Fate/Nusantara:Volume00 Fate7

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Sebuah ruang tamu dengan meja kecil yang dikitari empat kursi bambu. Selain itu tak ada perabotan apa pun kecuali, sekantung plastik yang berisi makanan manis di atas meja.

Atmajaya meraih coklat batangan, lalu mengunyah seperti kesetanan. Dengan ekspresi wajah masam, ia menatap tajam Saber. Untuk beberapa saat tak satu pun dari mereka yang bicara. Sedangkan Yuri sang homonculus, hanya memperhatikan detik jam di pergelangan tangan tuannya. Sudah hampir pukul delapan pagi.

“Jelaskan apa maksudmu,” pinta Atmajaya akhirnya, membuka keheningan.

Saber mengernyit. “Aku tidak suka caramu.”

Mendengar itu, darah sang pemuda langsung mendidih. Ia tak habis pikir pelayannya akan berkata demikian. “Aku adalah tuanmu! Tugasmu sederhana, cukup mematuhi semua yang kuperintahkan! Mengapa begitu saja kau tidak bisa?!”

“Sudah kubilang, aku tak suka caramu,” jawab Saber dingin. “Kau terlalu licik. Lagipula aku terluka, aku tak yakin bisa menang apabila melanjutkan pertarungan melawan Caster.”

“Kau terluka karena kebodohanmu sendiri!” teriak Atmajaya tak tertahankan. “Sedikit lagi, sedikit lagi aku bisa menepuk dua lalat sekaligus! Tapi sekarang, satu lalat lolos, dan kau terluka! Kau benar-benar tolol! Tidak heran jika dahulu kau berakhir di tiang gantung. Orang-orang kolonial itu pasti telah menjebakmu dengan mudah. Sial, kenapa organisasi memberikanmu sebagai pelayanku? Mereka... mereka pasti sengaja melakukan ini. Mereka berkomplot untuk kejatuhanku...”

Amukan Atmajaya berubah menjadi rutukan tidak jelas. Meski wajahnya menghadap Saber, namun sorot matanya melayang jauh entah ke mana. Seakan, ia bisa melihat sesuatu yang tak terlihat.

“Kau tidak menyangkalnya?” tiba-tiba fokus pemuda itu kembali pada Saber. “Kau tidak menyangkal semua yang kukatakan?”

Saber hanya bisa mengeratkan rahang. Jelas ia marah, tapi ia tak bisa benar-benar meyakinkan bahwa semua perkataan tuannya adalah salah. Memang ia pernah mengambil bagian dalam serangan-serangan gerilya melawan penjajah kolonial, namun ia tetap tak pernah menyukai sebuah kelicikan.

“Mungkin itu memang kebodohanku,” ia berjuang keras mempertahankan nada suaranya. “Tapi saat itu, semua tidak seimbang. Kita kalah dalam segi kekuatan dan persenjataan. Namun kali ini berbeda.”

“Apanya yang beda?”

“Kali ini kita semua berada pada keadaan setara. Setiap roh pahlawan memiliki keunggulan masing-masing, dan kuyakin kau adalah penyihir hebat. Jika kita bertarung layaknya ksatria, kita pasti bisa menang.”

Tiba-tiba Atmajaya tertawa terbahak. “Dasar pemimpi! Kau kira musuh-musuhmu akan diam dan menurut begitu saja apabila kau meminta mereka bertarung secara jujur dan adil?! Suatu saat, mereka akan menusukmu dari belakang.”

“Tidak, kaulah yang akan melakukan itu.”

“Aku hanya melakukannya lebih cepat, sebelum mereka melakukannya padaku!”

Saber tidak menjawab, membuat situasi kembali hening seperti beberapa saat yang lalu. Atmajaya kembali melahap makanan manisnya, lalu menyandarkan tubuh di kursi.

“Begini saja,” kata pemuda itu. “Apa keinginanmu untuk Cawan Suci? Aku akan membuat keinginan itu terkabul. Tapi, kau harus bisa bekerja sama.”

Sebuah keinginan untuk Cawan Suci? Ya, ada. Tapi apa ia harus melakukannya dengan cara begini?

Tiba-tiba terdengar ketukan dari kaca jendela ruang tamu. Tampak burung merpati putih dengan gulugan surat terikat di kaki.

