Fate/Nusantara:Volume00 Fate1

Pumkin, seorang pemuda berambut pirang tengah berjalan riang menyusuri lorong. Perawakannya yang tinggi dengan kulit sawo matang seringkali membuat heran orang-orang yang berpapasan dengannya. Namun ia selalu membalas tatapan mereka dengan senyuman ramah. Begitu sampai di balik pintu kelas, Pumkin berhenti sejenak untuk memastikan penampilannya sudah rapi. Ia menepuk-nepuk kemeja coklat bermotif batik yang ia kenakan, juga membenarkan ikat pinggang. Setelah yakin, barulah ia melangkah memasuki ruangan yang sudah bising sedari tadi.

“Selamat pagi teman-teman!!!” sapanya penuh semangat.

Tapi mendadak suasana menjadi sunyi senyap. Semua orang berhenti bercakap-cakap, lalu melempar pandangan ke arah Pumkin. Tampak ekspresi ganjil di raut wajah mereka.

“Pagi...” jawab salah seorang dengan nada muram, lalu diikutibeberapa lainnya.

Kemudian para mahasiswa kembali melanjutkan kegiatannya. Tetapi nuansanya jauh berbeda dari sebelumnya. Tak ada lagi candaan pengundang tawa mau pun obrolan yang berapi-api. Kini mereka berbicara dengan suara pelan, lambat, seperti orang tanpa gairah.

Pumkin menelan ludah, lalu berjalan masuk sebiasa mungkin. Setelah meletakkan tas di atas meja, ia mencoba untuk bergabung dengan salah satu obrolan. Tapi satu-satunya yang mereka perbincangkan hanyalah keluh kesah, kemalasan, dan pengharapan agar dosen tidak masuk hari itu.

Kemudian Pumkin mendekati pemuda di sebelahnya yang sedang merebahkan kepala di atas meja, “Hei, libur tahun baru mau ke mana?”

Pemuda itu mengintip sedikit lalu menjawab enggan, “Tidak ke mana-mana...”

“Serius?”

Pemuda itu tak merespon lebih jauh. Pumkin pun menghela nafas, kemudian memutuskan untuk membaca-baca buku catatan.

Tak lama, dosen yang tidak dinanti-nanti kehadirannya memasuki kelas. Spontan hampir sebagian besar mahasiswa mendesah kecewa, tapi sang dosen tampak tidak peduli. Tanpa basa-basi ia segera menyalakan laptop dan proyektor. Setelah slide pelajaran muncul di papan tulis, ia mulai membaca satu persatu tulisan di slide dengan nada datar.

Entah berapa kali sudah para mahasiswa menguap. Sedang Pumkin yang berusaha mengusir kantuk kerap mengangkat tangan untuk bertanya. Tapi jawaban sang dosen hanya satu.

“Pertanyaannya nanti saja ya.”

Namun setengah jam kemudian sang dosen menghentikan presentasi, lalu membagi-bagikan soft copy materi pelajarannya.

“Maaf saya ada urusan. Kalian belajarlah sendiri. Selamat natal dan tahun baru.”

Seharusnya itu menjadi penutup kuliah yang menyenangkan, tapi tak ada satu pun yang bersorak gembira. Bahkan setelah Pumkin berusaha tersenyum lebar pada orang-orang, tak ada yang menanggapi. Kelas pun membubarkan diri dengan perlahan. Merasa tak ada yang bisa dilakukan, Pumkin memutuskan untuk langsung pulang.

“Teman-teman, aku duluan ya!” katanya sambil melambaikan tangan. Yang lain membalas dengan lambaian sekadarnya. Maka berjalanlahduluan pemuda itu menyusuri lorong.

Namun mendadak keceriaan meledak di belakangnya seperti bom. Pumkin berhenti untuk menoleh dan mendapati teman-temannya sekelasnya begitu bersemangat membahas tujuan wisata di akhir tahun. Spontan pemuda itu langsung berniat kembali, tapi ia tak bisa melakukannya. Sambil mengeratkan geligi, ia melanjutkan perjalan pulang.

Pemuda itu buru-buru mengambil motor di parkiran. Pak satpam hanya memandang tanpa ekspresi ketika ia melintas keluar gerbang bertuliskan Universitas Negeri Padipura. Lalu ia mulai berkendara mengikuti ke mana jalan membawanya. Tanpa terasa lingkungan pusat kota yang ramai pun sudah berubah menjadi jalan yang dikelilingi area persawahan. Dan pada saat itulah – dari balik helm – Pumkin berteriak sekeras-kerasnya.

