Fate/Nusantara:Volume00 Fate2

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Masa liburan telah tiba, hingga tak aneh jika banyak orang memutuskan untuk bepergian. Tempat-tempat perhentian kendaraan umum pun menjadai ramai sesak. Salah satunya adalah Stasiun Kota Padipura, stasiun dengan arsitektur kolonial kuno yang cukup megah. Hari itu ratusan manusia memenuhi setiap peronnya.

Lalu suara nyaring terdengarbersama dengan munculnya kepala kereta dari kejauhan. Otomatis sebagian besar orang menoleh, memperhatikan ular besi yang semakin memperlambat lajunya. Setelah kendaraan itu berhenti, informasi diumumkan melalui pengeras suara.

“Perhatian, kereta jurusan Solo-Padipura telah tiba di peron 3.”

Tak lama pintu tiap gerbong terbuka. Dari dalamlangsung menyeruak mereka yang berlomba-lomba untuk turun. Pria, wanita, tua, muda, juga seorang gadis dengan setelan agak mencolok. Sweater yang melapisi kemeja putihnya berwarna merah muda terang, sama dengan rok selutut yang ia kenakan. Rambutnya diikat ekor kuda sementara jepitan berbentuk bintang laut tersemat di atas ubun-ubun. Melati Nini Towok, itulah namanya.

Dengan risih gadis remaja itu berjalan di antara kerumunan. Perawakan yang kecil membuatnya terhempas ke sana kemari. Namun apa daya, ia hanya bisa mengumpat dalam hati. Seandainya bukan karena sebuah janji pada sang ibu, saat ini ia pasti sedang bersantai menghabiskan liburan di rumah yang nyaman.

Namun mengumpat dalam hati membuat pikiran Melati tak fokus. Tiba-tiba seseorang melintas tepat di depannya. Tubrukan pun terjadi.

“Kyaa!”

Melati terjatuh, begitu juga dengan pemuda gempal yang ia tabrak. Keduanya mengaduh kesakitan. Tetapi saat gadis itu melihat berbagai cemilan yang tercecer di lantai, ia lekas berusaha mengumpulkannya.

“Maaf,” ujarnya sambil menyerahkan bermacam bungkus biskuit pada pemiliknya. “Aku tak sengaja.”

“Iyalah,” jawab sang pemuda santai. “Mana ada orang yang sengaja menabrakkan diri... Kecuali pencopet.”

“Aku bukan pencopet!” seru Melati tidak terima. Padahal ia yakin setelan serba hitam yang dikenakan sang pemuda membuatnya terlihat jauh lebih mencurigakan.

“Aku tahu, aku cuma bercanda,” tiba-tiba pemuda itu tertawa geli.Wajah Melati langsung merah padam menahan malu. “Sudah ya, terima kasih.”

“I... Iya.” Gadis itu mengangguk, kemudian memohon diri dengan kepala tertunduk.

Setelah gadis itu pergi, sang pemuda yang masih tersenyum geli juga melanjutkan langkah. Ia berusaha mencari kursi kosong untuk menyantap cemilan. Namun hampir semua penuh, kecuali sederet yang di tengahnya diduduki seorang pria botak bersetelan persis degannya – kaos berlapis jaket kulit hitam, celana hitam, hingga sepatu pantofel hitam. Sedang di dekatnya berdiri seorang gadis dengan wajah datar tanpa ekspresi.

Sang pemuda menjadi agak kecewa karena tidak bisa segera menyantap cemilan. Tapi di sisi lain ia juga lega tak perlu menunggu lebih lama. Tanpa basa-basi ia lekas menduduki kursi di sebelah pria itu.

“Lucu sekali,” adalah sambutan pertama yang dilontarkan si pria botak. “Dua penyihir saling bertemu, tapi gadis itu tak bereaksi apa-apa.”

“Mungkin dia buru-buru, jadi tidak sadar,” jawab sang pemuda. “Lagipula pertarungan belum boleh dimulai sebelum tujuh ritual pemanggilan dilakukan.”

“Tapi dia cantik juga.”

“Benar, aku jadi tidak tega,” sang pemuda tersenyum pasrah. “Oh ya, bicara soal ritual pemanggilan, kau bawa yang kubutuhkan?”

