Kage No Sekai:Volume00 chapter 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Setelah menyelesaikan homeroom, Kannou-sensei memberesekan barang-barangnya dan berkata, "Pelajaran biasa akan dimulai besok. Kalau ada yang masih lapar, cafeyaria sekolah masih buka sampai jam satu siang nanti."

"Sensei, saat mengatakan soal lapar, kau memandangku, kan?" suara kyouko terdengar lantang.

"Benarkah? Aku kita aku cuma..." namun kalimat Kannou-sensei dipotong oleh bunyi bel pengumuman, diikuti oleh suara seorang staff yang bergema lewat pengeras suara sekolah.

"Perhatian semua guru, dimohon melapor ke ruang rapat. Para siswa diharap segera kembali ke kelasnya masing-masing dan diharap tidak meninggalkan kelas samapi pemberintahian lebih lanjut."

Beberapa siswa tampak kecewa, sebagian yang lain tampak penasaran pada apa yang terjadi

"Change of plan!" kannou-sensei berseru, "kalian akan menulis sepuluh lemba essay dalam bahasa inggris jika ada yang berani keluar kelas."

"Woaaaa! Kejam!" komentar kyouko.

"Sudah berapa kali kau mendapatkan hukuman itu?" kei bertanya pada Kyouko dengan wajah jahil.

"Tolong jangan ingatkan aku!" keluh kyouko.

"Sampai nanti, sensei!" kata para siswa saat kannou-sensei meninggallkan kelas.

Yukito menemukan dirinya tak tahu harus melupakan apa. Ia masih belum terlalu percaya diri mendekati dan mengajak ngobrol teman-teman barunya. Saat siswa pindahan itu menatap seisi kelas dalam diam, sebuah tangan menepuk bahunya.

“Yo, Takahoshi!”

Yukito menatap sang pemilik tangan, seorang pemuda dengan rambut berantakan yang familiar.

“Kannou, kan?”

“Yep, Kannou Keichi,” Jawab Keichi sambil menarik kursinya ke dekat bangku Yukito, “Panggil saja aku Kei. Kau tak ingin dikira memanggil ayahku saat ia ada di kelas, kan?” Yukito tertawa kecil, “Jadi, bagaimana kota ini? Kau menyukainya?”

“Aku benci perbukitan,” Jawab Yukito, pikirannya kembali terngat pada bukit di depan sekolah yang harus ia daki selama bersekolah di sini.

“hahaha! Aku tahu! Aku sangat mengerti, kawan!” Keichi tertawa keras, “Aku juga mengutuk sekolah kita. Harusnya kita tak perlu lagi peljaran olahraga kalau setiap pagi sudah harus mendaki bukit!”

“banyak hal yang terlihat besar di kota ini,” Yukito menambahkan.

“Benarkah?” Keichi tampak bingung, “Oh, Mungkin karena kau belum terbiasa. Aku juga tersesat di hari pertamaku sekolah di sini. Apa kau perlu pemandu tur saat pulang sekolah nanti?”

“Oh, tidak perlu,” Jawab Yukito, “Aku sudah punya janji dengan sepepuku dan teman-temannya.”

“Wah? Dengan anak-anak perempuan?” wajah Keichi tampak bersinar mendegar kata ganti perempuan digunakan dalam kalimat Yukito. Yukito membawa wajahnya mundur lebih jauh dari Keichi yang tampak sangat tertarik pada apa yang barusan ia katakan.

“I…Iya,” jawab Yukito gugup.

“Bagaimana kalau aku menemanimu?” Keichi menawarkan, “Bukankah tidak nyaman dikelilingi oleh banyak anak perempuan?”

“Tidak juga, Mereka kelihatan menyenangkan,” balas Yukito sambil mengingat kawan-kawan Kaname.

“Oh, Ayolah! Kenalkan aku pada mereka,” Keichi tampak putus asa, “Aku akan mentraktirmu!” tawarnya.

“Ooh! Apa ada yang bilang traktiran?” Datang suara lain dari belakang Kechi, “Ada yang mau mentraktir makanan? Boleh aku ikut?”

“Kyouko! Bukankah tadi masih tidur!” Keichi bangkit dari bangkunya, terkejut akan kehadiran gadis di belakang punggungnya yang tersenyum jahil.

