The Lonely Moon And The Single Star:Volume00 3

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Our Colors of Memories

Part 1

Saat seseorang diberikan kesempatan untuk menukar apapun dalam hidupnya dengan sesuatu yang lain, tak banyak orang yang memikirkan ‘pertukaran’ itu untuk kepentingan selain kepentingan diri mereka sendiri.


“Aku menginginkan perdamaian dunia.”

“Aku menginginkan kebahagiaan bagi orang-orang yang kukasihi.”

“Aku harap semua orang di dunia ini bisa saling mengerti satu sama lain.”

“Aku harap orang-orang yang kesulitan hidup di belahan dunia sana dapat tertolong.”


Berapa banyak manusia di dunia ini yang dapat menukar apapun miliknya dengan permintaan seperti itu?

Saat ini, di sebuah tempat di mana tak seorang pun tahu keberadaannya, seorang pria dan wanita tengah memikirkan hal tersebut.

Mereka berdua –entah manusia atau bukan- adalah ‘pemilik’ dari sebuah pegadaian yang disebut dengan Pegadaian Semesta. Konon katanya, pegadaian ini menerima APAPUN untuk ditukarkan, mulai dari harta benda, wajah, ketenaran, hingga jiwa manusia. Namun, keberadaan pegadaian ini sendiri adalah sebuah misteri. Hanya di saat-saat tertentu dan di hadapan orang-orang yang ‘terpilih’ sajalah pegadaian ini akan muncul, dan menawarkan transaksi pertukaran dengan orang-orang tersebut.

“Tapi ini aneh, benar-benar aneh,” kata si wanita cantik yang bernama Rena tersebut. Nada bicaranya menunjukkan bahwa saat ini, ia tengah berbeda pendapat dengan pria yang ada di hadapannya. “Aku tahu bisnis kita memang bisa menukarkan apa saja... Tapi kenapa kau menerimanya? Maksudku, orang itu tidak terlihat istimewa, dan aku juga belum pernah mendengar tentangnya... Dan kau menerima pertukaran seperti itu? Jelaskan padaku, Alex.”

Pria bernama Alex itu hanya terdiam. Sorot matanya yang dingin dan raut mukanya yang tanpa ekspresi itu membuat siapapun tidak akan bisa mengerti apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Walaupun Rena terus menatapnya dengan tatapan antusias, Alex hanya sesekali menggerakkan matanya ke sana kemari untuk menghindari tatapan Rena, sebelum akhirnya membuka mulutnya untuk mengucapkan beberapa patah kata.

“...lihat saja nanti, dan kau akan mengerti..”


Part 2

Dunia ini adalah dunia di mana manusia adalah manusia, waktu adalah waktu, dan hidup adalah hidup.

Tempat yang normal, bukan? Tentu saja begitu. Mana ada manusia yang bisa hidup di dunia yang tidak normal? Kecuali bila mereka memang tidak normal, atau pengarang cerita mereka sengaja membuat cerita yang tidak normal.

Seperti apakah sesuatu yang bisa disebut normal?

Manusia terlalu banyak menetapkan standar yang sebenarnya hanya membuat kehidupan mereka lebih rumit. Manusia harus berpakaian? Bahkan manusia sendiri lahir tanpa pakaian. Manusia harus bersekolah dari kecil? Zaman dulu orang tidak perlu sekolah untuk bisa hidup. Manusia hidup dengan uang? Bah, kalau seluruh uang di dunia ini musnah, apakah seluruh manusia di muka bumi ini juga akan musnah?

.

Luna menutup buku catatan kecil miliknya setelah menuliskan ‘pemikiran’nya tentang dunia hari ini. Merasa puas dengan apa ia tulis barusan, ia pun tersenyum dan memasukkan buku tersebut ke dalam tasnya.

“Yo, Luna! Pagi!”

Suara seorang laki-laki terdengar dari belakang Luna. Ia menoleh, dan mendapati sosok seorang laki-laki yangmengenakan seragam sekolah yang sama dengannya. Laki-laki itu bernama Stern, teman masa kecilnya yang kini tengah mendorong sebuah sepeda butut menuju ke arahnya.