“Tentu saja, untuk itulah aku ke sini,” kata sang pria botak sembari mendorong sebuah tas koper besar. “Semua sudah lengkap di dalam sini.”

“Dan boneka itu, homonculusnya?” sang pemuda gemuk menunjuk ke arah gadis yang masih berdiri diam tanpa suara. “Seniman-seniman kita hobi sekali mengukir wajah cantik bahkan untuk tumbal sekali pun.”

Spontan si pria botak memperhatikan sang homonculus. Tubuhnya tinggi semampai. Mini dress tanpa lengan dengan batas rok cukup tinggi di atas lutut menampilkan kulit mulus tanpa cacat. Matanya lentik dan bibirnya merah muda segar. Sementara rambut hitamnya dibiarkan menjuntai hingga sepinggang.Secara keseluruhan, ia seperti malaikat yang turun ke bumi.

“Lebih baik daripada jelek kan? Hehehe.“

“Iya sih...”

“Oh ya,”si pria botak baru saja teringat akan sesuatu. “ Aku juga membawa pesan dari orang-orang organisasi, yang intinya... Semoga berhasil.”

“Tentu saja,” pemuda itu meraih pegangan koper lalu menariknya. “Kalian bisa mempercayakan ini padaku, Atmajaya Candrawangsa.”

“Kau yakin tidak butuh bantuan?”

“Jangan remehkan seorang Candrawangsa.”

Sebenarnya bukan maksud ingin meremehkan. Tapi tekad sang pemuda membuat si pria botak tersenyum. Maka ia beranjak bangkit. “Bagus. Kalau begitu sebaiknya aku segera keluar dari kota ini. Aku tak mau sampai kena peluru nyasar.”

“Ya, terima kasih.”

Begitu pria itu pergi, seakan sebuah mantra sihir terangkat. Kini orang-orang mulai berdatangan menempati deretan kursi yang semenjak tadi hanya diisi dua orang berjaket hitam.

Atmajaya juga ingin pergi dari sana, tapi makanan manis dalam kantung plastiknya begitu menggoda.

“Hei, kau... homonculus... duduklah, kita makan coklat.”

Setelah mendapat perintah, barulah gadis itu menempati sebuah kursi kosong. Atmajaya tahu homonculus tidak membutuhkan makan, tapi ia tetap memberi sebatang coklat.

“Kau mirip sekali dengan artis itu. Siapa ya namanya,” kata Atmajaya sambi mulai mengunyah biskuit. Keningnya berkerut, sampai ia mengingat sesuatu. “Oh ya, Yuri!”

Gadis itu hanya diam.

“Apa nama yang mereka berikan padamu?”

“Tidak ada,” jawabnya singkat.

“Kalau begitu kau akan kupanggil Yuri,” tukas Atmajaya seenaknya. “Sekarang makanlah, karena setelah ini selesai kau pasti tidak akan pernah bisa makan lagi. Hahaha.”

Homonculus memang tidak membutuhkan makanan, apalagi yang dirancang untuk hidup singkat. Tapi perintah tetaplah perintah. Dengan hati-hati Yuri membuka bungkus coklat, dan untuk pertama kali merasakan sesuatu di lidahnya. Manis.

Part 2

“Neng cantik, mau ke mana?”

“Neng, mau abang antar?”

“Neng, jangan jalan, nanti kakinya lecet.”

Sebenarnya Melati merasa amat terganggu dengan cara para tukang ojek menawarkan jasa. Namun ia paham betul, seorang gadis harus selalu tersenyum manis. Sehingga, ia kerap menolak penuh sopan santun.

Selain itu Melati juga tidak suka debu dan polusi yang pasti tak bisa dihindari apabila menumpang motor. Lalu panas mentari bisa membakar kulitnya. Ia pernah bersumpah jika bukan karena terdesak atau menempuh jarak dekat, ia tak akan sudi naik ojek.

Setelah berhasil lepas seutuhnya dari abang-abang nakal, Melati segera menuju ke pangkalan taksi. Tapi ia tidak langsung minta diantar. Hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya mengenai sungai-sungai yang mengaliri Kota Padipura.