Harusnya tempat persembunyian ini sulit dideteksi, kecuali oleh Assassin, mungkin. Tapi selain mereka ada satu pihak yang mengetahui keberadaan tempat ini : pihak padepokan, pengawas jalannya perang.

“Yuri, ambilkan suratnya.”

Sang gadis homonculus beranjak patuh. Ia lekas mengambil gulungan surat lalu diserahkan pada Atmajaya.

“Ada berita apa lagi...”

Kemudian, sebelah alis pemuda itu terangkat.

Part 2

“Bersama surat ini, pihak Keith dan Archer menyatakan sebuah deklarasi perang terhadap peserta-peserta perang yang tersisa,” Assassin membaca dengan suara serak. “Tujuan daripada deklarasi ini tak lain adalah untuk mempercepat tercapainya konklusi sebelum semua menjadi berlarut-larut, agar jangan sampai menyebabkan korban jiwa yang tak seharusnya. Kita selesaikan dengan cepat malam ini, pada lokasi yang tertera di bawah...”

“Tuan, bagaimana menurutmu?” tanya sosok lusuh itu pada seorang pemuda yang sedang tiduran di kasur, tubuh membelakanginya.

“Lakukan sesukamu,” jawab pemuda itu singkat melalui telepati.

“Jangan begitu tuan, kami juga butuh dukunganmu untuk memenangkan perang ini.”

“Yang kau butuhkan hanya pasokan prana dariku.”

“Tapi bukankah kau juga memerlukan Cawan Suci?”

Badai mendengus. Jika mau bertarung mempertaruhkan nyawa untuk memenangkan Cawan Suci, harusnya itu dilakukan untuk sebuah cita-cita tinggi, bukannya cuma untuk mengembalikan lidah yang dicabut secara paksa oleh pelayannya sendiri. Padahal sejak awal ia sama sekali tak ingin terlibat. Ia tak mau mati sia-sia begitu saja.

Tapi kini semua sudah terlambat. Assassin tak akan membiarkannya meninggalkan Padipura, dan ia juga tak bisa menggunakan segel perintah. Mungkin satu-satunya cara untuk selamat adalah tetap berdiam di kamar dan membiarkan pelayan durhaka itu terbunuh. Beruntung, Badai masih memiliki ilmu pemberi sugestinya untuk mempengaruhi pemilik penginapan agar memberi kamar tanpa harus bicara.

“Tuan, apa kau haus?”

Badai tak tahu apa itu memang niat baik atau Assassin hanya meledeknya. Tak tahukah pelayan itu bahwa luka pada lidahnya akan terasa sangat sakit bila terkena air?

“Lancer sudah tidak ada, namun kami masih belum bisa menentukan parameter kekuatan Saber dan Caster yang sebenarnya. Tidak ada info mengenai Rider, sedangkan Berserker kelihatannya sedang menikmati waktunya di dunia.”

Badai tak menanggapi, lalu bangkit dari kasur. Ia berjalan ke depan televisi kemudian menyalakannya. Muncul siaran musik pagi. Tapi saat ini adalah sesi permainan, di mana penonton ditantang oleh pembawa acara untuk bertingkah konyol demi memenangkan satu atau dua lembar rupiah. Siapa sangka jika orang-orang yang memakan jelly sampai muntah bisa membuat senyum sedikit terkembang di wajah sang pemuda.

“Inikah generasi-generasi muda penerus bangsa kita?” komentar Assassin sinis. Senyum Badai langsung sirna. “Mereka tidak bekerja, tapi mau melakukan hal bodoh untuk mengais-ngais sedikit rezeki.”

Sejujurnya Badai juga menganggap kelakukan orang-orang di acara itu sangat bodoh, namun itu yang membuatnya terhibur. Malas mendengar tanggapan Assassin, pemuda itu mengganti siaran. Kali ini sebuah acara berita yang mengabarkan peristiwa-peristiwa yang terjadi di seluruh negeri. Kasus perampokan, pembunuhan, pencurian, pengrusakan, semua berlangsung di mana-mana. Bahkan ada kasus penembakan anggota kepolisian oleh warga sipil.

“Sekarang polisi saja sudah tak memiliki wibawa di depan masyarakat, menyedihkan.”

