The Warmth of Your Smile:Volume00 01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 01 - The Usual Night

Part 1

Hiro Yumeji memasukkan buku-buku dari dalam loker meja ke dalam tasnya. Menyadari ada salah satu bukunya yang hilang, ia berjalan ke tong sampah di pojokan kelas dan menemukan apa yang ia cari di dalamnya. Pemuda itu menghela nafas, matanya beralih ke luar jendela memandangi langit yang sudah mulai kemerahan sebelum akhirnya berjalan keluar dari kelas dan meninggalkan gedung sekolah.


“Sudah hampir musim dingin,” gumam pemuda itu ketika melewati barisan pohon sakura di halaman sekolahnya yang sebagian besar bunganya sudah jatuh berguguran.


Langkah Yumeji terhenti ketika ia mendekati gerbang sekolah, Lagi-lagi... Tidak bisakah aku tidak bertemu mereka satu hari saja? pikirnya. Ia memperhatikan tiga orang pemuda yang berdiri dan mengobrol sambil sesekali tertawa di depan gerbang sekolah yang merupakan satu-satunya akses keluar masuk dari tempat tersebut.


Seraya menyembunyikan dirinya di belakang pohon, mata pemuda itu tetap memperhatikan ketiga pemuda yang masih terus mengobrol dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan pergi dari tempat itu.


Bagaimana kau akan mengalahkan sainganmu bila kau sendiri takut dengannya?


Kata-kata itu muncul dalam kepala Yumeji. Namun pemuda itu menggelengkan kepalanya dan tetap bersembunyi di belakang pohon sambil terus melihat kearah gerbang.


Kau sama halnya dengan manusia sampah lainnya apabila ketakutan menghadapi seonggok sampah.


Yumeji kembali menghela nafasnya, “Aku tidak sama dengan mereka...” Ia menganggukkan kepalanya, lalu berjalan dengan cepat menuju gerbang sekolah.


Perhatian ketiga pemuda itu langsung teralihkan oleh sosok Yumeji yang berjalan kearah mereka. Ketiganya kemudian saling berbisik satu sama lain sebelum akhirnya mengangguk dan kembali memusatkan perhatian kepada Yumeji yang semakin mendekat.


“Wah... sore sekali calon ilmuwan kita ini pulang. Apa yang habis kau lakukan? Meledakkan labolatorium? Atau mencumbui tikus percobaan?”


Yumeji tidak mengacuhkan kata-kata tersebut dan terus berjalan. Namun, salah seorang dari ketiga pemuda tersebut kini berdiri di hadapannya dan menghalangi jalannya.


“Bisakah kau minggir Shimoda? Ada yang sesuatu harus kulakukan,” Yumeji berujar pelan dan berusaha memutar menghindari orang tersebut. Pemuda yang menghalangi jalannya itu ikut bergerak menjaga agar ia tidak dapat lewat.


“Sombongnya... Berani sekali memberikan perintah padaku. Kalau aku tidak mau, lalu kau mau apa?”


“Terserahlah...” Yumeji mengepalkan tangannya dan berusaha untuk tetap tenang, “Aku tidak peduli, cukup biarkan aku lewat,” lanjutnya lagi seraya berusaha memutari tubuh besar penghalangnya.


Tangan besar Shimoda dengan cepat mencengkram kerah baju Yumeji dan menarik pemuda itu mendekati wajahnya, “Kau jadi semakin sombong ya sekarang,” geramnya. Ia kemudian menghempaskan Yumeji, membuatnya jatuh terduduk di tanah, "Jangan kira kau bisa seenaknya hanya karena bisa mengalahkanku dalam ujian tengah semester biologi kali ini."


“Ujian?” Yumeji kembali teringat ketika ia melihat papan pengumuman nilai siang tadi. Sekolah mereka memiliki kebiasaan untuk memajang nilai ujian tengah dan akhir semester di papan pengumuman dimana mencantumkan nilai ujian persubjeknya beserta peringkat setiap siswa.


Pemasangan nilai ujian secara rinci ini diterapkan agar siswa mengetahui kelemahan dan kelebihan mereka masing-masing, sekaligus dapat mencari siswa lain yang dianggap menguasai subjek tertentu agar dapat membantu mengajari mereka.