Para supir pun menjelaskan dengan senang hati. Namun mereka juga bertanya, apa yang hendak dilakukan seorang gadis sendirian di sungai.

Melati hanya tersenyum, lalu berkata bahwa kunjungannya itu berkaitan dengan tugas sekolah. Ya, karena tentu saja ia tak bisa membeberkan fakta bahwa ia adalah satu dari tujuh penyihir yang terpilih mengikuti Perang Cawan Suci. Dan sungai, adalah media penting yang dibutuhkan untuk melakukan ritual pemanggilan pelayannya.

Setelah sedikit berbasa-basi – juga sedikit uang rokok – akhirnya Melati mendapat supir yang mau mengantarnya. Gadis itu pun duduk manis di jok belakang lalu membiarkan mobilnya melaju.

Dalam diam Melati menikmati pemandangan di sepanjang jalan. Di kiri kanan banyak terdapat bangunan yang berhimpitan, mulai dari toko, ruko, kantor, hingga rumah seseorang. Lalu di trotoar kadang tumbuh pohon-pohon asem. Sementara di pembatas lajur jalan, banyak tiang lampu yang ditempeli berbagai selebaran iklan – badut panggilan, sedot WC, juga obat-obat orang dewasa. Semuanya tidak jauh berbeda dari kota-kota berkembang Indonesia yang lainnya.

Begitu menjauhi pusat kota, lajur jalan pun mengecil. Tidak ada lagi trotoar, hanya tanah yang terkadang dijadikan lahan parkir. Terkadang tampak penjual buah yang bersusah payah mendorong gerobak karena rodanya tersangkut batu.

Sampai akhirnya pak supir membawa Melati ke jembatan kecil yang dilintasi sebuah sungai. Setelah menerima uang, ia berpesan agar gadis itu berhati-hati. Barulah ia menancap gas untuk kembali ke pangkalan di stasiun

Kini tinggal Melati sendirian di jembatan yang sepi. Hanya sesekali ada mobil atau motor melintas. Sementara yang terhampar di sekitar sungai adalah area persawahan.

Melati pun menghirup nafas dalam-dalam, lalu mengeluarkan payung lipat dari tas ransel. Matahari sudah naik cukup tinggi, membuatnya takut kulitnya terbakar. Kemudian perlahan ia turun dari jembatan menuju ke bantaran sungai.

Tekstur tanah yang lembab nyaris membuat gadis itu tergelincir. Ia memekik tertahan, lalu membiarkan tubuhnya berlari ke bawah bersama gravitasi. Tidak lupa ia mengumpat dalam hati, mengasihani dirinya yang harus repot-repot belusukan. Kalau saja ia memiliki relik yang lebih padat, ia tak perlu seperti ini.

Melati adalah gadis yang dipercaya sebagai keturunan dari seorang tokoh legendaris. Berbekal itu, ia berpikir mungkin darah yang mengalir dalam tubuhnya sendiri sudah merupakan media pemanggil yang memenuhi syarat. Tapi beberapa hari terakhir sebelum ke kota ini, keraguan muncul. Ia khawatir bagaimana jika darah tidak bisa menjadi acuan, sementara waktu yang tersisa begitu sempit untuk berburu relik.

Maka dari situ Melati mendapat ide untuk melakukan pemanggilan di sungai. Karena di sungailah sang tokoh legenda menorehkan sejarahnya, ketika pria itu mengalahkan buaya-buaya ganas dengan tangan kosong.

Namun persiapan belum selesai. Meski sudah di sungai, Melati tak bisa melakukan ritual pemanggilan begitu saja. Ia harus mencari titik di mana aliran prana dari bumi mengalir deras. Kemampuan sihirnya terlalu rendah untuk melakukan ritual secara mandiri.

Lalu, mengapa Cawan Suci memilih gadis sepertinya?

Tidak, bukan Cawan Suci yang memilihnya. Melati sudah mendapatkan segel perintah semenjak bertahun-tahun lalu. Ia mendapatkannya bersama dengan sebuah pesan terakhir yang menjadi tujuannya selama ini.

