Unrequited:Volume01 Log Pertama

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Mungkin terlalu munafik kalau aku bilang tidak ingin mengulang kembali waktu.

Aku benar-benar menginginkannya, waktu kembali pada tiga tahun yang lalu. Saat aku lebih muda dari ini. Saat aku masigh beloum mengerti banyak hal. Saat aku masih tidak mengkhawatirkan hal yang kebanyakan orang disebut dengan…

“Hei, serius amat liatin dia!”

…cinta.

Melirik ke samping, aku menemukan wajah Robi tersenyum bercanda padaku. Membuatku menghela napas.

“Teman macam apa yang hobinya meledek?”

“Justru itu. Kalau kita bukan teman, aku nggak akan begitu. Anggap aja ledekanku sebagai bukti pertemanan kit—aw!”

Sebelum Robi menyelesaikan kalimatnya, aku menjitaknya terlebih dahulu. Walau dia ada benarnya, tapi aku merasa dipermainkan di sini. Karenanya aku refleks memukulnya biar jera.

“Enak aja! Jangan pake alasan kayak gitu buat ngeledekin aku terus,” ujarku kesal.

Lalu dia tertawa puas. “Daripada ngomongin teman, mending kita bahas cewek itu!”

“Jangan keras-keras bego!” Baru saja aku hendak menjitaknya lagi tapi tidak jadi karena sepertinya akan menarik perhatian anak kelas lain.

Seperti biasanya, dosen pengampu mata kuliah di pagi ini selalu terlambat. Karenanya suasana kelas cukup ramai dan bising. Sekelompok mahasiswi sedang bergosip diikuti dengan tawa seusai salah satu dari mereka bercerita. Beberapa mahasiswa sedang membahas tentang film bioskop yang baru saja mereka tonton kemarin lusa. Dan beberapa yang lain dengan kegiatannya masing-masing. Membuatku ragu akan ada seseorang yang bisa atau sempat melirikku sedang menjitak Robi. Bahkan, bisa jadi tidak ada yang peduli.

Karena itu aku melancarkan tenggorokan dan melanjutkan kembali keluhanku. “Hem, kenapa tiap hari kamu pengennya bahas dia mulu sih?!” ujarku seraya kembali duduk, menenangkan diri.

“Salah sendiri kamu nggak mau cerita! Ayolah, cerita dikit aja. Apa hubungan kalian bertiga?”

“Uhh…”

Bertiga eh?

Jika Robi bilang hubungan antaraku dan dia, aku masih bisa bercerita. Tapi kalau dia? Aku bahkan tidak begitu mengenalnya selain nama saja. Bahkan aku tidak peduli walau mungkin secara tidak langsung kami cukup berhubungan.


—benar, yang aku maksud adalah perempuan dan laki-laki yang sedang bercakap ria penuh senyum dan tawa di depan sana.


Perempuan itu adalah seseorang yang baru saja kusadari cukup menarik perhatianku—bisa dibilang, mungkin aku mulai menyukainya.


Laki-laki itu adalah seseorang yang entah sejak kapan selalu bersama dengan perempuan itu—bisa dibilang aku cukup iri padanya.


Dan di sini—aku—adalah seseorang yang selalu menyandarkan kepala di tangan, duduk beberapa meja di belakang mereka. Merasakan semua penyesalan dan mengharap waktu bergerak mundur.

“Apa boleh buat, mungkin sudah saatnya aku bercerita,” ucapku pasrah.

Seperti yang sudah kukatakan, tiga tahun yang lalu, ketika semuanya masih tampak muda, cerah, dan penuh dengan harapan. Aku rasa cukup terlambat untukku menyadarinya sekarang. Namun sebuah kesempatan terjadi saat itu, walau mungkin hanya imajinasiku saja.

Tapi entah kenapa aku sangat yakin pada imajinasiku tersebut.

Ya, jika aku bisa kembali pada saat itu. Jika aku bisa melakukan hal yang sekarang sangat kusesali karena tidak kulakukan. Jika aku lebih menyadari dengan semua yang terjadi di sekitarku. Aku yakin kalau…

…akulah yang sekarang duduk penuh senyum di hadapan dia.