Unrequited:Volume01 Pertemuan Itu Seharusnya Semanis Coklat Pisang

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

“Awal kehidupan baru di univ, eh?” adalah yang kugumamkan ketika upacara pembukaan masa orientasi berlangsung.

Jujur saja aku tidak begitu tertaik dengan upacaranya, jadi mataku tak henti-hentinya memperhatikan bermacam ekspresi yang ditampilkan baik mahasiswa baru maupun panitia ospek ini. Ada yang tampak bersemangat, pucat kepanasan, ada juga yang hampir jatuh tertidur.

Mungkin bisa jadi ditambah ada orang yang sepertiku, melihat sekitar dengan alasannya masing-masing. Bagaimanapun juga ini adalah hal baru dan kurasa bisa dianggap banyak orang sebagai dimulainya kehidupan baru. Begitu juga lingkungan baru yang harus dicermati.

Beberapa saat kemudian upacara usai, dan semua rangkaian kegiatan ospek akan diserahkan pada panitia. Ospek kali ini cukup normal dan wajar, tidak seperti ospek jadul di mana senioritas menjadi kasta tertinggi di rantai makanan kampus. Para panitia membagikan sarapan dan memberikan waktu untuk kami menikmati santapan pagi yang ala kadarnya itu.

Setelah sarapan, dimulailah kegiatan ospek yang sudah seperti dugaanku: mengenalkan universitas secara keseluruhan.

Tiap kelompok yang sudah ditentukan satu per satu diberi aba-aba untuk menuju ke berbagai tempat umum yang ada di universitas. Misalnya perpustakaan, kantin, rektorat, dan beberapa museum yang ada di dekatnya. Cukup membosankan bila hanya itu saja yang kami lakukan. Jadi kurasa itulah yang memberi ide bagi panitia untuk membuat beberapa permainan di setiap posnya.

Hingga waktu seolah berjalan begitu cepatnya. Matahari mulai berubah warna dan langit tampak gelap tertutup awan hitam. Hari pertama ospek universitas berakhir tanpa hambatan apapun bagiku. Lumayan menarik, membuatku membayangkan apa yang akan dilakukan di ospek esok harinya seraya berjalan menuju penjual roti bakar.

Ya, entah tidak begitu mengerti tentang ospek atau memang tidak peduli, adikku yang berumur 12 tahun memintaku untuk membelikan roti bakar rasa coklat pisang kesukaannya. Sebenarnya aku cukup kesal, namun mengalah karena dia tidak berhenti merengek dan membuat telingaku panas. Walaupun langit semakin mendung, mau tak mau aku harus membelikannya.

Sembari menunggu roti bakar dimasak, aku tak henti-hentinya menghela napas. Menyesali nasib buruk di awal kehidupan baru di universitas ini. Aku seolah bisa mendengar penjual roti bakar meledek, ‘Ini nasib burukmu, Nak!’. Membayangkan itu membuatku merasa semakin terpuruk.

Lalu tak lama kemudian hujan mulai turun ketika aku menerima roti bakar yang sudah jadi.

“Imajinasiku jadi kenyataan, nasibku emang buruk hari ini!” pikirku kesal.

Aku ingat tadi pagi Ayah meminjam jas hujanku karena beliau hendak keluar kota. Jarak kampus dan rumah tidak begitu jauh, jadi kukira walaupun hujan aku tidak akan takut kebasahan. Tapi setelah kupikir kembali, aku membawa banyak hal yang tidak bisa basah seperti peralatan ospek yang terbuat dari karton dan roti bakar adikku. Karenanya aku hanya bisa berlari, mencari tempat untuk berteduh.

Hujan kali ini sangat deras, membuat banyak mahasiswa lain berteduh di sekitar kantin. Cukup beruntung bagiku menemukan kursi yang beratapkan kayu di dekat kantin. Kulihat sudah ada seseorang yang sudah duduk di sana, tapi karena tidak mau lebih basah dari ini aku menghampirinya.

“Boleh aku duduk di sini?” pintaku sopan, berusaha tidak berkata ‘Bagi tempat woy!’ layaknya preman. Orang itu mendengarku dan menengadah, mengintipku dari balik poni basahnya yang tampak berantakan. Seorang perempuan. Wajahnya berminyak dan penuh noda kecoklatan. Kemeja yang dia kenakan cukup kotor dan basah. Apa dia baru saja terjatuh? “Boleh,” jawabnya dengan senyum.