Badai sudah tak tahan. “Salah sendiri, polisi-polisi korup.”

Berita selanjutnya beralih pada tingkat kemiskinan yang terus bertambah, sementara banyak pejabat yang kedapatan memakan uang rakyat.

“Apa saja kerja pemimpin negeri ini. Ia merusak segalanya!”

“Ucapanmu menjijikkan!” umpat Badai. “Tuanmu terdahulu, memang apa keunggulannya? Ia hanya menggunakan kalian untuk mengeksekusi siapa pun yang melawan!”

“Tapi keadaan negeri ini jauh lebih stabil saat itu.”

“Kestabilan itu hanya ilusi. Tuanmu tak lebih dari diktator kejam.”

Tiba-tiba Assassin mencengkram leher Badai, sama seperti malam saat ia mencabut lidah pemuda itu. Secara refleks Badai berusaha membuka cengkraman sambil menatap sang pelayan tajam.

“Jika aku mati, kau tak akan bisa mewujudkan tujuanmu!”

Assassin memandang pemuda itu dari balik rambut gimbalnya. Ia diam sejenak, lalu melepas cekikannya dengan sedikit dorongan.

“Itu bukan ilusi,” katanya serak perlahan.

Badai mengelus-elus lehernya sendiri sambil terengah-engah. Ia lupa jika pelayan di hadapannya itu memiliki temperamen yang buruk. Untungnya Assassin cukup pintar untuk tak melakukan hal bodoh.

“Lakukan sesukamu,” kata Badai singkat lalu kembali fokus memindah saluran televisi.

“Kepatuhan absolut hanyalah sedikit harga untuk perut yang tak pernah kelaparan. Tuan, apa menurutmu itu sangat buruk, lebih buruk daripada sekarang, di mana meski orang-orang hidup bebas tapi dengan perut lapar?”

Jeda panjang sebelum Badai mengulang kalimatnya, “Lakukan sesukamu.”

Assassin terdengar mendengus. Dari lantai tempatnya duduk bersila muncul bayangan hitam, kemudian perlahan-lahan menyerap tubuhnya ke dalam hingga menghilang dari penglihatan.

Bersama dengan itu, Badai sampai pada sebuah siaran berita lokal. Rupanya sedang terjadi kehebohan karena pesta tahun baru semalam. Ada perkelahian menggunakan senjata namun tak seorang pun pelakunya yang tertangkap. Tapi ternyata sebuah rekaman amatir berhasil didapat, menampilkan dua sosok gadis dengan model pakaian yang sangat kuno, saling membenturkan senjata masing-masing. Juga, kemunculan kerbau raksasa yang mengerikan.

Badai menelan ludah. Ia tak tahu yang mana, tapi pasti salah satu dari mereka yang tumbang semalam. Pemuda itu pun bergidik. Ia benar-benar tak mau, mempertaruhkan nyawa dalam kebodohan ini. Maka ia mematikan televisi, lalu kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Sambil menahan denyut yang kembali muncul di dalam mulutnya, ia memejamkan mata erat-erat.

Apa yang dipikirkan Assassin? Pikirnya. Pelayan itu seperti seekor anjing penurut, yang akan melakukan segalanya – bahkan kebodohan – untuk tuan dan cita-citanya.

Tapi, ia juga jadi terpikir. Apa memang ayahnya pernah menjadi bagian dari mereka? Itukah sebabnya, orang itu menjadi sangat bodoh hingga meninggalkan anak dan istrinya tanpa kabar selama bertahun-tahun lamanya?

Lalu, kalimat sang ibu terbersit dalam benaknya, kalimat yang selalu digunakan untuk menenangkannya saat ia resah. Tiap kali ia bertanya di mana keberadaan sang ayah, ibunya akan berkata, “Ayahmu tengah menjalankan tugas untuk negeri ini. Ia adalah pahlawan.”

Mendadak perut Badai terasa mual. Memang dulu ia sempat percaya. Namun beranjak dewasa, ia ragu, pahlawan macam apa yang menelantarkan keluarganya begitu saja? Dan sekarang, ia merasa jijik, mengetahui pahlawan seperti apa ayahnya itu.

Entah bagaimana ia akan menjelaskan semua ini pada ibunya. Atau... mungkin justru beliau sudah tahu semenjak dulu?

