Amori:Volume01 Chapter03

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Labirin

Arda mulai bertanya-tanya, seberapa luas sebenarnya kastil ini. Dari luar, kelihatannya sih tak jauh berbeda dari kebanyakan kastil lainnya, tapi setelah sesiangan berjalan, berdua bersama Milia, dan belum juga menemukan jalan untuk menuju ke bagian kastil yang lebih dalam, ia jadi meragukan hal tersebut.

Namun saat ini, hal yang lebih mengganggu Arda adalah kenyataan bahwa mereka berdua tak bertemu dengan satu pun ksatria lain yang berhasil masuk ke dalam kastil, baik yang masih hidup ataupun yang sudah tidak hidup lagi. Jangankan manusia, Arda bahkan tak sekalipun mendengar cicit tikus ataupun kicau burung sejak masuk ke dalam sana.

Ada yang tidak beres.

"Sebaiknya kita beristirahat," usul Arda. Ia sebenarnya belum terlalu lelah, tapi melihat bagaimana Milia sudah kehilangan semangatnya, juga karena tak ada gunanya terus berjalan tanpa mengetahui dengan pasti arah yang mesti dituju, ia pun memutuskan untuk berhenti sejenak sekedar untuk melemaskan otot-otot kaki yang mulai penat, dan lebih penting lagi, untuk memikirkan lebih lanjut apa yang mesti ia lakukan demi mencapai pusat kastil tempat menara tertinggi menjulang.

Seperti tadi malam, kali ini pun Arda memilih sebuah cerukan di dinding bagian dalam, tempat yang dulunya mungkin digunakan oleh para penjaga untuk beristirahat dari tugasnya, mungkin, sambil melepas dahaga mereka dengan air yang terus mengucur dari sebuah pancuran kecil di sana, bahkan sampai saat ini, ketika kastil tua itu sudah lama ditinggalkan penghuninya. Meskipun pancurannya sendiri sudah berlumut, tapi setidaknya air yang mengucur darinya masih cukup layak untuk diminum.


Sama seperti kebanyakan kastil lainnya, tempat ini pun tampaknya dibangun di atas sebuah sumber air, walau Arda tak bisa menduga mekanisme seperti apa yang dibuat oleh para penyihir yang mendesain kastil ini sehingga memungkinkan air dari mata air tersebut dapat terus mengalir, tampaknya, ke seluruh penjuru kastil.

Sayang sekali tampaknya bukan cuma sistem pengairannya saja yang masih bekerja.

Arda juga tak habis berpikir, mengapa, bersama menghilangnya keberadaan ksatria-ksatria lain, ikut menghilang juga keberadaan para penjaga kastil, seolah-olah mereka, apapun jenisnya, hanya dapat berkeliaran di malam hari.

Mudah-mudahan saja begitu.

"Mungkin sebaiknya kita menyerah saja," gumam Milia sambil merebahakn dirinya. Tak lama kemudian, entah bagaimana, ia sudah tertidur pulas, seakan-akan berada di sebuah penginapan yang nyaman.

Arda tersenyum muram, ia sedikit iri bagaimana Milia bisa tetap setenang itu meski tak ada jaminan bahwa mereka berdua dapat menyelesaikan permainan ini dalam keadaan hidup.

Menyerah...

Seandainya bisa, Arda pasti sudah menyerah bahkan sebelum masuk ke dalam kastil. Sayangnya para penyihir itu dengan tegas mengatakan bahwa mereka baru dapat memulangkan para peserta setelah permainan berakhir, dimana salah satu dari mereka berhasil menghancurkan kristal di puncak menara.

Sebuah keluhan. Jika ada satu hal yang dapat dikagumi dari para penyihir adalah mereka tak pernah berbohong, setidaknya dengan sengaja. Keangkuhan mereka menghalangi mereka merendahkan diri mereka sendiri dengan berbohong atau mengingkari janji telah yang mereka buat. Walau di sisi lain, para penyihir itu, sama seperti para orator kerajaan, tampaknya memiliki keahlian yang memungkinkan mereka menyembunyikan maksud mereka, memutarbalikkan makna, ataupun mengarahkan para pendengarnya untuk mengambil kesimpulan yang tidak tepat, tanpa mesti mengatakan suatu kebohongan.


Arda kembali mengeluh. Dari jendela kastil itu (ia kini berada di tingkat ketiga) ia dapat melihat bagaimana beberapa orang ksatria ternyata dengan bijak memilih meninggalkan kastil tersebut. Beberapa dengan sabar menunggu di wilayah padang rumput di sekeliling kastil, sementara beberapa yang lain dengan tololnya masuk ke dalam hutan, mungkin untuk mencari jalan keluar.

Mudah-mudahan mereka berhasil, walau Arda berani bertaruh kalau keadaan di hutan tidaklah seaman yang mereka kira.

