Angkringan Malam:Volume00 4

From Word Craft
Jump to navigation Jump to search

—Jangan Menangis!—

“Su-suara apa itu?!”

Damar yang terkesiap spontan berteriak demikian dan kemudian mengedarkan pandangannya. Tidak ada yang aneh…kecuali Mustaka yang perlahan mulai tertawa semakin mengeras sebelum kemudian berkata.

“Kamu dengar itu? Gadis kecil yang malang…aku sarankan jangan dekat-dekat rumah tua itu.”

“Ta-tapi suara tadi…”

Damar ragu, antara percaya dan tidak percaya. Atau mungkin lebih tepatnya ia ingin memilih untuk mendapat lanjutan cerita kalau ternyata Mustaka berbohong atau sejenisnya. Namun tidak, Damar bisa melihat di mata Mustaka yang penuh dengan keseriusan, ia memang tidak berbohong. Hanya saja, ia tidak percaya hal tersebut terjadi tepat di mana malam pertamanya bekerja di angkringan ini. Itu yang membuat Damar ragu harus berbuat apa.

“Hei, teriakan itu…menyakitkan? Bukannya kita harus menolongnya? Kurasa itu tadi teriakan minta tolong…”

Datanglah Dik Jombi yang berkata demikian, membuat Damar semakin bingung karena ia sebenarnya juga ketakutan. Tapi tanpa disadari, ia sempat menjadi semacam pengalih perhatian karena ketakutannya terlalu besar untuk membahas harus atau tidaknya ia menolong pemilik teriakan tersebut, ketika melihat Dik Jombi sendirian di kursi panjang dengan bertanya. “Mana Mael?”

“Mael sedang pergi entah ke mana dia gak bilang. Daridapa bahas Mael, bukankah sebaiknya kita tolong orang yang teriak tadi?” jawab Dik Jombi yang mengembalikan pembicaraan semula.

Damar mandi keringat. “Ta-tapi…”

Meludah ke samping, Mustaka memprovokasi Damar. “Ohh, jangan-jangan kamu takut ya? Percuma punya badan lengkap tapi gak berani!”

“He-hei…bukannya tadi kamu melarangku ya? Kamu mau aku ngapain sih sebenernya?!” keluh Damar.

Mustaka melihat Dik Jombi yang menatapnya balik, sebelum kemudian keduanya mengangguk.

Lalu Mustaka menjawab. “Mungkin kamu bisa tolong dia sebelum terlambat…tapi hati-hati di jalan ya~”

“Eh?” Damar melongo, “kamu ga ikut?”

“Enggak, aku kan cuma kepala doang sekarang~”

“Badanmu di mana?!” Damar tidak sabar.

“Aku bakal mati kalau ceritain ke kamu…”

Damar membersut, merasa dipojokkan. Ia tidak punya pilihan lain. Jika ia tidak segera menolong, Mustaka bilang semuanya akan terlambat. Walau Damar belum tahu apa maksud ‘terlambat’ dari Mustaka, tapi ia bisa yakin kalau itu pasti hal yang buruk.

Tapi Damar tidak berani sendirian. Ia ingin mengajak Mustaka setidaknya dengan tubuhnya saja tidak apa-apa, biar saja kepalanya tertinggal menggantung di dahan pohon asalkan ia punya teman untuk pergi ke rumah tua tersebut. Tapi Mustaka bilang, kalau rahasia sulapnya terbongkar, ia akan mati—Damar tidak mau hal itu terjadi. Maka, satu-satunya harapan yang ada bagi Damar adalah—

“Dik Jombi! Ikut a—“

“Jalanku lambat…”

—tidak ada.

Putus asa, Damar mengacak-acak kasar rambutnya sendiri dan berteriak.

“ARRRGGGHHHH!!!”

Lalu ia melesat ke rumah tua di seberang Angkringan Malam, meninggalkan Dik Jombi yang berusaha berjalan mengikutinya dan Mustaka yang hanya melihatnya saja dengan tawa mengikik.