“Jangan ubah topic pembicaraan!” Kyouko bersikeras, “Kita bakal ke kantin, kan? Dan ini traktiranmu, kan?”

“Tawaranku untuk ‘Kita’ itu berlaku untuk Takahoshi dan aku, bukan kau dan aku!” Balas keichi kesal.

“Haah! Ayolah, pelit amat!” protes Kyouko.

“Aku pelit? Bagaimana kalau kau bayar dua ribu yen yang aku pinjamkan tahun lalu?”

Yukito kemudian memilih mengabaikan pertengkaran kecil mereka dan kemudian menarik ponselnya keluar dari sakunya. Sebuah pesan dari Kanako yang menanyakan apakah boleh ia memberikan emailnya pada kawan-kawannya yang langsung dibalas Yukito dengan ‘Silahkan’.

Saat Yukito mengembalikan ponselnya, Pengeras suara di kelas kembali berbunyi,

“Perhatian semua murid, Ada sebuah insiden di dalam distrik sekolah. Polisi telah dikerahkan untuk berpatroli di sekitar sekolah. Tolong tetap tenangdan hubungi orang tua atau wali kalian dan secepat mungkin meninggalkan sekolah. Jangan mengganggu polisi yang bertugas. Aku ulangi…”

Mendengar itu, Pembicaraan tentang insiden semakin keras dan ramai di kelas Yukihito. Bahkan pertengkaran Kyouko dan Keichi berheti dan mereka beralih ke topik yang sama.

“Apakah ini terjadi lagi?” Keichi bertanya, “aku hanya berharap bisa memecahkan insiden ini sebelum yg baru muncul.”

“Huh…kau masih memikirkan itu?” Kyouoko menatap Keichi dengan wajah sebal, “Ah, Takahoshi! Sampai ketemu besok!”

“Maaf ya, Aku duluan!” Jawab Yukito sambil meninggalkan kelas.

“Besok, kau harus kenalkan aku pada sepupumu dan teman-temannya, oke!?” teriak Keichi.

Mengabaikan Kecihi, Yukito bergegas ke ruang loker dan kebetulan menangkap Kanako berdiri bersama teman-temannya di sisi ruang loker kelas satu. Setelah menukar sepatunya, Yukito menghampiri Kanako dan teman-temannya tanpa suara.

“Heh! Mendadak muncul di belakang kami, paling tidak katakana sesuatu!” Protes Miki.

“Ada apa, Hitomi-san?” Tanya Yukito.

Hitomi menunjukkan sebuah amplop merah muda yang baru saja ia tarik dari loker sepatunya. Kanako tampak terkejut sementara Miki tampak tertarik dan menatap amplop itu lekat-lekat.

“Surat cinta?” Miki memastikan.

“Wa! Kau sangat beruntung, Hitomi-chan!” kata Kanako kagum.

“Jadi itu yang namanya surat cinta?” Yuu menatap surat itu sebelum kembali menatap Hitomi, “Ini pertama kalinya aku melihat surat cinta. Penasaran ingin membaca tapi aku tahu itu melanggar privasimu. Jadi apa yang akan kau lakukan?”

“Yukito-kun tak pernah mengirim surat cinta?” Tanya Hitomi penasaran, “Aku akan membacanya lebih dulu dan memutuskan kemudian.”

“Tidak. kalau aku ingin mengatakan cinta, aku akan menyatakannya secara langsung,” jawab Yukito.

“Woaa! Yukito-kun terdengar seperti orang dewasa sekali!” kata Hitomi.

“Yukito-san terdengar seperti seorang kakak!" kata Miki, "Tidak. Tunggu, Yukito! jadilah kakakku!" pinta Miki dengan ekspresi dramatis.

Yukito menyentil dahi Miki dengan kesal saat mendengar apa yang gadis itu baru saja katakana.

“kakak…” Yukito menangkap bisikan Kanako dan mengerutkan kening. Ada apa?

“Ayo pulang, sebelum ada guru yang meneriaki kita untuk pergi dari sekolah,” Kata Yukito yang diikuti oleh persetujuan tiga gadis di sekelilingnya.

