Amori:Volume01 Chapter08

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Menara

"Aku tak suka ini," kata Hilgard sambil duduk berjongkok. Dengan tangan kirinya ia meraba noda hitam di lantai di sekitar lubang tersebut. "Lubang ini baru dibuat," lanjutnya, "mungkin kemarin, atau hari sebelumnya."

"Bagaimana mungkin?" tanya Milia. "Bahkan dengan sebuah meriam pun, Saya yakin butuh lebih dari satu tembakan untuk membobol pintu-pintu itu. Lagipula, bagaimana bisa seseorang membawa masuk sebuah meriam ke sini? Atau kalau bisa pun, di mana ia meninggalkannya? Ia tak mungkin membawanya ke puncak menara kan?"

"Aku sendiri lebih tertarik pada siapa yang melakukannya," gumam Arda.

Hilgard tertawa muram, "Jujur saja, saat ini, yang paling merisaukanku adalah apa yang terjadi dengan orang itu."

"Mengapa begitu?"

"Pikirkan saja," jawab Hilgard, "jika lubang ini dibuat kemarin atau hari sebelumnya, bukankah itu berarti, siapapun yang membuatnya seharusnya sudah sampai di puncak menara, hari ini atau kemarin?"

"Lalu?" Milia masih tak mengerti.

Arda menelan ludahnya, "Apa, menurutmu, yang menghalanginya menghancurkan kristal itu untuk menyelesaikan perlombaan ini?" Ketiganya berpandangan.

Hilgard berdiri, "Sepertinya, memang ada Sesuatu di puncak menara ini yang menjaga kristal itu."

"Apa? Siapa?"

Hilgard mengangkat bahu, sambil menyeringai,"Entahlah. Tapi aku tak akan kaget bahkan seandainya kita menemukan seekor naga di sana. Tidak. Tak ada gunanya mengira-ngira sesuatu tanpa data yang cukup. Cukuplah kita mengetahui bahwa Sesuatu itu cukup tangguh untuk menghentikan siapapun yang memiliki kemampuan meledakkan pintu ini."

"Atau mungkin 'siapapun' tersebut, sejak awal memang tak ingin menghancurkan kristal itu," Arda menimpali, "setelah apa yang kulihat dan kualami tiga hari terakhir ini, aku cukup yakin bahwa perlombaan ini hanyalah salah satu bagian dari entah apa yang direncakan para penyihir tersebut."

Hilgard tersenyum penuh arti. "Mungkin begitu," katanya, "tapi setelah sampai di sini, aku akan meneruskannya sampai akhir." "Saya juga," Milia mengepalkan tangannya, "selama masih ada harapan untuk itu. Lagipula, Siapapun penjaga di puncak menara, kurasa, kalian berdua pasti dapat mengatasinya."

"Tetap saja kalau kau tak melakukan apa-apa, kau tak akan mendapatkan apa-apa," Arda menjentikkan jarinya ke dahi Milia (hal yang tampaknya sudah mulai menjadi kebiasaannya), "Yah, mungkin kau bisa menghancurkan kristal itu selagi kami berdua menyibukkan sang penjaga."

Hilgard tertawa sementara Milia meringis memegangi dahinya.

Arda ikut tersenyum. Tapi sebenarnya ada beban berat yang menggantung di hatinya. Terlepas dari rencana para penyihir itu, ia bertanya-tanya apa peran Nono di dalamnya, dan mengapa penyihir itu tak mengatakan apapun tentang hal itu padanya, terutama tentang kenyataan bahwa ia mesti mempertaruhkan nyawa dalam perlombaan ini.

Apa itu berarti Nono percaya bahwa ia mampu menyelesaikan perlombaan ini?

Atau ada alasan lain yang tak diceritakan padanya?