“Hah…hah…hah…”

Tidak perlu Damar menengok kanan dan kiri ketika menyeberangi jalan aspal yang cukup besar tersebut karena tentu tidak ada kendaraan atau bahkan penjual nasi goreng yang lewat. Damar terus berlari walau ia tahu larinya tidak cepat, tapi jika ia terlambat, rasanya semua keberanian yang ia kumpulkan terbuang percuma.

Karenanya ia langsung mengitari rumah tua yang cukup besar itu dengan segala kekuatan yang ia miliki. Damar mampu merasakan aura kejahatan yang bersemayam di setiap sudut rumah tersebut, seolah memaksanya untuk terus berlari dan masuk, ditelan hidup-hidup dalam kenistaan. Namun kesadarannya menyematkan dirinya sendiri dalam jurang kesesatan tersebut, ia mampu menghentikan langkahnya ketika telah sampai di depan pintu pagar yang sudah rusak dan berkarat dari rumah tua itu.

“Hah…hah…hah…” Damar mengatur napasnya agar tetap terjaga.

Menjulang tinggi di hadapannya—sebuah perwujudan fisik dari semua kebencian.

Semua keringat yang dikeluarkan Damar dari lelahnya berubah dingin. Matanya tak sanggup beralih melihat segala kegelapan yang ada di depannya itu. Meskipun ingin, keberaniannya tidak mau menggerakkan kakinya melangkah lebih lanjut. Ia hanya bisa menelan ludah di bawah naungan sumber ketakutannya. Kalau masuk pasti akan mati, pikirnya.

Namun tak lama, sebuah teriakan lirih seorang gadis mengembalikan keberanian Damar yang sesaat melupakan ketakutannya.

“….tolong…”

…dan memilih untuk menghampiri sumber suara itu—gadis kecil yang sedang merangkak ke arahnya.

“Hei, kamu gapapa?!” teriak Damar yang kemudian berlutut di samping gadis kecil itu.

“…tolong bawa aku…pergi dari sini…” pintanya lemah.

Mata Damar terbelalak, melihat banyaknya darah yang menggenang di sekitar gadis kecil tersebut. Ia mulai tahu apa yang dimaksud Mustaka sebagai ‘terlambat’ tadi walaupun tidak tahu mengapa Mustaka bisa mengerti keadaan gadis ini. Tapi itu bukanlah yang paling penting, yang harus Damar lakukan sekarang adalah—

“Ah…AHHHH!!!”


—membawa potongan atas dari tubuh gadis kecil tersebut.


Kepala Damar mendadak pusing serasa otaknya dikocok dan diblender dengan pisau yang sangat tajam. Tangannya yang berlumuran darah hanya bisa gemetar hebat—ia tidak tahu harus berbuat apa. Mulutnya hanya bisa menganga ketika gadis kecil itu mengangkat lengannya yang tanpa pergelangan itu dan mengusap pipi Damar seraya berkata.

“…tolong…cepat pergi…atau semuanya akan…terlambat…”

“HIIIII!!!”

Damar yang ketakutan hanya bisa berteriak seperti itu dan memeluk erat tubuh gadis kecil, supaya ia tidak bisa melihat kengerian yang baru saja tercetak dalam ingatan lewat matanya tersebut. Ia tidak peduli dengan darah yang mungkin akan membekas di bajunya dan menyisakan bau amis darah—ia tidak peduli. Berlari dan terus berlari, itu saja yang bisa ia lakukan. Menutup mata seerat mungkin, ia berharap ketika membukanya nanti, semua ternyata hanyalah imajinasi atau mimpinya saja.

Hingga tak lama kemudian, ia bisa mendengar suara Dik Jombi memanggilnya.