Tak mau membuang waktu, gadis itu mulai berjalan menyusuri bantaran sungai. Ia terus meningkatkan konsentrasi untuk mendeteksi prana. Namun ternyata mencari tanpa acuan tidaklah mudah. Setelah kedua lututnya lemas, setelah perutnya keroncongan, setelah senja tiba, dan setelah pikirannya lelah mengumpat, barulah ia mendapatlokasi yang diinginkan.

Selain aliran prananya kuat, tak ada orang di tempat itu. Jalan raya berada cukup jauh sedang tidak ada rumah penduduk di sekitar. Dengan begitu Melati dapat menghindari kemungkinan ada yang memergoki proses ritual.

Gadis itu pun duduk sejenak di bawah pohon bambu. Sambil menikmati pemandangan, ia memakan roti yang dibeli di stasiun pagi tadi. Lalu angin sepoi bertiup membuat dedaunan bergemerisik.

Pikiran Melati pun ikut melayang. Siapa sangka jika sebentar lagi ia akan mengikuti sebuah perang, di tempat yang sangat jauh dari rumah. Hanya seorang diri, tanpa ada yang menemani...

Gadis itu tertegun. Memangnya, siapa yang ia akan menemani? Sang paman? Tidak, sang paman tidak menyukainya. Teman? Gadis itu mengerutkan kening, mencoba menemukan teman yang benar-benar ia anggap berharga.

Tidak ada.

Ia hanya sendiri di dunia ini. Semenjak malam itu, semenjak ia mendapatkan segel perintah. Semenjak ibunya menghembuskan nafas terakhir.

Jadi, setelah dipikir lagi, tidak ada yang aneh. Sebenarnya yang membuat rumah menjadi tempat menyenangkan adalah orang-orang yang tinggal di dalamnya. Tapi Melati selalu mendapat kenyamanan saat pamannya tak ada di rumah. Maka sekarang pun, di saat hanya ada dirinya dan hembusan angin, tak ada bedanya dengan konsep rumah bagi gadis itu.

Sudah cukup melamunnya.

Melati bangkit, lalu menepuk-nepuk bagian belakang roknya untuk menghilangkan debu. Kemudian ia menggeliat meregangkan tubuh. Maghrib – waktu terbukanya pintu antara dua dunia – hampir tiba, saatnya untuk memulai persiapan.

Dengan hati-hati gadis itumenggambar lingkaran sihir memakai serbuk merah.Kemudian ia mengeluarkan sebuah pisau kecil.

“Baik,” ujarnya pada diri sendiri.

Rasa gugup pun mulai menjalar. Dada gadis itu berdebar dipenuhi berbagai sensasi. Lalu ia mengulurkan mengarahkan tangan yang di punggungnya terukir segel perintah.

“Di dalam tubuh ini mengalir darah yang sama, dengan yang mengalir dalam dirimu.

Karena aku adalah keturunanmu, wahai kakek leluhur.

Dengarlah panggilanku, bantu aku memperoleh kejayaan.”

Kini atmosfer berubah berat. Angin kencang bertiup membuat pohon-pohon bambu di sepanjang bantaran sungai bergemerisik. Permukaan air pun bergejolak. Tiba-tiba Melati merasa tekanan yang seperti akan meremukkan tubuhnya. Namun ia tak bisa berhenti sekarang. Dengan pisau kecil, ia menyayat telapak tangannya sendiri. Darah pun mengalir jatuh ke dalam lingkaran sihir.

“Datanglah ke hadapanku sekarang!”

Muncul cahaya menyilaukan dari lingkaran sihir. Mendadak bumi terasa bergetar. Nafas gadis itu tersendat ketika dadanya menjadi sesak, seakan udara di sekitarnya menipis begitu saja. Pandangannya semakin mengabur. Namun ia menolak untuk hilang kesadaran, karena di depannya kini muncul sosok yang telah ditunggu-tunggu.

Seorang pemuda berwajah lembut dengan pakaian serba putih. Semacam kain terikat di pinggang, sementara sorban membalut kepalanya. Begitu sederhana, begitu menawan.

Kemudian pemuda itu melipat sebelah tangan di balik punggung, sebelah ditempelkan di perut. Sambil agak membungkuk, ia berkata, “Aku adalah Lancer. Apa Nona yang memanggilku?”

