Taro:Volume00 Chapter01

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

Chapter 01

Tempat itu dulunya mungkin kota, sebelum sesuatu mengubahnya menjadi puing-puing, sebelum samudra dan hujan yang tak kunjung berhenti menggenangi tiap sudutnya.

Tempat itu kini lebih mirip sebuah laguna, atau paling tidak rawa-rawa, dengan air yang sepintas tampak kehitaman, berminyak, lengket...

Bahkan untuk standar dunia setelah perang, tempat itu sama sekali tidak menyenangkan.

Tapi pekerjaan adalah pekerjaan. Jadi setelah sekali lagi memastikan kondisi pakaian pelindungnya (yang sepintas tampak seperti pakaian selam di masa lalu), juga kesesuaian letak koordinat targetnya, lelaki itu pun kembali melangkahkan kakinya memasuki... yah tempat sialan itu.

Untuk kesekian kalinya, ia menoleh ke belakang lalu berkata, "Berhenti mengikutiku."

Meski tentu saja, sama seperti sebelum-sebelumnya, selama beberapa hari terakhir, gadis itu entah mengapa tetap berusaha untuk selalu berada tak jauh di belakangnya

Selangkah. Dua langkah. Sang lelaki menarik napas panjang, lega, mendapati genangan air itu ternyata tak sedalam yang ia kira sebelumnya. Karena bahkan meskipun pakaian pelindung yang dikenakannya mampu membuatnya bertahan hidup, tetap saja ia merasa tak nyaman berada seluruhnya di bawah permukaan air yang gelap dan muram itu. Sekilas, ia menoleh ke belakang, dan tak terlalu terkejut mendapati sang gadis tanpa menunjukkan rasa ragu sedikitpun ikut masuk ke dalam air.

Bukan hal yang mengejutkan, pikir sang lelaki, karena memang di dunia semacam ini lah para Mutan dilahirkan(?). Bagi mereka, mungkin tak ada yang 'salah' dari dunia ini. Bagi mereka...

Sang lelaki berhenti melangkah lalu sekali lagi berbalik ke belakang, dan kali ini, karena mereka berada di sebuah wilayah yang cukup lapang dengan genangan air yang menyulitkan seseorang bergerak bebas, ia berhasil bertatap muka langsung dengan sang gadis yang tampak kebingungan mencari tempat berlindung.

Namun, ketika ia baru saja hendak mengatakan sesuatu... gadis itu langsung berjongkok membenamkan seluruh tubuhnya ke dalam air, meninggalkan gelembung-gelembung udara di tempatnya tadi berada.

Menarik, pikir sang lelaki sambil tersenyum kecil, apakah itu berarti sang gadis termasuk jenis yang bisa bernafas di dalam air?

"Puaaah"

Atau mungkin juga tidak.

Basah kuyup, dengan lumpur dan lumut menyelimuti sekujur tubuhnya, gadis itu tampak lebih menyedihkan daripada biasanya. Sang lelaki tertawa kecil, menggelengkan kepala sedikit, lalu kembali berbalik dan melangkah.

"Aku jadi bertanya-tanya," katanya nyaring, tahu pasti sang gadis masih dengan keras kepala mengikutinya, "apa kau mengerti apa yang kukatakan selama ini."

Tak ada jawaban.

"... kau adalah gadis terjelek yang pernah kulihat."

Terdengar kecipak air saat sang gadis dengan tiba-tiba menghentikan langkahnya.

Sang lelaki sekali lagi berbalik. Katanya, "Aku hanya bercanda."

"Dewa ..."

"Hmm?" sang lelaki mengangkat alisnya. Dewa eh? Yah setidaknya itu sedikit lebih baik daripada panggilan 'Iblis' dan 'Monster' yang biasa ia terima.

"Dewa...," ulang sang gadis lirih. "... tolong aku."

Hening. Sang lelaki mengingat kembali kejadian beberapa hari yang lalu saat ia melewati desa yang menjadi tempat tinggal sang gadis. Saat itu...

"Bukankah aku sudah menolongmu?"

Sang gadis menundukkan kepalanya. Tubuhnya bergetar, begitu juga suaranya ketika mengatakan, "Tolong beri aku kekuatan."

Sekali lagi sang lelaki menghentikan langkahnya.

"Kekuatan huh? Untuk apa kau menginginkannya? Kau tak memiliki seorang pun untuk kau lindungi, kau tak memiliki seorang pun untuk kau musuhi."

Sang gadis tak menjawab. Sang lelaki kembali melangkah.

"Apa yang harus kulakukan?"

"Aku tak tahu. Aku bukan dirimu."

"Lalu mengapa saat itu kau menolongku?"

...


"Dengar," kata sang lelaki beberapa saat kemudian, "Aku serius. Berhenti mengikutiku."

Sang gadis menundukkan kepalanya, "lalu kemana aku harus pergi?"

"Kau tak punya saudara, paman, bibi?"

Gelengan kepala.

"Bagaimana kalau desa lain yang bisa kau tuju, kau tahu tempat lain dengan... yah makhluk-makhluk sejenismu?"

Sang gadis mengangkat kepalanya penuh harap, "Di mana aku bisa menemukan tempat seperti itu?"

Sang lelaki tersenyum masam di balik helm pelindungnya, "Aku tak tahu. Kau mesti mencarinya sendiri."

"T-tapi..."

"Menyerah sebelum mencoba eh?"

"Tak akan berhasil... aku tak sekuat itu."

"Ini bukan soal kekuatan. Ini soal kemauan."

"Kau tak mengerti. Aku pasti mati sebelum berhasil menemukannya," rengek sang gadis.

"Mungkin, bukan pasti," koreksi sang lelaki, "Lalu? Pada akhirnya toh, cepat atau lambat, kau, kita semua, bahkan planet ini akan mati. Yang jelas, kalau kau tak bergerak, kau tak akan pernah menemukan apa yang kau cari."