini. Gedung lainnya adalah lapangan olahraga indoor, yang juga difungsikan sebagai aula untuk upacara dan kegiatan besar lainnya. Sementara gedung terakhir adalah gedung sekolah lama, di mana semua ruang klub berada. Gedung utama dan gedung sekolah lama dipisahkan oleh kantin di lantai 1, dan di atas kantin terdapat koridor di lantai 2 yang menghubungkan gedung sekolah lama dan gedung utama seperti jembatan.

Shinra tengah berjalan menuju koridor tersebut, diiringi dengan dua orang perempuan cantik di sampingnya. Sebuah pemandangan yang membuat banyak orang yang melihat mereka berjalan bersama luar biasa iri dan memberi pandangan dengan hawa membunuh. Shinra tidak mempedulikan hal itu, karena pikirannya sedang berada di tempat lain.

“Makanya.. Kan sudah kubilang berkali-kali.. Aku benar-benar minta maaf! Yang terakhir itu benar-benar tidak sengaja...”

“Kalau minta maaf saja cukup untuk mengampuni kesalahan semua orang, polisi tidak perlu ada untuk menangkap pelaku kriminal, tahu.”

“Sudah, sudah kalian berdua.. Bukannya kalian sudah berteman sejak kecil? Shinra-kun, Nana-chan sudah minta maaf dengan sungguh-sungguh, maafkanlah dia...ya?”

“Cih..”

Shinra mengalihkan pandangannya agar matanya tidak bertemu dengan mata kedua perempuan di sampingnya tersebut. Di luar jendela, tampak awan mendung telah menutupi langit. Tak lama lagi, hujan pasti akan segera turun.

“Ng, ng, oh iya! Shinra-kun mirip sekali dengan Shuutarou waktu kecil!” ujar Haruka yang kelihatannya ingin mengalihkan pikiran Shinra.

“Ha?”

Shinra pun melirik ke arah Haruka dengan muka yang seolah bertanya ‘apa maksudmu?’. Melihat perhatian Shinra akhirnya teralih padanya, Haruka pun tersenyum kecil.

“Apakah Kanata-san dan Hanazawa-san berteman sejak kecil?” tanya Nana melanjutkan pembicaraan.

“Ah!”

Haruka tiba-tiba berhenti melangkah dan menutup mulutnya. Sesaat kemudian wajahnya merona merah.

Shinra memandang Haruka, kemudian melihat ke arah Nana.

“Eh.. Maaf.. Apakah itu hal yang seharusnya tidak kita bicarakan?” tanya Shinra. Nana kelihatannya tidak bisa menangkap apa yang sedang terjadi dan memperlihatkan wajah kebingungan.

Haruka pun mengangkat wajahnya, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Tidak apa-apa, maksudku ya, tapi tidak.. Uuuh.. Pokoknya ya sudahlah!” ujar Haruka sambil menampar wajahnya sendiri dengan kedua tangannya.

Kini Shinra juga heran dengan apa yang terjadi.

“Kelihatannya Shuutarou memang tidak pernah menceritakan apapun tentangku, ya..” Haruka menghela nafas dan melanjutkan berbicara, “Ternyata dia memang benar-benar merahasiakan hal ini.”

“Apa maksudmu?” tanya Shinra.

“Hehe, dulu sejak di bangku SD, aku dan Shuutarou itu sebenarnya selalu sekelas lho.” Haruka pun mulai bercerita. “Shuutarou itu dulu tipe anak yang gampang sekali merasa marah, sehingga ia sering sekali berkelahi dengan teman-temannya karena hal-hal kecil. Karenanya, ia tak punya banyak teman selama di SD.”

“Hee..” gumam Nana sambil melirik ke arah Shinra dengan pandangan yang membuat Shinra sebal. Shinra tahu maksud pandangan menyindir itu, tapi ia tidak menghiraukannya karena ingin mendengarkan Haruka berbicara.

“Aku selalu memerhatikannya dari kejauhan. Mungkin semacam ketertarikan karena aku sendiri juga bukan tipe yang punya banyak teman. Tak kusangka, kami ternyata bisa dekat, dan dia bahkan beberapa kali melindungiku saat aku sering dijahili karena badanku yang kecil. Aku juga senang sekali saat tahu kami melanjutkan ke SMP yang sama. Tetapi selama di SMP, Shuutarou mulai banyak berubah.”

Haruka berhenti sejenak untuk menatap Shinra dan Nana, kemudian melanjutkan ceritanya.

