Loki: Ragnarok

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Terdengar lolongan serigala.

Aku tau siapa yang dipanggilnya, untuk siapa raungan itu menggema.

Aku.

Saatnya telah tiba.

Rantai yang mengikatku melonggar sebelum hancur menjadi debu dalam genggamanku. Aku menengadah dan menemukan perempuan itu memakasakan seulas senyum.

“Tidak apa-apa,” matanya yan gberbicara, bukan hatinya. Tapi dia tak bisa menipuku. Aku tahu perempuan itu memikirkan hal yang sama denganku.

Aku tahu, karena dia juga menatap pilu pada butiran pasir perak yang dulunya pernah menjadi anakku.

Lalu ular sial terkutuk itu…

Ular itu akan menjadi saksi kebangkitan Loki dan awal dari kehancuran para dewa.

Aku merasakannya… Seluruh kekuatanku kembali ke dalam tubuhku seiring dengan jeritan serigala yang semakin melengking nyaring, menggetarkan tanah tempatku berpijak.

Saatnya kembali ke permukaan, kembali menghadapi dewa-dewa tua bodoh yang mengira mengurungku di perut bumi bisa menghentikan untaian takdir yang dirajut para Norn.

Dan di sanalah mereka bertiga, muncul dari bawah tanah dan berdiri di hadapanku; yang satu penyihir renta yang sosoknya sangat kukenal, pelantun kisah masa lalu yang hanya bisa memberi angan-angan palsu. Yang satu lagi seseorang berkedok wanita dewasa yang memeluk kekinian—juga bukan seseorang yang akan kutemui dengan senang hati. Dan yang terakhir mengambi sosok anak kecil yang melukis dan bermain-main dengan masa depan, juga yang paling aku benci di antara ketiganya. Bocah satu itu dengan seenaknya bermain-main dengan masa depan, melukis apapun yang menurutnya menarik bagi otak balitanya tanpa memedulikan penderitaan mereka yang harus melalui semua itu.

Ya, benar. Aku benci mereka. Sayangnya aku membutuhkan mereka dalam panggung orkestra paling megah disusul dengan epilog paling sempurna, mahakarya di antara mahakarya Dewa Jahat Loki sejak dunia pertama diciptakan.

Mereka di sini untuk menjemputku, mengantarkanku kepada angurboda dan anak-anakku yang lain yang kini menantikan kebangkitanku, lalu membawaku kembali ke istana emas yang dulu kusebut rumahku, yang kini telah berubah menjadi benteng musuh.

Membawaku kembali ke Asgard.

Aku menoleh ke belakang. Perempuan itu langsung berkedip, menyingkirkan butiran-butiran berlian yang menggenang di pelupuk matanya.

Kami tidak bersuara, tapi kami memang tidak pernah membutuhkan kata-kata. Dia tidak perlu melontarkan kata-kata perpisahan klise sambil berderai-derai air mata. Aku juga tidak perlu membisikkan janji-janji manis bahwa aku akan kembali—janji yang tidak mungkin kutepati.

Heh. Melanggar janji, persis seperti seorang dewa kenakalan, bukan?

Dan sejak kami pertama bertemu hingga sekarang, ketika semuanya hampir mendekati klimaks dan akhir dari komedi bodoh yang telah berlangsung selama berabad-abad ini, kami tidak pernah banyak bertukar suara.

Tidak ada gunanya memulai sekarang, ketika semuanya hampir berakhir.

Waktu berhenti dan aku melihatnya untuk terakhir kali.

Sihir para Norn telah bekerja, waktu kembali menggerakkan rodanya yang berputar lebih lambat dari kura-kura. Detik berikutnya, Sigyn dan neraka memudar dibayang-bayangi cahaya siang tak tahu malu yang masih berani-beraninya bersinar, mengingatkanku pada senyum congkak seseorang yang mengira dirinya abadi, tak bisa mati.

Ha. Hel pasti sedang bermain-main dengan rohnya sekarang.

Lolongan serigala lagi... Kali ini terdengar begitu dekat dan jelas. Fenrir menyambutku dengan satu cakar raksasanya dan menjilati wajahku. Fenrir, putraku dari kaum raksasa yang sedari tadi melolong, memanggil aku; putraku serigala yang diciptakan untuk mengejar dan menerkam matahari menyebalkan itu, juga petarungku yang nomor satu.

“Aku sudah kembali.”

“Kau siap?”

“Targetmu hanya satu. Odin. Kau sanggup?”

“Aku mengandalkanmu.”

“Kau benar. Ini semua adalah permainan.”

“Ya. Kejar-kejaran, semacam itulah. Tapi tingkat kesulitannya lebih tinggi. Dan hanya menangkap mangsamu bukan berarti kau sudah menang. Kau harus menghabisinya, tak peduli apapun yang terjadi. Kau mengerti?”