Ah, kepala Badai sakit. Sepertinya untuk saat ini lebih baik ia tidur sejenak. Semoga saat bangun nanti, sudah ada yang menghabisi Assassin sehingga ia bebas untuk pulang.

Part 3

Iksa membaca dengan teliti tiap huruf pada berita utama koran lokal hari itu. Entah berapa kali alisnya terangkat. Paling tidak tiga faksi sudah memulai pertarungan. Tapi semalam, apa yang ia lakukan? Berkeliling di gang prostitusi. Dan yang pelayannya kerjakan? Menikmati nikmatnya hidup senikmat-nikmatnya.

Kemudian pemuda itu mengangkat tatapannya dari lembaran koran, melemparnya pada seorang pria bertelanjang dada yang sedang tidur pulas di atas kasur hotel. Kadang terdengar dengkuran, dan kadang ia menggaruk-garuk ketiak.

“Iksa, apa benar ia adalah roh pahlawan yang kau panggil dalam ritual?”

“Dia itu Sang Kuriang yang melegenda, memangnya kau mengharapkannya seperti apa?”

“Setidaknya ia harus mendengar tuannya!”

“Ibunya saja tidak didengarkan, kenapa ia harus mendengar Iksa?”

Tidak semua orang bisa mendengar suara yang berdebat dalam kepalanya. Iksa langsung mencengkram dahi, lalu menggeleng keras-keras. “Pergi! Pergi!”

Setelah tidak ada suara asing yang terdengar lagi, pemuda itu beranjak mendekati sang pelayan yang masih pulas dalam bentuk fisik, tak mempedulikan jumlah prana yang terus dihisap dari tuannya.

“Berserker,” kata Iksa sambil menggoyang bahu pria itu. “Berserker, bangun. Kita dapat deklarasi perang.”

Berserker tidak bergeming sedikit pun. Maka, Iksa menguatkan guncangannya. Namun, hasilnya nihil. Merasa putus asa, ia mengambil botol air mineral di atas meja, kemudian menuangkannya di wajah sang pelayan. “Berserker, bangun – “

Tetapi efek yang terjadi di luar dugaan. Berserker yang kaget menggeliat, lalu mengayunkan tangannya yang kekar berotot ke arah Iksa. Pemuda itu pun terhempas dan jatuh di ujung ruangan dengan suara berdebam keras. Kemudian sang pelayan kembali mendengkur seolah tak terjadi apa-apa.

“Aduh...” Iksa merintih seraya memegangi punggungnya.

“Ia sudah keterlaluan, gunakan segel perintahmu!”

“Bodoh, segel perintah tidak boleh disia-siakan di sini! Mumpung ia sedang tidur, potong saja kelaki-lakiannya agar tidak bisa main wanita lagi!”

Gila, Iksa tak mau pelayannya menjadi cacat. Tidak, bahkan sebelum itu, mungkin Berserker akan menghabisinya terlebih dahulu. Sepertinya segel perintah adalah satu-satunya pilihan untuk mendapat perhatian.

Pemuda itu pun mengangkat punggung tangannya, lalu segel perintah yang terukir di sana bersinar. “Berserker! Dengan segel perintah ini, kuperintahkan kau untuk bangun!”

Tiba-tiba seperti ada kekuatan tak terlihat yang memaksa kelopak mata Berserker terbuka. Pria itu terlihat kaget, apalagi saat mendapati dirinya melompat dari atas kasur di luar kemauannya. Lalu, ia berdiri berhadap-hadapan dengan Iksa yang tampak puas.

“Tuan, apa yang baru saja kau lakukan...”

“Membangunkanmu...”

“Dan... menggunakan... segel perintah..?”

“I, iya,” kata Iksa pelan. Ia baru menyadari, mungkin Berserker akan marah setelah tidurnya diganggu.

“Tuan... kau... kau... Kau bodoh sekali! Heahahahahahaha!” Tiba-tiba Berserker tertawa terpingkal-pingkal. Saking serunya, ia sampai memegangi perut. “Kau menyia-nyiakan segel perintah hanya untuk itu!”

Sejatinya, segel perintah digunakan untuk melangkahi kehormatan roh pahlawan. Dan memang, sejak kapan membangunkan roh pahlawan menjadi sesuatu yang melangkahi kehormatan. Mendadak Iksa merasa bodoh, tepat seperti yang dikatakan Berserker.