Melati ingin menjawab, tapi kepalanya sudah terasa pusing bukan main. Prananya sudah terkuras habis, bahkan setelah meminjam aliran prana di tempat itu. Tubuh gadis itu pun limbung, lalu tumbang. Dengan sigap Lancer menangkapnya agar tak membentur tanah.

Lalu pemuda itu mengamati wajah Melati yang sudah tak sadarkan diri. Ia tersenyum. “Tidakkah perang ini terlalu berat untuk Nona sepertimu?”

Tentu saja Melati tak akan bisa menjawab pertanyaan itu. Lancer pun menggendongnya dengan lembut tapi juga mantap.

“Tenang saja, aku akan melindungimu.”

Part 3

Malam itu, di malam yang sama, Atmajaya telah berada di sebuah lapangan rumput luas. Meski pada sore hari digunakan untuk bermain sepak bola, sebenarnya tempat itu adalah lokasi bernilai sejarah. Sejarah kelam, tepatnya, karena di sanalah tempat dahulu para pemberontak ditembak mati.

“Hei, kau salah menggambarnya!” seru pemuda itu pada gadis homonculus yang sedang menaburkan serbuk merah di tanah. “Lingkarannya kurang melingkar!”

Yuri mengangguk, lalu memperbaiki gambarnya. Atmajaya tetap mengawasi. Sebenarnya bisa saja ia melakukan itu sendiri, tapi ia penasaran, bagaimana boneka di hadapannya bereaksi terhadap perintah. Dan sejauh ini, gadis itu mau mengerjakan apa pun yang diminta tanpa protes sedikit pun.

Setelah beberapa kali perbaikan, lingkaran sihir berhasil dibuat. Atmajaya juga sudah selesai menghabiskan jajanannya.

“Nah, sekarang kau minggir!” Atmajaya sengaja mengatakannya sambil mendorong, tapi sang homonculus hanya menyingkir dengan patuh. Pemuda itu pun berdecak geli. “Kalau aku memintamu melompat dari jembatan, apa kau akan menurut?”

Yuri terdiam sesaat, yang memberi Atmajaya sedikit rasa kemenangan.

“Baiklah, saatnya memulai ritual,” ujar pemuda itu seraya meletakkan sebuah relik di tengah lingkaran sihir. Sawalaku, begitu benda itu disebut. Perisai dengan ukiran motif kebanggan masyarakat Maluku.

Kini yang tersisa adalah pelafalan mantra, tapi lidah Atmajaya terasa sepat. Maka ia mengeluarkan sebutir permen dari kantung. Setelah mengecap rasa manis, barulah ia benar-benar siap.

“Wahai roh air yang bijaksana.

Wahai roh bumi yang perkasa.

Wahai roh langit yang agung.”

Cahaya merah dari lingkaran sihir langsung menerangi seluruh lapangan, tapi pemuda gemuk pendek itu sama sekali tak terpengaruh. Ia masih melafal khidmat dengan punggung tangan teracung.

“Ragaku hanya untuk santapan jiwamu.

Jiwaku pun hanya menjadi bahan permainanmu.

Pujianku adalah alat pembangkit kematian.

Dengan ini hembuskanlah nafasku kepadanya.

Bangkitlah...”

Kemudian Atmajaya berteriak sekeras mungkin sebagai penutup.

“Wahai roh suci yang mulia!!!”

Terjadilah ledakan dahsyat. Tanah yang semula digambari lingkaran sihir itu menyembur keluar, menerbangkan bebatuan kerikil. Sang pemuda tambun sampai terhempas ke belakang di buatnya.

“Aduduh,” erang Atmajaya sambil memegangi pinggang. “Kenapa ini... Apa karena aku membaca mantra sambil makan permen?”

Sempat kekhawatiran menguasai pemuda itu. Apa kata organisasi jika mengetahui ia gagal bahkan sebelum perang dimulai. Dengan susah payah ia kembali berdiri di atas kedua kaki.

Tapi untungnya, sosok yang kini berdiri di atas cekungan tanah menyelamatkannya dari rasa malu. Roh pahlawan dengan kelas Saber, kelas yang memiliki parameter kekuatan paling seimbang. Gadis pahlawan dari tanah Maluku yang bersenjatakan parang dan sawalaku.

