Loki: Sigyn

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Apa maumu?

Ini adalah gua tempat pengasingan bagi pesakitan, orang-orang terkutuk, orang-orang seperti aku. Tak seorang pun Æsir dan Asynja yang suci dan tanpa cela sepertimu sudi mengotori kaki mereka dengan melangkah memasuki neraka ini. Apa maumu datang ke sini?

Untuk apa kau ke sini? Untuk apa kau mendekat? Apa maumu? Apa maumu mendekati aku, makhluk paling hina di muka bumi?

Aku sudah tidak bisa lagi memetikkan bunga dari taman Idun dan menyelipkannya di belakang telingamu. Aku sudah tidak bisa lagi mencuri segenggam emas permata dan mempersembahkannya kepadamu. Aku sudah tidak bisa lagi melakukan apapun untukmu. Aku hanya seorang pendosa yang dibelenggu dengan rantai besi, dengan seekor ular yang siap meneteskan bisanya tepat di wajahku ini, menunggu detik-detik menjelang kekacauan yang telah lama aku nanti. Jadi apa maumu?

“Yang membelenggumu bukan rantai besi, tapi Narve. Putra kita. Narve.”

Ha. Sudah kuduga. Nyawa dibayar dengan nyawa, itu maksud mereka, bukan? Biar kutebak, mereka juga melakukan hal yang serupa pada Vali.

“Mereka mengubah Vali—putra kita juga—menjadi seekor serigala, memasang tali kekang pada lehernya, dan mengumpankan Narve kepadanya.”

Aku tidak ingin tertawa. Tidak di hadapanmu. Tapi akhirnya aku tetap tertawa, menertawakan betapa bodohnya aku. Masih sempat-sempatnya aku memikirkan perasaanmu, padahal aku sudah bisa menerka apa yang kauinginkan dariku.

Kau ingin melihat penderitaanku.

Kau ingin memastikan bahwa aku merasakan penderitaan yang setimpal dengan penderitaan yang kau rasakan karena aku. Kau ingin melihatku ketika kebebasanku direnggut, sama seperti ketika aku merenggut kebebasanmu dulu. Kau ingin melihatku ketika aku terikat, tak bisa bergerak, sama seperti ketika aku mengikatmu padaku dulu. Kau ingin melihatku ketika aku merasakan sakit seolah jiwaku tengah dicabut paksa dari ragaku, sama seperti yang tentunya kau rasakan ketika anak-anakmu mati untuk menghukumku.

Kau beruntung sekali. Aku sudah tidak punya kebebasan lagi. Aku sudah diikat mati di tempat ini, diikat dengan sisa-sisa mayat putraku sendiri. Dan kau lihat di atas kepalaku? Tidak, aku tidak meminta kau melihat wajahku. Aku tidak meminta kau melihat wajah yang tentunya paling kau benci seumur hidupmu. Aku meminta kau melihat ke atasnya. Lihat, ada seekor ular yang tengah memamerkan taring-taringnya. Ular itu sama seperti aku—kami sama-sama beracun, pengganggu yang hanya bisa membawa malapetaka, dan kami sama-sama terkurung di neraka ini, dan kami sama-sama tahu bahwa takdir kami hanya merupakan sebuah jalan sempit tanpa percabangan, bahwa takdir kami tidak menyediakan pilihan. Dan sebentar lagi, dari taring-taring ular itu akan meneteskan bisanya tepat di atas wajah yang kau benci itu, mengoyak-ngoyak pemiliknya dengan rasa sakit yang amat sangat. Tidak, aku tidak akan mati karena bisa itu tapi mungkin rasa sakit yang akan aku rasakan akan membuatku menginginkan hal itu.

Sayang sekali aku tidak memiliki pilihan itu. Aku tidak bisa mati. Aku adalah kejahatan, dan kejahatan masih memiliki peran di atas panggung epilog nanti. Tapi bukankah lebih baik bagimu? Mati sama saja dengan kabur dari hukuman. Kau ingin melihatku dihukum dan merasakan penderitaan tanpa akhir, bukan?

Kau mendekat lagi. Terserah padamu. Mendekatlah sesukamu. Aku tidak pe—

Tes. Tes. Tes.

Merah. Wajahmu berubah menjadi merah. Stalagtit-stalagtit gua ini berubah menjadi merah. Kegelapan di lorong-lorong tempat ini berubah menjadi merah. Kubangan-kubangan hitam berubah menjadi merah. Panas. Panas! Ada api. Merah berubah menjadi api! Panas! …Perih! Perih! Ada lolongan yang menyakitkan… Perih! Panas! Ada getaran …Panas… Merah… Perih…

…Air. Ada air yang mengalir. Air menggantikan perih. Air menggantikan panas…

Bukan air… Angin? …Bukan… Lebih padat… Kain sutra?

“Ssh… Sudah berakhir.”

…Bukan juga. Tanganmu?

Merah kembali menjadi kubangan-kubangan hitam. Merah kembali menjadi stalagtit-stalagtit renta. Merah kembali menjadi wajahmu.

Wajahmu menatap aku, makhluk paling keji yang seharusnya paling kaubenci. Tanganmu yang satu dengan lembut menyapu perih dari wajahku.

Tes. Tes. Tes.

Tanganmu yang satu lagi memegang mangkuk kayu di bawah ular itu. Bisanya menetes ke mangkuk kayu, bukan wajahku.

“Sudah merasa lebih baik?”