“...Stern, entah aku harus merasa kasihan atau tertawa setiap kali melihatmu menaiki sepeda itu.. Tidak bisakah kau jual atau gadaikan saja sepeda itu, lalu membeli sepeda baru?” ujar Luna pada laki-laki bernama Stern tersebut.

“Kejam! Begini-begini, sepeda ini adalah bukti nyata bahwa kendaraan tanpa mesin bisa hidup lebih lama daripada sampah-sampah penghasil polusi, tahu!” protes Stern ketika mendengar ucapan Luna. “ Dan bukannya membalas salamku, kau malah langsung mengomentari tentang sepeda ini... Kau buang ke mana persahabatan kita sejak kecil?”

Luna menggeleng-gelengkan kepalanya seraya berjalan meninggalkan Stern.

“....? Oi, Luna! Luna Albtraum! Oooooiiiiii~!” panggil Stern.

“Aku dengar, aku dengar! Sudahlah, kalau memang ingin mengobrol, lakukanlah sambil berjalan! Kita bisa telat kalau aku harus menunggu kau dan sepeda bututmu itu.”

“Bukan begitu! Luna, ada yang harus kukatakan padamu sekarang! Penting!”

Luna melirik kembali ke arah Stern, yang kini malah terlihat ragu-ragu untuk menatap ke arahnya. Stern menggaruk-garuk kepalanya sambil tersenyum seperti badut, kemudian berkata,

“Boleh pinjam uang? Ban sepedaku dua-duanya bocor dan joknya rusak, jadi...”

.

Tanpa menghiraukan kelanjutan dari kalimat Stern, Luna kembali berbalik dan berlalu.


Part 3

Saat ini adalah waktu pulang sekolah, dan entah kenapa, Luna masih terjebak di dalam ruangan kelas yang kini hanya berisi dirinya, dan seorang anak laki-laki sebayanya yang bernama Stern.

Kosong.

Seisi kelas tersebut sudah pulang, tentunya. Kalaupun masih ada yang belum pulang, mungkin mereka sedang berada di klub mereka masing-masing, karena jelas kelas itu saat ini cukup kosong, bila tidak menghitung keberadaan Luna dan Stern.

Hening.

Dua orang siswa dan siswi SMA itu hanya terdiam, saling menatap tanpa bersuara sama sekali. Sang pemuda sesekali menunduk, kemudian menatap kembali si pemudi dengan tatapan entah malu atau menyesal. Sementara sang pemudi, matanya menatap tajam ke arah pemuda, seolah-olah tak rela kalau satu saja gerakan si pemuda tersebut luput dari penglihatannya saat ini.

“Jadi, jelaskan padaku,” kata Luna dengan suara pelan, namun dalam dan menusuk. “Apa maksud perkataanmu barusan?”

“A-aku hanya ingin tahu saja... Perumpamaan, ya, seandainya! Anggap saja pertanyaanku itu hanya seandainya!” jawab Stern gugup.

“Seandainya dunia ini di ambang kehancuran, kau menanyakan apakah aku mau mengikutimu menjelajahi seluruh dunia? Pertanyaan macam apa itu?”

“A-aku serius! Eh, maksudku, iya, aku serius ingin tahu jawabanmu...”

Luna terdiam sesaat, kemudian bertanya,

“Apakah ini ada hubungannya dengan pernyataan cintamu minggu lalu?”

.

Hening kembali.

Kini, Stern semakin berusaha menghindari tatapan mata Luna. Namun perempuan itu bisa melihat dengan jelas, bahwa kini wajah laki-laki yang ada di hadapannya telah memerah hingga ke telinga.

“...Stern, aku bukannya tidak ingin menjawab pernyataanmu waktu itu.. Tapi untuk saat ini, ada banyak hal yang lebih menyita perhatianku daripada soal hubungan percintaan seperti itu. Lagipula, kalaupun aku menjawab iya, aku ragu interaksi dalam keseharian kita juga akan berubah.”

Seketika Stern mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Luna, dengan tatapan seperti seekor anak anjing yang baru saja dibuang pemiliknya.

“Kalau begitu, bisakah kau beritahu padaku, hal apa yang saat ini tengah menyita perhatianmu?”