“Yah, seperti yang kalian lihat, Shuutarou itu punya aura seperti preman kan? Selama SMP, entah kenapa, ia jadi lebih sering terlibat perkelahian daripada waktu di SD. Dan kali ini bukan perkelahian anak-anak seperti dulu, karena beberapa kali ia berkelahi sampai berdarah-darah. Benar-benar seperti perkelahian anggota geng di komik-komik. Mungkin karena tidak mau aku terlibat, kami tidak begitu dekat selama berada di sekolah ketika SMP. Saat masuk SMA, kami akhirnya tidak sekelas lagi, jadi kupikir dia sudah punya kehidupan sendiri atau semacamnya. Aku cuma khawatir kalau-kalau ia terlibat masalah seperti di SMP lagi..”

Kali ini, Haruka menatap Shinra sambil tersenyum.

“Sampai aku melihat kalian berdua.”

“Ha?”

Shinra terkejut mendengarnya. Tidak hanya hal-hal mengenai Shuutarou yang selama ini tidak ia ketahui, tetapi perkataan Haruka kini tertuju pada dirinya.

Aku?

“Aku benar-benar kaget lho saat melihat Shuutarou begitu akrab denganmu. Sebelumnya, ia tidak pernah seperti itu dengan orang lain, bahkan tidak denganku. Apalagi kemudian kalian berdua jadi berlima. Entah kenapa, aku merasa sangat senang melihatnya. Shuutarou jadi benar-benar berbeda dengan Shuutarou yang dulu, bahkan sampai bisa menjadi ketua OSIS. Kupikir, ini semua berkat kau, Shinra-kun.”

Aku benar-benar tidak tahu soal ini.

“Setiap kali aku melihat kalian, aku selalu merasa ingin berada di tempat yang sama dengan kalian, tapi kelihatannya aku terlalu malu bahkan untuk sekedar menyapa kembali Shuutarou. Jadi, aku bergabung dengan klub literatur untuk menghilangkan perasaan itu. Anggota klub itu semuanya kakak kelas yang akan lulus, sehingga di tahun ini aku sendirian. Tapi kemudian, hal itu terjadi.”

Shinra sudah bisa menebak kelanjutan cerita ini.

“Suatu hari, Shuutarou datang ke ruang klubku. Karena sudah lama tidak berbicara dengannya, aku benar-benar tak tahu apa yang harus kukatakan. Aku bahkan tak tahu dia masih ingat denganku atau tidak. Tadinya kupikir ia datang untuk mengusirku dari ruang klub karena anggotanya tinggal aku sendiri tanpa anggota baru. Tapi ternyata tidak. Tahu apa yang ia katakan?”


“Aku pasti akan mencarikan anggota baru untukmu!”


“Aku benar-benar terkejut mendengarnya, tapi juga sekaligus bahagia. Dia masih Shuutarou yang dulu kukenal, yang melindungiku saat aku membutuhkannya. Karenanya, aku sangat senang saat keesokan harinya kau muncul di ruang klub. Sepertinya ia benar-benar memberi kesempatan bagiku untuk bergabung dengan dunianya.”

Haruka pun kini tersenyum lebar.

“Terima kasih, Shinra kun~! Kau juga Nana-chan, dengan begini, aku tidak akan sendirian lagi, hehehe~”

Ah.. Aku mengerti sekarang..

Shuutarou yang Shinra kenal adalah orang yang selalu berusaha menyeret orang lain ke dalam dunianya sendiri. Bukan dalam arti negatif, tapi Shinra tahu, Shuutarou juga sebenarnya membutuhkan seseorang yang dapat menemaninya, sehingga ia tidak sendirian dalam dunianya. Mungkin, ia tak mau memerlihatkan sikap bergantung pada orang lain, dan berusaha menutupinya dengan caranya sendiri. Bukan tidak mungkin pula, Shuutarou sebenarnya ingin bersama dengan Haruka lagi, namun tidak tahu bagaimana caranya untuk kembali seperti dulu.

Shinra pun membalas senyum Haruka dengan tersenyum kecil, seraya berkata,

“Sama-sama..”


Hujan turun tepat saat Shinra, Haruka dan Nana sampai ke ruang klub literatur. Shinra baru ingat kalau hari ini ia tidak membawa payung (dan memang tidak pernah membawa sebelumnya), jadi menurutnya bukan ide buruk untuk menghabiskan waktu sejenak di ruang klub literatur sampai hujan reda.

Saat Shinra membuka pintu ruang klub literatur, ia mendapati pemandangan yang mengejutkan.

“Hei Shinra! Kenapa justru kalian yang anggota klub ini yang datangnya belakangan?” ujar Shuutarou saat Shinra membuka pintu.

“Waaaiii~! Baru kali ini ruangan ini penuh banyak orang~!” teriak Haruka sambil menerobos Shinra yang berdiri di tengah pintu dengan kegirangan, namun segera berhenti saat ia melihat 4 orang di dalam ruangan klub itu.

Shuutarou, Minami, Miroku dan Kouji sedang bermain kartu di tengah ruangan itu, namun bukan ini yang membuat Shinra dan Haruka membeku di posisi mereka.

Melainkan...