“Nak…maaf aku terlamba—“

“Dik Jombi tangkap ini!” teriak Damar yang memotong kalimat Dik Jombi yang kemudian melempar apa yang dibawanya ke dekapan tangan Dik Jombi. Lalu Damar melempar dirinya yang masih gemetar terlungkup ke dipan, menutup matanya erat-erat seolah ia tidak ingin bangun dari tidurnya—yang mana lari dari realita.

“Apa ini?” Mengerutkan alis melihat tingkah Damar, Dik Jombi melihat apa yang sedang dibawanya itu. “WAAAAAAAAAAAAAAA!!”

Dari kejauhan Mustaka berteriak. “Goblok! Jangan takut sesamamu Jombi kampung!”

Dik Jombi hampir saja melempar gadis kecil tersebut jika saja Mustaka tidak berkata demikian. Perlahan ia menggerakkan bola matanya untuk melihat ke bawah alih-alih menunduk [1] untuk melihat sekali lagi benda apa yang sedang dibawanya tersebut. Dan ketika menemukan seorang gadis yang sedang bernapas terengah-engah dalam rasa sakit ada dalam dekapannya, Dik Jombi menyapa.

“…ha-hai…”

“…hai…selamat…malam…” jawab gadis kecil dengan matanya yang lega melihat makhluk baru selain penghuni rumah terkutuknya.

Sebenarnya ia masih belum tahu apakah bersama makhluk lain seperti Dik Jombi adalah hal yang terbaik atau tidak. Bisa saja malah lebih parah yang mana sesaat setelah melihatnya, Dik Jombi langsung melahap habis gadis kecil tersebut. Namun tidak, malahan ia disapa…membuatnya cukup aman untuk sementara waktu. Sisanya tinggal kepala tergantung yang ada di dahan pohon itu yang masih belum ia ketahui watak aslinya.

Sayangnya, ia cukup lemah…merasa masih belum bisa bangun karena baru saja tubuhnya dibelah menjadi dua. Karenanya ia meminta Dik Jombi untuk membawanya ke dipan, setidaknya ia ingin istirahat sejenak. Tapi di situ ada Damar, yang ketika mengetahui Dik Jombi datang menghampirinya dengan membawa sepotong tubuh gadis kecil, ia langsung berteriak.

“Jangan mendekat!” layaknya kriminal yang sedang terpojok dan sedang membawa tawanan.

Dik Jombi menggaruk pipinya yang berlubang. “Kenapa tidak? Anak ini butuh istirahat…”

Namun Damar bersikeras. “Dia sudah mati! Jangan bawa mayat itu ke angkringanku! Lihat saja, darahnya berhamburan seperti itu!” teriaknya masih dengan matanya yang tertutup rapat.

“Darah?” Mustaka mengangkat alis. “Gak ada darah muncrat tuh…setetespun gak ada.”

“Eh?” adalah yang keluar dari mulut Damar dalam ketidakpercayaan.

“Kau lagi ngigau ya, Nak? Gak ada darah di sini…” tambah Dik Jombi.

“Eh? Eh?” Damar mulai meragukan dirinya sendiri sebelum kemudian bertanya. “Beneran?”

“Beneran,” jawab Mustaka langsung.

“Bener…” Dik Jombi menambahi.

Kalau Mustaka, mungkin ia masih bisa bohong. Tapi kalau Dik Jombi, ia cukup ragu melihatnya yang dengan jujur mencurahkan hatinya setiap hari di angkringan ini ketika Kakek masih hidup. Karenanya Damar mencoba mengumpulkan segala keberaniannya dan perlahan mulai membuka matanya.

“…hai…” sapa gadis kecil.

Dan ia sama sekali tidak berlumuran darah.


—Kalau Begitu Ayo Bermain—

Setelah beberapa menit membiarkannya istirahat, gadis kecil itu mulai bersemangat. Senyumnya yang riang cukup cerah—namun agak kontras dengan matanya yang berlubang. Linangan air mata merah darah keluar di kedua sudut matanya, membuatku tak bisa menahan diri untuk tidak bertanya.

“Matamu gapapa?”