Part 2

“Ah, aku jadi ingat,” Saat akhirnya mereka sampai di kaki bukit, Miki bertanya, “Kenapa kau pindah ke sini? Aku belum menanyakan itu, kan?”

“Ah, Yukito-kun, aku juga belum tahu soal itu,” sambung Kanako.

“Apa? Kau tidak tahu? Tapi dia tinggal di rumahmu?” Miki menatap Kanako heran.

“Hei, Bukan salahku Mama tak memberitahuku soal ini!” balas Kanako.

“Orang tuaku mendapat pekerjaan di Jerman,” jawab Yukito, “Aku menolak ikut ke Jerman, jadi aku tidak ikut ke sana.”

“Kenapa?” Mikimenatap Yukito tak percaya, “Kau mendapat kesempatan untuk ke Jerman, kenapa tidak mengambilnya?”

“Aku tidak bisa bahasa Inggris,” jawab Yukito singkat.

“tapi, Yukito-san, Jerman memakai bahasa Jerman,” Hitomi mengoreki, “Kau tak tahu?”

Yukito diam sejenak, dan kemudian mengangguk, “Tapi aku juga tak bisa bahasa Jerman.”

“Aaah, Padahal kesempatan ke luar Jepang adalah hal yang langka,” Kata Miki, “Kau tak punya saudara?”

“Adikku meninggal beberapa tahun yang lalu,” Jawab Yukito singkat.

“Ah, Maafkan aku,” Miki dan Hitomi berkata bersamaan sementara Kanako menatap Yukito, menangkap sebuah kesedihan yang terpancar di raut wajahnya.

“Jangan khawatirkan aku,” Kata Yukito, memaksakan senyuman kembali ke wajahnya, “Ngomong-ngomong, Kau sendiri tampak tak tenang.”

“Sepertinya surat itu masih menganggu pikiranku,” Jawabnya sambil meletakkan tanganya ke pipi, “Aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.”

“Kalau kau tak mencari pacar, Kau bisa menolaknya atau mengabaikannya,” Yukito member saran, “Bukankah begitu peraturannya?”

“Aku rasa kau benar,” Hitomi menganguk paham, “Terima kasih, Yukito-san.”

“Sudah kuduga!” Miki tersenyum lebar dan kemudian menangkap tangan Yukito, “Yukito-san, aku mohon! Jadilah kakakku! Tidak, jadilah pa…Aw!” kalimat Miki dihentikan oleh sentilan Yukito di dahinya.

“Tolong hati-hati dengan apa yang kau katakan, Miki-san,” kata Yukito dengan wajah sebal.

“Ahahahha, Maaf maaf,” Miki tertawa kecil dan melepaskan tangan Yukito, “Tapi Yu-kun, dari caramu mengatakannya, kau seperti ingin menjadikan Hitomi milikmu sendiri. Kau pikir Hitomi-chan benar manis, kan?”

Yukito menatap Miki sejenak, dan kemudian menyeringai.

“Sepertinya Hitomi memang manis,” Yukito mengangguk setuju dan kemudian tersenyum, senyuman paling manis yang bisa ia berikan, dan menambahkan, “Tapi, bukankah kau juga manis, Miki?”

“A…A…A..A…Apa?”

Melihat reaksi Miki benar-benar menghibur. Ia berhenti berjalan dan wajahnya memerah, mulutnya terbuka lebar karena terkejut. Yukito berusaha menahan tawa sementara Hitomi dan Kanako meledakkan tawa mereka.

Yukito tetap berjalan sebelum akhirnya Miki meledakkan amarahnya.

“Tunggu sebentar! Kembali ke sini!” teriaknya

Yukito berbalik dan segera menghindar saat tas yang dibawa Miki mengayun ke arah Yukito, Yukito merunduk untuk menghindarinya. Yukito segera lari dari Miki yang masih dengan wajah memerah, mengejarnya.

“Kembali ke sini!” teriak Miki.

“Mereka benar-benar akur, kan, Kana-chan?” Tanya Hitomi.

“Hehehe, Aku juga berpikir begitu,” Kanako setuju.

Part 3

Seperti yang sudah di janjikan, pelajaran berlangsung keesokan harinya. Kelas yang diajar Kannou-sensei sangat menarik. Tidak seperti guru lain yang mengambil materi dari buku pelajaran, ia mengajak murid-muridnya ngobrol berbagai macam hal dalam bahasa Inggris. Semua siswa tampak antusias dan mereka sudah memiliki kamus di tangan masing-masing.

