The Warmth of Your Smile:Volume00 02

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 02 - The Warm Night

Part 1

Yumeji perlahan memasuki bathtub dan merendam sebagian tubuhnya dalam air hangat. Tangannya bergerak perlahan mengusap pelipisnya yang memar, ia meringis kecil.


Sepertinya aku memang harus benar-benar mulai mempelajari ilmu bela diri... pikir pemuda itu. Ia kemudian memasukkan seluruh wajahnya kedalam air selama beberapa saat sebelum mengangkatnya kembali.


“Yumeji... bagaimana airnya? Sudah cukup hangat?”


Yumeji menoleh kearah pintu penghubungkan kamar mandi dengan ruang ganti yang terbuat dari kaca buram dan menemukan sosok kakaknya yang tengah berdiri di balik pintu tersebut. Ia menghela nafas dan berujar pelan, “Ya, terima kasih nee-san.”


“Kalau begitu...” terdengar suara cekikik kecil dari luar, “Aku masuk ya...”


“Pintunya kukunci dari dalam,” balas Yumeji tidak tertarik. Ia kemudian merendam sebagian wajahnya dan membuat gelembung-gelembung kecil bermunculan muncul ke permukaan air.


“Buuuu.... enggak asik... padahal dulu kau selalu merengek minta mandi denganku...”


Yumeji tidak membalas, pemuda itu memejamkan mata dan menikmati kehangatan di sekujur tubuhnya.


“Yumeji...” Suara Yanagi kembali terdengar dali balik pintu, hanya saja lebih pelan.


Perlahan, Yumeji membuka mata dan melirik kearah pintu, “Ya?” balasnya pelan. Namun, tidak ada jawaban balik dari kakaknya itu.


Keheningan terjadi, sampai pada akhirnya Yumeji memecah keheningan tersebut dengan kembali bertanya, “Ada apa nee-san?”


“Tidak, Tidak ada apa-apa,” balas Yanagi pada akhirnya, “Jangan lupa makan malam setelah ini,” Kemudian, sosoknya menghilang dari balik kaca buram di pintu kamar mandi.


“Ya.... terima kasih...” Yumeji membalas pelan dengan suara nyaris berbisik walau ia tahu suaranya tidak akan terdengar oleh kakaknya. Ia terdiam sesaat memandangi riak air sebelum akhirnya berdiri dan membuka jendela di salah satu sisi bathtub, diatas tempat kepalanya bersender sebelumnya.


Pemuda itu kembali duduk bersender –berendam dalam air hangat- di bathtub seraya menghela nafas. Ia mendongakkan kepalanya dan menatap keluar jendela.


“Malam yang tenang...” gumamnya.


Part 2

“Nah, ini,” Yanagi menyodorkan sepiring penuh nasi kare kepada Yumeji, “Kalau mau tambah masih banyak.”


Perlahan, pemuda itu menyuap sesendok kecil kare dan memasukkannya kedalam mulut, enak... pikirnya.


“Bagaimana? Enak tidak?”


Yumeji melirik kearah Yanagi yang duduk di hadapannya, gadis itu bertopang dagu diatas meja dan menyunggingkan senyum kecil kearahnya. Ia hanya mengangguk perlahan.


“Yumeji... apa ada yang ingin kau ceritakan padaku?”


Yumeji menghentikan suapannya dan kembali melirik kearah kakaknya, Yanagi masih tersenyum. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Yumeji kembali menunduk seraya menggeleng.


“Apa kau ada masalah? Mungkin aku bisa bantu...”


“Tidak ada, tidak ada apa-apa...” balas Yumeji pelan.


“Kau yakin? Kau kelihatan tidak bersemangat, apa kau sakit?” Yanagi mengulurkan tangannya hendak menyentuh kening pemuda itu hanya saja Yumeji yang menyadari hal tersebut bergerak cepat dan menjauhkan wajahnya dari jangkauan tangan kakaknya.