Yumeji sendiri walau gagal hampir semua subjek lain, ia berhasil mempertahankan nilai biologinya sebagai nilai tertinggi selama dua tahun berturut-turut.


Senyum terbentuk di wajah Yumeji, “Hoo... Kali ini? kapan kau pernah mengalahkanku?” tanya pemuda itu seraya berdiri dan menepuk-nepuk celananya.


Sebuah pukulan bersarang di tubuh pemuda itu, telak mengenai ulu hatinya. Yumeji kembali jatuh seraya memegangi perutnya.


“Apa yang membuatmu berpikir dapat sombong dariku? Bukankah kau sampah yang gagal di 7 subjek lain? Orang sepertimu tidak pantas mendapatkan rekomendasi ke Universitas Tokyo. Kau hanya akan merusak prestasi mereka.”


Dua orang yang berdiri di belakang Shimoda berjalan mendekati Yumeji dan tersenyum mengejek.


“Masih bermasalah dengan itu tuan ketua osis? Kecewa karena aku yang ditawari rekomendasi itu dan bukan dirimu? tuan-serba-sempurna?” Yumeji membalas sinis.


“Kecewa? Karena kalah dengamu? Haha lucu sekali,” Shimoda tertawa dengan kesan dipaksakan, “Terbayangpun tidak!” ia kemudian menendang perut Yumeji dan membuatnya tersungkur. Merasa tidak cukup, ia menginjak tubuh pemuda itu.


“Penerima rekomendasi itu masih belum ditentukan. Jangan sombong hanya karena kau ditawari lebih dulu. Pada akhirnya kaulah yang akan jadi pecundang.”


“Te-terobsesi sekali ya?” Yumeji dengan susah payah mengangkat kepalanya dan kembali memandang ketiga orang tersebut dengan sinis, “Aku tidak butuh hal seperti itu... j-jangan samakan aku dengan pengecut sepertimu yang cuma bisa bermain aman di balik rekomendasi sekolah. Aku tidak membutuhkan hal semacam itu."


Hal yang berikutnya terjadi, Yumeji menerima tendangan lagi di tubuhnya. Kedua orang lainnya bersiap melayangkan tendangan juga tepat ketika seseorang berlari dan berteriak kearah mereka.


“HEI! SEDANG APA KALIAN!”


Shimoda menoleh dengan cepat dan mengumpat kecil. Ia menarik lengan Yumeji dan memaksanya berdiri, “Ah Sensei...” ujarnya ketika seorang pria dengan kemeja putih lengan panjang yang digulung sampai siku dan celana kain hitam mendekati mereka.


“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya pria itu penuh selidik. Alisnya terangkat sebelah.


“Ah Hiro-san habis dipukuli oleh berandalan yang memalaknya. Karena kebetulan melihat, jadi kami tolong,” balas Shimoda dengan tenang. Ia menepuk pundak Yumeji dan berkata, “Kau tidak apa-apa kan sobat?”


Yumeji hanya diam.


Kalau kau melaporkannya, kau sama rendahnya dengan mereka


Pikiran itu melintas dalam kepalanya, ia kemudian menggeleng dan berkata, “Aku tidak apa-apa,” seraya menepis tangan Shimoda.


“Berandalan di area sekolah kita?” Pria itu menatap mereka dengan curiga.


“Sepertinya orang luar, saya tidak melihat mereka mengenakan seragam dan saya tidak mengenali wajah mereka,” balas Shimoda lagi.


“Apakah itu benar Hiro-san? Kau tidak membuat masalah kan?”


“Tidak... Cuma kebetulan lewat..” balas Yumeji pelan.


“Kalau begitu Hiro-san, Sensei, kami pamit duluan. Masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Permisi,” Shimoda membungkuk diikuti oleh kedua orang rekannya dan langsung berjalan cepat meninggalkan tempat tersebut.


Pria itu kembali mengalihkan perhatiannya kearah Yumeji, “Kau baik-baik saja? Perlu kuantar pulang?” tawarnya.