Sesekali, Kannou-sensei berhenti untuk mengoreksi apa yang dikatakan muridnya, kemudian menjelaskan grammar yang dipakai. Dalam waktu singkat, Yukito benar-benar percaya diri ia bisa pergi ke Jerman sendirian.

Sampai ia teringat bahwa Jerman tidak memakai bahasa Inggris.

Saat bel makan siang berbunyi, Yukito memikirkan apakah ia akan ke cafetaria dan melihat makanan apa yang di jual di sana. Sampai kemudian Keichi menghampirinya.

“Bagaimana dengan pelajaran ayah?” Tanya Keichi, “Menyenangkan?”

“Unik,” jawab Yukito, “Apakah ayahmu pernah ke Inggris?”

“Sepertinya ia menghabiskan beberapa tahun di sana,” Jawab Keichi, “terakhir ia ke sana, aku benar-benar berharap rambutnya berubah pirang.”

“Entah kenapa, gambaran itu sangat cocok untuknya,” kata Yukito sambil menahan tawa.

“Jadi, ke cafeteria?” Tanya Keichi.

“Iya,” jawab Yukito singkat.

“Boleh aku bergabung?” Tanya Keichi, “Dan bagaimana denganmu, Kyouko?”

“Apakah ada yang mentraktir?” Tanya Kyouko.

“Aku tidak akan mentraktimu!” Kata Keichi cepat

“kau ingin aku mati kelaparan!?” Balas Kyouko sambil mendekati Keichi dengan wajah sebal.

“Kau bahkan belum membayar lima ribu yen milikku!” Keichi membalas sama marahnya.

Yukito mengintip isi dompetnya dan menemukan delapan ribu yen di dalamnya. Mungkin hari ini saatnya ia berbaik hari.

“Kalian seperti sudah kenal lama,” kata Keichi.

“Sayangnya, Iya. Aku tahu pemalas ini,” Keichi mengela nafas sementara Kyouko meletakkan tangannya di wajah Keichi dan menyingkirkannya dari hadapannya.

“Namaku Fuyumi Kyouko, salam kenal~” kata Kyouko, “Bagaimana kalau mentraktirku makan siang sebagai tanda persahabatan?”

“Aku memperingatkanmu, Yukito, Gadis ini makan seperti lubang hitam,” kata Keichi dengan nada dilebih-lebihkan, “Kalau kau tidak menyesalinya, pasti dompetmu akan menyesalinya.”

“Baiklah!” Yukito mengangguk dengan Kyouko dan Keichi menatapnya dengan wajah aneh, “Eh? Kenapa kalian memandangiku seperti itu? Aku masih ada uang hasil kerja paruh waktu di Fukuoka, kenapa tidak sekalian saja mentraktir kalian?”

“Ah, Uh…Ini baru pertama kalinya orang yang aku knal mengatakan iya padaku,” Kyouko menggaruk kepalanya, merasa sungkan dengan apa yang baru saja terjadi.

“Kau yakin, Yukito?” Tanya Keichi.

“Aku juga mengajakmu, Kei,” kata Yukito, “Kau ikut?”

“Aku akan membayar makananku sendiri,” Jawab Keichi, “Bagaimana denganmu, Kuze-sa…ah,orangnya sudah pergi,” katanya kecewa saat ia tak menemukan Kuze Kiri di bangkunya.

“Baiklah, Ayo ke cafeteria!” teriak Kyouko bersemangat.

“Besar…sekali,” kata Yukito sambilmenatap cafeteria.

Seperti semua gedung di kota ini, semuany terlihat lebih besar di dalamnya. Ada banyak sekali meja di cafeteria dan juga banyak stan penjual makanan di bagian paling ujung ruangan dan beberapa Vending machine.

“Haha…Sepertinya tempat ini memang terlalu berlebihan untuk pendatang baru,” kata Keichi sambil menepuk punggung Yukito, “Jangan khawatir, nanti juga terbiasa.”