“Hadiahnya? Ah, aku lupa kalau dewa bukan makanan bagimu.”

“Hadiahnya… Bila kau berhasil mengalahkan Odin dan kembali padaku hidup-hidup, kita akan berkumpul lagi. Kau… Aku… Jormungand… Hel? Tentu saja Hel juga akan naik ke atas sini dan tinggal bersama kita.”

Kedua mata merah Fenrir berkilat, dan di sela-sela salakan riangnya, terdengar desisan dari bawah.

Sang Ular Midgard, putraku yang kedua, telah tiba. Tubuhnya yang panjangnya mampu meliliti seluruh bumi menggeliat di belakangku, melalui bahuku. Lalu kepalanya berputar menghadapku.

“Hai, Jormungand.”

“Kau ingin… Kau ingin menghabisi Thor?”

“Ah, aku mengerti. Dari sekian banyak hal yang kau benci, kau paling tidak suka orang bodoh, bukan begitu?”

Sama seperti aku.

“Baiklah. Kuserahkan Thor padamu. Bersenang-senanglah.”

Jormungand mendesis dan menggeliat mundur. Di antara semua anak-anakku, mungkin dialah yang paling mengerti aku. Segala macam kebencian dalam diriku juga ada dalam dirinya. Dan dunia di matanya persis dengan dunia yang kulihat…

…Dunia kelabu yang menyedihkan.

Tapi setelah kami menghancurkan para dewa dan s urga mereka, lihat saja, semuanya akan berubah. Tidak ada lagi makhluk-makhluk egois yang mendiktekan apa yang baik dan buruk dan mengusik orang-orang dengan rasa bersalah hanya karena melakukan sesuatu yang tidak disukai par apenonton di atas sana. Semua orang akan bebas menentukan apa yang ingin mereka lakukan, lalu dunia akan kembali berwarna lagi—merah, kuning, jingga, menghapuskan hitam, putih, dan kelabu tanpa jiwa.

Tidak. Bukannya aku peduli pada warna dunia. Aku melakukan semua ini sebagai lambang kekacauan, penghancur kedamaian dan keteraturan. Yang lain hanyalah bonus sampingan yang toh tidak akan sempat aku nikmati.

Bumi bergoncang dan retak di sekeliling kami. Dari celah itu muncullah ratusan, tidak, ribuan mesin pembunuh dalam bentuk tulang-belulang manusia yang sudah mati.

Di antara pasukan mayat hidup itu, putriku berdiri di barisan depan. Hel… Putriku yang malang, dikutuk menjadi penjaga neraka seorang diri di antara jiwa-jiwa tanpa nyawa maupun suara. Penyerangan ini lebih dari sekadar permainan baginya. Kehancuran Asgard juga berarti kehancuran Niflheim, tempat yang membelenggu raganya selama ini. Setelah Asgard hancur, Hel akan terbebas dari kutukannya, bebas untuk pergi kemanapun dan bertemu dengan siapapun sesukanya, bebas dari kesendirian yang mengurungnya selama bertahun-tahun.

Kupandangi wajah anak gadisku yang tengah tersenyum padaku. Wajah itu masih sama—separuh wajah malaikat dan separuh lagi hanyalah gumpalan daging yang membusuk.

Sebentar lagi, sayang. Sebentar lagi semuanya akan berakhir.

“Seperti biasa, aku mengandalkanmu, Hel.”

“Dewa Jahat Loki telah kembali!”

“Hidup Dewa Jahat Loki!”

Terdengar sorak-sorai para kaum raksasa yang semakin mendekat. Di antaranya terdengar seruan-seruan Angurboda yang mengobarkan semangat kawan sebangsanya. Sejak penyihir itu pertama datang kepadaku, aku tahu bahwa yang ada dipikirannya hanya satu—menghancurkan Aesir dan menjadikan kaum raksasa menjadi kelas nomor satu di seluruh jagad raya. Hingga sekarang, tak pernah sekalipun aku melihat tekadnya goyah. Bahkan Fenrir, Jormungand, dan Loki yang ia lahirkan sendiri hanyalah alat di matanya. Segala macam perasaan dibunuhnya semudah membunuh. Perempuan itu akan melakukan apa saja untuk mencapai ambisinya itu, termasuk memanfaatkan dan mengorbankan kami semua.

Itulah yang mengagumkan dari Penyihir Raksasa Angurboda. Ha, kadang aku berpikir dia lebih pantas menjadi Dewa Jahat daripada aku.

Tapi hanya akulah yang mampu memegang kendali tali-tali yang menahan para boneka dalam pertunjukan ini.

“MAJU!!! HANCURKAN ASGARD!!!”