Yumeji menggeleng, “Saya baik-baik saja,” ujarnya. Ia merapikan pakaiannya dan menepuk-nepuk bagian yang kotor sebelum akhirnya membungkuk dan berkata, “Kalau begitu, saya pergi dulu. Terima kasih atas tawarannya sensei.”


Dan iapun berlalu.



Part 2

SAMPAH! SIAL! SIAL! SIAL! SIAL! SIAL! Yumeji terus mengumpat dalam pikirannya sendiri. Ia berjalan cepat menyusuri pusat kota yang padat dipenuhi orang-orang yang melintas walau hari sudah mulai gelap.


SUNGGUH MEMUAKKAN! IRI, DENGKI, KESOMBONGAN, MANUSIA DILAHIRKAN DENGAN BERBAGAI DOSA... DAN BAGAIMANA BISA MEREKA HIDUP BANGGA DENGAN DOSA-DOSA TERSEBUT?


Yumeji menghentikan langkahnya ketika tiba di perempatan jalan dan menunggu lampu pejalan kaki berubah hijau. Ia menatap langit dan bergumam, “Ironisnya... aku terlahir sebagai manusia...”


Lampu berubah hijau, Yumeji kembali berjalan dengan kepala tertunduk. Sesekali, seseorang menubruk bahu pemuda itu, dan ketika itu terjadi ia akan kembali mengumpat dalam pikirannya.


Sungguh tolol, rela menjadi binatang demi kertas-kertas dengan nominal tertera di atasnya.


Yumeji berhenti sejenak dan melihat kearah dua orang pemuda yang tengah membalik dan mengeluarkan seluruh isi tas seorang siswa yang mengenakan seragam sekolah yang sama dengannya di dalam gang kecil diantara dua toko.


Kedua orang tersebut menyadari tengah diperhatikan. Mereka berbalik dan mendapati Yumeji yang masih terus melihat kearahnya. Salah seorang dari mereka berjalan mendekati Yumeji dan lagi-lagi kerah baju pemuda itu dicengkram dengan kasar.


“Ada masalah?”


Yumeji menepis tangan itu, ia berbalik dan kembali berjalan seraya bergumam, “Dasar sampah.”


Sayangnya, umpatan tersebut terdengar oleh orang yang mencengkram kerah baju Yumeji tersebut. Yumeji merasakan seseorang menarik tangannya. Dan yang ia ketahui berikutnya, ia terpental oleh sebuah pukulan di wajahnya.


Darah mengalir dari hidung pemuda itu, ia segera bangkit dan menghapus darah itu dengan punggung tangannya.


Pemuda yang memukul Yumeji berjalan mendekatinya lalu kembali melayangkan pukulan di wajahnya. Hanya saja, kali ini Yumeji cuma sedikit terdorong dan tidak terpental jatuh.


LAWAN DIA! BERHENTILAH JADI PENGECUT YANG CUMA BISA BICARA DAN MENGGERUTU!


Kata-kata itu menggebu-gebu dalam pikiran Yumeji. Ia mengepalkan tangannya. Setelah beberapa saat, pemuda itu menarik nafas panjang dan menghembuskannya. Pada akhirnya, ia hanya berujar pelan, “Cuma bisa main fisik?”


Merasa terejek, pemuda itu kembali menghampiri Yumeji dengan geram dan bersiap menghajarnya lagi. Namun, ia memutuskan untuk tidak melakukannya ketika menyadari orang-orang mulai berkerumun di sekitar mereka.


“Hei hei... mereka berkelahi kah?”


“Kasihan sekali anak sekolah itu... wajahnya luka-luka begitu.”


“Dia dipukuli berandalan itu kah?”


“Apa tidak sebaiknya dibantu?”


“Eh, di dalam gang itu juga kayanya ada yang dipalak deh...”


“Mana mana? Aku mau lihat seperti apa berandalannya...”


Orang-orang mulai berbisik satu sama lain, kedua berandalan yang mulai resah itu pada akhirnya menggeram kecil sebelum berjalan cepat meninggalkan tempat tersebut.


Kerumunan mulai membubarkan diri, Yumeji kembali berdiri dan berjalan pergi.


“Tu-tunggu sebentar!" Yumeji menoleh dan mendapati pemuda yang tengah dipalak tadi berusaha mengejarnya, "Terima kasih banyak... berkatmu, aku tidak kehilangan apa-apa” ujar pemuda itu.


