Amori:Volume01 Chapter02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Rekan

Pagi tiba.

Berkas-berkas sinar mentari yang keemasan menerobos masuk melalui jendela-jendela di dinding dan lubang hawa di langit-langit, mengusir kemuraman dan kesuraman, bayang-bayang gelap, yang telah semalaman menyelimuti kastil tersebut.


Dengan enggan Arda membuka matanya lalu melangkah perlahan keluar dari tempat persembunyiannya. Ia lelah dan mengantuk. Seingatya, baru menjelang fajar tadi ia dapat benar-benar memejamkan matanya.

Tak pernah terlintas di benak Arda bahwa tempat ini ternyata jauh lebih berbahaya dibandingkan belantara Raviva di perbatasan Ligra. Dan kini mau tak mau ia jadi bertanya-tanya, berapa orang, dari sekitar empat puluhan ksatria yang mengikuti permainan ini, yang saat ini masih bertahan hidup. Tapi setidaknya, jika hitungannya tak salah, ia mendengar tak kurang dari sepuluh teriakan histeris sepanjang malam tadi.

Arda tersenyum muram. Apa memang nyawa manusia tidak lebih berharga dari lima ribu keping emas? Rasanya tidak.

Bahkan bandit terkejam di seluruh Ligra sekalipun , setahu Arda, hanya dihargai seribu keping emas. Sementara, beberapa kali, pernah juga ia ditawari dua sampai tiga ribu keping emas untuk membunuh seorang Lord.

Sungguh menjijikkan. Tapi memang seperti itulah kondisi saat ini, bagaimana derajat seorang ksatria sudah begitu merosot, sehingga seringkali sulit dibedakan antara seorang ksatria dengan tukang pukul ataupun pembunuh bayaran.

Menjamurnya jumlah sekolah ksatria pun sama sekali tak membuat keadaan jadi lebih baik, karena kebanyakan hanya mementingkan jumlah daripada kualitas lulusannya. Mungkin hal semacam itu berguna di masa-masa peperangan, tapi di masa-masa yang relatif damai seperti saat ini, tak banyak yang memiliki kesempatan untuk mengabdi pada Kerajaan ataupun Rumah tertentu. Maka kebanyakan ksatria pun akhirnya hanya menjadi penjaga bayaran (sekaligus tukang pukul) untuk para tuan tanah, atau lebih buruk lagi, menjadi bandit, perompak, tukang jagal, yang ironisnya justru menjadi sumber penghasilan untuk para pemburu bayaran seperti Arda.

Yah sayangnya tak ada yang dapat ia lakukan.

Tapi mungkin dengan lima ribu keping emas...

Secepat kilat Arda berbalik sambil menghunus dan mengayunkan pedangnya. Hampir saja. Sedikit saja terlambat melompat menghindar, Ksatria muda yang menghampiri Arda dari belakang itu pastilah sudah kehilangan kepalanya, atau paling tidak terluka cukup parah.


Arda melotot marah. "Apa kau sudah bosan hidup?" semprotnya.

Sang Ksatria muda, jatuh terduduk, cepat-cepat menggelengkan kepalanya.

"M-maafkan aku," gumamnya nyaris tak terdengar.

Arda mengerutkan keningnya, lalu tanpa menyarungkan kembali pedangnya, ia kembali menanyai sang ksatria muda.

"Sebutkan namamu dan nama tuanmu?"

"Milia...," kata sang ksatria muda, "Namaku Milia Gulfan Morrig."

"Dan nama tuanmu?" desak Arda.

"A-aku tak mengabdi pada siapapun," jawab Milia tergagap.

"Lalu apa tujuan keberadaanmu di sini?"

Kali ini Milia memandang Arda dengan tatapan heran, "Sama seperti anda. Aku salah satu peserta perlombaan."

"Bagus. Dan tujuan dari perlombaan ini adalah...?"

Wajah Milia menunjukkan ekspresi takut dan bingung. Ia mungkin mengira Arda telah kehilangan akal sehatnya. Tapi pada akhirnya, karena tak punya pilihan lain, ia pun menjawabnya. "Para Ksatria harus berlomba mencapai puncak menara tertinggi dan menghancurkan kristal yang berada di sana."

Arda tersenyum puas lalu menyarungkan kembali pedangnya. Ia kemudian mengulurkan tangannya dan membantu sang ksatria muda berdiri.

"Untuk apa anda menanyakan semua itu?" tanya Milia.

"Memastikan saja," jawab Arda, "Memastikan bahwa kau benar-benar seorang ksatria. Dan memastikan kau benar-benar salah satu peserta dari perlombaan sialan ini."