Lalu dia menjawab dengan senyum bersinar. “Um!” Dia mengangguk. “Gapapa kok! Sehat-sehat saja~”

Dia mengatakannya dengan senyuman besar yang memperlihatkan rentetan gigi putih menyilaukan, membuatku sedikit merasa lega meski kenyataan bahwa tubuhnya yang hanya tinggal setengah itu saja masih membuatku merasa bingung dan khawatir. Apa mungkin dia memiliki kemampuan sulap yang sama dengan Mustaka? Jika iya, aku tak boleh menanyakannya lebih lanjut. Aku tidak ingin melihat gadis selucu dia benar-benar mati.

Karenanya aku mencoba ramah dan bertanya dengan lembut padanya.

“Oh ya, kita belum kenalan.” Aku mencoba tersenyum seramah mungkin. “Namaku Damar. Namamu siapa ya?”

“Kamu malah nakutin dia, oon,” komentar Mustaka, yang kubalas dengan membersut.

“Mmmm, nama Whinny [2] ya Whinny! Salam kenal~” jawabnya riang.

Whinny, ya?

Aku rasa dia dari luar negeri. Kalau kuperhatikan kembali, wajahnya cukup putih pucat dengan rambut blondenya yang diikat ekor kuda di samping. Jepit rambut bintang kecilnya cukup membuatnya semakin manis. Ditambah lagi dengan sikap gembiranya yang membuat sekitarnya menjadi ceria—suatu keindahan baru di malam yang semakin larut ini.

Dik Jombi yang sedari tadi diam mulai mengikuti pembicaraan. “Namaku Dik Jombi. Salam kenal…” Lalu kepalanya menengadah. “Kepala menggantung di sana bernama Mustaka…”

Mengikuti gerakan kepala Dik Jombi, wajah Whinny memucat melihat Mustaka. Lalu dia bersembunyi di balik Dik Jombi dengan bulir air mata kirinya yang masih normal.”Salam…kenal…” gumamnya pelan.

“Hahaha!” Aku menertawai Mustaka. “Lihat dia, begitu takutnya denganmu!”

Berdecak, Mustaka hanya bisa menerima nasibnya—ditakuti anak kecil. Sebenarnya aku ingin menyuruh Mustaka untuk bersatu kembali dengan tubuhnya sendiri namun kuurungkan karena sekali lagi, aku tidak ingin melihat siapapun mati di tempat kenangan indahku ini bersama Kakek. Karenanya aku mengeluarkan kartu gaple [3] dan berkata. “Mau main kartu?”

“Mauuu!!” seru senang Whinny.

“Mau….” Dik Jombi juga ikutan.

Aku langsung melirik ke Mustaka dan berkata, “Yang gak punya tangan gak usah ikutan.”

Mustaka hanya bisa membersut padaku, hahah!

Mendekat padaku, Whinny berusaha mengangkat tubuhnya yang hanya sebagian atas tersebut sembari mengintip. “Cara mainnya gimana, Kak?”

“…Kak?” celetukku karena merasa tak biasa dengan panggilan tersebut.

Whinny tersenyum. “Iya, Kak! Kakak kan yang nolong Whinny tadi? Makasih ya, Kak!”

Mendadak wajahku menghangat dan aku mengalihkan pandanganku dari mata bersinar Whinny. ‘Kak’, eh? Selama ini aku dipanggil ‘Nak’ karena aku memang seperti anak kecil. Karenanya aku selalu menganggap diriku yang paling muda. Namun setelah Whinny memanggilku ‘Kak’…aku merasa jauh lebih besar dan kuat—seakan bisa melakukan apapun untuk melindungi Whinny.

“A-ah…cara mainnya seperti ini…” ujarku gugup, sebelum kemudian menjelaskan cara bermain gaple.