“Apa kau Tuanku?” tanyanya dingin.

“Ya,” jawab pemuda itumantap. Dengan penuh kebanggan, ia melengkapi kalimatnya. “Akulah Tuanmu, Atmajaya Candrawangsa.”

“Maka kau akan menjadi hidupku, dan parang ini akan membuka tirai takdirmu.”

Atmajaya mengangguk senang. Bagaimana tidak, ia telah berhasil memanggil Saber, kelas yang paling dicari para peserta Perang Cawan Suci. Selain karena kekuatan Saber, hal itu membuktikan kualitasnya sebagai penyihir. Dalam hati ia bersorak, yakin kemenangan sudah berada dalam genggaman.

“Sekarang kita kembali ke markas,” ajak Atmajaya pada dua gadis di dekatnya. “Di sini sangat dingin, jajananku juga sudah habis.”

Saber mengamati sekeliling sebelum berkata, “Aku juga tak menyukai aura tempat ini.”

“Tentu saja,” ujar Atmajaya tanpa mau membahas itu lebih lanjut. Area eksekusi mati pasti menyimpan kenangan buruk pada Saber. “Yuri, bawa barang-barangku!”

Tiba-tiba Saber memandang tajam ke arah sang pemuda, membuatnya bertanya-tanya.

“Apa?”

“Bagaimana bisa kau membuat seorang gadis melakukan pekerjaan berat sementara kau bersantai?”

“Emansipasi wanita,” jawab Atmajaya lalu terkekeh. Namun tatapan Saber membuat tawanya berhenti secara janggal. “Ia bukan seorang gadis, ia adalah homonculus.”

“Tetap saja – “

“Kau tidak tahu, tapi kekuatan fisiknya jauh melampaui sebagian besar pria yang kau kenal.”

Saber melempar pandangannya pada Yuri yang tengah mengepak tas koper tanpa suara. Seumur hidupnya yang singkat, memang baru pertama kali ini ia bertemu dengan homonculus. Tak ada yang ia ketahui mengenai makhluk ciptaan itu. Mungkin benar, di balik tubuhnya yang terlihat rapuh tersimpan kekuatan tak terduga.

“Nah, ayo,” komando Atmajaya usai Yuri menyelesaikan pekerjaannya. “Kita santai dulu, masih ada dua atau tiga penyihir lagi yang belum melakukan ritual pemanggilan. Aku juga masih harus melapor ke padepokan.”

Pemuda itu pun memimpin langkah sambil bersiul riang, diikuti Yuri yang sama sekali tak kesulitan membawa koper besar. Saber yang memperhatikan sang homonculus akhirnya mengerti. Namun tetap saja dalam lubuk hatinya ia merasa tidak seharusnya Atmajaya bersikap seperti itu.

“Saber, apa yang kau tunggu?” seru Atmajaya.

“Tidak ada,” jawab sang pelayan singkat.

Mungkin Saber kurang menyukai kesan pertama yang ia dapat, tapi sekarang bukan saatnya mempermasalahkan hal itu. Mengikuti Perang Cawan Suci adalah kesempatan yang amat langka. Karena itu daripada memikirkan sesuatu yang sepele, lebih baik ia benrkonsentrasi untuk meraih target yang lebih besar.

Sang pelayan pun mengubah wujudnya menjadi partikel roh lalu mengikuti Atmajaya.

Part 4

Masih di malam yang sama, di tempat yang jauh terpisah, Keith si pemuda berambut perak tengah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. Namun lawannya bukanlah peserta Perang Cawan Suci seperti dirinya. Lawannya adalah seorang penyihir jangkung berwajah pucat – yang juga memiliki rambut perak.

Pertarungan yang mengambil tempat di atap sebuah gudang tua itu berlangsung dalam kecepatan yang mustahil dimiliki manusia biasa. Keduanya terus melancarkan tinju dan tendangan tanpa ampun seolah kematian adalah satu-satunya takdir bagi pihak yang kalah.