Bagaimana caranya ia bisa terbiasa dengan kota yang semua gedungnya terlihat lebih besar dari dalam? Yukito menatap khawatir seisi cafeteria dan berharap apa yang Keichi katakana memang benar. Tidak ada gunanya memikirkan hal sepele seperti itu.

“Haruskah kita mencari meja atau mencari sepupu dan kawan-kawannya?” Tanya Keichi.

“Mereka belum dating,” Jawab Yukito setelah memastikan bahwa ia memang tidak melihat sepupunya.

“Kalau begitu, menuju meja!” Kyouko memimpin rombongan itu menuju meja kosong.

“Aku akan mengambil antrian,” dan kemudian Keichi meninggalkan rombongan kecil mereka.

Tak lama kemudian duduk di sebuah meja yang cukup besar di dekat jendela yang cukup besar untuk menampung enam orang. Yukito mencoba menengok ke jendela dan kemudian langsung memasukkan kepalanya kembali. Tinggi! Terlalu tinggi!

“Apakah ada yang salah?” Tanya Kyouko, “Kau tampak pucat.”

“Aku…hanya menikmati pemandangan,” jawab Yukito asal, “Kau tetaplah di sini, kau mau pesan apa?”

“Set A saja,” jawab Kyouko, “Aku sebenarnya tak ingin merepotkan orang lain.”

“Huh…? Kemana keceriaanmu barusan? Aku yang bayar kok,” Yukito tersenyum pada Kyouko namun Kyouko menggelengkan kepalanya, “baiklah kalau begitu,” dan kemudian Yukito meninggalkan Kyouko.

“Yukito!”

Sebuah tangan melambai-lambai, setelah memastikan bahwa pemiliknya adalah Keichi, ia segera menghampiri pemuda itu.

“Kita sedang beruntung hari ini,” kata Keichi setelah Yukito mencapai dirinya, “Menemukan meja dan antriannya pendek.”

“apakah biasanya lebih panjang?” Tanya Yukito.

“Yups, pernah suatu kali antriannya mencapai keluar cafeteria,” jawab Keichi.

Yuu menatap pintu Cafetaria dan berpikir, berapa banyak sebenarnya siswa di sini? Ia kemudian menangkap Kanako melambaikan tangannya pada Yukito, memasuki cafeteria diikuti kawan-kawannya dan kemudian bergabung dengan antrian di belakang Yukito.

“Ah, Keichi-senpai?” Hitomi terkejut melihat wajah Keichi di depan Yukito.

“Halo, Kouhai!” balas Keichi sambil tersenyum.

“EH, aku tak tahu Yu-kun adalah senpai!” kata Miki terkejut.

“Aku juga,” sambung Kanako.

“Eh? Aku tak pernah bilang?” Yukito sendiri juga terkejut.

“Bicara nanti. sekarang, pesan makanan,” Keichi mengingatkan sambil menunjuk kea rah stand.

Part 4

“Baiklah, Saatnya perkenalan!” kata Keichi bersemangat, dimulai dari aku dan bergerak searah jarum jam,” Keichi menark nafas dan kemudian memulai, “Kannou Keichi, kelas 2-2.”

“Fuyumi Kyouko, kelas 2-2 juga,” kata Kyouko di antara kunyahan makanannya, “Maaf kalau aku…duluan.”

Mengabaikan Kyouko, Yukito melanjutkan, “Takahoshi Yukito, sekelas dengan mereka.”

“Kanazawa Kanako, kelas 1-3.”

“Natsukawa Miki, kelas 1-3 juga.”

“Fujisaki Hitomi, sama.”

“Baiklah, karena kita sudah tahu nama masing-masing, sekarang…apa yang harus kita lakukan?”

“Huh? Pembawa acara macam apa itu?” Tanya Miki.

“Hei, kau bahkan tak membayarku,” kata Keichi, “Aku melakukannya dengan spontan. Hum…bagaimana kalau kita membicarakan legenda sekolah ini.”

“Legenda?” Kanako tampak bingung, “Kau tahu legenda apa, Miki-chan? Hitomi-chan?”

“Ah, aku lupa. Kalian kan kelas satu,” Keichi menggaruk kepalanya.

“Maksudmu legenda yang itu,” Kyouko tiba-tiba meletakkan sendoknya dan mengubah wajahnya menjadi serius, “Ada yang bilang, saat lorong-lorong sekolah menjadi gelap dan tak ada cahaya yang masuk lewat jendela, sebuah monster akan menarikmu ke alam lain.”