Pemuda itu berteriak seperti kesetanan sambil tetap menahan laju motor. Ia melontarkan sumpah serapah yang dilontarkan entah kepada siapa. Karena ia sendiri tak tahu, siapa yang sebenarnya harus disalahkan atas semua ini. Ia tak mengerti apakah yang menimpa dirinya.

Semenjak yang ia ingat, tidak pernah ada keceriaan di sekitar pemuda itu. Semua orang di dekatnya selalu dipenuhi kemalasan, rasa putus asa, curiga, sinis, iri, dengki, dan berbagai perasaan negatif lainnya. Awalnya ia memang tidak menyadari dan menganggap itu semua normal.

Namun kisah yang ia baca, film yang ia tonton, drama yang ia saksikan, semua bercerita bahwa dunia seharusnya tidak bekerja seperti itu. Dunia seharusnya menawarkan hal lain seperti semangat dan persahabatan, yang tidak pernah ia rasakan dari orang di sekitarnya.

Sempat pemuda itu berpikir, mungkin dunia nyata tak seindah fiksi. Tapi faktanya dunia memang seindah fiksi bagi orang lain. Semua bisa bercanda riang di kala Pumkin tak ada di sana. Semua bisa tertawa bersama ketika Pumkin hanya bisa mendengar dan tersenyum dari kejauhan.

Apa mungkin, semua orang membenci pemuda itu? Tidak, itu jelas tidak mungkin. Bagaimana orang asing yang ia temui di bus bisa membencinya? Dan, mungkinkah ibu yang mengandungnya selama sembilan bulan akan membencinya?

Sampai akhirnya ia menarik sebuah kesimpulan – bahwa ia dikutuk.

Ia memang tak tahu siapa yang mengutuknya, tapi yang penting adalah bagaimana melepas kutukan tersebut. Satu-satunya cara adalah dengan memasuki dunia yang mengakui keberadaan kutukan, yaitu dunia sihir. Dunia asing yang tertulis dalam 444 lembar perkamen kuno warisan keluarganya.

Sayangnya setelah bertahun-tahun pun, ia masih tak memahami kutukan apa yang menimpa dirinya. Nyaris saja ia menyerah jika saja tidak melihat sebuah informasi mengenai ritual sakral di bab terakhir.

Perang Cawan Suci, namaritual tersebut. Ritual yang dilaksanakan melalui pertempuran antara tujuh penyihir terpilih, dengan cara membangkitkan tujuh roh pahlawan. Dia yang mampu bertahan hingga akhir dijanjikan akan mendapat hadiah setimpal sesuai pengorbanan yang telah dilakukan : pengabulan permintaan, apapun itu.

Sejak itulah Pumkin terus melatih diri, meyakini suatu saat dirinya akan terpilih. Terlebih karena Padipura – kota kelahirannya – adalah tempat perang ini berlangsung di setiap siklusnya. Maka saat segel perintah – berupa ukiran magis warna merah – tiba-tiba muncul di punggung tangan kanannya beberapa hari lalu, rasanya seperti mimpi yang menjadi nyata.

Sore itu setelah melampiaskan seluruh kekesalan hatinya, Pumkin tiba di rumah untuk melaksanakan ritual pemanggilan roh pahlawan sebagai syarat terakhir mengikuti Perang Cawan Suci. Untuk beberapa saat ia menatap bangunan megah berarsitektur kolonial di hadapannya. Namun ia merasa enggan untuk masuk, karena paling hanya kesunyian yang akan menyambutnya di sana.

Pumkin pun memutar dari luar hingga sampai ke halaman belakang. Di situ terdapat sebuah gudang tua dengan diagram sihir tergambar di pintunya. Dengan santai pemuda itu membuka kunci lalu masuk.

Lemari berisi buku, meja,kursi, dan perabotan lainnya sudah disusun merapat sepanjang sisi ruangan. Menyisakan area kosong di tengah, yang di permukaan lantainya sudah digambari lingkaran sihir merah. Kemudian Pumkin meraih sebuah kotak hitam dari lemari.

Dengan penuh penghayatan, dikeluarkannya sesuatu dari dalam kotak itu. Sebuah relik berusia ratusan tahun, sarung keris yang tak pernah selesai dibuat. Bakal rumah bagi senjata legendaris yang kutukannya mampu membunuh hingga tujuh generasi. Tiap ukirannya begitu tua, pun dipenuhi nuansa mistik.