Lalu dia bergeser sedikit, memberiku tempat untuk duduk. Kuletakkan kantong plastik berisi roti bakar di samping dan mulai menggosokkan dua telapak tanganku berharap mendapat kehangatan. Hanya suara air hujanlah yang meramaikan suasana hening yang tercipta di antara kami berdua. Aku merasa cukup canggung berada dalam kondisi ini dan hanya bisa melirik ke arah perempuan yang sedari tadi diam di sebelahku.

“…”

Dia menggigil.

Kemeja putihnya yang sekarang berwarna coklat basah kuyup. Dia memeluk dirinya sendiri seolah hanya itulah yang bisa dia lakukan untuk tetap merasa hangat. Jika ini musim salju, mungkin aku sudah bisa melihat uap udara yang dia hembuskan di setiap napasnya.

Saat itu juga aku merasa harus melakukan sesuatu, seperti sudah instingku sebagai manusia untuk menolong sesamanya. Dan satu-satunya yang bisa kupikirkan pada saat itu adalah—

“Mau? Mumpung masih hangat…”

—mengorbankan roti bakar yang seharusnya kubelikan untuk adikku.

“Eh? Ah, makasih…” ujarnya yang sesaat cukup kaget karena mungkin aku terlalu tiba-tiba mengatakannya. Sebelum kemudian mengambil satu dan perlahan melahapnya. Aku juga melakukan hal yang sama dan mengunyahnya secara brutal karena kesal, ketika mengingat kembali wajah adikku yang merengek.

“Rasa coklat pisang, ya? Manis…” komentarnya yang kemudian kembali memakan roti bakar itu.

“Ya, manis banget,” balasku. “Ini makanan favorit adikku. Tapi bisa-bisanya dia nitip pas hari ospek gini, kan bikin capek!”

Mendengarku, dia tampak terkejut dan berhenti memakan roti bakar itu. “Ah, ini titipan adikmu toh? Nggak papa nih aku makan?”

Aku menggeleng. “Nggak masalah sih, toh aku masih bisa beli lagi. Makan aja, aku juga lapar seharian keliling univ gini.”

“…kalau gitu makasih ya.”

“Sama-sama.”

Lalu hening mulai menyelimuti kembali. Di tempat yang cukup sempit dan hanya beratapkan kayu ini, aku melihat ke langit yang kurasa masih suka bermain-main dengan hujan. Waktu seolah berjalan sangat lambat dalam keheningan ini. Karenanya aku mencoba membuka mulut, berusaha menghancurkan segala kecanggungan yang kurasakan.

“Ke-Kenalin, aku Semmi Madyanta, biasa dipanggil Semmi. Kalau kamu?”

Aku sangat malu mengatakan hal itu, tapi sesaat kemudian menjadi lega ketika dia membalasku.

“Aku Lani Dwiyahya, panggil aja Lani.”

Yang membuatku ingin terus berbicara.

“Lani, ya? Ngomong-ngomong kamu asli mana?”

“Wates, rumahku di pegunungan sana,” jawabnya sembari menunjuk ke selatan. “Kalau kamu asli mana? Jogja ya?”

“K-Kok tahu?” Aku cukup terkejut mendengarnya, kenapa dia bisa tahu? Dukun kah?

“Itu ada tulisannya di papan nama ospekmu, lupa dilepas ya?” balasnya yang diikuti dengan tawa.

“Aha…hahahah…”

Aku hanya bisa tertawa lemah dalam rasa malu dan perlahan melepas papan nama yang terbuat dari karton tersebut. Memasukkannya ke dalam tas, aku cukup lega suasana menjadi cair. Aku mulai merasa berbicara dengan Lani tidak akan lagi canggung sampai hujan selesai turun.

Kami mengobrolkan banyak hal, dari mulai kenapa kami memilih universitas ini sampai saling berbagi cerita dan pengalaman di hari pertama ospek. Ternyata banyak sekali kejadian unik, lucu, dan aneh selama ospek, padahal baru sehari saja kegiatan ini berlangsung.