"Ah ya," balas Yumeji tidak tertarik dan kembali memandang lurus kedepan tanpa mengucapkan apa-apa lagi.


“Ah namaku Yamato Takao. Sekali lagi, terima kasih banyak atas bantuannya.”


“Hiro Yumeji,” balas Yumeji cepat tanpa menoleh seraya mempercepat jalannya. Setelah berjalan beberapa lama, ia berhenti dan menoleh kebelakang, memastikan Yamato Takao yang merasa ditolong olehnya sudah tidak ada sebelum pada akhirnya ia kembali berjalan dan memasuki stasiun.



Part 3

“Kalian tahu? Hari ini Takato, atau apalah namanya dari kelas 2-4 menyatakan cinta kepada ketua loh!”


“Eeeeehhh? Otaku itu? kau tidak menerimanya kan ketua?”


“Tidak... kan sudah kukatakan aku ingin fokus belajar.”


“Syukurlah ketua... menjijikkan sekali kalau harus berpacaran dengan orang seperti itu..”


“Bukan begitu... aku hanya tidak ingin berpacaran...”


“Tapi... ini sudah keenam kalinya kan bulan ini ada yang menyatakan cinta ke ketua kan? sampai seorang otaku juga...”


“Apa yang kalian harapkan dari ketua?”


Yumeji berdiri bersender di salah satu tiang bangunan menunggu kereta berikutnya datang, tak jauh dari tempatnya, beberapa gadis sekolah mengobrol ceria sambil sesekali terkikik.


Tidak adakah hal lain dalam pikiran mereka selain berkembang biak?


Ia menyentuh pipinya sendiri, namun secara langsung menarik tangannya kembali disertai rintihan “Aw,” pelan.


“Dua kali dipukuli hari ini...” gumam Yumeji. Ia kembali memegangi perutnya yang masih sedikit nyeri, “Sungguh tolol, manusia menganggap kekuatan segalanya dan lupa kalau mereka punya otak.”


Yumeji mengepal-ngepalkan tangannya, Mungkin aku memang harus belajar bela diri, pikirnya.


Shimoda kembali muncul dalam pikiran pemuda itu. Ketua osis sekaligus murid teladan sekolah yang mungkin disukai oleh seluruh siswa di sekolah, kecuali dirinya.


Shimoda Hagimura, ketua osis sekolah yang selalu meraih rangking satu di seluruh subjek yang diujikan di sekolah mereka. Kecuali pada subjek biologi yang mana tidak ada satupun siswa yang sanggup mengalahkan Yumeji. Dari sanalah Yumeji mengetahui sifat asli Shimoda, laki-laki itu tidak suka dikalahkan.


Semuanya bertambah buruk semenjak wakil kepala sekolah menemui Yumeji. Setelah berdiskusi panjang,ia mengungkapkan ketertarikannya terhadap kepintaran dan daya analisis Yumeji walau hanya dalam satu subjek, ia juga mengatakan bahwa akan merekomendasikan Yumeji ke Universitas Tokyo apabila ia berminat melanjutkan karir di bidang yang paling ia kuasai tersebut.


Entah bagaimana Shimoda dapat mengetahui semua itu. Semenjak saat itu, ketua osis itu makin sering menyiksa Yumeji. Fakta bahwa dia murid teladan di sekolah sekaligus ketua osis yang disegani seluruh murid melindungi kenyataan atas apa yang telah ia lakukan. Bukan sekali dua kali buku-buku pemuda itu menghilang dan ditemukan begitu saja di tong sampah dalam kedaan rusak, ia pun pernah dikunci dalam ruang peralatan dan harus menunggu penjaga sekolah untuk membukakan pintu ketika patroli malam.


Kekerasan fisik dan verbal adalah yang paling sering pemuda itu terima. Walau demikian, ia tidak pernah melapor atau bercerita kepada orang lain. Selain karena tahu bahwa tidak akan ada yang percaya, pikiran Aku tidak sudi kalau harus dibantu menangani sampah seperti itu selalu muncul dalam benaknya.