Usai mengagumi keesksotisan relik tersebut, Pumkin meletakkannya di tengah lingkaran diagram sebagai inti ritual. Benda itulah yang akan menjadi media untuk memanggil roh pahlawan. Selanjutnya pemuda itu berdiri di luar lingkaran lalu mengarahkan tangan kanannya yang bersegel perintah ke depan. Sementara di tangan kirinya terbuka kumpulan perkamen tua yang menjadi sumber ilmunya selama ini.

Semua persiapan sudah lengkap. Pemuda itu memejamkan mata lalu menarik nafas dalam-dalam. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Saat kedua kelopak matanya membuka, tekadnya telah bulat.

“Aku dengan segala janji ucapanku,

Aku dengan segala darah rasku,

Aku dengan segala harapan tergelapku…”

Begitu mantra dilafalkan, lingkaran sihir menyala terang. Bisa Pumkin rasakan aliran prana dalam dirinya mulai tersedot keluar. Sementara dadanya berdebar makin keras hingga peluh keringat membasahi kening. Sesaat muncul rasa ragu, tapi dikalahkan tekadnya untuk menghapus kutukan.

“Dengarkan perintah kuasaku,

Kau yang membawa dendam dan kenangan,

Bersatulah denganku…”

Mendadak Pumkin merasakan tubuhnya bergetar. Aliran prana yang terhisap makin deras harus ia kendalikan sebaik mungkin untuk menghindari kemungkinan terburuk. Saat cahaya dari lingkaran sihir bersinar makin terang, ia memicingkan kedua mata – namun tak berniat untuk menutupnya.

“Karunia berjuta bintang,

Gumpalan darah yang menyala,

Dengan segala perintahku…”

Tiba-tiba bertiup hembusan angin kuat yang entah dari mana datangnya. Nyaris saja Pumkin terlempar ke belakang jika bukan karena kuda-kuda yang mantap. Kini hanya tinggal selangkah lagi ritual berakhir. Sambil memusatkan konsentrasi, pemuda itu mengucapkan kalimat penutup.

“...Aku memanggilmu!”

Terjadi ledakan cahaya yang membutakan disertai angin kencang.Mau tidak mau akhirnya Pumkin harus memejamkan mata. Setelah itu semua menjadi gelap dan sunyi seperti sedia kala. Namun, pemuda itu dapat merasakan kehadiran seseorang.

Sedetik kemudian terdengar langkah ringan mendekat. Meski matanya masih berair, Pumkin memaksa untuk mengintip sosok yang kini sudah berdiri di hadapannya. Seorang tokoh yang namanya telah melegenda selama berabad-abad. Penempa keris terkutuk yang membunuh para raja.

“Mpu Gan – “ kata-kata Pumkin mengambang di udara. Matanya memang masih berkunang-kunang, dan penglihatannya bisa saja salah. Namun kesan pertama yang ia tangkap membuat mulutnya ternganga.

Tepat di hadapan pemuda itu, berdiri sosok langsing berbalut perban kasar. Dari pinggang hingga mata kakinya terbungkus kemben bermotif batik coklat dengan belahan selutut. Rambutnya panjangnya tertutup oleh ikatan bandana.Sementara tangannya yang kecil tampak tidak kesulitan memainkan sebuah palu besar. Kemudian alunan suara nyaring nan tajam terdengar dari bibir tipisnya.

“Apa kau Tuanku?”

Rahang Pumkin masih belum tertutup, dan ia hanya menjawab dengan tatapan terbeliak. Penglihatannya sama sekali tidak salah. Tak mendapat respon, sosok itu kembali bertanya dengan lebih tegas. “Aku tanya sekali lagi, apa kau Tuanku?”

Bahkan suara itu makin meyakinkan Pumkin, bahwa roh pahlawan yang berdiri di hadapannya sekarang adalah... seorang gadis muda.

“Tuan?!”

“Si-siapa kau?!”

Pikiran Pumkin sudah kacau. Padahal ia yakin sekali tidak melakukan kesalahan selama proses ritual. Tapi ke mana kah Mpu Gandring sang perkasa, yang otot lengannya telah menempa keris hingga tak terhitung jumlahnya.

“Aku yang tanya duluan, kenapa kau malah balik bertanya?!” bentak sang gadis dengan tatapan tajam. Tangannya sudah meremas gagang palu erat-erat. “Jawabdulu pertanyaanku, apa kau Tuanku??”