Arda menghela napas. Tak ada gunanya mengeluh, semakin cepat ia menyelesaikan permainan konyol ini, semakin cepat pula ia dapat segera kembali.

Tiba-tiba saja ia jadi teringat, bertanya-tanya, bagaimana nasib Hilgard saat ini, juga ksatria tua yang ia temui di luar kastil kemarin. Apa mereka menyerah? Atau sebaliknya, apa mungkin mereka sudah berada dalam perjalanan menuju puncak menara?

Ia lalu tertawa. Rasanya lucu saja jika ia mengkhawatirkan kedua ksatria itu. Hilgard jelas lebih cerdas darinya, sementara ksatria tua itu, dengan kemampuan yang dimilikinya, rasanya memiliki harapan hidup lebih tinggi dari kebanyakan ksatria lain yang mengikuti perlombaan ini. Arda menghabiskan potongan witchbread-nya lalu kembali melangkah.


Ketika Milia akhirnya terjaga sore harinya, Arda sudah menyelesaikan putaran keduanya mengelilingi tingkat kedua lingkar pertama kastil. Ia tampak puas sekaligus tidak gembira secara bersamaan.

"Tidurmu nyenyak?" tanya Arda dengan nada mengejek.

"Aku benar-benar sangat lelah tadi..." Milia membela diri.

"Aku punya kabar buruk dan kabar yang sangat buruk." lanjut Arda.

Milia mengangkat bahu, "katakan saja," keluhnya.

Menggunakan pedangnya, Arda membuat goresan-goresan tipis di lantai. Ia menggambar sebuah lingkaran besar, lalu sebuah persegi di dalam lingkaran itu, lalu sebuah lingkararan di dalam persegi, sebuah segitiga dalam lingkaran, dan yang terakhir sebuah lingkaran lagi.

"Ini, kukira, adalah gambaran kasar tentang kastil ini. Lingkaran terluar adalah dinding pelindung kastil, juga parit yang mengelilinginya. Persegi ini, kusebut lingkar luar, di sinilah tempat kita berada saat ini, yang dibagi menjadi tiga tingkatan, atau lebih, jika ada tingkat bawah tanah. Di setiap sudutnya ada sebuah menara penjagaan."

"Lingkaran kedua adalah lingkar dalam, dan jika perkiraanku benar, setidaknya dari luar kastil, kelihatannya memiliki dua tingkat lebih banyak dibandingkan lingkar luar tempat kita berada saat ini. Entah apa yang ada di dalam sana, tapi kurasa tak akan jauh berbeda dari apa yang berada di lingkar luar... mungkin."

"Lalu segitiga ini adalah menara utama, yang menjulang entah berapa tinggi ke angkasa. Aku jadi berpikir, bahwa daripada kastil, tempat ini sedikit banyak mengingatkanku pada menara suar di pelabuhan. Atau mungkin lebih tepatnya bisa bilang bahwa kastil ini senagaja dibangun mengelilingi menara ini jika bukan bagian dari menara itu sendiri."

"Nah labar buruk yang pertama, tanpa peta atau petunjuk lainnya, dapat dipastikan, kecuali kita sangat beruntung, seperti kebanyakan tokoh dalam dongeng-dongeng rekaan, kita tak akan pernah dapat mencapai puncak menara dalam waktu singkat."

"Yang kedua, aku tak bisa menemukan peta atau petunjuk lainnya, meski aku sudah memeriksa semua ruangan yang dapat kuperiksa di tingkat kedua ini. Banyak ruangan di sini, tapi yang terbuka nyaris kosong melompong, sementara yang mungkin berisi sesuatu semuanya tersembunyi dibalik pintu logam yang tertutup rapat. Dan aku yakin begitu juga keadaan di tingkat-tingkat lainnya. Aku juga yakin bahwa akses menuju lingkar kastil yang kedua juga ada dibalik salah satu pintu tersebut."

Milia tampak tak terkejut, atau lebih tepatnya tak terlalu tertarik dengan kabar itu, "Setidaknya itu berarti sekarang kita punya alasan yang sah untuk menyerah kan?"

Ingin rasanya Arda mengetok kepala ksatria muda itu.

"Tunggu sebentar. Itu baru kabar buruknya. Kabar yang sangat buruk, adalah aku mungkin menemukan cara untuk membuka pintu-pintu terkunci itu."

"Bukankah itu kabar baik?" tanya Milia dengan tatapan bingung.

"Menghadapi para penjaga? Yah tentu saja itu kabar baik," gerutu Arda kesal, ia melemparkan sepotong Witchbread pada Milia yang menerimanya dengan kening berkerut, "Sekarang, jika bisa, berjagalah! Aku ingin tidur sebentar sebelum malam tiba. Dan jangan melakukan hal-hal aneh, aku yakin kita akan memerlukan semua tenaga kita nanti."