Untuk Lani sendiri, dia orang yang cukup terbuka. Di balik penampilannya yang bisa kubilang cukup kusam dan berantakan, Lani lebih cerah dari warna kotor bajunya. Dia tidak segan untuk bercanda, tertawa, dan bahkan bercerita beberapa pengalamannya di hadapan orang yang baru saja dia kenal. Aku cukup lega mendapati teman pertama di samping teman satu kelompok ospek.

Yah, kurasa cukup menyenangkan juga kehidupan baru ini, pikirku.

“…terus mbak kosku bilang kalau Ibu kos benci lihat anak cewek rambutnya nggak diikat, aneh nggak tuh?”

“Oooh, jadi gara-gara itu rambutmu sekarang dikuncir gitu?”

“Ho oh, nyebelin banget! Kayaknya tahun depan aku bakal pindah kos deh. Sayang kalau pindah sekarang, dah terlanjur bayar.”

“Haha, sabar-sabarin aja Lan.”

Hingga tak lama kemudian, hujan berhenti. Hari sudah berganti malam dan lampu-lampu kota mulai tampak berwarna-warni. Percakapanku dengan Lani sudah serasa seperti berada di akhir cerita. Suasana cukup mendukung keadaan untuk kami berpisah sekarang.

Lani pun tampak begitu, dia langsung membereskan barang bawaannya dan perlahan memasukkannya ke dalam tas. Dalam pikiranku, aku merasa harus mengatakan sesuatu namun aku tidak tahu harus bilang apa. Memaksakan diri, aku hanya bisa bertanya.

“Oh ya, kamu jurusan apa Lan?”

Masih sibuk mengemasi barangnya, Lani menjawab. “Aku? Aku jurusan Matematika, kelas E, kalau kamu?”

“Serius? Sama dong kalau gitu. Kita ternyata sekelas!”

“Wah, kebetulan banget ya? Lucu juga, haha.”

Setelah mengatakan itu, Lani perlahan berdiri. Dia mengikat kembali rambutnya yang cukup berantakan itu. Lalu perlahan, digendongnya tas yang cukup besar dan tampak berat, berlawanan dengan badan Lani yang ramping dan tidak begitu tinggi. Menghadap ke arahku, akhirnya dia pamit.

“Hujan udah berhenti, aku pulang dulu ya! Sampai ketemu besok!”

“Ah, ya, sampai ketemu. Hati-hati ya!” balasku khawatir melihatnya yang tampak keberatan membawa tas itu.

Tak lama kemudian Lani berjalan menjauh, pulang kembali ke kos-kosannya yang tidak jauh dari kampus. Sosoknya perlahan mulai hilang dari pandanganku. Aku hanya bisa menghela napas dan terduduk lemas karena cukup lelah melewati hari ini. Terlebih aku masih harus membelikan roti bakar lagi untuk adikku yang rewel itu.

Walau begitu, aku cukup merasa berterima kasih kepada adikku. Berkat roti bakar titipannya, aku bisa mendapatkan teman bicara—sekaligus teman sekelas yang seru. Mungkin nasib buruk yang kupikirkan tadi aslinya adalah salah satu bentuk keberuntungan yang baru saja kusadari ini. Heheh, aku seharusnya tidak meremehkan nasib lagi.

Mengambil tas, aku bergegas menuju parkiran motor yang berada di sebelah kampus. Kunyalakan motor tua yang diberikan ayahku untuk kuliah dan menyalakan lampu redup yang sama sekali tidak menerangi apapun. Menarik gas, aku mulai bisa merasakan angin berhembus dingin di sekujur tubuhku. Mengingatkanku pada kejadian yang baru saja kualami.

Sosok kedinginan seorang perempuan, roti bakar hangat, berkenalan, Lani, dan teman baru yang ternyata sekelas. Apa aku bakal ketemu dia lagi ya? Ah, apa yang aku pikirkan? Kita kan sekampus, tentu saja bakal ketemu cepat atau lambat!

“…ah!”

Membayangkan hal itu, aku teringat kembali sosok Lani yang perlahan sirna dari pandanganku. Begitu pula kalimat yang seharusnya kukatakan padanya di saat-saat seperti itu.


“…Seharusnya aku nganterin dia pulang,” gumamku dengan sedikit rasa sesal.