Para Norn meninggalkan kami semua di satu ujung jembatan Bifrost yang akan mengantarkan kami menuju istana para dewa. Keputusan yang bijak. Bagaimanapun juga kami di sini untuk menghancurkan takdir—tak seorangpun di antara kami yang menginginkan kehadiran mereka dengan sukarela.

Ada ribuan raksasa haus darah yang dipenuhi kebencian akan takdir yang selama ini memperbudak mereka.

Prajurit-prajurit penjaga Asgard rupanya telah siap untuk menghadapi serangan dari raksasa penghuni Jotunheim, namun tak satupun sadar bahwa akulah yang akan memimpin mereka.

Bagaimanapun juga mereka hanyalah manusia biasa yang dibodohi Odin. Pria tua itu menyelamatkan mereka dari kematian hanya agar mereka mencicipi maut di tangan musuh para dewa. Mereka mati dengan bangga—mereka PIKIR mereka mati dengan bangga karena telah mati demi para dewa yang mereka junjung tinggi, yang mereka pikir suci.

Satu lagi lelucon yang tidak terlalu lucu. Tidak peduli untuk siapa dan karena apa, mati ya mati. Ratapan dan simpati orang lain? Pengakuan atas yang telah kauperbuat semasa hidup?

Tidak ada yang berarti bila kau sudah mati. Kau sudah dihapus dari dunia ini, keberadaanmu nihil. Ratapan dan pengakuan hanyalah kata-kata kosong tanpa arti, toh yang dibicarakan sudah tidak ada lagi.

Orang-orang bodoh itu membuatku semakin bernafsu menghabisi mereka satu per satu.

Prajurit-prajurit Hel sudah bergerak, Fenrir dan Jormungand juga menembus pertahanan di jembatan Bifrost dengan mudah, mengejar lawan mereka masing-masing.

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Kemudian disanalah dia, pria tua bangka yang seluruh wajahnya ditutupi uban, termasuk lubang di tempat mata kirinya seharusnya berada.

Mata kiri yang dulu kucabut dengan tanganku sendiri.

“Lama tak jumpa, Heimdall.”

Dewa tua bangka yang sejak dulu kerjanya hanya menunggui jembatan yang sama rentanya itu meneriakkan sesuatu ke arahku dengan penuh amarah, sesuatu tentang aku yang tidak pantas menginjakkan kaki di jalan menuju istana atau semacam itulah. Aku tidak peduli, buat apa aku mendengarkan kakek-kakek reyot seperti dia mengoceh? Aku benci dia—Odin tetaplah dewa yang paling kubenci, tapi setidaknya aku lebih benci dengan Heimdall dibanding Thor yang selalu sok membela kebenaran. Dibanding dewa yang menukar otaknya dengan otot itu, aku lebih benci dengan pria tua tak tahu malu yang dengan seenaknya menggunakan sebelah mata ajaibnya untuk mencampuri urusan orang. Mata kiri Heimdall bisa melihat segalanya, menembus batasan jarak, dinding, dan waktu.

Menyebalkan.

“Oh? Jadi kau ingin balas dendam padaku? Hanya karena aku mengambil matamu? Tapi aku hanya menuruti perintah Odin saat itu. Bukankah dewa dan tuanmu yang satu itu merupakan satu-satunya makhluk yang paling benar di dunia ini?”

Aku benci mata terkutuk itu. Karena itulah ketika Odin memerintahkanku untuk mengambil mata kiri itu dulu, aku melakukannya dengan senang hati. Sayang dewa sok berkuasa itu langsung mengambil mata itu dariku sebelum aku bermain-main dengannya dan menginjaknya sampai hancur.

Aku tertawa melihat tampang Heimdall ketika aku menyebut-nyebut tuan dan idolanya. Kutebak dia tidak tahu kalau sosok yang selama ini dia puja dan dianggapnya tanpa cela ternyata pernah mengeluarkan perintah untuk merenggut kebanggaanmu?

Oh, jadi sekarang aku adalah pembohong? Lucu sekali. Sejak kapan aku BUKAN pembohong? Aku adalah dewa kejahatan! Dewa kenakalan! Bagaimana mungkin aku tidak pernah berbohong? Hal itu semudah bernafas bagiku! Bukankah mereka sendiri yang membuatku seperti itu?

Hanya saja aku mengenal diriku sendiri lebih baik daripada yang mereka tahu. Aku tidak mungkin berbohong bila kenyataannya lebih menguntungkan bagiku, bukan?

“Kau sudah tua, Heimdall. Sebaiknya kau dan seluruh dewa-dewa lain mati saja. Kalian hanya akan menjadi penghalang bagi ciptaan kalian sendiri.”

Aneh. Aku yang bilang dia harus mati, tapi dia yang menyerang duluan.

