Amori:Volume01 Chapter07

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Lingkaran

Mereka menemukan pintu yang mereka cari di tingkat dasar tak jauh dari pintu utama kastil tersebut. Tidak lebih besar dari pintu-pintu lainnya namun terlihat jauh lebih tebal dan kokoh.

Hilgard mendekatkan simbol pada gauntlet yang ia bawa ke bagian tengah pintu tersebut, dan seketika itu pula, dengan suara berdesis pintu itu pun bergeser dengan sendirinya, membuka jalan menuju sebuah lorong curam nan gelap.

"Masih ada kesempatan untuk berubah pikiran," kata Hilgard entah pada siapa.

Milia tak mengatakan apa-apa. Pandangannya nyaris kosong, menatap lurus ke dalam kegelapan.

"Ayolah," gumam Arda sambil memimpin masuk ke dalam lorong tersebut, "semakin cepat kita menyelesaikan semua ini semakin baik." Milia, tersadar dari lamunannya, bergegas ikut masuk ke dalam lorong, dan ketika akhirnya Hilgard melangkah paling akhir masuk ke sana, pintu yang tadi terbuka pun kembali menutup, membuat kegelapan dan kemuraman jadi terasa makin pekat. Sesaat ketiganya terdiam, mengira-ngira apakah hal itu berarti sudah tak ada jalan untuk kembali.

"Terus maju," keluh Arda, "aku tak ingin berlama-lama berada di tempat seperti ini."

Maka mereka pun kembali melangkah, perlahan-lahan, dalam diam.

Untung saja lorong itu ternyata tak sepanjang yang mereka khawatirkan. Setelah beberapa menit meraba-raba dalam kegelapan, ketiganya telah tiba di ujung lorong tersebut, sekali lagi, berhadapan dengan sebuah pintu logam yang tertutup.

Hilgard kembali menggunakan gauntletnya dan pintu itu pun terbukalah. Dan saat itu juga hawa dingin yang menusuk menyerbu masuk ke dalam lorong.

Ketiganya melangkah meninggalkan lorong sempit tersebut dan menatap takjub pemandangan yang menyambut mereka.

Berbeda dengan lingkar luar yang terdiri dari beberapa tingkat, tingkat dalam hampir-hampir hanya terdiri dari sebuah ruangan saja, tanpa ruangan-ruangan lain ataupun pintu-pintu yang terkunci. Hanya selasar-selasar panjang yang berputar-putar dalam bentuk spiral menanjak naik ke bagian tertinggi dan menghilang di balik langit-langit. Mungkin ada sebuah aula di atas sana.

"Dari sana," kata Hilgard menyuarakan pendapatnya,"kita mungkin akan menemukan jalan masuk menuju selasar lain, yang juga bagaikan spiral, berputar-putar, hampir bersilangan dengan selasar tempat kita berada saat ini, namun membawa kita terus terun sampai ke aula lain yang terletak tepat di bawah kaki kita. Di sanalah kuduga kita akan sampai ke pintu yang akan membawa kita masuk ke menara utama."

"Dua spiral yang bersilangan," gumam Arda, "Para penyihir memang gemar melakukan sesuatu yang tak berguna."

Tapi sebenarnya bukan hal itu yang menarik perhatian Arda dan lainnya melainkan apa yang berada di bagian tengah lingkar dalam tersebut.

Di pisahkan oleh lembaran-lembaran kaca tebal yang disusun octagonal, mereka seolah sedang melihat sebuah akuarium raksasa. Di tengah-tengah akuarium tersebut, berdiri dengan megah bagian dasar menara utama, terbuat dari logam hitam, dengan ribuan simbol terukir di sana. Dalam kegelapan simbol-simbol tersebut bergantian berpendar lembut memancarkan berkas-berkas cahaya kehijauan. Baik Arda ataupun yang lain, tak ada yang dapat menduga apa yang mengisi akuarium tersebut, mungkin cairan, mungkin udara, atau bahkan mungkin kehampaan. Dan yang tampak seolah sedang berenang bebas di dalam akuarium tersebut...

"Menurut Arda apa itu?" tanya Milia tanpa mengalihkan pandangannya.

"Sebaiknya kau tanyakan itu pada Hilgard," jawab Arda juga tanpa mengalihkan pandangannya.

"Aku tak tahu," jawab Hilgard perlahan, "aku belum pernah melihat sesuatu seperti itu di mana pun. Aku bahkan tak menemukan kata-kata yang tepat untuk menyebut benda-benda itu. Cahaya? Gumpalan Cahaya? Tapi daripada gas, benda itu lebih tampak seperti cairan kurasa. Cairan cahaya? Aku benar-benar tak tahu."