Arda menggelengkan kepalanya. Seperti yang dikatakan Hilgard, tak ada gunanya mengira-ngira sesuatu tanpa data yang cukup. Tapi setidaknya Arda yakin bahwa Nono tidak akan dengan sengaja menjebaknya mengikuti permainan ini hanya agar ia kehilangan nyawanya. "Arda memikirkan sesuatu?" pertanyaan Milia menyadarkan Arda dari lamunannya. Ia lalu memandang gadis itu lama-lama. Apa gadis itu sudah tahu sebelumnya bahwa ia akan mengikuti sebuah permainan yang berbahaya?

"Arda?"

Arda tersenyum muram. Ia mengangkat tangan kanannya lalu sekuat tenaga menjentikkannya ke dahi Milia, "Ayolah," katanya kemudian,"sebaiknya kita segera naik ke puncak menara sialan ini."

"Aku khawatir tidak semudah itu..." ujar Hilgard yang sudah masuk lebih dulu ke dalam menara itu.

"Ada apa?" tanya Arda sambil melompat masuk melalu lubang di Pintu.

Hampir saja.

Jantung Arda nyaris berhenti berdetak karenanya. Bahkan, seandainya Hilgard terlambat memegangi tangannya lalu menariknya ke tepi, ia pasti sudah jatuh sekarang.

Siapa yang mengira bahwa bagian tengah lantai dasar menara itu, ada sebuah lubang menganga.

Sebuah Jebakan?

Milia yang mendengar pekikan tertahan Arda ikut masuk, dan dengan sukses mengulangi apa yang tadi terjadi pada Arda.

"Benar-benar mengejutkan," keluhnya sambil memegangi dadanya. Kini, mereka bertiga, berdiri dengan ngeri, memandangi lubang yang seolah tanpa dasar, dari platform sempit yang mengelilingi lubang tersebut.

"Lain kali," kata Hilgard kesal, "Jangan langsung melompat masuk ke dalam ruangan yang kalian tak tahu pasti ada apa di dalamnya." Arda memandang ke sekliling. Tanpa garis-garis lurus yang berpendar di sepanjang dinding dalam menara itu, suasananya pasti gelap gulita di dalam sana. Dan setelah beberapa saat, ia pun tahu maksud perkataan Hilgard yang sebelumnya.

Ia tak menemukan keberadaan tangga atau yang sejenis itu di dalam menara tersebut.

"Apa maksudnya ini?" serunya jengkel.

"Tak ada tangga." gumam Milia tak membantu.

Hilgard mengerutkan keningnya, "Mungkin ini berarti hanya penyihir yang bisa naik ke puncak sana," katanya, "dan makhluk-makhluk lain yang dapat melayang di udara atau merayap di dinding."

"Atau bisa juga ada jalan masuk lain, mungkin di bagian yang lebih tinggi," komentar Arda sambil mendongak ke atas, walaupun sampai batas pengelihatannya ia tak melihat keberadaan tangga di manapun.

"Yang manapun, aku khawatir kita tak bisa melanjutkan lebih jauh," keluh Hilgard.

Tepat saat itu, terdengar bunyi bergmuruh dari atas menara.

Hilgard dan Arda, keduanya spontan menjulurkan badannya, mendongak ke atas, dan nyaris terlambat menarik tubuh mereka ke tepi saat sebuah platform melayang turun dengan cepat ke arah mereka lalu berhenti tepat mengisi lubang di bagian tengah lantai tempat mereka berada saat itu.

"Hampir saja," ujar keduanya sambil mengusap peluh di kening mereka.

"Dan kuduga ini semua gara-gara Milia," kata Arda sambil menoleh ke arah Milia, yang spontan menutupi dahinya dengan kedua tangannya.

"Apa yang kau lakukan tadi," tanya Hilgard tertarik.

"Simbol ini," kata Milia sambil menunjukkan salah satu simbol berpendar yang terukir di dinding dekat tempatnya berdiri, "Saya hanya merabanya ketika tiba-tiba saja platform itu meluncur turun."

"Hmm menarik," gumam Hilgard. Lalu dengan berhati-hati ia melompat naik ke atas platform yang baru saja turun tadi. "Hmm cukup aman kukira," katanya, "Naiklah, kurasa aku tahu bagaimana kita bisa naik ke puncak menara ini."