“Habis... kau tidak mau bangun...”

“Kau harusnya berusaha lebih keras! Kau itu kan penyihir, kreatiflah! Heahahahahahaha!”

Kalau ada ember, Iksa ingin membenamkan wajahnya di sana. Semua ini, gara-gara suara yang terus bergaung dalam kepalanya.

“Nah, pokoknya kau sudah bangun...” kata Iksa menggerutu.

“Jadi, kenapa kau membangunkanku?” tanya Berserker seraya melipat tangan di depan dada.

“Ini,” Iksa menyerahkan surat yang ia dapat dari padepokan. Sambil menunggu surat itu dibaca, ia mencoba untuk menjelaskan. “Semalam... kau sudah senang-senang... Jadi malam ini... kita – “

Lirikan mata Berserker membuat tenggorokan Iksa kering seketika. “Perangnya masih nanti malam.”

“Iya... nanti malam.”

“Sekarang jam berapa, Tuan?!”

Iksa mengeluarkan telepon genggam dari kantung jaketnya, lalu melihat waktu yang tertera di layar. “Setengah sebelas.”

“Siang atau malam?”

“Siang...”

“Kalau begitu, bangunkan aku jika sudah mau jam setengah sebelas malam!” seraya mengatakan itu, Berserker kembali melompat ke atas kasur.

“Tunggu!” seru Iksa. “Kita... strategi!”

Namun sang pelayan sudah kembali mendengkur seenak hati. Tidak mugkin Iksa menggunakan segel perintahnya untuk yang kedua kali.

“Dia agak tidak berguna... Sepertinya kau tak akan bisa memenangkan Cawan Suci.”

Tiba-tiba suara itu kembali muncul.

“Tenang, aku tidak akan meninggalkanmu sepertinya.”

“Tapi memangnya kau bisa apa?”

“Aku bisa memberikan nasehat-nasehat cerdas, sesuatu yang tidak akan pernah bisa kau berikan!”

“Nasehat cerdas apa, kau selalu membahayakan Iksa!”

“Kau terlalu pengecut sehingga menyebut resiko sebagai bahaya!”

“Sudah, diam! Diam! Diam!”

Tiap kali suara-suara itu terdengar, rasanya kepala Iksa berdenyut seperti mau pecah.

“Dengar kan, Iksa menyuruhmu diam!”

“Tidak, kau yang ia suruh diam!”

“KALIAN SEMUA YANG DIAM!!!”

Tok tok tok.

“Mas, anda baik-baik saja?”

Terdengar suara ketiga, namun jelas bukan dari kepala Iksa. Seseorang mengetuk kamar hotelnya dari luar sana. Mungkin, orang kebetulan lewat yang mendengar teriakannya barusan.

Pemuda itu segera mengenakan kacamata hitam yang semula diselipkan di kerah baju. Dengan hati-hati ia membuka pintu. Seorang pria paruh baya berseragam merah-hijau berdiri di sana dengan tongkat pel pada genggamannya.

“Maaf, aku,” Iksa sedikit menurunkan pandangan dari mata lawan bicaranya, “Aku sedang bicara dengan temanku.”

Pak petugas kebersihan agak mendongak, untuk mengintip keadaan di dalam. Kemudian ia terlihat agak kaget. Bagaimana tidak, teman yang katanya Iksa ajak bicara saat ini sedang mendengkur.

“Iksa, bapak ini menyebalkan!”

“Sabar, ia hanya bertanya!”

“Aku,” Iksa mengangkat telepon genggamnya,”Aku bicara di telepon.”

Awalnya petugas kebersihan itu menatap aneh, tapi kemudian mengangguk. “Baik, beritahu saya bila ada yang mas perlukan, ya.”

Iksa pun menghela nafas melihat orang itu pergi, lalu kembali mengunci kamar. Mungkin, sebaiknya ia tidur juga. Tak ada yang bisa dan ingin dilakukannya hingga nanti malam. Cuma masalahnya, ia menyewa kamar single, dan Berserker menguasai satu-satunya kasur.