“Ti-tidak.. ya.. aku baik-baik saja.. tidak usah cemas..” balas Yumeji cepat.


Yanagi menghela nafas, “Yumeji...” panggilnya pelan, ia kemudian bangkit sedikit dan mengelus memar di wajah adiknya itu, “Kau tidak perlu menyimpan semuanya sendiri. Jika ingin bercerita, ceritakanlah...”


Yumeji kembali menunduk. Ia menggenggam sendok di tangannya dengan erat dan kembali berujar pelan, “Aku tidak apa-apa...”


Tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya, Yanagi berdiri lalu berjalan kearah Yumeji dan mengacak kepala adiknya, “Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan kuliah, makanlah yang tenang ya,” ujarnya sebelum pergi.


Mata pemuda itu mengikuti Yanagi yang berjalan meninggalkan ruang makan, Padahal kau tidak harus begitu... Pikirnya.


Yumeji menghela nafas dan bersender di kursi tempatnya duduk, Kau tidak harus menjadi seperti dia....


Sekelebat memori lagi-lagi bagai dipaksa masuk dalam pikiran pemuda itu, kilatan cahaya, decitan, teriakan, tangisan.


“Ah Yumeji... Aku lupa bilang, Ayah telepon dari India. Dia bilang- Hei? Kau kenapa?”


“Eh?” Yumeji menoleh dan mendapati kakaknya berdiri di pintu ruang makan memandanginya dengan cemas, “Eh aku....” ia menyadari nafasnya tersengal-sengal. Tangannya bergerak memegangi dadanya dan merasakan jantungnya yang berdebar cepat.


“Kau yakin kau baik-baik saja?”


Dengan cepat Yumeji bangkit dan merapikan peralatan makannya, “Ah ya... aku tidak apa-apa, aku baru saja selesai,” balasnya cepat. Ia memalingkan wajah dan bergegas membawa piring-piring kotor ke bak cuci.


“Yumeji... hei...” setengah berlari, Yanagi menghampiri Yumeji dan menepuk pundak pemuda itu.


Yumeji berbalik, namun ia mengerlingkan mata, berusaha untuk menghindari kontak mata dengan gadis itu, “Tidak ada yang perlu dicemaskan nee-san...” Ia berujar pelan, kemudian segera kembali berbalik dan meletakkan piring-piring kotor di bak cuci, “Jangan terlalu mengkhawatirkanku, bukankah tadi nee-san bilang ada pekerjaan?” tambah Yumeji sebelum menyalakan keran dan mencuci piring-piring kotor.


Yanagi menarik tangannya, mulutnya terbuka seakan ingin mengatakan sesuatu. Namun, pada akhirnya ia menggelengkan kepala dan hanya berujar, “Istirahatlah setelah ini, mungkin kau kelelahan...”


Yumeji tidak membalas, gadis itu menghela nafas dan kembali mengelus kepala pemuda itu lembut. Gerakan tangan Yumeji terhenti, Yanagi mendekatkan wajahnya dan berujar setengah berbisik, “Kalau ada yang ingin kau ceritakan, aku akan selalu mendengarnya,” Ia tersenyum kepada Yumeji sebelum akhirnya meninggalkan ruangan tersebut dan kembali menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua.


Suara air yang mengalir keluar dari keran menutupi suara langkah kaki gadis itu. Setelah beberapa saat Yanagi pergi, Yumeji kembali melanjutkan kerjanya dalam diam. Ia mengelap tangannya yang basah pada lap di sebelahnya dan kemudian duduk di lantau bersender di kabinet bak cuci piring.


Mata pemuda itu memandang kosong kedepan, Kenapa masih saja... pikirnya. Ia kemudian menoleh kearah jam dinding tak jauh di sisi lain ruangan, Sudah hampir jam sembilan? Aku belum belajar untuk ujian perbaikan.

Pemuda itu bangkit dan menaiki tangga ke lantai dua. Ia berhenti sesaat di depan kamar kakaknya sebelum memasuki kamarnya yang tepat berada di sebelah kamar gadis itu.