Normalnya, gaple dimainkan oleh empat orang. Gaple biasanya dimulai dengan kartu kosong-kosong, kartu gaple yang kedua ruasnya tidak punya satupun lingkaran. Lalu secara berurutan, pemain harus mencocokkan kartunya dengan sisi kosong kartu apapun bebas, yang dimiliki pemain tersebut. Yang jelas harus ada satu sisi yang sama baru boleh dipasang. Terus seperti itu berurutan hingga salah satu pemain kehabisan kartu—dan dialah pemenangnya.

“Ohhh…begitu ya…” komentar Dik Jombi saat aku berhenti bicara untuk bernapas.

“Belum selesai, Dik Jombi,” selaku. “Ada beberapa cara menang selain kehabisan kartu.”

Whinny mengangkat alis pirangnya, “Apa lagi, Kak?”

“Ah…uhhh…” Sepertinya aku belum terbiasa dipanggil seperti itu. “Mi-misalnya seorang pemain punya lima kartu yang bersisi sama. Contohnya 1-2, 1-3, 1-1, 1-4, dan 1-5, maka pemain itu akan langsung menang.”

Mustaka ikut pembicaraan. “Lalu yang kalah siapa kalau yang main ada empat?”

Melirik ke atas, aku meledek. “Yang gak ikut diem aja.” Lalu terkekeh, kurasa Mustaka jengkel. “Yang kalah adalah yang masih punya kartu—kalau ketika pemain lain kartunya habis. Kalau untuk masalah memiliki lima kartu yang sama ini, ada banyak aturan sebenarnya tergantung daerah masing-masing.”

Dan untuk daerahku—yaitu yang pernah diajarkan oleh Kakek dulu, yang kalah adalah yang punya kartu berjumlah lingkaran paling banyak. Cara menang lainnya adalah ‘gaple’, yaitu ketika seorang pemain mengakhiri permainan dengan menutup kedua ruas dengan kartu terakhir—maksudnya, dua ruas paling ujung sudah tidak bisa dicocokkan lagi karena ketujuh kartunya memang sudah dicocokkan semua, yang mana pemain lain tidak bisa melanjutkan permainan karena kartu yang untuk dicocokkan memang sudah habis.

Ini yang biasa disebut sebagai taruhan—maksudnya, penutup permainan (atau yang melakukan ‘gaple’) bertaruh karena kalau melakukan ‘gaple’, dia pasti masih memiliki kartu yang belum dicocokkan. Nah, jika ada pemain lain yang jumlah bulatan kartunya lebih kecil dari jumlah bulatan dari sisa kartu pemain yang melakukan ‘gaple’, artinya yang melakukan ‘gaple’ hangus, atau dengan kata lain dia kalah. Jika dia punya jumlah paling kecil, maka dialah pemenangnya.

Dan setelah aku menjelaskannya…

“Ng…”

“Ummm…udah selesai ya, Kak?”

…Dik Jombi tampak kebingungan dan Whinny tampak bosan. Apa caraku menjelaskan salah ya?

“Ba-baiklah, ayo kita main!” ajakku memaksa keadaan.

Mustaka menceletuk. “Kamu jelasin permainan atau cerita sejarah perang dunia?”

Ya maaf, aku memang tidak pintar dalam menjelaskan sesuatu. Lihat, aku bahkan hampir tidak punya teman tetap ketika masih kecil. Tapi mungkin Mustaka memang tidak tahu, jadi aku maklumi.

“Mmm…Whinny ngerti kok! Walau dikit sih…ehehe~”

Atau mungkin lebih tepatnya, dia tidak ingin melihatku murung. Oh, Whinny manis…kamu baik sekali.

“Whinny, kamu mau coklat hangat? Aku jago loh bikin minuman!” tawarku sambil menekuk lenganku, memperlihatkan ototku yang…tak begitu besar. Namun seperti tak memedulikan itu, dengan mata bersinar dan senyum cerahnya, Whinny menjawab.

“Mau, Kak!”

Membalasnya dengan senyum, aku langsung menuju ceret dan teko coklat. Kucampurkan dengan sedikit vanila untuk menambah rasa gurih dan sejimpit gula agar tidak terlalu manis. Menyajikannya pada Whinny, aku menengadah dan bicara pada Mustaka. “Kamu mau minum sesuatu?”

