Fate/Nusantara:Volume00 Fate8

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

“Di mana ini?!”

Badai tak dapat melihat apa pun kecuali gelap. Padahal beberapa saat yang lalu ia masih berada di dalam kamar, hingga tiba-tiba sesuatu menariknya.

“Tuan, tenang saja,” terdengar suara serak di telinganya. “Kau akan aman bersama kami.”

Tiba-tiba pikiran pemuda itu menjadi kacau. Ia merasa dikhianati. Dengan sekuat tenaga, ia meronta, “Lepaskan! Lepaskan aku!”

Namun rupanya Assassin tak berniat menyekapnya lebih lama. Sang pelayan segera melepas tuannya dari dalam bayangan hitam, untuk bisa merasakan lagi sinar mentari. “Tenang, kami juga tidak bisa memasukkan orang lain dalam Bayangan Misterius terlalu lama.”

Badai yang baru saja bebas langsung berlari panik entah ke mana. Ia takut kalau-kalau ditarik lagi dalam kegelapan, ia tak akan pernah bisa kembali. Namun, langkahnya segera terhenti. Mendadak ia tak bisa mengenali tempatnya berada sekarang. Karena sebelumnya, jelas tidak ada bangunan hancur yang sedang dilalap api di tempat itu.

“Apa yang terjadi?!”

“Serangan Archer,” jawab Assassin yang sosoknya tak terlihat. “Tapi harap jangan panik, kami pasti akan melindungi Tuan hingga hembusan nafas terakhir.”

Sebuah serangan yang amat dahsyat. Jika Assassin telat bereaksi, pemuda itu pasti sudah musnah dilalap api. Sama seperti orang-orang yang terjebak di dalam, yang suara jeritannya dapat Badai dengar.

“Assassin! Panggil pemadam kebakaran! Panggil bantuan!”

“Mereka akan datang, pasti sudah ada orang yang memanggilnya.”

Badai melihat sekeliling. Orang-orang memang berteriak panik di sepanjang jalan. Beberapa ada yang berusaha mematikan api dengan ember air – walau sepertinya percuma – , dan beberapa berniat menerobos masuk untuk menolong meski takut-takut.

“Assassin, selamatkan mereka yang masih terjebak dalam penginapan!”

“Percuma,” jawab sang pelayan singkat. “Tidak lama lagi mereka akan mati. Sekali pun kami selamatkan, mereka akan cacat seumur hidup.”

Cacat seumur hidup.

Mendengarnya, muncul pertimbangan lain bagi Badai. Ketimbang cacat seumur hidup, lebih baik...

“Tapi...”

“Yang bisa kita lakukan, menghentikan agar hal seperti ini tak terjadi lagi. Kita harus mengeksekusi Archer, biang keladi semua kekacauan ini.”

Badai pun mendongakkan kepala, menatap jauh ke langit. Di balik arakan awan, melayang sebuah benda hitam raksasa.

“Ayo Tuan,” ajak Assassin lagi. “Dan takkan kami biarkan mereka menyentuhmu barang seujung jari pun.”

Aneh, Badai merasa aman mendengarnya. Padahal, ia yang menjanjikan keamanan itu pula lah yang sebelumnya memotong lidah pemuda itu. Tapi mungkin karena bahaya yang menghadang sekarang jauh lebih berbahaya.

“Ayo. Assassin.”

Part 2

“Rumahku...” Pumkin menatap nanar bangunan zaman kolonial yang kini tengah dilalap si jago merah. Penduduk yang penasaran melihat, tapi tak ada satu pun yang tergerak untuk membantu. “He... Hei! Tolong! Padamkan apinya! Telepon pemadam kebakaran!”

Mereka hanya mengangguk, lalu berkilah dengan alasan tidak ada pulsa dan sebagainya.

“Sialan, ada apa dengan orang-orang ini,” gumam Pumkin geram.

“Sepertinya itu akibat kutukan yang kau sebarkan, Tuanku,” jawab Caster enteng. “Setidaknya kau adalah penyihir yang cukup kompeten hingga bisa menyadari serangan dan berlari keluar tepat waktu.”

“Tidak juga, aku agak terlambat,” kata pemuda itu seraya mengelus-elus pinggang. Pakaiannya terlihat kotor oleh debu dan asap. “Rasanya nyeri sekali.”