“Kenapa aku harus memberitahumu?”

“Kau harus!” Kali ini Stern berkata dengan nada mendesak. “Belakangan ini rasanya terlalu banyak hal yang kau tutup-tutupi dariku! Tidak peduli apa jawabanmu terhadap perasaanku, kita tetap teman sejak kecil kan?! Kukira aku dan kau benar-benar saling percaya...”

Wajah Stern kembali menunduk, seolah-olah ada sesuatu yang salah dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Melihatnya, Luna pun menghela napas pelan dan mengelus kepala Stern.

“..?”

“Stern, maaf.. Belakangan ini, aku meragukan sesuatu yang besar.. Sesuatu yang mungkin di luar jangkauanku sendiri, yaitu dunia-ku. Terkadang, aku merasa bahwa tempatku yang sebenarnya bukan di sini, dan sering pula aku berpikir bahwa mungkin keberadaanku di dunia-dunia yang ada di dalam ingatanku hanyalah mimpi belaka..”

Luna terus mengelus kepala Stern, seolah tidak membiarkan wajah pemuda itu terangkat kembali. Ia berhenti sesaat, berusaha memikirkan apa yang harus ia katakan selanjutnya. Dan saat ia berhasil menemukan apa yang harus ia katakan, Luna tersenyum lebar.

“Dan kau tahu, walaupun seandainya seluruh keberadaanku di dalam dunia-dunia itu hanya mimpi, kau selalu ada bersamaku, kapanpun dan di manapun kita berada.’

Wajah Stern kembali memerah.

Ia tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang Luna bicarakan, namun kalimat terakhir yang keluar dari mulut Luna entah mengapa membuatnya begitu bahagia saat ini.

Begitu bahagia, sehingga kini ia merasa sebuah beban di hatinya telah hilang sepenuhnya. Ia pun mengangkat wajahnya dan memberanikan diri untuk menatap Luna kembali.

“..Luna?”

“Ya, Stern?”

“Maukah kau pergi bersamaku?”

“Ke mana?”

“Ke manapun sepedaku membawa kita.”

“Heh? Kau mengajakku kawin lari atau apa? Ya ampun, Stern, rasanya kau benar-benar tidak romantis untuk ukuran orang yang statusnya sedang jatuh cinta.”

“Memangnya kalau aku romantis, kau mau menerima pernyataan cintaku minggu lalu?”

“Tidak juga, sih. Tapi setidaknya, kalau mau mengajakku, ubah dulu kata-katamu menjadi lebih dramatis!”

“Kalau begitu, pinjami aku uang untuk membetulkan sepedaku!”

.

Dan kedua remaja itu kini kembali tertawa lepas seperti sedia kala.


Part 4

Saat ini malam hari telah datang, menyelimuti seluruh kota dalam kegelapan. Di balik kegelapan itu, dua orang remaja kini tengah berada di sebuah taman kota, yang tentunya sepi dari sosok manusia lain selain kedua remaja tersebut.

“Jadi, apa lagi yang ingin kau katakan?” tanya Luna pada Stern, yang saat ini tengah duduk di kursi ayunan di sebelahnya.

“Aku ingin bertanya sesuatu, tapi jangan kaget ya saat mendengarnya,” ucap Stern sambil tersenyum kecil.

“Apa sih? Kalau ini masih ada hubungannya dengan minggu lalu, aku malas mendengarnya. Kau terlalu banyak berandai-andai, Stern. Kan sudah kubilang, kita seperti sekarang ini saja sudah cukup.”

“Bukan, bukan itu,” jawab Stern seraya menggelengkan kepalanya. “Aku akan langsung saja. Luna, seandainya aku menghilang dari dunia-mu, apa yang akan kau lakukan?”

“Hah?”

Luna melirik ke arah Stern sambil melongo keheranan.

“Tadi sore, kau bilang aku selalu ada di dalam duniamu, kan? Tetapi, kau ragu apakah keberadaanmu di dalam dunia-dunia di ‘ingatan’mu adalah nyata. Sekarang pertanyaanku, seandainya aku menghilang dari setiap ‘dunia’mu itu, apa yang akan kau lakukan?”