Milia kembali menunjukkan ekspresi bingung.

Arda menghela napas panjang. Tiba-tiba saja ia jadi merasa tua. "Apa yang kau pelajari di sekolahmu, nak?"

"Kode Etik Ksatria dan Keterampilan menggunakan senjata."

"Yah yah. Tentu saja. Tapi apa kau kira di dunia ini lawanmu hanyalah ksatria saja? Ada Ksatria, tapi ada juga hal-hal yang menyerupai ksatria yang bukan ksatria. Dan perlukah kuingatkan kalau sudah tak terhitung jumlah ksatria yang memilih meninggalkan jalan ksatria?" "Tapi apa hubungannya dengan pertanyaan anda tadi... Pak?"

Arda menggeram kesal, "Buka matamu lebar-lebar nak! Juga telinga dan hidungmu kalau bisa. Lihat sekelilingmu! Apa kau tidak mendengar apa yang terjadi semalam?"

"Teriakan-teriakan itu..."

"Tepat sekali. Dan kau tahu apa artinya itu?"

Milia mengangguk tak yakin. "Para Penjaga?" terkanya.

"Yep. Atau beberapa dari kita memutuskan mengurangi jumlah pesaing lebih awal." Keduanya sesaat terdiam, mungkin berpikir seberapa jauh masing-masing dari mereka dapat mempercayai masing-masing lainnya.

"Mungkin sebaiknya aku pergi," kata Milia pada akhirnya.

"Tidak," potong Arda, "Kuputuskan aku akan mempercayaimu. Aku cukup yakin aku tidak mencium bau kebohongan dari dirimu."

"Anda bisa melakukannya?" wajah Milia menunjukkan ekspresi kekaguman, "Aku tak tahu kebohongan memiliki bau."

"...," Arda memilih tak menjawabnya. "Apa kau sendirian?"

Milia mengangguk pelan, "Mengikuti kalian berdua (anda dan Ksatria Jangkung yang kelihatan cerdas itu) kami memutuskan mengambil jalan sendiri-sendiri. Ah tapi tentu saja ada beberapa ksatria yang memilih pergi dalam kelompok dua dan tiga orang."

"Aku terlalu ceroboh semalam," gerutu Arda, "Hilgard juga. Padahal kami sudah menduga bahwa keadaan di dalam sini akan jauh lebih berbahaya daripada di luar. Seharusnya kita semua tetap bersama setidaknya sampai kita tahu bahaya macam apa yang akan kita hadapi."

"Apa menurut anda kastil ini dipenuhi jebakan?" tanya Milia gugup.

"Kastil ini kastil tua..." Arda terdiam. Tiba-tiba saja ia merasa ada yang aneh meski ia tak yakin apa. "Dan kemungkinan besar didesain oleh para penyihir," lanjutnya, "Tapi kurasa tidak. Bagaimana pun Kastil ini dulunya ditempati oleh banyak orang, jadi tidak masuk akal jika jebakan mematikan bertebaran di mana-mana. Mungkin beberapa, di ruangan tertentu. Tapi aku yakin ada pengalihan... Kastil ini sangat luas, hampir-hampir mirip labirin, setidaknya bagi mereka yang tidak berdiam di sini."

"Dan para penjaga?"

"Mudah-mudahan saja mereka manusia."

Keduanya kembali terdiam.

Suasana kembali hening.

...

...

...


Keheningan yang akhirnya dipecahkan oleh suara dari perut Milia.

Arda menyeringai sementara wajah Milia berubah merah.

"Biar kutebak," cemooh Arda, "kau tak membawa bekal apapun kan?"

Milia mengangguk, "Kukira perlombaan ini hanya akan berlangsung satu hari saja. Uhh para penyihir itu bilang ini bakal mirip perlombaan lari. Masuk ke dalam kastil, mendaki tangga, lalu memecahkan kristal. Kedengarannya sangat mudah."

Arda menghela napas panjang lalu mengeluarkan sepotong kue kering dari buntalan yang dibawanya. "Witchbread," potongnya sebelum Milia sempat bertanya, "Para penyihir yang membuatnya, menemukan cara pembuatannya maksudku. Gandum dan jagung yang dipadatkan, atau semacam itulah. Satu potong saja sudah cukup untuk membuatmu tetap bertenaga sesiangan."

Dengan ragu Milia menggigitnya. Dan seketika itu pula wajahnya memucat.

"Bagaimana?" tanya Arda sambil kembali menyeringai.

"Mengerikan" keluh Milia.