“Ah... aku masih harus mengikuti ujian perbaikan minggu depan,” gumam Yumeji menghentikan lamunannya. Tepat pada saat itu, kereta datang dan Yumeji berdesakan masuk.


Keadaan dalam kereta sangat padat oleh pria dan wanita dengan pakaian rapi yang tampak baru pulang bekerja. Pada beberapa sisi siswa-siswa sekolah mengobrol pelan satu-sama lain, memainkan telepon genggam mereka atau sekedar membaca buku.


Yumeji mengeluarkan MP3 player dari dalam tasnya, dan tiba-tiba seseorang menyenggol pemuda itu, membuatnya menjatuhkan MP3 player tersebut.


Mengutuk kecil, Yumeji bersusah payah berusaha untuk membungkuk dan mengambil benda tersebut. Ketika ia berhasil meraihnya, mata pemuda itu menangkap tangan seorang pria paruh baya yang berusaha menyusup ke dalam rok seorang gadis berseragam sekolah di depannya.


Molester?


Tangan Yumeji yang bebas bergerak secara reflek menahan tangan pria tersebut.


“A.. apa-apaan kau?”


Yumeji tidak mengindahkan kata-kata pria itu, ia tidak melepaskan cengkramannya dan menatap dingin kearah pria tersebut.


Gadis di depan Yumeji menoleh, ia melihat tangan Yumeji yang masih mencengkram erat tangan pria paruh baya yang berada sangat dekat dengan roknya. Seakan mengerti, gadis itu berusaha bergerak lebih maju dan mengucapkan “Terima kasih,” pelan sebelum akhirnya kembali mengobrol pelan dengan teman-temannya.


Pria itu menatap kesal kearah Yumeji yang tetap tidak peduli dan sekarang tengah memasang earphone di telinganya.



Part 4

“Furukami.... pemberhentian berikutnya Furukami...”


Yumeji tidak mendengar pengumuman itu. Earphone yang terpasang di telinganya menghasilkan suara yang cukup keras untuk mencegahnya mendengar suara lain selain yang benda itu hasilkan. Namun, mata pemuda itu tetap menatap lurus keluar jendela kereta yang melaju.


Kereta perlahan-lahan melambat dan akhirnya berhenti. Begitu pintu terbuka, Yumeji segera melompat turun dan melepas earphonennya sebelum berjalan meninggalkan stasiun.


“Sudah gelap,” gumam pemuda itu seraya menengadah, menatap kearah langit. Ia kemudian mengeluarkan telepon genggamnya sekedar untuk mengecek waktu, “Sudah jam setengah delapan rupanya...” Menghiraukan getaran yang terus muncul, Yumeji kembali memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas.


Memasuki kompleks perumahan, jalan mulai sepi dari pejalan kaki lainnya. Sesekali cahaya kendaraan bermotor yang melintas memberikan penerangan tambahan dari lampu jalan yang ada. Yumeji berbelok dan memasuki minimarket 24 jam.


“Selamat datang...” sapa seorang gadis muda dengan seragam khas minimarket tersebut dari balik meja kasir. Yumeji tidak mengacuhkannya.


Pemuda itu berjalan lurus kearah kulkas toko tersebut dan mengambil kopi kalengan. Sebelum menuju kasir, ia mengambil dua bungkus roti di rak sebelah kulkas.


“Semuanya 420 yen, ada tambahan lainnya?”


Yumeji menggeleng, ia menyodorkan selembar uang seribuan kepada gadis yang menjaga kasir itu. Gadis itu mengambil uang tersebut dan dengan cekatan memasukkan dan mengambil kembalian untuk Yumeji dari dalam mesin kasir.


“Kembaliannya 580 yen, terima kasih banyak dan silakan datang kembali.”


Keramahan akan dilakukan manusia apabila ada yang mereka inginkan... tidak ada satupun manusia yang ramah kepada orang yang tidak mereka kenal kecuali jika ada maksud tertentu.


“Maaf tuan? Ada masalah?” tanya gadis penjaga kasir itu bingung ketika pemuda di hadapannya diam tak bergeming.


“Ah tidak ada, tidak apa-apa,” balas Yumeji cepat seraya mengambil kembalian serta bungkusan belanjaannya dan langsung meninggalkan minimarket.