"Apa menurut Arda benda-benda itu hidup?" tanya Milia lagi. Kali ini memperhatikan bagaimana gumpalan-gumpalan cahaya itu berputar-putar naik turun, saling bertabarkan satu sama lain, membentuk sebuah gumpalan raksasa, sebelum akhirnya kembali terpecah-pecah menjadi gumpalan kecil. Proses yang terus berulang dalam sebuah ketidakberaturan.

Sama dengan simbol-simbol di bagian dasar menara, gumpalan-gumpalan itu juga berpendar, namun dalam warna biru lembut yang dingin, seolah-olah hawa dingin yang begitu menusuk di seluruh lingkar dalam kastil berasal darinya. Tapi mungkin saja memang begitu kenyataannya.

"Sebaiknya kau tanyakan hal itu pada Hilgard," jawab Arda lama kemudian.

Tapi Hilgard tak mengatakan apa-apa.

"Sungguh Indah," gumam Milia.

Arda setuju dengannya. Tapi tidak dengan senang hati. Indah memang, tetapi juga dingin dan menakutkan, terasa menusuk bahkan sampai ke dalam jiwa. Arda tak mengatakannya, tapi ia merasa seolah ada sesuatu yang berusaha menarik jiwanya ke luar dari dalam tubuhnya, walau mungkin juga dorongan itu timbul dari dalam sang jiwa itu sendiri.

"Kurasa sebaiknya kita segera pergi," usul Hilgard dengan wajah muram.

"Aku setuju." Arda menganggukkan kepalanya lalu kembali melangkah mengikuti Hilgard.

Tapi Milia tak beranjak dari tempatnya dan kemudian, alih-alih mengikuti, Arda dan Hilgard, seolah-olah sedang berjalan dalam tidur melangkah mendekati dinding kaca di hadapannya.

"Milia?" Arda menoleh ketika menyadari Milia tak mengikutinya. Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat bagaimana sekujur tubuh rekannya itu kini diselubungi pendar cahaya kebiruan yang sama dengan yang ada di dalam akuarium.

"Hentikan dia!" seru Hilgard saat Milia mengeluarkan kedua pedangnya dan mengayunkannya ke arah dinding kaca tersebut.

"Sial," keluh Arda sambil melompat menerjang Milia dan menjatuhkannya ke lantai. "Sadarlah tolol," serunya geram sambil menguncangkan bahu Milia.

"Bebas...," gumam Milia dengan tatapan kosong, "Mereka memintaku membebaskan mereka..."

"Hentikan ocehanmu," sekali lagi Arda berseru, kali ini tampaknya terdengar oleh Milia.

Milia memandangnya dengan tatapan sayu. Sebuah senyuman tersungging di bibirnya, lalu sebelum Arda sempat menyadari apa yang terjadi, Milia sudah melingkarkan lengannya di leher Arda dan kemudian menciumnya.

Arda sontak berdiri. Terkejut. Wajahnya merah padam. Dengan punggung tangannya ia mengusap bibirnya. Sementara itu, Milia kembali kehilangan kesadarannya, tampak seolah sedang tertidur dengan lelap.

"A-apa yang terjadi?" tanya Arda tergagap. Untuk sesaat entah mengapa semuanya terasa kacau di kepalanya.

Hilgard menatapnya dengan tatapan kasihan, ia lalu berjalan menghampiri Milia dan meraba keningnya.

"A-apa dia baik-baik saja?"

"Entahlah," Hilgard mengangkat bahu, "tapi kurasa begitu. Terima kasih padamu."

"T-tapi apa yang sebenarnya terjadi?"

Hilgard menghela napas. "Yang baru saja terjadi? Hmm dia menciummu?"

Wajah Arda makin merah, "S-sebelum itu."

"Ah. Sesuatu sedang mengambil alih kesadarannya. Kuduga gumpalan cahaya itu, apapun mereka. Apa kau tak merasakannya? Seperti sesuatu sedang memanggilmu... memanggil jiwamu. Aku tak yakin sih, tapi kuduga gumpalan-gumpalan cahaya itu hidup... atau setidaknya dulunya."

"Sungguh?" Arda menarik napas lega, "Jadi maksudmu gumpalan-gumpalan cahaya itu lah yang membuat Milia bersikap aneh kan?"

"Err sebagiannya," jawab Hilgard perlahan.

"Tapi mengapa hanya Milia yang terpengaruh?"

"Entahlah, mungkin karena dia masih muda, mungkin juga karena sesaat tadi ia kehilangan konsentrasinya."

Arda menggigit bibirnya, "Mungkin kau benar," katanya, "Mungkin sebaiknya aku tak membawa Milia masuk kemari."

"Bukan salahmu," ujar Hilgard, "kau tak tahu semua ini akan terjadi."

"Apa yang mesti kita lakukan sekarang?"