Kemudian Pumkin berdiri, lalu mendekati seorang bapak-bapak yang malah asyik mengambil gambar menggunakan telepon genggam. Dengan kasar, pemuda itu merebut telepon dari tangan si bapak. “Pinjam!” Usai menelpon pemadam kebakaran, ia kembali duduk di pinggir trotoar bersama Caster.

“Sudahlah Tuanku, itu hanya sebuah rumah. Kau bisa menggantinya kapan saja... Asalkan kau punya uang.”

“Hanya sebuah rumah ya...” gumam pemuda itu. Namun baginya, bangunan itu menyimpan terlalu banyak kenangan. Dari sejak ia dapat mengingat, saat-saat bahagia, hingga tragedi berdarah itu. “Tetap saja, meledakkan rumah orang lain sangat tidak sopan.”

Lalu Pumkin memandang ke langit, ke arah yang mulai dilihat orang-orang. Sesuatu terbang melayang di sana.

“Rupanya justru kita yang tertinggal beberapa langkah. Caster, kuharap kau bisa terbang.”

Part 3

Hotel Graha Jaya adalah salah satu hotel berbintang terbaik di Padipura. Namun, itu hanya sampai beberapa menit yang lalu. Tiba-tiba sebuah rudal menghantamnya hingga luluh lantah. Bangunan sebelas lantai itu pun tak bisa lagi dikenali dengan lubang raksasa menganga pada sisi depannya.

Api mulai menjalar, untungnya sistem pemadam kebakaran otomatis segera bekerja. Air pun memancar dari pipa-pipa, membasuh panas sedikit demi sedikit. Di bawah, para pengunjung saling berdesakkan berusaha menyelamatkan diri.

Sayangnya seorang peserta Perang Cawan Suci terlambat menyadari datangnya serangan. Akibatnya, kini ia terbaring tengkurap dengan berdarah-darah. Sebuah bongkahan beton baru saja diangkat dari tubuhnya oleh sang pelayan.

“Tuan,” panggil pelayan itu – Berserker – sambil memberi sedikit guncangan. “Iksa!”

Namun pemuda itu tak bergeming. Hanya suara nafas berat yang terdengar darinya.

“Tuan, apa kau sudah mati?”

“Bel... um...”

“Bagus, kukira waktuku di dunia akan berakhir bersamaan dengan kematianmu.”

Iksa memejamkan kedua matanya erat-erat. Seluruh kulitnya terbakar dengan perih yang menyakitkan. Untuk bergerak pun sulit sekali. Bahkan, tiap kali mengambil nafas, udara panas memenuhi rongga dadanya, membuat pemuda itu amat menderita.

“Iksa, bertahanlah!”

“Tenang, jangan panik!”

“Sakit...”

“Sakitkah? Sesakit apa?”

“Apa sangat sakit, sampai-sampai kau ingin mati saja?”

Iksa sedikit menggerakkan kepala, maksudnya ingin mengangguk. Rahangnya sangat berat meski untuk sekedar dibuka.

“Iksa, sekarang pilihanmu hanya dua – “

“Hanya dua? Enak saja, mati bukan pilihan! Iksa, kau harus hidup, dan kami bisa membantumu untuk tetap hidup!”

“Benar, seperti kata Ixa... Gunakan kekuatan kami!”

“Ikusa, tumben sekali kau sependapat denganku. Hahahahaha!”

Tapi jauh sebelum ini, Iksa pernah berjanji pada dirinya sendiri. Ia tak mau bicara pada dua suara dalam kepalanya, apalagi meminjam kekuatan mereka. Namun, keadaan sekarang sangat menyakitkan. Ia benar-benar tidak tahan.

“Ixa... Ikusa... Tolong...”

“Ehehe – “

“Hei mesum keparat!!!”

Berserker ternganga. Ia nyaris tak percaya jika sang Tuan baru saja memanggilnya seperti itu. Si culun yang senang bicara sendiri barusan berteriak penuh makian. Belum lagi, pada saat tubuhnya sudah sangat sekarat.

“Aku memang mesum, tapi bukan keparat,” balas Berserker. “Apa maumu Tuan?”

“Bawa aku pergi sebelum gedung ini runtuh,” Iksa meringis seperti kerasukan. “Lalu tangkap seorang manusia, kalau bisa pemuda gagah...”