“Yang kupanggil adalah Mpu Gandring!” seru Pumkin sambil bergerak mundur. Bulu kuduknya langsung berdiri saat melihat palu besar yang dimain-mainkan gadis itu. “Siapa kau?!”

“Akulah Mpu Gandring!” jawab gadis itu sambil menepuk dadanya penuh kebanggaan.

Pumkin melongo. Ia merasa dikhianati. Entah oleh ritual ini, oleh legenda, atau oleh gadis di depannya. “Tidak mungkin Mpu Gandring seorang...”

“Perempuan?” timpal gadis itu tajam membuat Pumkin terdiam. “Memangnya kenapa jika Mpu Gandring adalah seorang perempuan? Apa seorang penempa harus laki-laki?”

Pumkin tak menjawab.

Gadis itu pun menghela nafas lelah, “Dari masa aku hidup hingga sekarang, kalian semua sama saja. Bagi kalian, perempuan hanyalah makhluk lemah ya? Tentu saja bagi kalian terlahir sebagai perempuan adalah kesalahan?”

Mendadak mata Pumkin terbuka lebar. Apa terlahir sebagai perempuan adalah kesalahan? Entahlah. Tapi apa terlahir dengan kutukan adalah kesalahan? Yang jelas, ia merasa itu bukan salahnya. Tidak ada manusia yang meminta lahir bersama kutukan. Maka, hal yang sama juga berlaku pada pertanyaan gadis itu.

“Haha... Hahahahahaha!” tawa Pumkin pecah di udara. Gadis di hadapannya terlihat bingung melihat kelakuan pemuda itu. Buru-buru ia menundukkan kepala. “Maaf, tidak seharusnya aku bersikap seperti barusan.”

Gadis itu masih tidak mengerti, tapi segera mengangguk.

“Ya, akulah yang memanggilmu kembali ke dunia,” tutur Pumkin lembut layaknya seorang bangsawan. “Dan karena aku yakin dengan kemampuanku, maka aku juga yakin jika yang kupanggil adalah sang penempa keris para raja. Aku mohon, bawa aku pada kemenangan.”

Kini wajah dengan ekspresi tajam itu sudah tidak ada, berganti dengan sebentuk kebanggaan. “Maka aku Caster, akan membawamu pada kemenangan.”

“Kalau begitu,” kata Pumkin dengan gaya bicara kembali seperti biasa. “Boleh aku meminta sesuatu?”

“Apa itu?” tanya Caster singkat.

“Meski hanya sekali, aku ingin mencoba seperti apa memainkan keris yang dibuat oleh legenda.”

Sejujurnya, Pumkin masih sangsi. Niatnya untuk membuktikan kemampuan roh pahlawan yang telah ia panggil terlihat jelas sekali. Tapi dengan mempertimbangkan cara halus yang pemuda itu gunakan, Caster mencoba maklum. Tidak ada gunanya juga memperdebatkan sesuatu tanpa bukti.

“Baiklah,” jawab Caster mengikuti permainan Pumkin.

Tanpa aba-aba gadis itu mengangkat palu tinggi ke udara hanya dengan satu tangan. Kemudian cahaya biru berpendar dari benda itu. Prana Pumkin seperti terserap, tapi di sisi lain pemuda itu merasakan tekanan yang hebat dari arah Caster. Selanjutnya, lingkaran sihir tercipta di permukaan lantai.

“Ajining Pusaka!”

Dengan satu seruan, Caster menghantamkan palu ke arah lingkaran sihir. Lingkaran maya itu pun pecah berkeping-keping, namun serpihannya segera berkumpul dengan sendirinya. Bergabung menjadi satu, membentuk sebuah keris pusaka berbilah keperakan. Caster pun menangkap sejata itu yang hanya berukuran sedikit lebih besar dari pisau dapur.

“Inilah Keris Awrat,” katanya mantap. “Kau mau... sanggup mencobanya?”

“Berikan saja padaku,” Pumkin tersenyum yakin. Semenjak menyadari dirinya membawa kutukan, pemuda itu memiliki kecenderungan untuk melakukan kegiatan individu. Ketika anak-anak sebayanya bermain sepak bola bersama, ia memutuskan untuk menghabiskan waktu berlatih menggunakan keris – senjata favoritnya.

Caster pun melempar sesuatu permintaan, “Tangkap!”

Pumkin bisa merasakan aura kuat dari keris itu, tapi ia tidak menyangka jika –

“Ah, hati-hati,” tambah Caster terlambat. “Keris itu sangat berat.”

“Hmmmbbbhhh!!!”