"Kita tak mungkin meninggalkannya di sini..." jawab Hilgard, "Kita bisa menunggu sampai ia sadar. Atau jika kau mau kau bisa menggendongnya selagi kita terus berjalan. Jangan khawatir, aku akan membantumu membawa pedang dan perlengkapannya yang lain."

"Terima kasih," gumam Arda sambil kembali berjongkok. Dengan ragu, ia pun melepaskan rompi kulit yang dikenakan Milia.

... ... ...

"Hilgard..." Arda menoleh ke arah Hilgard yang menatapnya sambil tersenyum muram.

"Jujur saja," kata Hilgard sambil menghela napas, "aku tak habis pikir bagaimana kau bisa tidak menyadari hal itu selama ini."

Arda tak mengatakan apa-apa. Dengan lembut ia mengangkat Milia lalu meletakkannya dalam gendongannya. Tubuh Milia jauh lebih ringan dari perkiraannya.

Mereka kembali berjalan menyusuri selasar-selasar itu, berjalan di dekat dinding, berusaha berada sejauh mungkin dari dinding kaca dan gumpalan-gumpalan cahaya itu.

"Kalau kau sudah tahu," gumam Arda, "mengapa kau tak mengatakannya padaku?"

"Aku tak ingin mencampuri urusan orang lain," jawab Hilgard yang saat ini berjalan di depan Arda, "seperti katamu ia pasti punya alasan mengapa ia menyembunyikan hal itu darimu. Tapi mungkin juga tidak. Bagaimanapun kau tak pernah bertanya kan?"

"Kurasa aku benar-benar bodoh," keluh Arda.

"Sudahlah," hibur Hilgard, "hal semacam ini bukanlah hal yang tak biasa kan? terutama diantara para Eagle."

"Tapi penampilan Milia..."

"Apa kau lebih suka dia berambut panjang?" goda Hilgard, "Ayolah. Setidaknya kau mesti bersyukur bukan laki-laki yang menciummu tadi."

...

Entah sudah berapa lama mereka berjalan ketika akhirnya mereka berhasil melewati spiral pertama sampai ke aula atas lingkar dalam kastil.

Sesuai dugaan Hilgard, tempat itu pun hampir kosong melompong. Sebuah ruangan melingkar yang sangat luas dengan belasan tabung kaca bercahaya, bagaikan tiang, menghubungkan lantai dan langit-langitnya.

"Sebaiknya kita beristirahat dulu sejenak," usul Hilgard, "Aku yakin sekarang sudah larut malam di luar sana."

Arda mengangguk lemah, lalu dengan hati-hati membaringkan Milia yang masih tak sadarkan diri di atas lantai. "Kuharap bocah ini baik-baik saja," gumamnya.

"Aku khawatir, tak ada yang dapat kita lakukan di sini," kata Hilgard. Ia lalu melemparkan botol minumannya ke arah Arda, "tapi kuharap ia segera bangun... ah karena ia tertidur setelah menciummu, mungkin sebuah ciuman juga akan membangunkannya, seperti dalam dongeng."

"Berhentilah bercanda," ujar Arda, "Aku benar-benar mengkhawatirkan keadaannya."

"Aku juga," jawab Hilgard, "tapi setidaknya jika ia bangun, ia bisa makan dan minum sedikit untuk mengembalikan tenaganya." Arda merogoh tasnya. Masih ada beberapa potong Witchbread di sana. Ia mengerutkan keningnya. Setelah mengambil serpihan-serpihan remah Witchbread yang ada, ia pun membuka mulut Milia, lalu menaburkan remah-remah itu ke dalam mulutnya.

"Itu... aku yakin itu bukan ide bagus," komentar Hilgard.

Tapi berhasil.

Begitu rempah-rempah itu menyentuh lidahnya, Milia langsung menunjukkan ekspresi seperti orang yang kesakitan, dan beberapa saat kemudian, ia pun sudah tersadar sambil meludahkan rempah-rempah itu.

Arda dan Hilgard berpandangan sambil menyeringai. Seperti yang sering dikatakan orang-orang, Witchbread benar-benar memiliki banyak kegunaan.

"Sudah bangun, nona putri tidur?" sindir Arda sambil menyodorkan botol minuman Hilgard pada Milia.

"Uuh terima kasih..." gumam Milia memandang ke sekeliling, "dimana ini?" tanyanya.

"Aula atas," jawab Hilgard, "Kita sudah setengah perjalanan sebelum mencapai pintu masuk ke menara utama."

"Tapi bagaimana saya bisa sampai di sini?" Kedua mata Milia terbuka lebar, ia baru menyadari bahwa saat itu ia hanya mengenakan kemejanya saja, dan dengan wajah merah padam cepat-cepat ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

Hilgard dan Arda menarik napas panjang bersamaan.