“Kau ini mau bunuh diri atau melarikan diri ke luar negeri karena ditolak atau apa sih? Kenapa tiba-tiba menanyakan hal seperti itu?” tanya Luna.

“Aku serius. Jawab saja, Luna.”

Luna hanya membisu mendengar desakan dari Stern.

“Kenapa? Kau tidak bisa menjawabnya?”

Luna mengangguk pelan.

“Hmm, baiklah, biar kuubah dulu pertanyaanku. Luna, kapan kita pertama kali bertemu?”

“Eh? Ng, sejak kita TK, kan? Rumah kita memang bersebelahan, jadi kita memang saling kenal sejak kecil.. Eh? Tunggu, kenapa kau menanyakan hal itu?”

Stern tersenyum. Sebuah senyuman yang belum pernah dilihat Luna sebelumnya.

Senyuman yang menggambarkan kesedihan, namun juga menyiratkan kebahagiaan tersembunyi di dalamnya.

“Luna, duna-dunia yang kau katakan itu, semuanya selalu berganti setiap hari, kan?”

“Iya, benar... Eh? Eeeeeeeeeeh?! Tunggu! Stern, dari mana kau tahu—“

“Ternyata benar dugaanku...” ucap Stern seraya menutupi wajahnya. Tubuhnya terlihat bergetar, membuat Luna yang melihatnya menjadi panik sekaligus cemas.

“Stern?”

“Luna, pertanyaan terakhir..” kata Stern dengan nada ragu. “Apakah di setiap dunia dalam mimpimu itu, kita berdua selalu berteman sejak kecil?”

“...uh, i-iya...”

Saat Luna menjawab pertanyaan itu, seketika tubuh Stern terlihat menjadi transparan.

“!!! Stern?! A-apa yang terjadi?!”

“Luna, dengarkan aku..” kata Stern, yang kini tubuhnya semakin lama semakin menghilang. “Saat aku menghilang nanti, kau akan tersadar dan kembali ke duniamu yang sesungguhnya. Aku tidak tahu dunia yang mana duniamu yang sebenarnya, tapi kuharap, kau bisa hidup dengan bahagia di dalamnya...”

“Tunggu dulu!!” seru Luna, yang kini berusaha menggapai tubuh Stern. “Banyak hal yang belum kau jelaskan padaku! Apa kau juga mengalami mimpi yang sama denganku?! Apa maksud dari dunia-dunia itu? Dan..dan...kenapa kau harus menghilang?”

Airmata Luna tak dapat dibendung lagi. Ia menangis sejadi-jadinya, melihat satu-satunya orang yang selalu menemaninya selama ini hendak menghilang begitu saja di depan matanya.

Stern tetap tersenyum. Walaupun Luna tak bisa lagi meraih tubuh Stern yang semakin kabur dari pandangan matanya, Stern tetap terlihat tenang, bahkan lebih tenang daripada saat ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan pada Luna barusan.

Ia memeluk Luna, walaupun tahu tubuhnya tak lagi dapat menyentuh gadis itu.

Luna hanya bisa menangis tanpa suara, membiarkan sosok yang nyaris tak terlihat lagi itu menyelimuti tubuhnya yang tak henti-hentinya bergetar dengan hebat.

“Stern...Stern... Aku, aku...”

“Tidak apa-apa, Luna..” jawab Stern.

Walau suara itu hanya samar-samar terdengar seperti bisikan di telinga Luna.

“Kau akan baik-baik saja. Kau kuat, dan karena itulah kau mampu bertahan hingga saat ini. Ada banyak hal yang mungkin tidak kau mengerti, tapi aku yakin, semua ini tidak sia-sia. Aku percaya, keberadaanku dalam setiap duniamu adalah untuk membuatmu kuat menghadapi kenyataan. Dan sekarang, sudah waktunya kau terbangun kembali.”

“Stern... Stern!”

Stern mendekatkan wajahnya ke arah Luna.

Melihatnya, Luna segera memejamkan kedua matanya.

.

.

Dan saat ia membukanya, tak ada siapapun yang berdiri di dalam gelapnya malam tersebut selain dirinya sendiri.


Part 5

“Aku tidak mengerti~~!!!”

“Aku tidak menyuruhmu untuk mengerti.”