Yumeji menghempaskan dirinya ke tempat tidur, “Aku harus belajar...” gumamnya. Perlahan, mata pemuda itu terpejam.


Part 3

“Ibu...” seorang bocah meratap kearah wanita paruh baya yang terbaring dan tersenyum kepadanya. Dengan susah payah, wanita itu mengangkat tangannya dan meletakkannya di kepala bocah itu tanpa menghilangkan senyuman di wajahnya.


Tangan wanita itu terkulai, jatuh lemas ke tanah dan tidak bergerak lagi. bocah itu menggoncang-goncangkan tubuh wanita tersebut. Namun, wanita itu tetap tidak bergerak.


“Paman...” bocah itu menyadari kehadiran seorang pria yang muncul entah darimana dan sekarang tengah berdiri di belakangnya, “Ibu... tolong...”


Pria itu menatap kosong kearah bocah yang tidak berhenti menangis dan wanita yang tergeletak tidak bergerak itu.


“Eh.......”


Ekspresi terkejut tampak di wajah bocah itu.


Part 4

Yumeji perlahan membuka mata, Apa itu tadi... pikirnya.


“Ah... Yuu-kun, akhirnya bangun juga. Duh... maaf aku mengganggu...”


Perlu beberapa saat bagi Yumeji untuk menyadari seorang gadis dengan rambut hitam sebahu tengah membungkuk dan memandanginya wajahnya dari dekat. Setelah beberapa saat, gadis itu kembali bangkit lalu berjalan ke pojok ruangan dan duduk di lantai berkarpet seraya meletakkan tas kain yang ia bawa di atas meja di hadapannya.


Yumeji duduk di pinggir tempat tidur dan menggaruk kepalanya, “Jadi... Yui? Kenapa kau di sini?”


“Hm? Aku ingin minta bantuan untuk beberapa soal yang sulit,” balas gadis itu seraya mengeluarkan beberapa buku dari dalam tasnya.


Yumeji beranjak dari tempat tidur dan duduk di seberang meja berhadapan dengan gadis itu, “Bukan itu yang kumaksud... kenapa kau ada di dalam kamarku?” tanya pemuda itu kembali seraya memperhatikan Yui yang tengah membolak-balik halaman buku latihannya.


“Ah, yang ini yang mana?” Menghiraukan pertanyaan Yumeji, Yui menyodorkan buku tersebut ke hadapan pemuda itu.


“Yang salah tentang proses inspirasi? Sepertinya yang C, Harusnya rongga dada membesar...” ujarnya seraya mengembalikan buku itu kepada gadis di hadapannya.


“Ah terima kasih banyak... aku masih suka tertukar-tukar...” balas Yui, ia kemudian membuka halaman lain dan kembali menyodorkan buku itu kearah Yumeji, “Kalau yang ini?”


Trikuspidalis, kalau yang kiri baru bikuspid, dan hei... jangan mengalihkan pembicaraan.”


“Mengalihkan pembicaraan?” Yui menatap bingung kearah Yumeji.


“Sudahlah... lupakan...”


“Oh...” Yui menutup buku di hadapannya, “Kan kemarin kau bilang kalau mau masuk kamar ketuk dulu. Tadi aku sudah ketuk sebelum masuk,” lanjutnya.


Yumeji menghela nafas, “Yui, tahukah kau kalau itu artinya tunggu sampai diizinkan masuk baru masuk? bukan ketuk dan langsung masuk.”


“Hee? Kenapa harus begitu? Yanagi-nee saja tadi bilang, Yumeji ada di kamarnya, masuk saja. begitu...”


Orz... nee-san...


“Satu, ini mengenai privasi. Dua, ini common sense.Tiga, karena aku lebih tua-“


“Kau cuma lebih tua dua tahun dariku!” sela Yui.


