Arcanagram:Volume00 12th card

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Part 1

Dalam keadaan hujan lebat seperti ini, tentu tidak ada alasan untuk seseorang berada di luar rumah, kecuali mereka memang hendak bepergian ke suatu tempat.

Sengoku Hime termasuk yang tidak meninggalkan tempat tinggalnya sejak pagi tadi.

Setelah apa yang terjadi tadi malam, tekadnya semakin bulat untuk tidak meninggalkan rumahnya. Entah sampai kapan.

Tetapi ia juga sadar, cepat atau lambat, permainan ini pasti akan berakhir.

Ia hanya tidak tahu harus berbuat apa di dalamnya.

Hime berjalan ke dapur untuk membuat teh. Ia perlu menenangkan dirinya sendiri.

Setelah ia selesai membuat teh, ia pun berjalan kembali menuju ruang utama apartemennya.

Dan mendapati sosok asing yang seharusnya tidak ada di sana sebelum ia pergi ke dapur.

"Kyaaaaaaaaaaaahhh!!"

Hime nyaris saja menjatuhkan teh dalam cangkir yang tengah ia pegang.

"Ah, tidak sopan. Kenapa kau menjerit ketakutan seperti itu, sih? Aku kan bukan hantu."

"Kau yang tidak sopan, bodoh! Mana ada orang selain pencuri yang masuk seenaknya ke dalam rumah orang tanpa izin---tunggu, bagaimana kau bisa masuk!? Gh, akan kupanggil polisi!"

"Jangan! Ya ampun, kau ini serius sekali, aku datang ke sini hanya untuk mengobrol!"

Hime melirik ke arah 'orang asing' itu sebelum memencet tombol di teleponnya.

Tidak, sebenarnya orang ini tidak benar-benar asing. Hime ingat betul baru saja bertemu dengannya tadi malam.

Pemilik [The World].

Seorang perempuan dengan rambut twintail yang duduk manis di sofa ruang tengah kamar apartemennya, seolah-olah ia adalah teman lama yang sedang berkunjung ke tempat ini.

Hime tidak boleh lengah. Memang semalam orang ini sempat membantunya, tapi siapa yang bisa tahu dengan pasti apa tujuannya datang ke sini?

"Kau tidak berbohong?"

"Kau ini terlalu mudah curiga...atau mungkin lebih tepatnya, kau terlalu khawatir. Dan aku datang ke sini karena sejak kemarin aku penasaran, bagaimana orang sepertimu memandang permainan ini. Ayo, duduklah. Kebetulan sekali kau sudah membuat teh."

"...ini rumahku, kau tahu. Berhentilah bersikap seperti kau tuan rumahnya."

Setidaknya sampai sejauh ini, Hime mengakui kalau ia memang tidak melihat adanya tanda-tanda mencurigakan dari perempuan ini.

Perempuan ini terlalu polos. Sama seperti pemilik [The Hangedman] yang menghilang di depan matanya semalam.

"....aku akan menemanimu berbicara dengan satu syarat."

"Apa itu?"

"...lindungi aku dalam permainan ini."

Perempuan itu menaruh telunjuknya dan jempolnya di dagu, terlihat berpikir sesaat.

"Tidak ah."

"Eh?!"

"Kelihatannya merepotkan kalau harus melindungi orang lain. Lagipula apa yang bakal kudapat?"

"Tapi---kau---"

"Ah, sebagai gantinya," ia menepuk-nepuk sofa tempat ia duduk, mengisyaratkan agar Hime juga ikut duduk. "Ayo kita bicara sebentar. Aku yakin isi pembicaraan ini berguna untukmu sekalipun aku tidak melindungimu. Soalnya aku punya sebuah rencana."

"Rencana?"

"Yup. Rencana untuk menyelesaikan permainan ini sesegera mungkin."

Part 2

Sengoku Hime tak mengerti apa yang terjadi. Sampai beberapa menit sebelumnya, ia masih seorang diri di dalam kamar apartemennya, hanya ditemani suara hujan yang terus mengguyur dunia di luar ruangan tersebut.

Namun kini, ia duduk berhadapan dengan perempuan yang memperkenalkan dirinya dengan nama Asagiri Sora, dan mereka meminum teh layaknya teman lama yang sedang berbincang santai.