Pumkin seperti baru saja menangkap sekarung beras dengan satu tangan. Keris Awrat langsung seperti menarik lengan pemuda itu, membuat otot-ototnya kejang seketika. Takut sendi bahunya malah copot, ia melepaskan pegangan, membiarkan benda itu jatuh menghantam permukaan lantai.

“Apa-apaan keris ini?! Kenapa berat sekali?!!”

“Karena kau laki-laki, kupikir sanggup mengangkatnya dengan mudah,” jawab Caster sambil menahan tawa. Pipi Pumkin pun berubah merah seperti tomat. Kemudian gadis itu meraih keris yang tergeletak. “Sedikit saran, gunakan aliran prana untuk mengangkat keris-kerisku.”

Masih merasa malu, Pumkin mencoba mengikuti petunjuk Caster. Dan memang, kali ini Keris Awrat terasa jauh lebih ringan, meski masih saja berat. Sampai-sampai pemuda itu hanya bisa sekedar mengangkat. Rasanya tak mungkin menggunakan benda itu dalam pertempuran.

“Hahahahahahaha!” tiba-tiba Caster tertawa lepas. “Wajahmu seperti sedang menahan buang air besar!”

“D-d-diaaamm...” Pumkin merintih lalu kembali meletakkan kerisnya.

Tapi aneh, hati Pumkin tidak menganggap tawa itu sebagai hinaan. Malah, ada debaran menyenangkan yang meluap-luap. Awalnya pemuda itu tak mengerti. Sampai, ia menyadari satu hal. Untuk pertama kalinya ada orang yang bisa tertawa lepas di hadapannya, sama sekali tak terpengaruh oleh kutukan yang ia bawa.Hal yang tidak ia tahu kenapa, tapi membuat senyumnya terkembang.

“Ada apa?” tanya Caster menyadari senyum aneh Pumkin.

“Tidak... Tidak apa-apa,” jawab Pumkin seketika. Otaknya langsung berputar cepat memikirkan alasan. “Ternyata kau memang luar biasa. Sangat luar biasa!”

Sekarang giliran pipi Caster yang merona merah. “Itu sudah jelas kan Tuan.”

“Tuanku...” Pumkin tidak keberatan dipanggil seperti itu. Bahkan, panggilan itu membuatnya merasa hebat. Tapi tetap, ada yang kurang. “Ngomong-ngomong, namaku Pumkin. Dan suatu hari nanti orang-orang akan menyebutku ini,” Ia menunjuk tulisan pada sampul kumpulan perkamennya. “Das Magus Pumkin.”

“Sebutan yang aneh,” gumam Caster. “Jadi apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Menunggu,” jawab Pumkin. “Hingga tujuh pelayan dipanggil ke kota ini.”

Ingatan Caster terpancing ketika mendengar kata itu – menunggu. Sebuah pekerjaan yang membosankan tapi seringkali membawa hasil memuaskan. Jika saja orang itu bisa bisa menunggu sedikit lagi, mungkin...

Caster cepat-cepat menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran itu. Ada hal lebih penting yang harus ia urus saat ini. Pumkin boleh saja membuatnya menunggu, tapi ia ingin tahu apa penantiannya akan menjadi sia-sia atau tidak.

“Tuan,” kata Caster kemudian. “Aku memang berjanji akan membawamu pada kemenangan. Dan kutukanku akan mengutuk lawan-lawan kita. Kemampuanku menempa keris pusaka tak perlu kau pertanyakan. Namun aku bukan petarung terbaik. Aku bukannya memintamu bertarung, tapi aku khawatir suatu saat kau terpaksa membasahi tanganmu sendiri dengan darah.”

Di luar dugaan, Pumkin menjawab tanpa berpikir terlalu lama. “Kau pikir tangan ini masih suci tanpa noda?” Melihat Caster yang menanti penjelasan, ia melanjutkan. “Tenang saja, kau sudah memenuhi semua yang kuharapan dari seorang pelayan. Dan di antara banyak legenda, memangnya kenapa kenapa aku memilihmu? Karena aku ingin menggunakan kedua tangan ini untuk mengubah takdirku sendiri.”

“Semangat yang bagus,” kata Caster tersenyum puas. Setidaknya sekarang ia tahu jika Tuannya memiliki kualifikasi yang dibutuhkan untuk memenangkan perang ini. Karena dalam hati, ia juga memiliki keinginan yang hanya bisa dikabulkan Sang Cawan Suci.

Back to Prolog

Return to Main Page

Forward to Fate 2