Tanpa banyak tanya lagi, Berserker menarik Iksa hingga pemuda itu merintih kesakitan. Kemudian ia menggedong Tuannya di punggung. “Bersiaplah!” Pada hitunga ketiga, ia melompat keluar dari jendela lantai sebelas.

Dengan suara debuman keras, mereka mendarat di area parkir. Berserker segera lari menuju keramaian. Setelah beberapa saat ia berkata gelisah, “Tidak ada pemuda gagah di sekitar sini!”

“Ya sudah, yang mana saja!”

Berserker pun melempar fokusnya pada seorang petugas kebersihan hotel. Pemuda itu tengah duduk sendirian dengan wajah pucat. Bergerak cepat, Berserker menangkap lengan pemuda itu, lalu menariknya ke dalam gang sebelum sempat berteriak.

“Tahan dia,” seru Iksa parau sembari menjulurkan tangan dari balik bahu Berserker. Ia menangkap dahi si petugas kebersihan yang masih belum memahami situasi sepenuhnya. Lalu kedua matanya bersinar biru, menatap langsung ke dalam mata pemuda di hadapannya. “Tubuh untuk tubuh, jiwa untuk jiwa. Tukarlah tubuh dan jiwa kami. Dan juga, takdir yang mengikat kami.”

Baik Iksa mau pun si pemuda petugas kebersihan tiba-tiba jatuh lemas secara bersamaan. Berserker yang kebingungan melepas pegangan pada keduanya, membiarkan mereka tergeletak di tanah. Ia benar-benar tak mengerti. Sambil mengacak rambutnya yang bergelombang, ia menatap dua orang itu bergantian.

“Berserker!”

Yang dipanggil segera menoleh, tapi kemudian mengerutkan dahi. Yang memanggilnya barusan adalah sosok petugas kebersihan yang seharusnya tak tahu siapa dia.

“Aku...” kata petugas kebersihan itu dengan wajah makin pucat. Lalu ia menatap kedua telapak tangannya sendiri seperti keheranan. “Aku Iksa!”

“Ha?”

“Ini... keahlianku... Tapi... tidak seharusnya aku melakukan ini...” ujar Iksa yang telah bersemayam di tubuh baru. “Ixa... Ikusa... kalian telah mencuri hidupnya...”

“He?” Berserker menggaruk-garuk pipi lalu menatap tubuh sekarat yang tergeletak di dekatnya. “Kalau kau tidak mau mencuri hidupnya, kembalikan saja tubuhnya.”

Iksa terdiam. Pemuda itu takut. Cukup sekali saja ia merasakan sakit. Ia tak mau lagi.

“Sudah, terima saja.”

“Hidup itu indah, sobat.”

Masih dalam diam, Iksa berjongkok di dekat bekas tubuhnya yang keadaannya semakin parah. “Maaf.” Lalu ia mulai melakukan ritual untuk memindahkan segel perintah.

Menyaksikan semua itu, Berserker hanya bisa tertawa kering.

“Tuan, kau sangat aneh, aku tak mengerti,” katanya. “Sekarang, apa maumu?”

“Sudah jelas,” Iksa mengambil kacamata hitam dari tubuh lamanya yang baru saja menghembuskan nafas terakhir. “Archer memulai perangnya lebih dini. Kita melewatkan pertarungan sebelumnya, tapi kali ini,” sambil bangkit, pemuda itu mengenakan kacamata hitamnya. “Kali ini kau harus bertarung! Menangkan pertarungan ini!”

“Siap.”

Part 4

Archer sang komandan Kapal Induk Udara mengawasi kota di bawahnya penuh kuasa. Ia menyapu pandangan dari utara ke selatan, juga dari timur ke barat. Seolah, hamparan itu adalah lahan permainan miliknya.

“Bagaimana?” tanya Keith agak cemas.

“Lima tembakanku tidak meleset,” jawab Archer tanpa kebanggan, “tapi tidak menjatuhkan lawan-lawan kita.”

Aneh, ada rasa kecewa bercampur lega di hati Keith.

“Sekarang bersiaplah,” kata Archer. “Mereka akan datang menuntut balas.”

Lima penembak rudal terbesar Enderson telah siap untuk tembakan berikutnya. Namun sasaran-sasaran tembaknya telah bersembunyi, atau melarikan diri. Perlu konsentrasi bagi Archer menemukan mereka kembali.