“Hu…Hua!” Kanako berteriak, memeluk Yukito yang kebetulan ada di sampingnya.

“Kanako, kau tak apa?” Tanya Yukito.

Melihat bahwa ia masih memeluk Yukito, mukanya berubah menjadi merah dan kemudian melepaskan Yukito dengan cepat.

“A…aku tak suka cerita seram,” kata Kanako.

“Tentu saja! Kana-chi adalah anak kecil di dalam,” goda Miki sambil menyeringai, “Senpai, apakah ini cerita benar-benar terjadi?”

“Ayahku bilang dalam tujuh tahun ia mengajar, ada empat murid yang menghilang dan sampai sekarang belum ditemukan,” kata Keichi, “Angkanya masih terlalu sedikit untuk menyimpulkan cerita ini benar.”

“Ah, Aku juga pernah dengar ayahmu bilang mungkin anak-anak itu Cuma kabur dari rumah atau bunuh diri, hal ini bukanlah hal yang jarang di Jepang,” sambung Kyouko.

“Apa maksudmu?” Yukito mulai tertarik.

“keempat orang yang hilang ini punya satu kesamaan,” secara dramatis, Keichi menahan kalimatnya, “Mereka selalu dalam kondisi stress. Ntah karena di bully atau keadaan rumah yang tak stabil.”

“Uuh..” Kali ini memeluk Miki, Kanako menyela, “Bisakah kita mulai makan sekarang?”

“Ah, Maaf, baiklah,” Keichi mengangguk, “Semuanya, Selamat makan!”

“Selamat makan!” sahut yang lain.

“Yu-kun, Yu-kun,” Miki menarik lengan baju Yukito, “Aku rasa ia akan tetap ketakutan sampai nanti malam, jadi tolong jaga dia, ya?”

Yukito hanya mengangguk sambil memakan makanannya dalam diam.

Part 5

Menjelang pelajaran terakhir, hujan deras turun mengguyur sekolah dan langit mendung menutup mentari. Beberapa kali petir menyambar dan mendadak hari menjadi lebih gelap dari biasanya. Yukito menatap langit sejenak, ada yang aneh, pikirnya.

Saat pelajaran berakhir, Hujan mulai reda namun awan mendung masih menggantung di langit. Khawatir pada sepupu kecilnya, Yukito melambaikan sampai jumpa pada Kyouko dan Keichi untuk kemudian bergegas menuju kelas Kanako.

Lorong sekolah gelap. Saat melihat keadaan itu, Yukito teringat pada apa yang baru diceritakan oleh Keichi padanya tadi siang. Apakah legenda itu benar? Memikirkan itu tak akan membuatnya tahu lebih banyak, jadi ia berjalan lebih cepat.

Tapi, dimana kelas Kanako? Yukito mengutuk dirinya karena tak tahu dimana kelas sepupunya dan sekarang bahkan Yukito tak tahu dimana ia berada seakrang.

“Yukito-san!” sebuah suara memanggilnya.

Yukito menoleh dan bersyukur bahwa Hitomi ada di sana. Namun ia membuang rasa syukur itu saat ia melihat ekspresi Hitomi yang khawatir.

“Aku baru saja mau ke kelasmu, dimana Miki dan Kanako?” Tanya Yukito.

“Kanako menghilang, ia menghilang sejak makan siang tadi dan tak kembali ke kelas sampai sekarang,” kata Hitomi, “Miki-chan sedang di ruang guru sekarang.”

“Ah, Aku akan mencarinya!” Panik, Yukito bergegas berlari.

“Tunggu, Yukito-san!”

Namun panggilan Hitomi tak lagi dihiraukan oleh Yukito. Ia berlari menyusuri lorong dan dari pandangan Hitomi, menghilang begitu saja di kegelapan.

Yukito benar-benar tersesat. Ia menyadarinya saat sekelilingnya benar-benar gelap gulita. Ia kemudian menarik keluar ponselnya dan menyalakan layarnya, memberikan penerangan yang cukup untuk menyinari sekelillingnya.

“Ah, kenapa tidak terpikir dari tadi?” Yukito berkata, mengutuk kebodohannya.