"Kau benar-benar tak ingat?" tanya Arda.

Milia menggelengkan kepalanya.

"Kurasa sebaiknya kau yang menceritakannya Hilgard," keluh Arda sambil berbalik dan melangkah menjauh.

...

Tak lama setelahnya, sudah mengenakan kembali rompi kulitnya, Milia, masih dengan wajah merah padam, berjalan menghampiri Arda lalu membungkukkan badannya, "S-saya benar-benar minta maaf," ujarnya lirih.

"Angkat kepalamu," kata Arda dengan suara dingin.

Milia mengangkat kepalanya, dan tepat saat itu sebuah jentikan mendarat di dahinya.

"Kau benar-benar merepotkan tahu?" ejek Arda, "Apa kau tak pernah diajarkan berkonsentrasi di sekolah dulu?"

"M-maafkan saya," erang Milia sambil memegangi dahinya.

"Jangan khwatir, nak," ujar Arda sambil tersenyum lebar, "Aku akan memberimu kesempatan kedua. tapi jika kau masih tak berhasil membuktikan bahwa kau berguna, jangankan lima ratus, aku tak akan memberikan sekeping pun padamu."

"T-tapi... tapi..."

"Keputusanku sudah bulat," Arda mengangkat tangannya, "Kalau kau tak mau, kau bisa menunggu kami di sini."

"Uuh baiklah, Pak," keluh Milia.

Dan sekali lagi Arda menjentikkan jarinya ke dahi Milia.

Menyaksikan hal itu Hilgard hanya bisa menahan tawanya. Kedua orang itu benar-benar terlihat seperti adik dan kakak. Ah, ia jadi sedikit iri melihatnya.

"Cukup," serunya, "kita tak punya waktu untuk pertengkaran suami istri di sini. Lakukan saja nanti jika kita bisa keluar dari kastil ini."

Mendengarnya, baik Arda dan Milia, wajah keduanya kembali merah padam.

"S-saya juga minta maaf s-soal... soal itu," gumam Milia.

"uuh lupakanlah, kau sedang tak sadar saat itu. Lagipula... uuhh lagipula ini bukan pertama kalinya seorang anak kecil menciumku," ujar Arda sambil cepat-cepat melangkah menjauh.

Hilgard terkekeh. "Yang terakhir tadi, kurasa cukup kejam," bisiknya, "ah lihatlah, dia sampai tak bisa berkata apa-apa."

Arda memandang Hilgard tajam, "Sekali lagi kau mengejekku, akan kuanggap itu sebagai tantangan untuk berduel."

Hilgard hanya tertawa.

Setelah beristirahat secukupnya, mereka bertiga pun kembali melanjutkan perjalanan mereka, berjalan turun melalui spiral kedua yang jalan masuknya terletak di sisi lain aula atas tersebut.

Atas usul Hilgard, akhirnya diputuskan bahwa Milia harus mengunyah Witchbread selama mereka melintasi wilayah akuarium. "Rasanya seperti di neraka," keluh Milia yang kini berjalan di samping Hilgard. Karena alasan yang tak diketahuinya, tampaknya Arda sengaja memilih berjalan jauh di depan, "dan sekarang saya telah membuat Arda benar-benar marah."

"Jangan khawatir," bisik Hilgard, "Ia tak benar-benar marah padamu. Tapi sebaiknya kau tetap mengunyah Witchbread itu, kecuali kalau kau mau sekali lagi mencium Arda."

"I-itu tidak disengaja," jawab Milia tergagap, "lagipula... lagipula..."

"Aku hanya bercanda," bisik Hilgard lagi.

"Hei Hilgard," seru Arda dari depan, "Apa menurutmu jalan masuk menuju menara tidak terkunci?"

"Kuuharap tidak," Hilgard balas berseru, "Karena aku tak yakin kunci yang dibawa penjaga dapat digunakan untuk membukanya."

"Mungkin ada penjaga-penjaga lain," komentar Milia.

"Ah, itu sangat mungkin. Karena bagaimanapun, Kristal di atas sana pastilah benda yang sangat berharga," sahut Hilgard.

"Begitu berharga sampai para penyihir itu meminta kita menghancurkannya?" tanya Arda, "Aku mulai bertanya-tanya apa yang mereka rencanakan sebenarnya."

Hilgard tersenyum, "Kurasa cepat atau lambat kau akan tahu."

Lama kemudian, akhirnya mereka pun tibalah di aula bawah. Dan seperti dugaan Hilgard, mereka menemukan gerbang ke menara utama di tengah-tengah aula bawah tersebut.

Gerbang itu mungkin tadinya terkunci, tapi saat ini tidak lagi.

Sebuah lubang besar menganga di tengahnya.