Tapi kemampuan super itu tidaklah gratis. Ada prana yang harus dialirkan untuk diubah menjadi energi sihir yang meningkatkan kecepatan. Siapa pun yang prananya terkuras lebih dulu, ialah yang akan kalah. Sialnya, Keith lah yang kini mulai kelelahan. Gerakannya mulai melambat dan tertatih. Ketika tanpa sengaja ia membuka celah, sang penyihir pucat tanpa segan menghantam pipinya dengan tinju yang telah dimantrai.

Kith pun terpental jauh hingga berguling-guling di atas atap. Pemuda itu mengerang sambil memegangi pipinya yang langsung membengkak. Darah segar juga mengalir dari sela bibirnya, menetes di atas kerah baju dinas pegawai negerinya.

“Maaf, aku kelewatan,” ujar sang penyihir pucat tanpa ada rasa penyesalan sedikit pun. “Padahal jika kau menurut, pertarungan ini tak perlu terjadi.”

“Cih!” Keith meludahkan darah yang memenuhi mulutnya.

Terlihat agak kesal, penyihir pucat itu melanjutkan, “Sebagai anggota klan yang berhak mengikuti perang ini, sudah seharusnya kau ikut!”

“Aku menolak!” raung Keith mantap.

“Kenapa? Kau tidak ingin membalaskan dendam ayahmu yang gugur dalam perang sebelumnya?”

“Membalas dendam pada siapa? Orang yang membunuh ayah juga sudah mati...” kata Keith sinis seraya bangkit berdiri. “Perang ini hanya akan membawa kehancuran!Aku akan menghentikannya!”

“Kalau kau takut, aku akan mendampingimu.”

“Kau dungu ya?! Bukan itu maksudku!”

Sang penyihir berwajah pucat itu pun mendesah. Lalu ia mengacak-acak rambutnya seperti orang frustasi. “Jika dulu orang tak berkompetensi, sekarang malah orang yang tak punya niat. Mengapa Cawan Suci terus memilih orang yang salah dari klan kita? Apa ia memang mengharapkan kehancuran klan ini?”

“Tidak,” Keith memaksakan senyum sinis. “Ia memilihku karena agar menghentikannya.”

“Logika bodoh macam apa itu... Kurasa sebaiknya... kau mati saja.”

Sadar itu bukan kata-kata kosong, Keith segera melakukan tolakan ke belakang. Namun sang penyihir pucat yang masih memiliki cukup prana bergerak lebih cepat. Pergelangan kaki Keith diraihnya, lalu pemuda itu dibanting keras hingga menembus atap yang terbuat dari seng.

“Matilah kau!!”

Keith jatuh bebas, lalu menghantam tumpukan karung beras. Ia merasakan punggungnya sakit luar biasa. Kerongkongannya pun mendadak terasa penuh akan sesuatu. Saat ia terbatuk, darah segar tersembur dari sana.

“Rencanamu untuk tidak melakukan ritual pemanggilan itu sangat konyol,” kata sang penyihir pucat yang baru saja mendarat di sebelah Keith. “Sampai-sampai aku harus menyeretmu ke kota ini seperti anak kecil.”

Dengan sadis penyihir itu mendang perut Keith, membuatnya makin menderita.

“Kalau kau tak mau bertarung,” lanjut sang penyihir pucat seraya menginjak dada Keith keras-keras. “Serahkan segel perintahmu!”

Meski sulit, Keith membuka mulutnya hanya untuk mengeluarkan suara rintihan, “Tidak akan...”

Melihat betapa keras kepala pemuda di bawah kakinya, sang penyihir pucat tersenyum jengkel. “Baiklah,” katanya sambil mengeluarkan sebuah pisau lipat. “Terpaksa kulakukan ini.”

Penyihir itu menyayat pergelangan tangan Keith, lalu menggunakan darahnya untuk menggambar lingkaran sihir. Sang pemuda mencoba meronta, tapi tak beraya. Kemudian penyihir itu meletakkan sebuah piramida logam di pusat lingkaran. Terakhir, ia mengangkat tangan sang pemuda yang memiliki segel perintah.

“Saatnya memulai,” sang penyihir pucat mulai mengalirkan prananya ke segel perintah Keith.

Pemuda itu langsung tersentak. Tubuhnyaseperti disengat istrik bertegangan tinggi.