“Empat,” Yumeji tidak mengindahkan kata-kata gadis itu, “Yui, coba bayangkan ketika kau sedang ganti baju dan aku tiba-tiba masuk. Apa yang akan kau lakukan?”


Gadis itu tampak berpikir sejenak, “Aku tidak tahu...” ujarnya kemudian.


“Seorang pemuda yang bukan keluargamu melihatmu telanjang, kau tidak malu?”


“Tentu saja malu! Tapi... Yuu-kun, aku sudah menganggapmu keluargaku sendiri.”


“Kalau begitu? Kau tidak keberatan kalau aku masuk ketika kau sedang berganti pakaian?”


Yui tersenyum dan mengangguk, “Tentu saja tidak. Lagipula, Yuu-kun tidak mungkin melakukan hal itu kan? Makanya, untuk aku tidak keberatan.”


Yumeji terdiam sejenak, ia memandang gadis di hadapannya sesaat sebelum memalingkan wajah “Well, trims... TAPI,” Ia melakukan chop pelan di kepala gadis itu, “Tetap saja itu melanggar privasi. Ketuk pintu dan tunggu jawaban dariku sebelum masuk lain kali.”


Seraya mengusap kepalanya sendiri, Yui mencibir, “Memangnya aku pernah masuk pas kau sedang berganti pakaian?”


“Sudahlah, aku menyerah berdebat denganmu,” Yumeji menghela nafasnya pasrah dan meraih tasnya yang tergeletak di pinggir tempat tidur.


Yui tertawa kecil sebelum kembali membuka bukunya dan mulai membuat catatan-catatan kecil di dalamnya.


Yumeji menarik keluar amplop yang tersimpan di dasar tasnya, perlahan ia merobek pinggir amplop tersebut dan membuka selembar kertas yang tersimpan di dalamnya.


Mid-Term Test Result

Name : Hiro Yumeji

Class : 2-1

Result: Math : 34

Physics : 46

Chemistry : 40

Biology : 98

English : 23

Japanese literature : 44

History : 38

P.E : 50

Total : 373

Rank : #155 of 189


Yumeji meremas kertas itu dan memasukkannya kembali dalam tas. Walau ia sudah mengetahui hasil yang ia peroleh, entah mengapa ia masih kesal ketika melihat isi surat tersebut.


Kalau sudah dipajang besar-besar, untuk apa diberikan pula dalam bentuk surat pribadi? gerutu pemuda itu dalam hati.


Dengan malas ia mengeluarkan beberapa buku catatan dan Textbook dari dalam tasnya lalu meletakkannya di meja. Ia meraih salah satu buku dan mulai membolak-balik halamannya.


Ayolah Hiro-san, aku tahu kalau kau mencoba serius kau pasti bisa. Tetap semangat dan sampai jumpa di kelas perbaikan! Kata-kata Hirano-sensei –wali kelas Yumeji- ketika memberikan surat itu di depan kelas kembali terngiang.


BILANG SAJA KAU MALU MEMILIKI MURID SEPERTIKU! pekik Yumeji dalam pikirannya sendiri.


“Yuu-kun.”


Mereka juga... kenapa menatapku seperti itu? mengasihaniku?


“Yuu-kun.”


Berpikir aku ini bodoh? Orang tolol yang merusak citra kelas?


“Hei Yuu-kun..”


Haha, aku tahu.. kalian pasti berpikir betapa idiotnya aku yang cuma bisa lulus satu materi ujian kan?


“Yuu-kun!!! Hei!” Yui mencubit pipi Yumeji dan menyadarkan pemuda itu dari lamunannya.


“Aw...” Yumeji meringis dan mengusap pipinya, “Ada apa sih. Tiba-tiba...”


“Geez... kau melamun lagi? kebiasaan deh.”


“Ah maaf maaf, kau tadi manggil? Ada apa? Ada yang mau ditanyakan lagi?” balas Yumeji cepat.


Yui menyodorkan bukunya kearah Yumeji dengan cemberut, “Kalau aku disini, jangan melamun kemana-mana dong,” gerutunya.