Part 4

“Kita dapat peringatan,” kata Pumkin pada Caster di balik meja makan. Pemuda itu baru saja bangun dan sedang menyantap mie instan. Sementara pelayannya, asyik melahap sosis goreng. “Jika bisa, padepokan meminta agar kita tidak melakukan pertarungan di tempat umum. Katanya kita beruntung, karena semalam tak sampai ada korban jiwa.”

“Aneh, mereka ingin kita berperang tapi tak menginginkan ada korban jiwa.”

“Maksudnya, korban jiwa dari pihak sipil.”

“Jadi, malam ini kita harus bertarung diam-diam?”

“Kurasa begitu,” Pumkin melihat jam dinding.

Masih banyak waktu sebelum malam, membuat dadanya berdebar-debar tidak karuan. Ada rasa gugup yang... bercampur senang. Setelah ia mengingat-ingat lagi, pengalaman kemarin malam tidaklah buruk. Sangat berkesan, malah. Tapi, kemudian ia menyadari tatapan Caster.

“Ada apa dengan wajahmu, Tuanku?”

“Wajahku?” spontan Pumkin mengelap pipi dengan lengan baju. “Apa terkena kuah?”

“Kau tersenyum.”

“Benarkah?” pemuda itu menggaruk-garuk kepalanya. “Aku baru sadar, sudah lama aku tidak merasa bersemangat seperti ini.”

Caster hanya diam. Tapi tiap kali ia melihat orang yang begitu bersemangat menghadapi pertempuran, orang-orang itu adalah para dewa perang yang mampu membantai tanpa mengedipkan mata. Mereka yang bertarung bukan karena tugas mau pun kewajiban, tapi hanya karena kesenangan semata.

“Kau bersemangat,” Caster berhenti sebentar untuk memilih kata-kata. “Karena sebentar lagi kau bisa mengangkat kutukanmu kan, Tuanku?”

“Hmm... Kurasa begitu.”

Sebaiknya begitu, ucap Caster dalam hati.

“Oh ya Tuanku, kenapa kau tinggal sendiri di rumah sebesar ini? Apa kutukan itu membuat keluargamu pergi?” Medadak wajah Pumkin berubah pucat. “Mungkin bisa dibilang begitu.”

“Kalau begitu kita memang harus menang!”

“Benar.”

“Tapi apa kita benar-benar harus menunggu sampai malam tiba?”

“Maksudmu?”

“Ini cuma pendapatku, tapi... sepertinya dalam perang Cawan Suci tidak ada peraturan resmi kapan kita harus menyerang satu sama lain, meski pun ada pihak yang membuat deklarasi perang dengan waktu dan tempat yang sudah ditentukan.”

Pumkin terdiam. Sendoknya sampai tertinggal di mulut untuk beberapa saat. “Sebenarnya aku juga berpikir begitu. Menurutmu kita harus menyerang duluan? Tapi siapa?”

Caster mengangkat bahu.

“Saat ini familiarku sudah menemukan persembunyian dari faksi Saber, yang kita lawan sebelumnya. Selanjutnya adalah Archer. Untuk orang yang berani mendeklarasikan perang begitu saja, kurasa mereka memang tidak suka bermain sembunyi-sembunyi. Dan yang terakhir adalah Berserker. Kelihatannya mereka juga senang tampil di depan umum.”

“Bagaimana dengan Rider dan Assassin?”

“Sembunyi adalah keahlian Assassin, sementara Rider,” Pumkin menggeleng. “Aku sama sekali tidak menemukan jejaknya.”

“Lalu di antara tiga pilihan, mana yang akan kita serang – seandainya kita akan menyerang?”

“Kita sudah lihat kekuatan Saber, meski ia belum memperlihatkan Noble Phantasm nya. Kita tahu, ia adalah lawan yang berat. Pihak Archer yang menginisiator deklarasi perang, jadi seharusnya mereka cukup percaya diri dengan kekuatannya.”

“Berarti, pilihan jatuh pada Berserker?”

“Tapi aku yakin Berserker pasti memiliki kejutan tak terduga.”

Caster mengerutkan dahi sambil menggembungkan pipi, membuat wajahnya tampak lucu. “Kalau begitu kita tak usah menyerang duluan?”