“Tidak!” tiba-tiba Keith menarik bahu pelayannya. “Sudah cukup, biarkan mereka datang! Kau bisa melukai terlalu banyak orang yang tak bersalah!”

Laras-laras raksasa itu pun berhenti bergerak. Archer tampak bermaksud mengatakan sesuatu, tapi ia menyadari sebuah keris sedang melesat ke arahnya. Dengan sigap ia menciptakan senapan yang dipegang dengan sebelah tangan. Ia menarik pelatuk benda itu, dan peluru timah menghantam putaran keris.

Namun senjata keramat itu tak berhenti. Seperti kerasukan, benda itu hanya terpental tapi kemudian kembali melesat ke arah Archer.

“Enderson!”

Sebuah senjata anti udara besar yang terpasang di dekatnya langsung menggerakkan laras, lalu menembak. Dalam hantaman besar barulah keris itu hancur berkeping-keping.

Archer segera mematerialisasi sebuah teropong satu tangan lalu mengeker jauh ke bawah.


“Tuan, kita tidak menyerang belakangan?” tanya Caster sambil berpegangan erat di pinggang Pumkin. Mereka tengah melaju dengan kuda besi yang berhasil selamat dari ledakan rudal.

“Jika kita hanya menunggu, mungkin ia akan menyerang terus,” kata Pumkin dari balik helm. Lalu ia mendongak. “Alien menyerang Padipura, itu pasti akan menjadi berita utama koran besok pagi.”

Pemuda itu melaju kendaraannya menelusuri padatnya lalu lintas pusat Kota Padipura siang hari. Di trotoar, orang-orang keluar dari rumah untuk melihat fenomena kemunculan benda asing di langit. Bahkan beberapa pengendara sengaja menghentikan perjalanan untuk sekedar ikut menyaksikan.

“Baik, ini sudah cukup dekat,” kata Caster sambil menepuk bahu Tuannya. “Tetap bergerak, jangan sampai kena tembak!”

“Serahkan padaku!” Bantai mereka sampai habis!”

Tiba-tiba Pumkin membanting setang untuk melakukan sebuah tikungan tajam. Seketika itu juga Caster mendematerialisasi tubuhnya ke bentuk roh. Dalam wujud itu, ia bisa mengalir ke mana pun tanpa tertarik hukum gravitasi. Dengan cepat ia melesat ke langit, menuju Kapal Induk Udara Enderson.


“Jangan, ada terlalu banyak orang di sana!”

Lagi-lagi Keith menghentikan Archer. Ia berdiri menghalangi sang pelayan dengan kedua tangan terentang.

“Heh,” Archer menghela nafas berat, lalu mencengkram kerah Tuannya. Dengan sekali ayunan, ia melempar Keith menjauh. “Awas!!!”

Karena di atas mereka, Berserker baru saja mematerialisasi tubuhnya. Sosok pria bertelanjang dada dengan otot kencang dan urat-urat menyembul keluar. Kedua matanya merah menyala hingga pupilnya tak terlihat lagi.

“HRAAARH!!!”

Berserker menjatuhkan tinjunya bagai palu raksasa. Archer berhasil menghindar tepat waktu, tapi efek tinju barusan terlalu dahsyat, hingga mengguncang badan Enderson.

“Bodoh, kau memasukkan dirimu sendiri ke sarang harimau,” gumam Archer seraya menjentikkan jari. Secara serentak semua laras meriam di atas Enderson mengunci sasaran ke satu-satunya objek. “Tembak!”

Puluhan hulu ledak pun menghantam Berserker. Harusnya tidak ada satu pun yang bisa selamat dari serangan macam itu. Namun atribut kegilaan yang dimiliki sang pelayan mengubah segalanya. Kekuatan fisik Berserker meningkat pesat hingga titik di mana kulitnya lebih keras dari baja, meski harus dibayar dengan kewarasan.

Setelah api dan asap menghilang, sosok Berserker masih berdiri kokoh.

“HRAAARH!!!”

Berserker melakukan tolakan. Ia berlari bagai binatang buas. Tidak sampai tiga detik ia sudah berada di hadapan Archer, dengan sebuah kepalan yang siap mencabut nyawa. Namun, tubuh sasarannya bergeser tepat sebelum hantaman mengena. Itu karena, Keith menarik tubuh Archer tepat waktu menggunakan sihir percepatan geraknya.