“Manusia...” Yumeji kembali bergumam sendiri ketika berjalan. Ia kembali berbelok dan memasuki taman bermain kecil. Pemuda itu duduk di bangku taman tersebut dan memakan roti yang ia beli.


Merasakan telepon genggamnya kembali bergetar, ia mengeluarkan benda itu dari dalam tasnya,


Incoming call – Yanagi Hiro


“Nee-san?” Yumeji tidak mengangkat teleponnya, ia tetap menikmati roti kedua yang ia beli dengan tenang sampai getaran yang dihasilkan telepon genggamnya berhenti dan ia mendapati 14 missed call dari nomor yang sama.

Tak berapa lama, telepon genggamnya kembali bergetar. Kali ini hanya sebuah e-mail yang masuk.



Kau dimana?

Kalau sudah dekat kabari, aku akan memanaskan kare untukmu.


-Yanagi-



Yumeji menutup pesan itu, Tidak usah peduli padaku seperti ini... kau bukan-


Jantung Yumeji seakan berhenti berdetak sesaat. Potongan memori memaksa masuk dalam kepalanya. Pada akhirnya, ia menggelengkan kepalanya dan menghela nafas. Setelah menghabiskan kopi kalengnya dan membuang semua sampah di tong sampah taman tersebut, ia kembali berjalan menyusuri area tersebut.


“Semoga hari ini dia ada...” gumamnya.


Dua rumah dari rumah di depan taman.... Yumeji berhenti di depan sebuah rumah dengan cat putih yang hampir menutupi seluruh bagian luar rumah. Pemuda itu mendongak kearah jendela di lantai dua rumah tersebut.


Ia bernafas lega, seorang gadis dengan rambut coklat panjang dan piyama merah muda tampak duduk di dekat jendela itu, menatap lurus keluar jendela. Untuk beberapa saat Yumeji memandangi gadis itu sebelum akhirnya keberadaannya disadari. Gadis itu mengalihkan perhatiannya kearah Pemuda itu dan tersenyum kepadanya.


Yumeji membalas senyuman itu.



Part 5

“Aku pulang...”


“Darimana saja kau?” Seorang gadis dengan celana pendek dan kaus putih tanpa lengan berkacak pinggang di depan Yumeji begitu pemuda itu memasuki rumah.


“Sekolah,” jawab Yumeji singkat. Ia kemudian berjongkok dan membalik sepatunya menghadap kearah pintu.


“Aku tahu... he-hei... wajahmu kenapa? Kau berkelahi?”


“Tidak, tidak apa-apa, jangan dihiraukan..” balas Yumeji cepat. Namun gadis itu menarik tangan Yumeji dan mendudukkan pemuda itu di kursi dekat dapur.


“Tunggu sebentar,” ujarnya. Ia mengambil kotak obat dari atas lemari dan mengeluarkan kapas. Ia lalu menuangkan air panas dari termos ke dalam mangkuk dan mencelupkan kapas tersebut ke dalamnya sebelum menempelkannya pada luka memar di wajah Yumeji, “Kau tidak apa-apa kan? Apa kau punya masalah? Mau menceritakannya?”


Yumeji menggeleng, “Tidak ada apa-apa...” ujarnya pelan.


Gadis itu tersenyum, ia mengacak rambut Yumeji dan berkata, “Aku belum memanaskan kare untukmu. Kau tidak menghubungi sih...”


“Ah, tidak apa-apa nee-san... aku sudah makan malam. “


“Heee.... adik kecilku sudah berani makan malam dengan orang lain? Boleh aku tahu siapa orang itu?” tanya Yanagi penuh selidik.


“Roti dari minimarket... Cuma lagi ingin saja.”


“Walau demikian,” Yanagi menyalakan api kompor untuk menghangatkan kare dalam panci di atasnya, “Kau harus makan yang cukup. Mandilah dulu selagi aku menyiapkan makan malam. Aku sudah mempersiapkan air panas juga.”


Yumeji mengangguk. Ia memperhatikan kakaknya yang sibuk sendiri di dapur, “Terima kasih nee-san,” ujarnya yang dibalas senyuman kakaknya itu.