“Nah, di luar tiga pilihan itu, ada pilihan lain yang berbeda. Jika tak menyerang duluan, bagaimana jika kita menyerang belakangan? Seperti semalam, kita biarkan mereka saling bertarung. Tapi kali ini kita tunggu, hingga mereka kehabisan tenaga, baru kita bergabung?”

“Membunuh banyak lalat dengan sekali tepuk.”

“Benar!”

Part 5

Jauh tinggi di langit, tersembunyi di balik gumpalan awan, sebuah keberadaan raksasa melayang di sana. Sulit untuk menjelaskan apa itu – sesuatu yang tak pernah dilihat umat manusia sebelumnya. Apabila pada angkatan laut dikenal sebuah kapal induk yang bisa menampung ribuan personil dan persenjataan, maka mungkin benda itu bisa disebut dengan kapal induk udara.

Seluruhnya terbuat dari logam dengan kedua sayap yang membentang nyaris seluas lapangan sepakbola. Bermacam laras artileri dari berbagai ukuran menyembul pada seluruh sisinya, dengan beberapa yang paling besar berdiri tegak menantang angkasa. Pesawat-pesawat jet juga berjajar rapi di permukaan atas.

Namun, tak ada ribuan personil yang seharusnya bertugas mengoperasikan seluruh keraksasaan tersebut. Hanya ada seorang pria berpakaian militer yang berdiri di ujung, menatap Padipura jauh di bawah sana. Sementara di sebelahnya agak ke belakang, adalah sang pemuda berambut perak.

“Ini...”

“Enderson, kapal induk udara. Inilah Noble Phantasm ku.”

Keith tak bisa menutupi keterkagumannya. Pantas saja si penyihir pucat amat bernafsu untuk memanggil Archer. Dengan jurus pamungkas seperti ini, menyatakan perang pada seluruh roh pahlawan di saat bersamaan rasanya memang bukan hal mustahil.

“Tapi, sekarang baru tengah hari. Ini juga jauh dari tempat perjanjian.”

“Itu benar,” jawab Archer datar.

“Lalu... apa yang akan kita lakukan di sini?”

“Memulai perang.”

“Tapi, berdasarkan deklarasinya – “

“Aku tahu,” potong Archer. “Namun satu-satunya alasan kuatku melakukan itu adalah untuk memata-matai burung padepokan yang menyebarkan berita ke lima faksi yang tersisa. Dengan mengetahui lokasi mereka, aku bisa menghancurkan semua sekaligus.” Mata Keith terbelalak lebar. “Kukira kau membuat deklarasi untuk melaksanakan perang yang adil dan terbuka...”

“Adil? Anak muda, kita sedang berperang, bukan berpesta olahraga. Ketika nyawa adalah apa yang dipertaruhkan, kau harus melakukan semua yang bisa kau lakukan.”

“Ingat, apa yang kau inginkan,” lanjut Archer. “Kedamaian. Kau hanya bisa mencapainya jika memenangkan Cawan Suci. Untuk menang, kau harus menghancurkan yang lain. Caranya, apapun caranya, lawan-lawanmu tetap harus hancur. Itu adalah pengorbanan terakhir yang kau perlukan.”

Keith membuang nafas berat lalu memejamkan mata. Giginya bergemeletak. “Kau bisa melukai warga sipil.”

“Proyektilku memiliki akurasi sempurna.”

“Begitukah...”

“Jadi, bagaimana Tuan?”

“Baik,” kata Keith saat membuka kelopak matanya. “Lakukan.”

“Siap laksanakan,” Archer mengangkat sebelah tangannya.

Tiba-tiba bunyi berderak terdengar di mana-mana dari seluruh bagian Enderson. Moncong-moncong artileri berat bergerak dengan sendirinya, mengubah haluan menuju arah yang spesifik.

“Kunci lima titik koordinat!”

Lima moncong dengan ukuran terbesar, menyiapkan diri untuk sebuah tembakan jauh. Saat target mereka masing-masing terkunci, Archer mengayunkan tangannya ke depan.

“Tembak!”

Suara letusan bergemuruh di langit, seperti guntur siang bolong. Lima pilar api menyala mengiringi lima peluru balistik besar yang melesat pada lima lokasi berbeda. Mereka menyebar ke seluruh penjuru kota seperti hujan meteor. Lalu, beberapa detik kemudian, proyektil-proyektil itu meledak di bawah sana, menggetarkan Padipura.