“Jangan nekad!” seru Archer seraya berlari menjauh.

“Kita impas!” balas Keith, membuat Archer tak kuasa menahan senyum.

Tapi masalah belum selesai, amukan Berserker makin menjadi. Ia kembali menerjang Keith dan Archer. Namun sebuah ledakan tiba-tiba menghantam. Kali ini tubuhnya terpental.

“Pada akhirnya kekuatan monster itu tidak absolut,” ujar Archer seraya melirik sebuah pesawat jet yang berdiri gagah di landasan. Dari situlah rudal barusan ditembakkan.


Dan pertarungan itu terlalu brutal bagi Caster. Ia tak yakin apa sebaiknya ikut mengambil bagian atau tetap menyaksikan dalam wujud roh. Apalagi, datang faktor tak terduga yang pastinya akan semakin memperunyam keadaan. Tiga pesawat jet milik negara kesatuan terlihat berupa titik hitam di kejauhan. Bergerak dalam kecepatan tinggi, mendekati Enderson.


“Anda berada di wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, identifikasi dirimu!”

Sebuah gelombang radio tertangkap dalam sistem Enderson. Namun Archer tak yakin jawaban apa yang bisa cukup meyakinkan. Apalagi, serangan bertubi dari Berserker membuatnya makin sulit berpikir.

Archer dan Keith terus berlari dalam dua arah yang berlawanan agar Berserker tidak bisa menangkap mereka terlalu mudah. Sementara, meriam-meriam Enderson tetap ditembakkan guna menghentikan keganasan monster itu.

Tapi tiba-tiba enam misil meluncur ke arah Kapal Induk Udara. Ya, biar bagaimana pun Enderson sudah melepas tembakannya lebih dulu yang menghujam lima titik Padipura. Secara hukum perang, kapalnya sudah boleh ditembak jatuh meski tanpa perundingan lebih lanjut.

Archer segera melepas suar-suar api pengalih dari sisi Enderson. Benda itu itu berhasil menyebabkan sebagian misil meledak di udara, namun sisanya sukses menghantam kapal induk. Seluruh kapal pun bergetar seperti gempa.

“Tuan,” bisik Archer melalui telepati, sedang dirinya tengah menghabiskan peluru senapan untuk menghambat gerak Berserker.

“Jika kita tak mengenyahkan pesawat-pesawat itu, kitalah yang akan dienyahkan.”

“Aku... mengerti.”

Mesin pesawat-pesawat tak berawak di atas landasan Enderson pun mulai menyala. Secara rapi, mereka bergerak memasuki jalur, kemudian bersiap lepas landas. Ketika Archer memberi komandonya, burung-burung besi hitam itu meluncur terbang bebas ke angkasa.

Namun, ada satu yang tertinggal. Alat tempur itu tak bisa bergerak maju. Berserker, dengan kedua tangan, menahan salah satu kaki rodanya. Kemudian monster itu meraung, menggunakan otot lengannya untuk mengangkat berton-ton logam penyusun pesawat.

“Uaaaaarrh!!!” Berserker melempar pesawat itu ke arah... Keith.

“Tuan! Menyingkir dari sana!” Adalah kalimat terakhir yang melintas di udara sebelum benda raksasa itu menghantam permukaan Enderson hingga menyebabkan ledakan bergemuruh.

Part 5

Di atas runyam sekali, tapi tidak ada satu pun rudal yang dijatuhkan ke bumi. Pumkin masih menarik gas motornya. Namun ia salah jika berpikir bisa melaju dengan tenang. Nyatanya, tidak semua orang memusatkan fokus ke atas sana. Entah sejak kapan, pemuda itu merasa ada yang mengikuti.

Di antara keramaian, di balik bayangan gedung-gedung, atau mungkin kendaraan yang bergerak di belakangnya?

Pumkin tak tahu yang mana. Yang jelas, ia tak ingin berhenti. Ia merasa, jika berhenti, sesuatu yang buruk akan terjadi. Dan memang benar.

Assassin, dari bayangan ke bayangan, terus mengejar Pumkin dalam keheningan. Roh pahlawan itu memutuskan jika pertarungan di atas sana terlalu berat, sementara ada target mudah di bawah sini. Ia cukup terus mengejar hingga bahan bakar kendaraan targetnya habis, ia rasa.