“Hee? Kenapa kalian bertiga cuma memakai celana dalam?”

Nana yang akhirnya ikut melihat ke dalam isi ruangan itu bertanya dengan nada polos.

“I-i-ini semua ide Miroku!!!” teriak Minami dengan wajah merah. Di antara mereka berempat, hanya dia yang masih memakai seragam lengkap dengan sweater, sementara ketiga orang lainnya tidak memakai apa-apa selain celana dalam mereka.

“Wa-wawa-wa! Shuutarou, Kouji-kun! Pakai baju kalian!” ujar Haruka sambil menutupi wajahnya.

“Eh? Aku tidak dianggap?” tanya Miroku.

“Diam, mesum!” Minami memukul kepala Miroku sehingga wajahnya terbenam di lantai. “Sudah kukira ada yang aneh di tengah-tengah permainan tadi! Apanya yang ‘tantangan’? Untung aku jenius dalam hal permainan seperti ini!”

“Haa.. Kau menyelamatkan kami, Shinra..” ujar Tsukigami Kouji, sang murid tertampan di sekolah ini, yang kini tidak memakai pakaian apapun. “Kalau kami melanjutkan permainan, mungkin salah satu di antara kami akan benar-benar telanjang.”

Seandainya Miroku mengambil foto Kouji saat ini, foto itu pasti bisa dijual sangat mahal kalau dijual ke para siswi di sekolah ini. Namun kelihatannya ia tidak tertarik mengambil foto selain foto perempuan.

“Wawawa.. Empat orang laki-laki bermain seperti ini di ruang klubku.. Ini bisa dijadikan bahan untuk tulisanku selanjutnya..”

“Jangan! Dan apa maksudmu empat orang laki-laki? Aku perempuan!” protes Minami.

“Eh?”

Haruka menunjukkan wajah kebingungan.

Ia melihat wajah Minami, badannya yang seperti laki-laki, dan kemudian barulah ia melihat kalau Minami memakai rok.

Crossdress? Cosplay?

“Aku perempuan!”


Hujan pun reda setelah hampir setengah jam berlalu. Karena Haruka memang tidak merencanakan apa-apa, maka kegiatan di ruang klub literatur berakhir dengan obrolan biasa seputar sekolah dan kegiatan klub masing-masing. Shinra sempat ingin menanyakan soal Haruka pada Shuutarou, namun karena merasa ini bukan waktu yang tepat, ia mengurungkan niatnya. Nana juga kelihatannya tidak peduli soal cerita itu, dan dengan senangnya ia membaur di antara obrolan teman-teman Shinra. Shinra sendiri tidak melihat ada yang aneh antara Haruka dan Shuutarou, karena mereka berdua bersikap seperti mereka baru saling mengenal beberapa hari yang lalu.

Seusai ‘kegiatan klub’ tersebut, mereka semua pulang bersama. Sebelum Haruka dan Nana hadir di kehidupan sehari-harinya, Shinra memang sering pulang bersama empat orang temannya saat kelas 1. Di kelas 2 ini, baru saat ini ia pulang bersama dengan teman-temannya lagi setelah sekian lama. Ia merasa banyak sekali hal yang terjadi dalam tiga hari terakhir ini. Mulai dari paksaan Shuutarou untuk masuk klub literatur hingga kembalinya Nana ke dalam kehidupannya.

Ia berharap, hal ini tidak akan berujung pada masalah-masalah baru di masa yang akan datang.

Ia hanya ingin menjalani sisa hari yang akan datang tanpa perlu direpotkan dengan hal-hal yang berbau masalah di sekitarnya.

Setidaknya, untuk saat ini, ia harus mengakui bahwa sebenarnya, berada di antara teman-temannya seperti sekarang adalah saat-saat yang paling menenangkan dalam hidupnya.


Walaupun ketenangan itu tidak akan berlangsung lama.


Page.07.2

Rumah Shinra searah dengan Minami, jadi mereka berpisah di tengah jalan dengan yang lainnya.

Shuutarou dan Kouji juga berpisah dengan yang lainnya sesaat setelahnya.

Sementara itu, Miroku tampaknya bahagia bisa berjalan bersama Nana dan Haruka, walaupun sesaat setelahnya mereka bertiga juga berpisah ke arah yang berbeda-beda.

Arah yang mereka semua tuju berbeda, walaupun mereka semua berangkat dari satu titik yang sama.

Begitu pula dengan sebuah cerita.

Tidak menutup kemungkinan bahwa sebuah cerita dapat berakhir dengan akhir yang berbeda-beda, tanpa terpaku pada satu titik akhir.

Di antara ketujuh remaja yang baru saja menghabiskan beberapa waktu bersama-sama tersebut, salah seorang di antara mereka memikirkan hal ini, seraya bergumam,

“Hmph.. Dunia memang sempit..”