"Tidak, tidak. Ada yang salah di sini. Kau, apa kau memakai kemampuan Arcanagram milikmu untuk menipuku, hah!?"

Asagiri Sora meminum tehnya dengan perlahan, kemudian tersenyum.

"Untuk apa? Dengarlah. Pertama-tama, kau harus tenang. Aku tidak tahu apa yang sudah kau lalui dalam permainan ini, tapi yah, kau tidak akan bisa berpikir jernih kalau tidak mendinginkan kepalamu terlebih dahulu."

"Jangan sok menasehatiku. Kalau kau memang punya sesuatu untuk dibicarakan, cepatlah berbicara. Tidak sepertimu, aku ini orang sibuk."

"Ahaha, ya, aku tahu kau orang sibuk. Lebih dari sekedar 'orang sibuk', kau ini 'orang terkenal'. Sejak kemarin aku berpikir apa yang ada di kepala orang sepertimu dalam mengikuti permainan ini...tapi ternyata kau sendiri memang khawatir dengan popularitasmu, ya."

"Apa maksudmu?"

"Kau takut karena terlalu banyak orang yang mengenalmu, kan? Hal itu membuatmu menjadi pemain yang paling mudah untuk dilacak, lebih dari siapapun yang lain dalam permainan ini, kurasa. Soalnya masing-masing dari kita tidak punya metode untuk mengetahui posisi satu sama lain, kan? Kecuali ada yang bisa memanfaatkan kemampuannya untuk hal seperti itu."

Hime menunduk pelan, merasa perkataan perempuan ini ada benarnya.

"Nah, setelah melihat keributan tadi malam, aku jadi berpikir. Daripada kita semua saling curiga dan bertarung satu sama lain, kenapa kita semua tidak berkumpul di satu tempat dan membicarakan ini baik-baik?"

"...aku semakin tidak mengerti arah pembicaraan ini."

"Tenang dulu, nanti kau pasti mengerti kenapa aku memerlukanmu. Sekarang, coba pikirkan begini. Kenapa permainan ini terlihat menyeramkan bagimu?"

"...karena kau tidak tahu siapa yang akan mendatangimu, dan kau tidak tahu apakah kau akan lenyap di akhir."

"Hmm. 'Lenyap', ya.. Percaya atau tidak, aku sudah melihat sendiri saat seseorang lenyap di depan mataku. Dan entah mengapa, lenyapnya seseorang tidak terlihat begitu istimewa bagiku."

"Maksudmu, pemilik [The Magician]?"

"Ah, kau tahu dia?"

"Tidak, aku hanya melihat kau memliki kartu ganda, dan kartu sekundermu adalah [The Magician]. Bagaimana kau mendapatkannya?"

"Hmmm, sulit menceritakannya. Aku juga tidak begitu menangkap apa yang terjadi, tahu-tahu saja kakek-kakek pemilik kartu ini hilang di depanku, seperti debu."

Hime kembali mengingat lenyapnya pemilik [The Hangedman] di depan matanya. Sebenarnya apa yang terjadi saat pemain lenyap seperti itu?

"Aku....juga melihat hal yang serupa," tutur Hime mengeluarkan kartu [The Death] dari balik sakunya. "Semalam, pemilik [The Hangedman]--kau ingat, perempuan kecil dengan rambut berantakan kemarin? - juga menghilang di depan mataku, dan meninggalkan ini. Hal yang aneh, menurutku, karena ini bukan kartunya, dan aku tidak tahu kartu siapa ini."

"Ah, aku tahu itu kartu siapa. Ingat pria yang datang bersama dengan perempuan itu? Kurasa kalau aku tidak salah, kartu itu miliknya."

"...kenapa ia malah memegang kartu ini kalau begitu?"

"Mungkin kartu mereka tertukar? Kulihat mereka sempat bergulat hebat selepas kau pergi."

"....."

Hime baru mengingat kalau memang ada peraturan tambahan yang menyebutkan seseorang akan lenyap bila kartunya dihancurkan. Mungkin pemilik [The Death] yang melakukan hal ini?

"Kita kembali ke topik awal," ujar Asagiri Sora membuka kembali pembicaraan. "Seperti tadi yang kudengar, kau takut dengan permainan ini karena adanya kemungkinan kita saling melenyapkan satu sama lain, seperti yang kita saksikan sendiri. Nah, untuk mencegah terjadinya hal itu, sekaligus untuk segera mengakhiri permainan ini seperti yang di awal sudah kukatakan, aku punya rencana. Dan untuk rencana itu, aku memerlukan bantuanmu."