Aku mungkin baru sa ja dipasung selama entah berapa lamanya, tapi bukan berarti kemampuan bertarungku melemah. Sebaliknya, api di tanganku dan dalam jiwaku berkobar semakin dahsyat dan ganas.

Aku maju, dia menghindar. Aku menghindar. Aku menyerang lagi. Dia terhempas. Dia menyerang. Aku jatuh. Dia berdarah. Aku berdarah.

Tapi hanya dia yang terluka.

Terluka berarti kehilangan. Untuk kehilangan, kau harus memiliki sesuatu sebelumnya.

Aku sudah tidak punya apa-apa.

Fenrir sudah tumbang sedari tadi. Aku bisa merasakan apa yang terjadi padanya dan saudara-saudaranya seolah aku sendiri yang mengalaminya. Secepat kilat ia menerkam Odin yang terlalu sombong hingga mengira aku akan repot-repot menghabisinya dengan tanganku sendiri. Secepat itu pulalah dewa lain entah siapa menyerangnya dari belakang. Jormungand dan Thor pasti akan terus bergulat hingga keduanya mati. Si dewa petir itu terlalu bodoh dan ceroboh, dia pikir dirinya tak terkalahkan, dan aku tahu betul sifat Jormungand. Ia pasti lebih memilih kalah daripada mundur hanya untuk memulihkan dirinya sendiri. Hel pasti sudah mundur ke bawah tanah sedari tadi begitu pasukannya mulai berjatuhan. Mayat hidup memang bukan petarung yang kuat, namun cukup untuk mengulur waktu dan membuat para Valkyrie dan prajurit Asgard yang lain sibuk. Sigyn juga pasti sudah bersama Hel sekarang.

Lalu Angurboda dan para raksasa… Mereka bukan milikku sejak awal. Seperti aku dan anakku hanyalah alat bagi raksasa betina itu, mereka juga hanyalah alat bagiku, pemain figuran yang bisa disingkirkan kapan saja. Sekarang, setelah aku tahu bahwa Odin sudah tamat, Asgard dan penghuninya akan menyusul sebentar lagi, dan aku tidak butuh apapun lagi.

Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku tidak bisa terluka. Aku tak terkalahkan.

Odin sudah mati.

Tiran yang selama ini memaksakan idealisme dan pandangannya pada seluruh dunia, mempengaruhi dan menipu semua makhluk di ketiga alam untuk bertindak sesuai kehendaknya... Dia sudah tidak ada lagi, hancur di antara taring-taring putra kebanggaanku, dewa yang dia kutuk menjadi penjahat nomor satu, musuh segala kehidupan. Dia pikir dengan begitu, ia hanya perlu mengalahkan aku dalam peperangan besar ini, lalu dunia akn tunduk padanya dengan kesetiaan absolute.

Ya. Sampai akhir, yang aku lakukan masih sejalan dengan apa yang dewa sialan itu rencanakan.

Sayangnya aku ini actor yang jauh lebih baik dibanding dia. Aku jelas jauh lebih menjiwai peranku, menjadi satu dengan tokoh antagonis sempurna berhadapan dengan protagonist dalam dirinya.

Aku adalah tokoh antagonis yang nyata, lebih nyata dari sekedar peran yang dia paksakan padaku.

Bila ini hanya peran, aku akan kalah dalam klimaks pertarungan agar Odin bersinar dan naik kembali ke atas takhtanya sebagai seorang pahlawan. Tapi aku sudah menjadi penjahat sejati. Dan penjahat yang sesungguhnya hanya memiliki satu tujuan, yaitu menghancurkan sang pahlawan.

Seperti aku merangkai semuanya untuk menghancurkannya beserta mimpi-mimpi dan rencananya.

Apapun yang terjadi setelah ini, aku tidak peduli. Siapa yang menikmati kehancuran dinasti para dewa bisa bertindak sesukanya. Bukan urusanku lagi. Aku sudah menang. Istana Asgard akan segera hancur. Senja para dewa telah tiba dan berakhir dalam sesaat. Nada-nada yang mengiringi epilog ini telah dimainkan.

Odin, raja para dewa dan penguasa segenap alam, sudah kalah.

Betapa aku berharap aku bisa melihat wajahmu sekarang, bukan sebagai raja dan dewa, tapi sebagai seorang pecundang.

PECUNDANG.

Kami sudah mulai kehabisan tenaga—Heimdall dan aku. Ketika kulihat sebelah matanya yang masih menyala, aku hampir tidak bisa mempercayai bahwa kami ternyata bisa sepakat dalam satu hal.

Sepakat untuk mengakhiri pertempuran tak berguna ini dalam satu serangan terakhir.

“Selamat tinggal.”

Lalu semuanya menjadi gelap.