Yukito segera menekan tombol di ponselnya, namun ia berhenti saat sebuah suara menggema di sekelilingnya.

“Onii-chan…”

Itu suara Kanako.

“Kanako!” panggil Yukito.

“Onii-chan…” Namun suara Kanako tak merespon.

Yukito berusaha melacak dimana Kanako berada dengan telinganya, namun nihil. Suara itu bergema dari seluruh lorong. Dengan penerangan minimal dan kegelapan yang pekat, ia tak mungkin bisa melacak dimana Kanako berada.

“Aha, Manusia,” sebuah suara muncul di belakang Yukito, “Kau tidak seharusnya di sini, kembalilah sebelum Datya memakanmu,” saat Yukito menoleh, ia menemukan sosok gadis kecil berambut pirang dengan gaun putih berlengan panjang yang cantik.

“Datya?” Yuu bertanya bingung.

“Onii-chan! Onii-chan!” Namun suara Kanako semakin keras, panic dan mungkin saja sedang ketakutan, “Onii-chan!” suaranya berubah menjadi teriakan, “Onii-chan!” dan semakin keras.

“Kanako!” teriak Yukito.

Yukito segera menyorotkan ponselnya ke depan, dan tiba-tiba cahaya sangat terang menyinari seluruh lorong di depannya. Di depan, sebuah pintu aneh berdiri, terbuka sedikit. Dan dari sana, Kanako mendobrak pintu itu dan keluar dari ruangannya.

“Onii-chan!” gadis itu memeluk Yukito.

“Aha…menarik sekali,” dari belakang, gadis berambut pirang itu tersenyum seakan menemukan harta karun.

Di belakang Kanako, sesosok Srigala bergerak keluar, perlahan, siap menerjang Kanako dan Yukito dalam sekali gerakan.

“Itu bukan kakakmu, bodoh!” Teriak srigala itu, “Dua tahun yang lalu, Kakakmu sudah meninggal dalam ledakan itu. Apa kau pikir orang yang baru dating dua minggu bisa menggantikan posisinya? Sadarlah, kakakmu sudah meninggal!”

“Ka…”

“Kau bukan Onii-chan!” Kanako mendorong Yukito ke belakang dan kemudian melompat mundur. Bayangan hitam perlahan menyelimuti kaki dan lututnya. Kanako tampak panic dan memegangi kepalanya.

“Onii-chan! Tolong aku!” dan ia mulai menangis sendirian sementara perlahan Bayangan mulai naik ke pahanya.

“Kau bukan apa-apa tanpa kakakmu itu!” Teriak sang Srigala yang berjalan semakin mendekat, “Kau hanya sampah tak berguna!”

“Tidak, Hei! Kanako, sadarlah! Itu tidak benar!” teriak Yukito panic, ia mencoba mendekati Kanako, namun sesuatu mencegahnya.

“Percuma!” gadis berambut pirang di belakangnya menarik lengan Yukiti, “Srigala itu sudah menghancurkan pikiran gadis itu perlahan-lahan. Ia tak akan mendengarmu.”

“Kalau begitu bagaimana aku menolongnya!” teriak Yukito, “Katakan!”

“Buatlah kontrak denganku,” kata gadis itu, “Dan kemudian aku akan memberikanmu kekuatan untuk menolong gadis itu.”

“Aah! Baiklah! Berikan aku kekuatan itu sebelum Kanako dalam bahaya,” teriak Yukito.

“Baiklah. Siapa namamu?”

“Takahoshi Yukito,” jawab Yukito.

Tiba-tiba ponselnya menyala lebih terang dan menerangi seluruh lorong. Srigala itu terdorong ke belakang, namun bayangan yang menyelimuti Kanako masih ada di sana, kini sudah mencapai pinggang.

“Onii-chan…” suaranya semakin lemah dan matanya sudah tak focus lagi.

“Aku, Alice Caroll, dengan ini mengikat kontrak dengan Takahoshi Yukito. Tanpa batas waktu yang ditentukan, Dengan kekuatan yang aku berikan, Takahoshi Yukito harus menghancurkan dunia ini.”

Dan kemudian sebuah cahaya menyilaukan menyelimuti Yukito dan Alice.