"...? Rencana macam apa itu?"

"Aku tahu kalau sejak dua hari yang lalu kau mengadakan konser tiga malam di berbagai tempat di kota, dan malam ini adalah malam terakhir dari konsermu. Nah, aku ingin minta tolong. Bisakah kau mengumumkan soal permainan Arcanagram saat kau menutup konsermu?"

"--!? Itu gila! Bukankah itu sama saja dengan mengundang semua pemain lawan datang ke tempatku!?"

"Memang itu tujuannya. Tapi dengar dulu. Kalau semua orang tahu soal Arcanagram, pemain lain juga tidak akan bertindak gegabah karena hal tersebut akan menjadi isu publik, kan? Semua pasti bertanya-tanya apa yang kau maksud dengan Arcanagram, sementara para pemain lain pasti akan tertarik untuk mendekatimu."

"Dengan kata lain, kau bermaksud menjadikanku umpan, hah?!"

"Eeh...sekarang kalau kupikir lagi, memang perumpamaannya seperti itu, ya?"

"Kau...!!"

"Ah, tapi tenang saja. Kalau kau melakukan seperti yang kusarankan ini, maka aku tidak akan keberatan untuk melindungimu."

Hime menatap Asagiri Sora dengan tajam, tak yakin apa maksud dari perempuan ini. Tapi sejak tadi, ia memang tidak bisa merasakan niat buruk apapun dari setiap perkataan yang dilontarkan olehnya.

Haruskah ia percaya padanya?

"Begini. Sekarang kau memegang kartu [The Death], kan? Berikan padaku, dan akan kupastikan teman kita bertambah satu lagi : pemilik [The Death] itu mau tak mau pasti harus menuruti perkataan kita kalau dia tidak mau kita melakukan hal yang tidak dia inginkan pada kartunya."

"...setelah menjadikanku umpan, kau mau mengancam orang lain untuk bergabung denganmu?"

"Ugh. Kenapa berbicara denganmu membuatku terlihat seperti tokoh jahat?"

Hime juga tidak mengerti. Perempuan ini tidak terlihat berniat buruk, tapi perkataannya sejak tadi seperti menjurus pada hal-hal buruk.

"Kelihatannya aku belum menanyakan apa yang hendak kau raih dengan rencanamu barusan," kata Hime sambil menuangkan teh ke gelasnya. "Anggaplah aku melakukan seperti yang kau katakan, kau membawa pemilik [The Death] agar berada di pihak kita, dan semua pemain benar-benar mendatangi kita. Terus, apa yang akan terjadi? Bagaimana semua itu bisa 'menyelesaikan permainan ini sesegera mungkin'?"

Asagiri Sora tersenyum menanggapi pertanyaan Hime yang satu ini.

"Kalau semua, atau setidaknya sejumlah besar, pemain berkumpul di satu tempat, aku yakin kita bisa tahu kalau-kalau ada [pencipta] di antara kita. Masalah bagaimana metodenya, itu belakangan. Yang penting sekarang, kau mau melakukan ini atau tidak? Kalau melihat kau juga tidak ingin berlama-lama dengan permainan ini, kurasa seharusnya kau setuju."

Perkataan perempuan ini ada benarnya. Hime sejak kemarin memang sudah tidak peduli lagi dengan permainan ini, jadi kalau semua bisa berakhir lebih cepat, itu akan lebih baik.

Lagipula ia tidak peduli siapa yang menang di akhir. Yang ia inginkan hanyalah lepas dari perasaan khawatir...tidak, 'takut' akan diburu oleh pemain lain.

Kalau memang dengan cara seperti ini semua tahu dia bukan [pencipta], dan tahu kalau tidak ada gunanya mengincar dirinya, mungkin semua akan baik-baik saja.

"...bisakah aku percaya padamu?"

"Kau boleh pegang kata-kataku."

"...benarkah kau akan melindungiku?"

"Kau ini benar-benar seperti seorang putri ya, selalu merasa tidak aman kalau belum ada pangeran yang melindungi. Aku bukan pangeran sih, tapi kurasa akan kulakukan apa yang kubisa. Toh aku memerlukanmu."

Hime menghela nafas.