“Aku kan sudah minta maaf, ah ini Equisetum debile dia termasuk tumbuhan paku, bukan fungi. Kalau untuk soal seperti ini, kurasa tidak ada cara lain untuk menjawab kecuali kau menghapalkan spesies-spesiesnya. Kusarankan hapalkan yang paling umum seperti Saccharomyces cerevisiae, Aspergillus, ah kemarikan catatanmu, biar kutuliskan yang paling umum. Kau tinggal menghapalkan saja nanti.” Yumeji mengambil buku tulis Yui di atas meja dan mulai menulis di dalamnya.


Yui menatap Yumeji yang tengah asyik menulis, ia mengambil kembali buku latihannya dan mencoba mengerjakan soal-soal lain sambil sesekali melirik kearah pemuda itu.


“Yui.”


“Ah! Ya.. ya.. ada apa?” Yui tersentak kaget dan secara reflek menutup bukunya.


“Kau sudah menghafalkan struktur-struktur dasar sel beserta fungsinya?” tanya Yumeji tanpa berhenti menulis.


“Su-sudah... tinggal diulang-ulang saja biar tetap ingat...” balas Yui cepat.


“Fungsi-fungsi organ tubuh manusia?”


“Ah.. itu.. anu... belum sempat... tapi aku ingat organ-organ besar seperti paru-paru, jantung, walau tidak lengkap sih...”


“Mau sekalian kutuliskan?” tawar Yumeji.


Yui menggeleng, “Tidak usah, aku sudah mencatat. Ini sudah lebih dari cukup Yuu-kun.”


Yumeji menyodorkan buku catatan Yui, “Maaf... aku cuma bisa membantumu di biologi saja.”


“Tidak,” Yui menggelengkan kepalanya seraya teresenyum, “Kau selalu berkata kalau kau cuma membantuku di pelajaran biologi saja, tapi pada kenyataannya kau selalu membantuku di banyak hal lainnya.”


Yumeji hanya terdiam. Ia kembali fokus membaca textbooknya. Entah mengapa, ia merasakan kehangatan menyelimuti dirinya. Yumeji mengangkat textbook untuk menutupi wajahnya yang mulai menyunggingkan senyum.


Mata Yumeji kembali melirik Yui yang tengah berkutat dengan soal-soal di buku latihannya, ia telah mengenal Yui semenjak gadis itu pindah ke sebelah rumahnya ketika ia masih di kelas 3 sekolah dasar. Walau selalu seenaknya sendiri dan sering mengganggunya, entah mengapa ia tidak merasa keberatan dengan hal-hal konyol yang selalu gadis itu lakukan.


“Kenapa ya...” gumam Yumeji.


“Hm?” Yui mengalihkan perhatiannya kepada pemuda itu.


“Ah tidak-tidak... aku sedang memikirkan sesuatu,” balas Yumeji cepat.


“Lagi-lagi...” Yui mencibir, “Sebenarnya apa sih yang kau pikirkan daritadi? Kau makin sering melamun akhir-akhir ini... Atau jangan-jangan,” ekspresi Yui berubah bagaikan seakan-akan ia tengah terkejut.


“Jangan-jangan apa?” tanya Yumeji penuh selidik.


“Yuu-kun... kau sudah memiliki kekasih? Akhirnya... kukira masa itu tidak akan pernah datang. Akhirnya Yuu-kun telah mengalami masa pubertasnya.”


“Jangan memikirkan hal yang tidak mungkin, dan lagi masa pubertas tidak ditentukan dengan seseorang memiliki kekasih atau tidak. Kau bisa melihat seseorang memasuki masa pubertas dengan munculnya-”


“Ya, ya, aku tahu, aku tahu, jangan mulai lagi deh,” potong Yui. Gadis itu kemudian terkikik kecil sebelum kembali berkata, “Tapi syukurlah, kukira kau baru saja memiliki kekasih atau setidaknya... kau tengah mengincar seseorang.”