“Iya, tapi kau serius ingin mengikutsertakan cerita ini ke lomba [Cerita Pegadaian Semesta]? Kalau ceritanya seperti ini, Pegadaian Semesta yang lain pasti menang, Alex! Aku tidak mau kalau Pegadaian Semesta kita dianggap tidak pernah punya pelanggan dengan cerita hebat! Ganti ceritanyaaaaaaaaaaaaaa~~!!”

Rena terus memukuli punggung Alex, yang kini telah menaruh penanya di atas meja. Tanpa menghiraukan pukulan dari asistennya itu, Alex menghela napas pelan, kemudian bertanya,

“Rena, dari kedua tokoh itu, apa kau tahu siapa yang datang ke pegadaian ini, dan apa yang ia tukarkan padaku?”

“Eh? Jadi ini kisah nyata?” tanya Rena menghentikan pukulannya. “Ng, aku lupa. Ceritakan padaku! Kalau memang bagus, mungkin aku baru bisa menerimanya.”

Alex menatap ke arah asistennya yang cantik itu dengan tatapan kosong, kemudian mulai bertutur,

“Yang datang ke Pegadaian Semesta ini, adalah keduanya. Permintaan mereka berdua berbeda, tentunya. Sang gadis, Luna, menukar ‘kenyataan’ miliknya dengan ‘keberadaan seseorang yang dapat selalu menemaninya’. Sedangkan sang lelaki, Stern, menukarkan ‘keberadaan’nya dengan ‘dunia tempat Luna berada’.”

“Aku sudah tahu tentang si Luna itu di awal, kan kau sudah bilang sebelum menulis tadi. Tapi, tetap saja kurasa dua-duanya tidak menguntungkan kita. Menukar kenyataan kan sekaligus merubah dunianya, dan menukar satu keberadaan dengan dunia menurutku sangat tidak setimpal. Apa yang kita dapat dari mereka?”

Dengan wajah tanpa ekspresi, Alex kembali melanjutkan penjelasannya.

“Kau tidak mengerti juga ya? Saat gadis itu melakukan transaksi dengan kita, sebenarnya kita menerima ‘bunga’ (dalam artian hutang) berupa [ingatan]nya. Walau tidak termasuk dalam transaksi, tapi [kenyataan] yang ia tukar dan [keberadaan] si pria tersebut otomatis menghapus [ingatan]nya tentang apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.”

“Rumit!” protes Rena. “Aku benci penjelasan yang bertele-tele, apalagi kau menjelasakannya dengan wajah dan nada datar seperti itu. Jelaskan saja apa keuntungannya bagi kita, dan apa bagusnya cerita transaksi ini dibanding transaksi yang lain?”

“Kau tidak mengerti juga? Kita mendapat keuntungan dengan semakin terhapusnya ingatan Luna Albtraum. Sementara Stern, menyadari bahwa keberadaaannya tidaklah nyata, menukarkan kembali keberadaannya yang telah diciptakan Luna dengan dunia Luna yang sebenarnya. Kalau ini berlanjut, menurutmu, apa yang akan terjadi?”

Rena terdiam sesaat, kemudian menyeringai lebar.

“Oooh.. Aku mengerti maksudmu sekarang, Alex. [Luna] itu bukan merujuk pada seseorang dari satu masa saja, ya? Dan saat ia kembali ke [dunia] aslinya, ia akan kembali ke titik nol sebelum ia melakukan transaksi dengan kita. Fufufu, benar katamu, ini memang bunga yang benar-benar berlipat ganda! Tidak hanya karena berasal dari banyak jiwa, tapi juga karena akan terjadi berulang-ulang!”

“Tepat sekali,” kata Alex dengan nada datar. “Dan lihatlah, pelanggan kita yang satu ini kelihatannya sudah kembali menuju kemari.”

TING TONG

Rena mendengar suara bel di pintu depan. Ia menunjukkan sebuah senyum ke arah Alex, kemudian berjalan menuju pintu Pegadaian Semesta mereka dengan riang.

.

“Selamat datang, Luna Albtraum~! Terima kasih telah mengunjungi Pegadaian Semesta! Apa yang bisa kami bantu?”