"Baiklah," katanya seraya menyodorkan kartu [The Death] kepada Asagiri Sora. "Kalau kau bisa membawa pria itu ke sini dan memastikan kita bertiga ada dalam satu pihak, kurasa kita akan aman, dan aku bisa mempercayaimu. Kupegang kata-katamu barusan. Dan jangan berpikir untuk berbohong padaku, kau dengar!?"

"Kau ini terlalu curiga. Bukankah lebih mudah kalau harus percaya daripada curiga?" ujar Sora sambil tersenyum dan menerima kartu [The Death]. "Tapi trims atas kesempatannya. Sebagai gantinya, nih."

Asagiri Sora memberikan kartu [The Magician] pada Hime.

"Ini?"

"Anggap saja sebagai jaminan, atau gantinya kartu ini," kata Sora menunjukkan kartu [The Death]. "Kalau kau mau, aku juga tidak keberatan kau memakainya sampai aku kembali bersama pemilik [The Death]. Dengan begini, setidaknya kita bisa saling percaya kan?"

Hime menggenggam kartu itu erat.

"...baiklah. Terima kasih...sudah datang dan berbicara padaku."

"Um. Sama-sama. Kurasa aku senang ternyata kau tidak begitu sulit diajak bekerjasama, hehehe."

Asagiri Sora pun berjalan keluar kamar apartemen Hime.

"Kalau begitu, sampai jumpa malam ini!"

Setelah melambaikan tangan, perempuan itu menutup pintu dari luar dan hilang dari pandangan Hime.

Hime terdiam sesaat, memikirkan apa yang baru saja terjadi.

"....."

...memanggil semua pemain ke satu tempat, ya...

Ya, ia tidak pernah memikirkan hal itu.

Memang ini sebenarnya adalah sesuatu yang berisiko. Tapi kalau tidak berani mengambil langkah seperti ini, mungkin permainan ini akan terus berlangsung dengan sesama pemain saling menghancurkan satu sama lain.

Dan mungkin perempuan bernama Asagiri Sora itu benar-benar dapat dipercaya.

"...."

Entah sejak kapan, Hime tersenyum.

Ia tidak sadar kalau perasaan takut yang ia rasakan sejak pagi tadi telah berkurang semenjak kedatangan Sora.

Ia tidak lagi takut. Perempuan itu terlihat bisa diandalkan, dan dia sudah berjanji untuk melindunginya.


TING TONG


"?"

Suara bel pintu berbunyi.

Apakah Asagiri Sora kelupaan sesuatu?

Hime segera membuka pintu.

"Ada apa? Apa kau---"


"Kejutan."


"!!"

Hime segera membanting pintunya, namun orang di depan pintu tersebut menahannya dengan kuat.

"Biarkan aku masuk."

"--kh!!"

Hime membukakan pintu dan membiarkan orang itu masuk.

"Berikan kartu yang kau pegang."

Hime memberikan kartu [The Lovers] dan [The Magician] yang ia pegang.

"...oh? Apa yang kudapat di sini? Apa pemilik [The World] baru saja mengunjungimu? Beraninya kau mengundang orang seperti dia, namun tidak mengundang orang sepertiku, hm?"

Hime lengah.

Ia lupa kalau Asagiri Sora bahkan tidak masuk dari pintu depan saat pertama kali ia datang.

Ia merasa terlalu aman hingga rasa takutnya seakan lupa mengingatkannya untuk tetap siaga.

Dan kini, ia sendiri tahu kalau ia tidak akan bisa menepati kesepakatannya dengan Asagiri Sora.


"Nah. Sekarang, apa yang harus kuminta kau lakukan untuk menebus perbuatanmu tadi malam?" tanya orang itu menaruh tangannya di dagu Hime.

Hime hanya dapat menutup mata dan berharap semua ini cepat berakhir. Sementara orang itu justru tertawa melihat Hime.

"Hah, haha, hahahahahahaha!!!"



Intermission Report

Inactive Player : No.X [The Fortune], No.III [The Empress], No.0 [The Fool], No.VIII [The Strength], No.XIV [The Temperance], No.V [The Hierophant], No.I [The Magician], No.II [The Priestess], No.VII [The Chariot], No.XII [The Hangedman], No.XVI [The Tower] , No.VI [The Lovers]

Player Remaining : 10

Arclist12.jpg