Dengan ragu-ragu Milia dan Arda mengikuti Hilgard naik ke atas platform tersebut.

Tak terjadi apa-apa.

"Kalian siap?" tanya Hilgard.

"Siap untuk apa?" Arda balik bertanya.

"Meluncur tentu saja," jawab Hilgard. Lalu dengan sebelah kakinya ia menginjak simbol yang terletak di tengah platform tersebut. Keseimbangan Arda langsung hilang ketika Platform itu, tanpa peringatan sebelumnya, kembali melayang naik menuju puncak menara. Milia bahkan sampai jatuh terduduk, sementara Hilgard, tampak tak terpengaruh, kelihatannya cukup gembira menikmati apa yang sedang terjadi.

"Menakjubkan bukan?" serunya di sela-sela bunyi gemuruh, "dan ini hanya hal kecil yang dapat dilakukan penyihir di masa lalu." Arda memegangi perutnya yang terasa mual, "Tentu saja," keluhnya, "tapi haruskah secepat ini?"

Milia pucat pasi, entah sadar atau tidak, memegangi kaki Arda erat-erat sambil memejamkan kedua matanya.

Ketika akhirnya platform itu berhenti, Arda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa pening di kepalanya, rasa mual di perutnya, melepaskan pelukan Milia di kakinya, lalu berjalan terhuyung-huyung sebelum akhirnya jatuh terduduk di platform tepi, berjanji dalam hati bahwa ini terakhir kalinya ia akan menggunakan benda mengerikan seperti itu.

Sementara itu Hilgard, entah bagaimana, masih bisa berdiri tegak sambil tersenyum puas, memandangi ruangan tempat mereka berada. "A-apa kita sudah sampai di puncak?" tanya Milia yang meski tadi ketakutan setengah mati, tampaknya juga tak merasakan pening ataupun mual, "di mana kristal itu?"

"Sedikit lagi," kata Hilgard, "kita tinggal menaiki tangga itu, kurasa, untuk sampai ke puncak."

"Sebentar," potong Arda, masih memeganngi kepalanya yang pening, "Aku tak peduli ada di mana kita sekarang, tapi aku benar-benar butuh sedikit waktu untuk duduk."

"Arda tidak apa-apa?" tanya Milia khawatir.

"Aku akan berterima kasih jika tak ada yang mengajakku berbicara beberapa saat ini," keluhnya.

"Lihatlah," Hilgard memanggil Milia. Saat itu, dengan gembira ia memandang ke kejauhan dari salah satu jendela yang ada di sana. Milia menghampirinya dan melihat, samar-samar, melampaui hutan dan kabut, sebentuk garis tipis kebiruan.

"Apa itu?" tanyanya.

"Bukti bahwa dugaanku sangat mungkin benar," jawab Hilgard, "bahwa saat ini kita tengah berada di sebuah pulau, mungkin di tengah-tengah sebuah danau."

Tak lama kemudian, Arda akhirnya bisa berdiri di atas kedua kakinya.

"Aku siap," katanya, tak bersemangat. "Apapun yang terjadi, sebaiknya kita selesaikan semua ini, secepat mungkin. Aku sudah bosan dengan kastil ini, simbol-simbol penyihir, Witchbread... aku bahkan bosan berada di sini dengan kalian berdua." Hilgard kembali tertawa sementara Milia cuma mengeluh perlahan.

"Jangan khawatir," bisik Hilgard padanya, "ia tak bosan berada di dekatmu kok. Yah ia hanya lebih suka jika kita semua berada di tempat lain saat ini, dan sejujurnya, aku sependapat dengannya."

Sekali lagi Arda memimpin di depan. Perlahan, mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun, ketiga ksatria itu melangkah menapaki tangga besi yang ada di ruangan tersebut naik ke puncak menara.

Di sana sebuah suara ramah, namun tak asing bagi Arda, menyambut mereka.

"Selamat datang anak-anak," kata si pemilik suara, "Nah nah, tak perlu terkejut begitu, bukankah sudah kukatakan kalau kita akan bertemu lagi?"