Menggeleng, Mustaka berkata. “Bukannya sudah saatnya kamu cerita?” entah pada siapa.

“Maksudmu?” Aku mengangkat alis.

Apa yang dia bicarakan?

Nadanya mendadak tajam dan kembali semakin berat. Kedua mata Mustaka tertuju pada—Whinny? Bisa kurasakan suasana yang tiba-tiba serius hingga aku tidak bisa merasa santai atau melakukan candaan agar suasana kembali ringan. Entah mengapa udara sekitar menjadi padat dan sulit untuk bernapas.

“…”

—tidak, ini bukanlah imajinasiku.

Aku memang merasa sesak dan kesulitan bernapas. Ada sesuatu yang aneh, namun tidak bisa kugambarkan secara pasti. Tadinya udara di sini dingin dan sejuk, bahkan segar karena di sekitar berdiri banyak pohon dengan macam-macam jenisnya. Dulu pun sama saja, tidak berubah hingga beberapa menit yang lalu.

Kabut mulai muncul di permukaan.

Hutan ini bukanlah dataran tinggi, hujan pun sudah sejak pagi tadi. Walaupun awan mendadak mendung hingga menutupi sinar bulan dan bintang, tapi aku tahu pasti kalau kabut ini cukup aneh. Seolah seseorang sengaja menggunakan kabut buatan dan menyebarkannya di hutan ini untuk suatu tujuan. Perasaanku tiba-tiba merasa tidak aman kalau berlama-lama di sini.

Karenanya aku menoleh ke Dik Jombi—yang hanya diam saja dengan kartu di tangannya. Dia tentu tidak sedang memahami permainan gaple, aku tahu kalau ada bulir keringat yang meluncur di keningnya. Itu bukanlah keadaan di mana seseorang bingung, wajah pucatnya yang semakin memucat menandakan kalau ada sesuatu yang membuatnya resah. Lalu aku beralih ke Whinny—

“…”

—yang membelalakkan matanya dalam ketakutan.

Tangannya gemetar hebat sampai menumpahkan coklat dari gelasnya. Matanya berkaca-kaca seolah bisa menangis kapan saja, ditambah dengan air mata yang mulai keluar. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

“Mustaka!” Aku kembali menengadah. “Apa yang sedang terjadi sebenarnya? Ceritakan padaku!”

Namun dia tidak menatapku, matanya masih terfokus pada sosok kecil Whinny. Sesaat dia tersenyum aneh seperti tahu akan sesuatu, sebelum kemudian berkata.

“Yang seharusnya bukan aku, tapi dia.”

Lalu aku balik beralih ke Whinny…

“Hik…hik…”

…yang menangis seolah dalam keputusasaan.



  1. Seperti halnya manusia ketika tidak ingin melihat secara dekat atau ingin jauh-jauh dari sesuatu yang dianggapnya tak layak lihat—dalam hal ini ketakutan—seseorang akan memundurkan kepalanya ke belakang dan menyipitkan matanya untuk melihat sesuatu tersebut. Berbeda dengan Dik Jombi yang tidak bisa melakukan hal sekompleks menyipitkan mata selagi memundurkan kepala, ia hanya bisa menggerakkan salah satu matanya saja sebagai kompensasi dari rasa takutnya namun penasaran ingin melihat.
  2. Ia menyebut dirinya sebagai ‘Whinny’ yang mana adalah namanya sendiri alih-alih ‘Aku’. Memang kurang popular penyebutan nama seperti ini di kalangan orang dewasa atau setidaknya remaja zaman sekarang. Tapi untuk anak kecil, penyebutan seperti itu masih populer.
  3. Kartu domino—Damar mengetahuinya sebagai ‘gaple’ karena ia menyebutnya sebagai ‘main gaple’ bukan ‘main domino’.