“Memang kenapa? Kau cemburu kalau aku benar-benar memiliki seorang kekasih?”


“Bagaimana ya...” Yui tampak berpikir sejenak, “Mungkin saja, karena kau pasti akan sibuk dengan gadis itu dan tidak ada yang mau mengajariku lagi.”


“Pada akhirnya kau memikirkan keuntunganmu sendiri ya, dasar,” Walau menggerutu, Yumeji tidak dapat menahan untuk tidak tersenyum.


“Hehe...”


Selama beberapa saat, keduanya kembali terdiam sampai Yumeji melihat jam di pojok kamarnya dan berkata, “Sudah hampir setengah dua belas, sebaiknya kau pulang Yui. Kau harus istirahat juga.”


“Eh? Aku tidak boleh menginap?”


Yumeji melambaikan tangannya seolah-olah memanggil Yui dan kemudian menyentil dahi gadis itu, “Pulang,” ujarnya.


“Yuu-kun kejam...” gerutu Yui seraya mengusap-usap dahinya.


“Seorang laki-laki dan perempuan yang belum menikah tidak boleh tidur bersama di bawah satu atap,” lanjut Yumeji lagi.


“Tapi... kau dan Yanagi-nee-“


“Kami kakak-adik,” balas Yumeji sebelum Yui menyelesaikan kalimatnya.


“Kalau begitu ayo kita menikah!”


Dan Yui kembali menerima chop di kepalanya.


“Berhenti bercanda, ini sudah hampir tengah malam. Kalau kurang tidur kau bisa mengantuk di kelas besok.”


Yui mengangguk dan merapikan buku-bukunya lalu memasukkannya kembali ke dalam tas kain yang ia bawa, “Akan kuantar kau pulang,” ujar Yumeji yang bangkit lebih dulu dari gadis itu.


“Eh, tidak usah. Rumahku di sebelah. Aku bisa sendiri kok.”


“Nee-san akan membunuhku kalau tahu aku tidak memastikan kau memasuki pintu rumahmu.”


Part 5

“Terima kasih banyak, Yuu-kun,” ujar Yui begitu mereka sampai di pagar depan rumah gadis itu.


“Ah tidak, justru aku yang minta maaf karena tidak bisa banyak membantumu,” balas Yumeji. Keduanya terdiam, sampai akhirnya Yumeji membalikkan badan seraya berujar, “Nah, selamat tidur.”


Namun, Yui mencengkram ujung baju Yumeji dan membuat pemuda itu kembali berbalik menatap gadis itu, “Eh? Ada apa? Ada yang kelupaan?”


Yui menyunggingkan senyumnya kearah Yumeji. Tangan gadis itu mengelus pelipis Yumeji yang masih memar.


“Kau tahu Yuu-kun? Kau selalu berkata tidak berguna, ataupun tidak peduli dengan orang lain. Walau pada akhirnya, kau selalu berusaha menolong mereka.”


Yumeji menggeleng, “Kau salah menilaiku... aku tidak sebaik yang kau pikirkan, dan ini-“


“Tidak,” Yui menyela kata-kata Yumeji, “Apapun yang menyebabkanmu begini, aku tahu kau tidak akan berkelahi jika bukan karena orang lain.”


“Kau salah. Ini... ini karena aku terpeleset ketika berjalan pulang tadi.”


“Sampai akhir pun kau tetap berbohong demi orang lain kan? Yuu-kun?”


Yui membungkuk sebelum mengucapkan “Selamat tidur,” dan berlari kecil memasuki rumahnya.


Yumeji memperhatikan sosok gadis itu memasuki rumahnya. Gadis itu melambai kecil kearahnya sebelum menutup pintu dari dalam. Meninggalkan Yumeji sendirian di luar.


“Mementingkan orang lain...” gumam Yumeji. Mata pemuda itu menatap kosong kearah langit malam, “Tidak, tidak mungkin aku melakukan hal bodoh semacam itu.”