“Hentikan...”

“Kau diam saja! Setelah pelayan dipanggil, kau bisa menyerahkan semua padaku.”

“Tidak... Tidak...”

Lingkaran sihir sudah menyala tanda roh pahlawan sebentar lagi akan termaterialisasi. Menyadari waktunya tidak banyak, Keith terus memutar otak. Tapi tak satu pun jalan keluar yang ia temukan. Kecuali, sebuah sihir terlarang yang seharusnya tidak boleh ia gunakan.

Keith balas mencengkram tangan sang penyihir yang mencengkram pergelangan tangannya. Lalu dengan sisa tenaganya, ia membenamkan geligi di tangan itu. Tentu sang penyihir terkejut, tapi semua sudah terlambat.

Sacrificia telah diaktifkan. Sihir terkutuk yang memiliki kemampuan untuk memindahkan luka dari satu orang ke orang lain. Dalam kasus ini, dari Keith ke sang penyihir pucat. Sedikit demi sedikit memar-memar pemuda itu pulih, sementara tubuh lawannya melemah. Aliran prana menuju segel perintah Keith pun semakin berkurang. Hingga akhirnya, sang penyihir ambruk.

Harusnya, dengan ini semua sudah selesai –

“Apa anda adalah Tuanku?”

Keith langsung terperanjat begitu mendengar kalimat. Dengan hati-hati ia menoleh ke belakang. Dan benar saja, di hadapannya sudah berdiri roh pahlawan yang mengenakan seragam militer angkatan udara Indonesia tempo dulu. Ekspresi wajahnya begitu tegas, seolah meminta kepastian.

Meski luka fisiknya sudah sembuh, tapi mental Keith terasa lemas. Dengan sengaja ia jatuh berlutut sang pelayan.

“Archer,” gumam penyihir pucat yang masih memiliki sedikit kesadaran tersisa. “Kelas yang cocok... Ritual pemanggilan sudah terlanjur dilakukan... Kau tidak punya pilihan... Keith.”

Sang pemuda tidak menjawab. Ia terlalu kesal untuk menjawab. Giginya sambil bergemeletak menahan emosi yang meluap. Roh pahlawan yang akan menjadi pelayannya sudah dipanggil ke dunia. Perang Cawan Suci akan tetap berlangsung.

Apa yang harus kulakukan?

“Anak muda!” hardik Archer. “Kutanya sekali lagi, apa kau adalah Tuanku?!”

“Itu...” kata Keith tanpa percaya diri. “Itu benar... Aku Keith.”

Archer menghela nafas. “Aku tidak tahu apa masalahnya. Tapi sebuah pesawat hanya bisa bergerak maju, atau ia akan jatuh.”

Keith memandang bingung pada Archer.

“Karena itu apa pun yang terjadi, kau harus tetap bergerak maju,” lanjut sang pelayan. “Jangan khawatir. Karena kau adalah Tuanku, maka aku akan setia mendampingimu.”

“Tapi bagaimana jika yang menanti di depan adalah lautan api?”

“Ingat, langit bukanlah jalan satu jalur. Kau akan selalu bisa bermanuver untuk menembus lautan api. Yang jelas, satu-satunya saat di mana kau akan jatuh adalah ketika kau berhenti bergerak maju.”

Keith merenungkan kata-kata Archer untuk beberapa saat. Sejujurnya ia tak paham sepenuhnya. Tapi, entah mengapa sebuah harapan muncul.

“Mungkin... kau benar.”

Archer pun tersenyum, lalu mengulurkan tangan. “Berdirilah Tuan, kita arungi angkasa bersama.”

Begitu Keith meraih uluran itu, Archer langsung menariknya berdiri.

“Tapi, aku ingin menghentikan perang ini,” kata pemuda itu hati-hati. “Bagaimana?”

“Semua perang suatu saat memang harus berhenti, atau dunia ini akan berakhir.”

Keith mengangguk setuju. Tapi ia tak tahu apakah ia benar-benar bisa menghentikan perang ini. Karena roh pahlawan yang menjadi pelayannya saja seorang perwira perang.

Sementara sang penyihir pucat terkekeh puas sebelum kesadarannya hilang total.